Walaupun minuman yang mereka pesan bukan yang mengandung kadar alkohol, tetap saja minuman yang mereka pilih tergolong mewah untuk ukuran club malam. Dan tentu saja harganya tidak murah.
"Ternyata, banyak orang stres ya di Ibu kota."Celetukan Nilam itu membuat Nana yang tadinya sibuk mengamati si bartender yang sedang membuat mocktail langsung memutar duduknya dan melihat ke arah yang dituju oleh Nilam."Kenapa kamu ngomong gitu?""Liat aja di sana! Banyak banget orang-orang yang butuh hiburan dan butuh sesuatu untuk melepaskan stres mereka."Nana mendesah panjang. "Yah mau gimana lagi, Nilam, namanya juga kota besar."Perempuan 20 tahun itu memperhatikan wajah-wajah pengunjung yang sedang sibuk berdansa. Tapi ada satu orang yang menarik perhatiannya, seorang wanita yang sepertinya pernah ia lihat sebelumnya.Wanita yang sedang berdansa dengan seseorang yang juga tampak tidak asing sebelumnya. Menari sembari meliuk-liuk"Siapa?"Pertanyaan Nana yang terdengar berbisik di telinga Nilam, nyaris saja membuat jantung mantan pembantu cantik itu copot. "Apa sih, Na! Lo bikin gue kaget aja!"Nana mengerutkan keningnya. Dia menatap Nilam yang merosot duduk di lantai sambil memegangi dadanya. "Lo yang aneh! Ngapain lo lari-lari tadi? Di panggil nggak nyahut pula?"Nilam mengulurkan tangannya agar Nana membantunya berdiri. Paham dengan isyarat sang sahabat, Nana pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Nilam."Kita turun dulu aja! Nanti gue ceritain kronologinya di bawah."Nana hanya menganggukkan kepalanya sambil mengikuti langkah kaki Nilam.Dan sesuai janji, Nilam pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat Nana syok berat."Nilam! Lo nggak ngarang ceritakan? Orang yang ada di video ini beneran mantan majikan lo?""Gue emang nggak bisa liat wajahnya. Tapi dari postur tubuhnya, bajunya, rambutnya, gue yakin banget kala
Jika Nilam terpaksa pulang ke rumah karena sudah hampir dini hari. Berbeda dengan Dikta dan Elisha yang justru makin panas saja.Elisha yang sudah melepas semua bajunya, tampak bergerak naik turun dengan posisi women on top. Ia mengenggam jemari Dikta dengan kepala mendongak ke atas. Ia terus mendesah saat merasakan rahimnya disodok dengan begitu nikmat oleh rudal milik Dikta."Hhhh... Hhh... Dikta— ini enak banget. Ahh— rasanya, aku mau keluar lagi.""Keluarin aja Elisha sayang... Nggak usah sungkan," balas Dikta sambil menyeringai. Ia tampak begitu puas melihat wajah keenakan sang sekertaris."Nghhh... Hhhh..." Elisha terus mendesah. Kedua gunung kembarnya pun ikut bergoyang sesuai dengan irama gerakannya. Dibantu Dikta yang sesekali menaik turunkan pantatnya, membuat Elisha semakin dekat dengan orgasmenya yang ketiga.Dan—"Akhhhh..." Elisha mengerang nikmat. Tubuhnya bergetar beberapa kali ketika aliran kenikmatan tersebut ke
"Kamu mau ke mana lagi, Nilam?"Nilam yang sengaja jalan mengendap-endap ke luar dari rumahnya, terpaksa berhenti melangkah saat mendengar suara sang Mama.Perempuan 20 tahun itu menengok ke arah bu Mala yang sudah menatapnya tajam dengan tangan terlipat di depan dada."Aku— ada urusan bentar Ma," balas Nilam disertai senyum lebar."Urusan apa, Nilam? Kemarin kamu pulang jam 1 malam. Sekarang— pagi-pagi gini udah mau pergi lagi? Nggak betah banget kamu di rumah?" Bu Mala menghampiri Nilam yang cuma bisa cengengesan karena diomeli."Aku mau ketemu ama seseorang dulu, Ma. Urgent soalnya.""Siapa? Dan ada perlu apa?" tanya sang Mama lagi. Dan itu wajar menurut bu Mala, sebab dia sedikit kapok dengan ulah anaknya beberapa bulan yang lalu. Yang ijinnya mau nginep di rumah teman, tau-tau malah jadi ART di rumah orang kaya."Aduh, Mama kok jadi over protective gini?" keluh Nilam dengan bahu yang melemas. "Biasanya kan enggak sedetail ini kalau nanya?""Mama kapok kamu bohongin kemarin-kemari
