Bu Mala menatap putrinya dengan mata membulat. "Apa?" desisnya pelan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Maksudnya gimana sayang? Mama gak ngerti."Nilam melirik ke arah sang Mama, ekspresinya datar meskipun dalam hatinya sedang berkecamuk. "Selama ini aku kerja di kantor Jean, Ma. Aku sekretarisnya. Dia itu Bosku."Kedua manik Bu Mala melebar, berusaha mencerna kata-kata putrinya. "B- bagaimana bisa?"Nilam tersenyum miris. "Takdir mungkin."Bu Mala masih tampak syok. "Jadi… kalian tiap hari ketemu dan kerja bareng?"Gadis itu mengangguk pelan."Dan Jean—"Nilam menelan ludah. "Dia pura-pura gak kenal sama aku, Ma. Dia bersikap profesional seperti seorang atasan walaupun kadang dia bisa sangat baik dan perhatian. Yaah, mungkin dia melakukan itu tanpa sadar." Ia tersenyum getir. Suara tawanya terdengar begitu miris.Bu Mala terdiam, dadanya terasa sesak membayangkan bagaimana putrinya harus menghadapi semua ini sendirian. "Pasti kamu merasa bingung."Nilam meng
"Kenapa kamu nangis?""Aku gak ingat apa pun," bisik Nilam. "Tapi anehnya aku merasa bahagia. Perasaan kosong yang selama ini ada dalam hatiku... hilang." Jean menatapnya lama. Di matanya, ada perasaan yang selama ini ia tahan. "Aku ingin kita mulai lagi dari awal," lanjut Nilam. "Aku gak peduli cerita kita seperti apa dulu, sedih atau menyakitkan. Aku ingin tahu semuanya, asalkan kamu ada di sampingku." Jean menggenggam kedua tangannya. "Kamu yakin, Nilam?""Aku yakin.""Kamu gak takut jatuh dan terluka lagi?" Nilam menggeleng tegas. "Aku lebih takut kehilangan kamu." Jean terdiam. Hatinyalah yang sekarang terasa berantakan. Sejak dulu, ia hanya ingin melindungi Nilam, tetapi kini, justru perempuan itu yang menunjukkan keberanian lebih besar darinya. "Kalau memang kita gak jodoh, kita nggak akan dipertemukan lagi seperti ini," tambah Nilam. "Tuhan sudah menuliskan jalan kita. Aku gak mau cari orang lain, Jean. Aku cuma mau kamu." Jean tersenyum tipis. Ia membingkai waja
"Mba Nilam ngapain ya ke ruangan Pak Jean?" gumamnya pelan."Apa Nilam mau minta resign? Tapi kok mendadak banget?""Apa ada masalah? Tapi apa masalahnya? Kok Mba Nilam juga keliatannya kesel banget tadi."Talita semakin resah. Dia khawatir rekannya itu akan berbuat onar atau menyebabkan masalah lain yang bisa berdampak buruk. Apalagi, sejak kemarin, Nilam memang terlihat lesu dan tidak fokus saat bekerja."Kamu kenapa sih, Lit? Dari tadi mondar-mandir nggak jelas?" suara Rina menyadarkan Talita dari pikirannya.Talita menoleh ke arah Rina yang masih duduk di mejanya, tampak santai sambil mengetik laporan.Alih-alih menjawab, Talita justru menghampiri Rani dan berbisik, "Aku khawatir sama Mba Nilam, Mba.""Khawatir kenapa?" Rina menatapnya dengan dahi berkerut."Nilam lama banget gak keluar-keluar dari ruangan Pak Jean. Aku khawatir dia ngelakuin sesuatu di dalam sana," ucapnya dengan nada pelan.Rina menghela napas dan menutup laptopnya. "Jangan su'udzon dulu, Lita. Bisa jadi Pak Jea
