"Maunya sih gitu Mas," balas Elisha diiringi senyum tipis. "Tapi kan aku pulangnya nggak nentu. Malah kasian kamu kalau harus nungguin aku pulang."
Perempuan itu meraih tangan suaminya yang tergeletak di atas paha. Menggenggamnya erat dengan tatapan penuh binar cinta."Ya kalau itu demi kamu, aku rela kok nunggu berapa lama pun," balas Jean sambil mengecup punggung tangan istrinya."Terus Qila gimana?""Ya aku ajak jemput kamu."Elisha tertawa kecil. "Ngaco kamu Mas."Entah ini karena efek mereka akan anniversary atau hubungan keduanya yang kian menghangat. Kedua pasangan suami istri itu terlihat seperti pasutri baru saja.Minta berapa lama mereka berdua pun tiba di kantor Elisha. Suasana di tempat parkir memang sedikit ramai. Maklum saja, hari ini perempuan berusia 28 tahun itu sengaja berangkat sedikit siang karena memang akhir pekan.Dengan sigap, Jean membantu sang istri untuk menurunkan koper perempuan itu.Jean memejamkan matanya, lalu kembali menatap lurus ke arah perempuan yang 8 tahun lebih muda dibandingkan dirinya. "Aku tau alasan sebenarnya kamu resign, karena kamu nggak mau ketemu sama aku lagi kan?" tuduhnya.Nilam menatap balik ke arah pria yang lebih tinggi darinya ini. "Itu alasan kedua setelah apa yang saya katakan tadi pagi. Tapi saya punya banyak alasan lain, kenapa pada akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah ini.""Apa? Coba sebutkan satu-satu. Aku dengar alasan kamu!" titah Jean dengan nada bossy.Tatapan intens Jean berhasil mengetarkan sanubari seorang Nilam. Biasanya tidak terlalu tertarik dengan yang namanya laki-laki kecuali untuk memoroti hartanya. Tapi, eentah kenapa saat Jean memandanginya seperti sekarang, jantung bilang justru berdetak berkali-kali lebih kencang dari biasanya."Jawab aku Nilam!" perintah pria itu dengan tidak sabaran. "Apa salah satu alasan kamu itu ada hubungannya dengan penolakanku kemar
Elisha mengerutkan keningnya. "Soal apa ya Pak?""Seperti apa rasanya jatuh cinta itu?"Wanita dengan rambut tergerai di belakang punggung itu cukup kaget saat mendengar pertanyaan Dikta. Jatuh cinta? Pertanyaan konyol macam apa itu?"Maaf nih Pak, emangnya— bapak belum pernah jatuh cinta ya sebelumnya? Kok bisa-bisanya bapak nanya kayak gitu?"Dikta mendengus. "Emang enggak pernah. Selama ini aku dekat dengan perempuan bukan karena cinta tapi karena butuh sama butuh aja. Aku butuh teman untuk ngobrol dan melakukan seks, sedangkan si perempuan butuh uang-uangku untuk diri mereka. Kurang lebih sama seperti hubungan kita sekarang ini."Elisha mendesah panjang. Jika soal itu, Elisha sangat paham maksudnya."Memangnya Bapak nggak pernah ya ngerasa berdebar-debar saat liat seorang wanita? Atau merasa salah tingkah ketika berdekatan dengan seorang gadis?" tanya Elisha lagi. Bahkan saking seriusnya membahas masalah perasaan, ia sampai d
["Kamu tenang aja Sha, semuanya udah beres kok. Kamu tinggal datang sambil dandan yang cantik."]"Emang kalo aku lagi nggak dandan, keliatan jelek gitu?"Dikta langsung berdehem ketika mendengar pertanyaan si sekretaris. Ternyata perempuan yang terlihat pendiam ini, bisa manja juga jika di depan suaminya.["Kamu cantik kok biarpun tanpa make up. Tapi, kalau pake make up, lebih cantik lagi sayang."]"Kamu bisa aja Mas." Elisha sama sekali tidak menggubris tatapan dingin Dikta yang ditujukan kepada. Ia masih saja bersikap santai sambil mengobrol dengan Jean suaminya.["Nanti, kalau udah sampai Bali, jangan lupa kasih kabar ya!"]"Iya Mas. Kamu nggak usah cemas, pokoknya aku bakal ngasih kabar ke kamu setiap jam," ujar perempuan itu lagi. "Oh ya, aku boleh ngomong sama Qila bentar nggak?"["Boleh dong. Bentar ya! Aku kasih Qila dulu ponselnya."]["Halo Ma."]"Halo Qila sayaaang, kamu lagi apa?"Be