"Bu Elisha ada?" tanya Nilam setelah teringat dengan apa tujuannya ke sini."Elisha— dia...""Bu Elisha nggak pulang ya?" potong Nilam cepat.Jean menatap heran ke arah Nilam. Bagaimana gadis ini tau kalau Elisha tidak pulang?"Kamu tau di mana keberadaan Elisha? Soalnya sejak kemarin Qila nyariin dia terus," jawab Jean apa adanya.Nilam menelan ludah. Ucapan Jean membuat gadis itu yakin jika yang kemarin itu memang benar mantan bosnya."Sebenarnya, saya ketemu bu Elisha kemarin malam," lirih Nilam sedikit ragu. Tatapan khawatir Jean ketika membahas Elisha membuat Nilam sedikit tak enak untuk mengatakan yang sebenarnya."Kamu beneran tau di mana dia?"Nilam mengangguk."Kalian ketemu di mana?""Saya— ketemu Bu Elisha di club malam, Pak. Dia pergi sama seorang pria, dan— aku pikir pria itu adalah selingkuhannya," jawab Nilam dengan sejujur-jujurnya."A- apa kamu bilang? Elisha pergi ke
"Elisha!!""Pak! Bu!" Nilam yang tidak tahan mendengar pertengkaran mereka, akhirnya menyela. "Bapak sama Ibu mending masuk ke dalam aja deh! Bicarain semuanya di dalam. Nggak enak, dilihatin sama orang-orang!"Perempuan itu memperhatikan tetangga yang sibuk mengintip di balik gerbang. Dia jadi tidak enak hati karena pertengkaran kedua mantan majikannya jadi tontonan.Elisha menatap tajam ke arah Nilam. Ia benci sekali pada perempuan muda itu. "Ini semua gara-gara kamu, Nilam! Awas aja kamu! Aku nggak biarin kamu!" ancam Elisha sebelum pergi dari hadapan Jean dan juga Nilam.Ia berjalan dengan langkah menghentak menuju ke rumahnya. Dari wajahnya, tidak ada sedikitpun raut penyesalan di sana. Ia justru merasa perselingkuhan yang dia lakukan adalah hal wajar karena Jean tidak bisa memberikan sesuatu yang dia butuhkan.Nilam menyipitkan matanya. Memandang punggung Elisha seolah-olah ingin mengulitinya. 'Dia pikir aku takut apa? Enggak ya! Ta
Saat Jean pertama kali masuk ke dalam kamarnya, ia mendapati istrinya sedang menangis tersedu di atas ranjang sambil memeluk kakinya. Elisha menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya sementara bahunya beberapa kali terguncang efek sesenggukan.Jean memandang dingin reaksi istrinya tersebut. Seolah perempuan itulah yang paling tersakiti dan menderita di sini. Padahal— seharusnya dialah yang merasa marah dan terluka akibat perbuatan jahat Elisha."Jangan bersikap seolah-olah kamu paling menderita, Elisha. Harusnya kamu sadar, kalau di sini kamu yang jadi tersangkanya!"Elisha mengangkat kepalanya. Pipinya sudah sangat basah oleh aliran air mata. "Kamu pikir aku menyukai perselingkuhan itu? Aku— aku juga terpaksa Mas!"Jean melirik sinis ke arah istrinya. Geram sekali mendengar alasan klasik Elisha. "Cih! Kamu pikir aku ini Qila yang gampang dibohongi! Aku bisa melihat dengan jelas kalau kamu juga menikmati ciuman itu, Sha!"Elisha te
Perempuan itu terkekeh. "Jadi gimana? Mau tetep pisah sama aku dan kehilangan Qila?" tanyanya perempuan itu dengan nada meremehkan. "Atau— kita mulai semuanya dari awal dan anggap aja kesalahan yang aku lakukan ini nggak pernah terjadi?"Jean terdiam. Harga dirinya benar-benar sudah diinjak-injak oleh Elisha. Perselingkuhan istrinya jelas adalah hal yang paling fatal dan tidak bisa ia terima. Sama saja ia rela membagi istrinya untuk pria lain.Tapi, jika tidak mempertahankan hubungan ini, bagaimana dengan Qila? Apa Elisha bisa menjaga putrinya itu sebaik dia? Apakah benar Elisha akan merawat anaknya dengan penuh kasih sayang sama sepertinya? Sedangkan sekarang saja, Elisha tidak pernah ada waktu untuk anak mereka."Gimana Mas? Kamu mau tetap pisah dari ku dan nggak ketemu ama Qila untuk selamanya? Atau— tetap mempertahankan hubungan kita dan bisa selalu bersama Qila?" Elisha menunggu jawaban suaminya dengan tidak sabaran. Menurutnya Jean terlalu lama saat