"Gini lho Nilam, gimana kita ga curiga. Kamu di dalam ruangan Pak Jean lama banget lho. Mana keluar-keluar baju kamu kusut gitu."Nilam reflek mah rapikan bajunya saat mendengar Rani berkata seperti itu kepadanya."Kita khawatir pak bos ngelakuin hal mesum ke kamu.""Ehehehe," Nilam tertawa canggung. "Ga kok, Mba. Semuanya aman terkendali kok. Nggak ada yang namanya berbuat mesum di dalam sana," ucap Nilam yang jelas saja full kebohongan. "Kita, cuma omongin pekerjaan aja kok."Rina dan Talita saling melempar pandang satu sama lain. Sebenarnya mereka masih belum puas dengan jawaban Nilam. Tapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak jika Gadis itu sendiri sudah berkata begitu."Yakin nih?""Hm.""Kalau dia macam-macam, Kamu beneran bisa loh ngomong sama kita." Rina menepuk-nepuk pelan bahu Nilam. "Kamu ga usah takut atau khawatir. Walaupun kita ini cuma karyawan dengan gaji yang pas-pasan, tapi kita nggak boleh takut kalau ada orang kaya yang menginjal-injak harga diri kita."Nilam meri
"Kamu gak makan?" tanya Jean kemudian. "Atau kita makan sama-sama aja abis ini?""Gak bisa, Pak. Aku mau makan sama Mba Rina dan Mba Talita. Udah janjian tadi. Abis ini aku mau turun nemuin mereka."Jean mengangkat sebelah alisnya, seolah tidak puas dengan jawaban Nilam. "Apa aku gak boleh ikut?"Nilam menatap Jean dengan pandangan geli. "Pak Jean, masa bos makan bareng karyawan biasa? Nanti mereka malah gak nyaman."Jean berpura-pura merenung sejenak sebelum akhirnya tersenyum jahil. "Kalau aku maksa ikut gimana?"Nilam mendengus pelan, menutup wajahnya dengan tangan. Pipinya yang bersemu merah semakin kentara. "Ya ampun, Pak Jean! Jangan kekanak-kanakan deh!"Jean tertawa pelan melihat reaksi Nilam yang semakin menggemaskan di matanya. "Baiklah, aku gak akan maksa. Tapi kamu harus janji, nanti setelah jam kerja selesai, kita makan malam berdua."Nilam menatap Jean, ingin menolak, tapi tatapan pria itu terlalu hangat dan penuh harapan. Ia akhirnya menyerah dan mengangguk pelan. "Oke,
"Surya!"Pria itu sedang menikmati secangkir kopi panas, rokok di sela jarinya, lengkap dengan sepiring pisang goreng ketika Bu Mala datang menghampirinya."Iya Nyonya." Dia hampir keselek ketika wanita paruhbaya itu datang. "Ada apa?""Daritadi aku mau nanyain ini ke kamu tapi lupa terus.""Nanya apa Nya?"Bu Mala duduk di kursi kosong sebelah Surya. Ekspresi wajahnya yang serius itu membuat supir pribadinya agak was-was."Kenapa kamu gak ngomong kalau Nilam kerja di perusahaan Jean?"Surya kaget. Matanya membesar namun sejurus kemudian ia tampak kembali santai. "Bingung saya Nyonya.""Bingung? Bingung gimana maksud kamu?""Ya bingung, Nyonya. Soalnya Mas Jean sendiri yang minta saya buat gak ngasih tau masalah ini ke Ibu. Soalnya apa yang harus dikhawatirkan, orang Mba Nilam aja amnesia dan gak inget siapa Mas Jean." Surya menjawab dengan sedikit ragu dan juga rasa gugup. Apalagi melihat ekspresi tegang lawan bicaranya. Seolah-olah dia sudah mengantisipasi kalau akan kena marah sete
"Urusan apa?"Nilam menelan ludah. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia menunggu Jean. Semua orang di kantor hanya tahu kalau ia dan Jean sebatas atasan dan bawahan, belum ada yang tahu hubungan mereka lebih jauh."Aku nunggu Bos Jean.""Hah? Ngapain? Kaliaaan, mau pulang bareng?" tebak Talita tepat sasaran."Enggak!" Nilam segera membantah. "Sebenarnya aku mau menemani Pak Jean meeting ama klien. Sekalian makan malam," jawabnya bohong.Rina dan Talita saling melemparkan pandangan. " Klien apa klien?" goda mereka kompak.Nilam berdehem, mencoba menutupi rasa malu dan juga gugupnya. "Apa sih? Kita beneran ada meeting kok."Talita dan Rina saling bertukar pandang sebelum akhirnya menghela napas panjang. Mereka mencoba mempercayai ucapan Nilam yang mengatakan bahwa ia akan menemani Jean untuk meeting. Walaupun percayanya gak sampai 30%. Apalagi sejak kejadian di kantor kemarin, dan kemarinnya lagi."Ya udah deh kalau gitu! Kapan-kapan abis ngantor kita ngopi-
"Kapan aku bisa bertemu Bu Mala?" Nilam hendak mengatakan sesuatu, tapi ponselnya lebih dahulu berbunyi hingga membuat fokusnya buyar. "Hah?!" Melihat Nilam yang kaget setelah memeriksa ponselnya, Jean pun bertanya, "Dari siapa?" "Mama," jawab gadis itu lesu. "Emang Bu Mala bilang apa?" "Dia nanya pulang jam berapa biar Surya jemput." Nilam melemparkan pandangannya ke arah Jean. "Kasih tau aku Pak, aku harus bilang apa ke Mama?" "Ya bilang aja kalau kamu pulang denganku?" balas Jean dengan santainya. Perempuan cantik itu menyipitkan pandangannya. Seperti sedang menimbang-nimbang perkataan Jean barusan. "Oke." "Oke?" Jean mengulang ucapan Nilam. "Tumben kamu jujur kalau—" "Aku akan bilang ke Mama kalau pulang telat karena harus ketemuan sama Nana. Pasti Mama gak akan curiga." Ia tersenyum lebar setelah menyusun kata-kata untuk membohongi sang Mama. Jean sedikit syok saat mendengar ucapan perempuan itu. Dia pikir Nilam akan berkata sejujurnya pada Bu Mala, tapi ternyata tebaka
"Aku gak bakal biarin Mama hidup susah. Aku janji, Ma! Aku bakal balikin semuanya!" suara Dikta bergetar penuh tekad.Bu Sinta menggeleng perlahan. "Dikta... semua sudah berlalu. Yang penting sekarang kita harus mulai dari awal dengan cara yang benar, Nak. Jangan terjerumus lagi ke dalam kesalahan yang sama. Mama gak mau jauh dari kamu lagi.""Gak bisa Ma! Kita harus bangkit!""Mau bangkit gimana? Gak ada yang mau nolong kita Dikta. Semua orang pergi saat kita susah, apalagi saat tau kamu itu seorang pem—" Bu Sinta menggigit bibirnya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak melanjutkan kalimat yang mungkin bisa menyakiti hati anaknya.Dikta tersentak, matanya menatap nanar ke arah sang Mama. Ia merasa bersalah karena telah membuat ibunya menderita. "Maafkan aku Ma.""Nak— sekarang lebih baik kita berjuang untuk masa depan. Kamu coba cari kerjaan, apa aja gak masalah yang penting kita ada pemasukan," pinta wanita dengan kerutan di wajah dan lehernya tersebut. "Sambil kamu cari pekerjaan,
"Nak, Mama kangen banget sama kamu." Suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. "Akhirnya, Mama bisa bebasin kamu juga. Mama bersyukur sekali." Sosok itu— Dikta balas memeluk ibunya, merasakan betapa ringkih tubuh wanita itu kini. Sesekali, ia mengecup puncak kepala sang ibu, mencoba menenangkan diri dari gelombang perasaan yang menerpanya. "Dikta, kamu harus janji, nggak akan ngulangin kesalahan yang sama lagi!" pinta Bu Sinta, memegang wajah putranya agar ia menatap langsung ke matanya. "Kamu harus janji sama Mama bakal berubah jadi orang yang lebih baik setelah ini." Dikta mengangguk pelan. "Iya, Ma. Aku janji nggak akan ngecewain Mama lagi. Makasih ya, udah berjuang buat aku." Bu Sinta tersenyum lega, menepuk pipi anaknya dengan lembut. "Ayo pulang, Nak. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu." Tanpa banyak bicara, Dikta meraih tas jinjing besarnya dan mengikuti ibunya menuju mobil yang terparkir di depan. Saat ia masuk ke dalam mobil, aroma khas rumah yang sudah lama ia r
"Ayo tebak lagi," sahut Jean sambil menggoda putrinya."Ooh, aku tau..." Qila menjentikkan jarinya. "Papa pasti happy karena mau ketemu Mba Nilam kaaaan...""Sok tau.""Ya aku tau lah. Papa kan suka gitu kalau ketemu cewek cantik."Jean hanya menggeleng, sementara Qila tersenyum penuh arti. "Hush! Anak kecil gak boleh ngomong aneh-aneh.""Tapi aku bener kan, Pa?" Qila menyipitkan matanya penuh selidik. Dia sangat mirip Elisha jika sedang curiga."Gak tau." Jean menanggapi dengan santai. Sementara Qila terus mencecarnya karena penasaran. Bahkan anak itu terus saja menggoda sang Papa hingga keduanya sampai di gerbang sekolah Qila.Nilam tengah sibuk menuangkan kopi ke dalam cangkir ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkar di pinggangnya. Napas hangat menyentuh telinganya, membuatnya hampir tersentak."Pagi, cantik," suara berat itu berbisik di dekat telinganya.Nilam langsung mengenali suara itu dan menghela napas, setengah geli, setengah pasrah. "Pak Jean, bisa gak sih sekali aja kam
"Aku penasaran siapa orang itu dan— gimana keadaannya?"Jean agak kaget karena pertanyaan Nilam. Namun, ia segera menguasai dirinya dan mencoba bersikap santai. "Kenapa kamu tiba-tiba penasaran soal itu?" tanyanya sambil tetap fokus menyetir.Nilam menghela napas pelan. "Aku cuma penasaran aja, Pak Jeaaan. Emang gak boleh?"Jean mengetatkan genggaman di kemudi, lalu menghela napas. "Nilam, lebih baik kamu gak usah nanya soal itu lagi. Aku sudah menangani semuanya, dan orang itu sudah menerima konsekuensinya.""Maksudnya gimana? Dia dipenjara?" Nilam menatap Jean dengan ekspresi penuh selidik.Jean mengangguk pelan. "Ya, dia sudah dihukum sesuai dengan perbuatannya. Yang penting sekarang, kamu selamat dan bisa menjalani hidup dengan baik. Itu yang lebih penting."Nilam masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Jean, tapi ia memilih untuk tidak mendesaknya lebih jauh. Lagipula, ia masih punya satu pertanyaan lain yang sejak tadi mengganjal di kepalanya."Pak Jean, boleh aku tanya
"Tentu. Kamu mau nanya apa?"Perempuan itu meletakkan garpunya di atas piring dan menarik napas dalam sebelum akhirnya bertanya, "Mba Qila kalau pas bapak kerja ama siapa?"Jean agak terkejut saat mendengar pertanyaan perempuan itu. Namun sejurus kemudian senyum lebar melekat di wajahnya. "Qila di rumah sama ART. Kadang Bibi sama Neneknya datang ke rumah buat jagain dia.""Ohh."Ia menatap perempuan di seberang mejanya dengan raut penuh rasa penasaran. "Kenapa? Kamu khawatir sama dia?"Nilam mengangguk. "Iya. Apa dia gak kesepian karena sering di tinggal? Apalagi kamu kan sibuk?"Jean terdiam beberapa saat, seolah mempertimbangkan sesuatu yang berat. "Jelas saja dia kesepian. Makanya kalau dia sedang ingin ke kantor, aku dengan senang hati menuruti keinginannya. Lagipula, Qila itu anak yang sangat pengertian."Nilam mengangguk paham. "Bener juga sih. Dia anaknya juga keliatan baik dan ceria banget.""Iya. Aku juga bersyukur dia tumbuh dengan baik meskipun—" Jean tidak melanjutkan kali
"Kapan aku bisa bertemu Bu Mala?" Nilam hendak mengatakan sesuatu, tapi ponselnya lebih dahulu berbunyi hingga membuat fokusnya buyar. "Hah?!" Melihat Nilam yang kaget setelah memeriksa ponselnya, Jean pun bertanya, "Dari siapa?" "Mama," jawab gadis itu lesu. "Emang Bu Mala bilang apa?" "Dia nanya pulang jam berapa biar Surya jemput." Nilam melemparkan pandangannya ke arah Jean. "Kasih tau aku Pak, aku harus bilang apa ke Mama?" "Ya bilang aja kalau kamu pulang denganku?" balas Jean dengan santainya. Perempuan cantik itu menyipitkan pandangannya. Seperti sedang menimbang-nimbang perkataan Jean barusan. "Oke." "Oke?" Jean mengulang ucapan Nilam. "Tumben kamu jujur kalau—" "Aku akan bilang ke Mama kalau pulang telat karena harus ketemuan sama Nana. Pasti Mama gak akan curiga." Ia tersenyum lebar setelah menyusun kata-kata untuk membohongi sang Mama. Jean sedikit syok saat mendengar ucapan perempuan itu. Dia pikir Nilam akan berkata sejujurnya pada Bu Mala, tapi ternyata tebaka
"Urusan apa?"Nilam menelan ludah. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia menunggu Jean. Semua orang di kantor hanya tahu kalau ia dan Jean sebatas atasan dan bawahan, belum ada yang tahu hubungan mereka lebih jauh."Aku nunggu Bos Jean.""Hah? Ngapain? Kaliaaan, mau pulang bareng?" tebak Talita tepat sasaran."Enggak!" Nilam segera membantah. "Sebenarnya aku mau menemani Pak Jean meeting ama klien. Sekalian makan malam," jawabnya bohong.Rina dan Talita saling melemparkan pandangan. " Klien apa klien?" goda mereka kompak.Nilam berdehem, mencoba menutupi rasa malu dan juga gugupnya. "Apa sih? Kita beneran ada meeting kok."Talita dan Rina saling bertukar pandang sebelum akhirnya menghela napas panjang. Mereka mencoba mempercayai ucapan Nilam yang mengatakan bahwa ia akan menemani Jean untuk meeting. Walaupun percayanya gak sampai 30%. Apalagi sejak kejadian di kantor kemarin, dan kemarinnya lagi."Ya udah deh kalau gitu! Kapan-kapan abis ngantor kita ngopi-
"Surya!"Pria itu sedang menikmati secangkir kopi panas, rokok di sela jarinya, lengkap dengan sepiring pisang goreng ketika Bu Mala datang menghampirinya."Iya Nyonya." Dia hampir keselek ketika wanita paruhbaya itu datang. "Ada apa?""Daritadi aku mau nanyain ini ke kamu tapi lupa terus.""Nanya apa Nya?"Bu Mala duduk di kursi kosong sebelah Surya. Ekspresi wajahnya yang serius itu membuat supir pribadinya agak was-was."Kenapa kamu gak ngomong kalau Nilam kerja di perusahaan Jean?"Surya kaget. Matanya membesar namun sejurus kemudian ia tampak kembali santai. "Bingung saya Nyonya.""Bingung? Bingung gimana maksud kamu?""Ya bingung, Nyonya. Soalnya Mas Jean sendiri yang minta saya buat gak ngasih tau masalah ini ke Ibu. Soalnya apa yang harus dikhawatirkan, orang Mba Nilam aja amnesia dan gak inget siapa Mas Jean." Surya menjawab dengan sedikit ragu dan juga rasa gugup. Apalagi melihat ekspresi tegang lawan bicaranya. Seolah-olah dia sudah mengantisipasi kalau akan kena marah sete
"Kamu gak makan?" tanya Jean kemudian. "Atau kita makan sama-sama aja abis ini?""Gak bisa, Pak. Aku mau makan sama Mba Rina dan Mba Talita. Udah janjian tadi. Abis ini aku mau turun nemuin mereka."Jean mengangkat sebelah alisnya, seolah tidak puas dengan jawaban Nilam. "Apa aku gak boleh ikut?"Nilam menatap Jean dengan pandangan geli. "Pak Jean, masa bos makan bareng karyawan biasa? Nanti mereka malah gak nyaman."Jean berpura-pura merenung sejenak sebelum akhirnya tersenyum jahil. "Kalau aku maksa ikut gimana?"Nilam mendengus pelan, menutup wajahnya dengan tangan. Pipinya yang bersemu merah semakin kentara. "Ya ampun, Pak Jean! Jangan kekanak-kanakan deh!"Jean tertawa pelan melihat reaksi Nilam yang semakin menggemaskan di matanya. "Baiklah, aku gak akan maksa. Tapi kamu harus janji, nanti setelah jam kerja selesai, kita makan malam berdua."Nilam menatap Jean, ingin menolak, tapi tatapan pria itu terlalu hangat dan penuh harapan. Ia akhirnya menyerah dan mengangguk pelan. "Oke,