Mendengar suara Dikta yang sedekat itu dengannya membuat Elisha reflek menoleh. Sayangnya, hal itu justru membuat bibir keduanya langsung bersentuhan tanpa sengaja."Eh— maaf Pak!" Elisha mundur beberapa langkah sambil menutup bibirnya. "Bapak ngagetin soalnya."Dikta menjilat bibir bawahnya sambil tersenyum. "Kalau kamu lagi pengen, kita bisa lakuin itu di dalem kok."Elisha menggeleng. "Aneh-aneh aja bapak ini!""Mana key card-nya? Aku mau masuk dan mandi. Udah capek banget soalnya?" tanya Dikta sambil menodongkan tangannya. Meminta kunci kamar hotel yang sejak tadi di bawah oleh Elisha."Ini Pak."Dengan sekali tempel, pintu kamar mereka pun terbuka. Tentu saja Dikta langsung masuk ke dalam tanpa banyak merasa sungkan. Beda dengan Elisha yang malah bengong dan masih berdiri di posisinya."Kamu nggak mau masuk?" tanya Dikta di balik pintu. Ia menatap heran si Elisha yang malah membatu itu."Eh, iya Pak."
Jika Elisha dan Dikta sedang menikmati momen berduaan di hotel, berbeda dengan pria yang satu itu.Jean tidak bisa tidur malam ini. Selama 9 tahun pernikahan baru kali ini ia jauh dari istrinya. Terkesan lebay memang, tapi itukah faktanya. Meskipun sering bertengkar, mereka jarang pisah kamar atau berjauhan seperti ini.Ia merasa sedikit hampa.Bosan di kamarnya, Jean memutuskan untuk ke dapur dan mengerjakan lanjutan novelnya yang harus segera ia setor ke penerbit. Di temani laptop dan secangkir kopi, ia mengerjakan tugasnya dengan santai.Beberapa saat berlalu, tiba-tiba ia melihat Nilam muncul dari arah depan dan berniat untuk masuk ke area dapur. Tapi—"Ngapain puter balik? Kayak liat setan aja?"Nilam membeku. Padahal dia balik badan supaya tidak ketahuan Jean. Tapi sayangnya dia salah kaprah."Kalau mau ambil minum ya ambil aja! Nggak usah sungkan," ucap Jean lagi.Nilam akhirnya memilih untuk meneruskan n
"Nilam...""Nilam..."Jean celingukan di sekitar rumahnya, mencari di mana keberadaan wanita itu. Dia sudah berpesan pada Nilam untuk segera bersiap agar mereka bisa langsung berangkat ke mall.Tapi, dipanggil beberapa kali gadis itu tidak muncul juga. Hingga membuat Jean jengah dan langsung menghampiri perempuan itu ke kamarnya."Nilam... Ni— lho?! Kok kamu belum siap-siap?" Jean menganga melihat Nilam duduk-duduk di ranjang sambil mengayun-ayunkan kakinya."Saya sakit perut Pak," ucapnya yang langsung berinisiatif untuk memegangi perutnya. Bukan hanya itu Nilam sengaja berakting seolah-olah sakit parah. "Aduuuh, sakit banget nih perut," dustanya."Kamu nggak bohong kan?" tanya Jean sangsi. "Muka kamu nggak keliatan lagi kesakitan soalnya."Nilam berdecak. Sepertinya dia memang tidak cocok untuk menjadi aktris. Buktinya saja, Jean tidak percaya dengan akting yang dia tampilkan."Tuh kan, kamu bohong!" tukas Jea
Ketika Elisha selesai mandi, ternyata makanan yang dipesan oleh Dikta juga sudah siap di atas meja. Sedangkan bosnya itu duduk di salah satu bangku di sana sambil memainkan ponselnya dengan santai seperti biasanya."Wah, makanannya sudah datang dari tadi Pak?" tanya Elisha penasaran."Enggak kok. Baru aja dateng."Elisha mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berjualan mendekati si Bos. "Bapak mau mandi dulu atau gimana?""Kita makan aja dulu," jawab Dikta sambil meletakkan ponselnya di atas meja.Istri sah Jean itu menatap mangkuk sup iga, ayam betutu, dan sate lilit. Juga dua kelas lemon tea yang tampak segar."Karena kita sedang berada di Bali, makanya aku pesan makanan kayak gini. Aku harap kamu suka dengan menu-menu yang aku pesan." Dikta memandangi sekretarisnya yang tampak tersenyum anggun."Apapun yang kamu pesan, pasti aku makan kok.""Bagus deh."Elisha mengambil lemon tea terlebih dahulu. Gara-
"Gimana menurut kamu? Aku cocok nggak pakai kemeja sama jas warna ini?"Nilam yang sedang bersantai di dalam kamarnya, langsung dibuat melongo ketika majikannya datang dan masuk ke dalam ruangan pribadinya sambil menunjukkan penampilannya yang begitu gagah malam ini.Gadis cantik berkulit putih itu cukup terkesima melihat penampilan Jean. Badan kekarnya terlihat pas saat mengenakan kemeja warna putih dengan jas berwarna abu tua. Rambut yang terbiasa acak-acakan kini terlihat klimis dan lebih stylish. Lelaki yang terbiasa memakai kaos polos serta celana berbentuk longgar itu terlihat begitu tampan sekarang ini. Mirip CEO yang sering Nilam goda saat di klub malam."Nilam, Aku minta pendapat kamu, bukan malah ngeliat kamu bengong kayak gitu."Nilam mengatupkan bibirnya. "Gimana ya Pak. Saya bingung mau komen apa.""Tinggal bilang cocok apa enggak aja ribet banget kamu, Nilam," sindir Jean."Ehm..." Nilam menggosok dagunya. Alisnya b
"Kali ini lo bakal habis di tangan gue, Sha. Gue udah muak banget ama tingkah laku, lo!"Siapa yang tidak gemetaran ketika ada seseorang berkata seperti itu dengan wajah mengancam. Ekspresi wajah Dikta sudah seperti malaikat pencabut nyawa. Yang seakan sudah siap menghabisi nyawanya."K- kamu ngomong apa sih? Kamu cuma gertak aja kan?" Sambil mundur ke belakang, Elisha coba bertanya demikian. Jantungnya sudah berdegup kencang ditambah sorot mata tajam Dikta yang seolah serius dengan ucapannya.Dikta menyeringai. Wajah ketakutan Elisha membuat darahnya berdesir penuh semangat. Adrenalinenya seperti terpacu melihat keringat dingin membasahi wajah wanita itu."Kenapa? Lo takut sekarang?" desis Dikta. "Mana nyali lo tadi, hah? Mana gertakan lo tadi, Sha? Kenapa sekarang lo menciut gini?"Elisha tak bisa berbicara. Ia hanya menelan ludah beberapa kali ketika Dikta mencengkram wajahnya dengan satu tangan. Dan jujur, itu membuat rahangnya sakit."Jangan macam-macam Dikta!""Kenapa? Sekarang
"Hm?" Nana mengerutkan keningnya. "Maksudnya?""Tante nyuruh Jean putus sama Nilam, Na," aku Bu Mala. "Tante pikir, Jean itu cuma pembawa sial dan nggak bisa tegas ama masa lalunya. Makanya Tante minta dia buat jauhin Nilam."Nana menjilat bibir bawahnya. Sekarang dia paham kenapa Jean pamit dan menyuruhnya untuk menjaga Nilam selama dia pergi."Emang kurang ajar banget si Elisha sama Dikta. Mereka itu beneran kayak ular berbisa." Bu Mala terlihat mengumpat kesal karena kelakuan dua orang itu."Rasanya Tante pengen temuin mereka terus ngelabrak Elisha. Mereka bikin Tante emosi," umpat Bu Mala."Itu nggak perlu kok, Tante.""Hem?""Jean lagi bekerja buat bongkar semua kebusukan mantan istrinya itu."Bu Mala kian lesu ketika mendengar ucapan Nana. "Yang bener kamu?""Iya, Tante. Terakhir kali aku dapat info kalau pelaku penabrakan Nilam udah ketangkep. Dan ternyata pelakunya itu orang suruhan Elisha." Nana memang tau semuanya. Jean menganggap Nana sebagai orang yang bisa dia andalkan. K
Di mobil polisi, Elisha terus menerus memantau keadaan. Ia menunggu bantuan Dikta datang untuk menolongnya bebas dari tuduhan. Tapi setelah 30 menit ia meninggalkan SPBU, ia tidak melihat tanda kemunculan dikta di sekitarnya.'Apa Dikta bohong ya?''Jangan-jangan dia nggak mau nolongin aku?'Pikiran Elisha mulai kacau. Dia begitu kesal karena sang Bos sudah tega mengabaikan dirinya.'Lihat aja si Dikta. Kalau sampai malam ini dia nggak muncul, aku jamin semua rahasia miliknya akan terbongkar secepatnya.' Wanita 29 tahun itu sudah menyiapkan begitu banyak ancang-ancang untuk menyerang bosnya. Dia tidak rela kalau harus mendekam di tahanan seorang diri.'Aku harus bagaimana? Dikta— beneran nggak bisa diandalkan.''Sumpah ya! Aku bakal bilang ke pihak berwajib kalo dia juga turut andil atas kecelakaan Nilam. Biarin aja dia tau rasa.'Disaat Elisha sedang menyusun rencana, tiba-tiba terdengar suara decitan yang cukup nyaring. Disusul dengan suara brak yang keras tak jauh di depan sana.Ke
Elisha di giring ke mobil polisi. Dia di paksa masuk ke dalam dengan tangan di borgol ke depan. Wanita itu tidak banyak bicara dan terus menunduk. Otaknya terus bekerja memikirkan cara untuk bisa menelfon Dikta. Sementara hatinya harus kuat dengan tidak menengok ke arah Qila yang memanggil namanya.'Aku harus cari cara supaya bisa telfon Dikta. Aku nggak mau masuk penjara. Aku nggak mau mendekam di sana.'Perempuan itu menatap jalanan di depannya. Ia benar-benar tak bisa berkutik karena diapit oleh dua petugas kepolisian. 'Seenggaknya, kalau aku emang harus jadi tersangka, Dikta harus bantuin aku cari pengacara terbaik. Pokoknya aku harus bebas.'Selama 30 menit perjalanan, Elisha tidak banyak berbicara. Dia sibuk berpikir untuk meloloskan diri. Sampai akhirnya..."Pak!""Kenapa?""P-perut saya sakit banget. Kita boleh nggak mampir ke toilet dulu?""Toilet? Enggak-enggak! Pasti itu alasan kamu aja kan supaya bisa cari cela buat kabur?"Elisha masih berusaha tenang meskipun rencananya
"Yakin kamu nggak salah, Sha?"Wanita itu seketika bungkam ketika Jean muncul di belakang para petugas kepolisian. "M-mas Jean?""Aku tau kamu terlibat atas kecelakaan itu, Sha. Jadi kamu jangan ngelak lagi!""M-mana buktinya kalau aku terlibat?"Jean menatap tajam ke arah Elisha, sementara tangannya bergerak untuk mengeluarkan ponselnya. "Dengerin ini baik-baik!"Elisha menelan ludah saat Jean mulai memutar rekaman di ponsel itu. Di mana ada suara Dita yang mengakui semua perbuatannya. Tidak cuma itu, di dalam rekaman tersebut Dita juga mengatakan jika semua yang dia lakukan atas paksaan Elisha."Kamu masih mau ngelak?" desis Jean setelah ia selesai memutar rekaman tersebut."Enggak! Itu nggak bener Mas! Itu fitnah!""Bu Elisha, tolong jangan melawan!" ucap salah satu pihak kepolisian. "Lebih baik ibu ikut kita ke kantor polisi dan jelasin semuanya di sana.""ENGGAK!" Elisha masih membantah. Ia bahkan berusaha melepaskan cengkraman pihak berwajib dari kedua lengannya. "Saya nggak sal
"Kamu pengen nggak papa balik lagi sama kita?" tanya Elisha."Balik gimana, Ma?""Maksud Mama, Papa bisa tinggal bareng lagi ama kita, sayang. Bertiga kayak dulu.""Uhm." Qila mengetuk-ngetuk ujung dagunya. Terlihat berpikir keras.Sementara Elisha menunggu jawaban putrinya dengan sabar."Gimana Qila? Kamu pengen kan Papa tinggal bareng sama kita?"Setelah berpikir beberapa saat, Qila pun menggeleng sebagai jawaban, "Enggak Ma.""Hah?" Jawaban putrinya itu membuat Elisha tak terbelalak. Tak menyangka Qila akan berkata seperti itu padanya. "K-kenapa Qila sayang? Padahal kalau Papa ada sama-sama dengan kita, bukannya hidup kita bakal lebih menyenangkan?""Qila lebih suka gini, Ma," jawab bocah polos itu lagi. "Sejak Papa dan Mama tinggalnya di rumah yang berbeda, Papa dan Mama jadi jarang berantem."Elisha membeku. Jawaban putrinya sangat tidak terduga sama sekali."Dulu, waktu Papa dan Mama masih tinggal sama-sama, hampir tiap malam Qila denger kalian bertengkar.dan itu bikin Qila taku
"Sialan!" umpat Dikta sambil memukul setir mobil. "Padahal sedikit lagi gue bisa nyium Nilam, tapi malah ada orang lain yang datang. Dasar sial!"Pria 24 tahun ini, mencoba untuk rileks. Dia tak mau ambil pusing gara-gara nyaris ketahuan. "Bodoh amat kalau itu perempuan laporan ke Bu Mala. Yang penting sekarang, gue bisa kabur."Dikta menarik nafas panjang, sebelum menyalakan mobilnya. Dia bersiap untuk pergi dari sana saat ponselnya mendadak berbunyi."Ck! Siapa sih yang nelfon!" umpatnya sedikit emosi."Duh— ngapain lagi ini perempuan?" Dikta memutar kedua bola matanya saat melihat nama Elisha tertera di layar hapenya."Halo Sha? Kenapa telpon?" tanya Dikta sesaat setelah menerima panggilan tersebut.["H- hallo Pak."]"Elisha? Kamu kenapa? Kok suara kamu kayak ketakutan gitu?" Dikta terlihat ikut panik ketika mendengar suara Elisha dari line seberang. Dia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada janda itu.["T-tolong aku Pak. A-aku takut sekali."]***Beberapa jam sebelumny
"Nilam itu emang aneh," keluh Bu Mala setelah mendengar cerita Dikta. "Padahal ada kamu yang lebih mapan, muda, single pula. Tapi malah bucin ama duda." "Mungkin cuma Jean yang bisa buat dia nyaman, Tante." "Tapi kalau plin-plan dan nggak tegas ya buat apa?" balas wanita paruh baya itu. "Mending kamu kan— lebih jelas dan berkomitmen." Dikta tersenyum miring mendengar pujian Bu Mala untuknya. Siapa yang tidak besar kepala jika terus dipuji begitu. "Tapi dulu Tante juga kagum kan ama kegigihan Jean." Bu Mala menghela nafas panjang. Dia akui, dulu ia sampat merasa kagum pada Jean yang tampak bertanggung jawab. Dan dia suka dengan sifat tersebut. Tapi kembali lagi, Jean yang terlalu baik pada mantan istrinyalah yang membuat bu Mala muak. "Nggak usah bahas masa lalu, Dikta. Soalnya Tante juga rada nyesel pernah puji-puji Jean di forum waktu itu." Dikta menyembunyikan wajah girangnya karena Bu Mala tak lagi ada di pihak Jean. "Oh ya, kamu sibuk nggak?" "Hm? Kenapa Tante?" Dikta menol
"Malem Tante."Bu Mala hampir tertidur saat seseorang masuk ke dalam kamar rawat Nilam. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah sayu menahan kantuk dan lelah."Dikta? Apa kabar?"Bu Mala berdiri menyambut CEO muda tersebut. Sementara lawan bicaranya tampak menyunggingkan senyum tipisnya."Aku baik, Tante," jawab Dikta. "Maaf ya Tante, aku baru sempat jenguk Nilam sekarang. Kalau bukan karena dikasih tau Mama, mungkin aku nggak akan tau kalau Nilam sedang di rawat," ucap Dikta yang begitu lihai bersilat lidah.Bu Mala tersenyum maklum. Dia memang tidak terlalu gembar-gembor perihal kondisi sang putri. Jadi hanya beberapa orang terdekatnya saja yang tau mengenai keadaan Nilam."Nggak apa kok, Dikta. Tante juga paham kalau kamu sibuk.""Iya, Tante. Makanya saya baru sempat ke sini."Bu Mala mengangguk. Lalu mempersilahkan pria itu duduk di sofa yang khusus tersedia di ruangan tersebut."