"Ya terus? Kenapa karena satu kesalahan yang aku perbuat kamu sampai ingin kita berpisah?" tanya Elisha."Satu kesalahan? Gila kamu!" tukas Jean tak terima."Ya terus!"Jean mendeath glare istrinya dan berucap, "Kalau mau aku jabarkan, banyak sekali kesalahan kaku itu, Sha! Apalagi perselingkuhan itu!""Tapi video itu bisa aja palsu kan? Toh wajahku nggak terlihat je—""Dita!" Saat Jean menyebut nama sahabat baiknya itu, Elisha langsung membeku. "Dita udah ngasih tau aku semuanya jauh sebelum ini, Sha. Tentang kedekatan kamu sama Bos di perusahaan kamu. Soal hubungan terlarang kalian.""Di— Dita? Kapan? Kamu pasti iseng aja kan?" Elisha memucat mendengar ucapan Jean."Saat aku nganter kamu waktu itu, Sha. Di pagi hari sebelum kita janjian untuk makan malam berdua. Dita udah ngasih tau aku semuanya, saat kamu bercanda sama Bos kamu, saat kamu masuk ke dalam mobilnya, saat kamu bermesraan di kantor. Semuanya Sha!"
“Baik, Nilam. Kalau boleh tahu, apa alasan kamu melamar di perusahaan kami? Apa yang membuat kamu tertarik?”Nilam tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih canggung. “Saya pikir, perusahaan ini menawarkan peluang yang baik untuk berkembang, dan posisinya juga sesuai dengan yang saya cari.” Jean mengamati Nilam dengan cermat. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan kecil di wajah gadis itu “Baiklah,” kata Jean, menutup berkas di depannya. “Nilam, apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini? Selain, tentu saja, penghasilan yang kamu sebutkan tadi.”Nilam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin menambah pengalaman dan belajar lebih banyak. Saya percaya, lingkungan kerja yang mendukung seperti perusahaan ini akan memberikan banyak peluang untuk itu.”"Jadi kamu kerja hanya untuk pengalaman saja?""Bukan cuma itu saja sih, Pak.""Lalu?""Saya juga cari penghasil yang lebih baik daripada pekerjaan saya yang sebelu
Jean tidak bisa membohongi dirinya lagi. Pertemuan singkat dengan Nilam tadi membuat semua kenangan yang ia pendam selama bertahun-tahun mendadak menyeruak ke permukaan. Meski tahu tidak seharusnya ia terlibat lagi dalam kehidupan Nilam, hatinya tidak bisa tenang sebelum memastikan satu hal—apakah gadis itu benar-benar mantan kekasihnya yang dulu begitu ia cintai.Ia segera bergegas menuju ruang HRD. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tetapi karena perasaan gugup yang bercampur dengan rasa rindu. Sesampainya di depan pintu, Jean mengetuk pelan sebelum masuk."Selamat siang, Pak Jean," sapa salah satu staff HRD sambil berdiri. Jean mengangguk kecil. "Siang. Aku ingin bicara sebentar, soal salah satu kandidat yang kalian interview hari ini.""Oh, tentu saja, Pak. Kandidat yang mana ya?" tanya staff itu sambil membuka berkas daftar kandidat di tangannya.Jean menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Namanya Nilam."
"Nilam udah sadar, Je. Tapi dia kehilangan memorinya selama beberapa tahun terakhir.""Bukannya itu lebih baik Tante? Supaya Nilam bisa melupakan hal-hal buruk saat sama saya.""Tapi dulu Nilam pernah bilang, meskipun menjadi pacar kamu terlalu berisiko dan berat tapi dia tetap menyukainya.""Itu karena dia yang terlalu baik Tante. Padahal kalau ga ada saya, hidup dia pasti bisa lebih baik lagi."***"Ini Pak berkasnya! Tolong jangan marah ya! Saya beneran ga sengaja." Nilam mengulurkan kertas yang dia pegang ke arah lelaki di depannya. Dia panik sekali karena sudah membuat kekacauan."P- Pak... Bapak kenapa?" beo gadis berkemeja putih itu ketika melihat si pria yang hanya melamun sambil memandanginya. 'Dia kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Apa aku cepirit di rok?' Dengan muka panik dia mengecek roknya.'Huh... Ternyata enggak.' "Pak... Bapak!""Eh- Maaf." Sentakan pelan Nilam membuat pria itu tersadar
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama