"Ya terus? Kenapa karena satu kesalahan yang aku perbuat kamu sampai ingin kita berpisah?" tanya Elisha.
"Satu kesalahan? Gila kamu!" tukas Jean tak terima."Ya terus!"Jean mendeath glare istrinya dan berucap, "Kalau mau aku jabarkan, banyak sekali kesalahan kaku itu, Sha! Apalagi perselingkuhan itu!""Tapi video itu bisa aja palsu kan? Toh wajahku nggak terlihat je—""Dita!" Saat Jean menyebut nama sahabat baiknya itu, Elisha langsung membeku. "Dita udah ngasih tau aku semuanya jauh sebelum ini, Sha. Tentang kedekatan kamu sama Bos di perusahaan kamu. Soal hubungan terlarang kalian.""Di— Dita? Kapan? Kamu pasti iseng aja kan?" Elisha memucat mendengar ucapan Jean."Saat aku nganter kamu waktu itu, Sha. Di pagi hari sebelum kita janjian untuk makan malam berdua. Dita udah ngasih tau aku semuanya, saat kamu bercanda sama Bos kamu, saat kamu masuk ke dalam mobilnya, saat kamu bermesraan di kantor. Semuanya Sha!"Wanita 28 tahunan ini juga hanya bisa meratapi Kejadian ini sendirian di balik pintu kamarnya. Ia bisa mendengar apa yang Jean dan anaknya bicarakan. Mungkin, semuanya masih bisa diperbaiki dengan meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Tapi nyatanya, perempuan itu hanya diam saja di tempatnya, sambil sesekali menyeka air mata yang turun di pipinya.Elisha terlalu mementingkan dirinya sendiri."Papa harus pergi sekarang. Kamu— di sini ama Mama ya!" Jean melepaskan dekapannya dan memandangi sang Papa dengan ekspresi tak rela."Papa..." Qila menggelengkan kepalanya, tangan kecilnya terus menggenggam jemari Jean erat. Dia tidak rela papanya harus pergi. "Papa jangan pergi!""Maafin Papa sayang..."Qila makin terisak. "Nanti siapa yang bakal kuncir rambut Qila? Nanti siapa yang nyuapin Qila makan? Siapa yang antar jemput Qila Pa? Terus— kalau Mama lembur Qila tidur ama siapa?" tangis bocah itu semakin menjadi.Dan tentu saja Jean ma
["Nilam, kita bisa ketemu nggak? Aku pengen ngobrol ama kamu."]["Aku tunggu di taman dekat sekolahnya Qila ya."]Berbekal pesan yang Jean kirim beberapa saat yang lalu, Nilam langsung bergegas mencari taksi dan menuju ke lokasi janjian tadi. Jaraknya memang agak jauh dan jelas memakan waktu, tapi Nilam nekat datang karena khawatir dengan si Bos yang mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang ini.Begitu turun dari taksi yang dia tumpangi, Nilam langsung berlari kecil menuju lokasi tempat Jean berada.Gadis berhoodie oversize ini mencari-cari di mana keberadaan Jean yang katanya menunggu dirinya datang di area taman dekat sekolah Qila. Ada beberapa pengunjung yang datang ke sana, tapi ia tidak melihat keberadaan mantan Bosnya itu."Pak Jean di mana sih? Katanya duduk di deketnya air mancur, tapi ini malah nggak ada?" gerutu Nilam sambil celingukan.Sampai akhirnya, pandangan matanya tertuju pada satu titik. Di mana ada seorang
"Omong-omong, habis ini bapak mau ke mana?"Pertanyaan dari Nilam itu membuat Jean langsung berpikir keras. Dia belum memikirkan hal ini."Aku juga nggak tau."Nilam membuka mulutnya. "Lah? Kok nggak tau.""Kayaknya aku mau cari kosan dulu. Terus, fokus kirim CV ke beberapa perusahaan."Perempuan berhoodie ungu itu hanya menganggukkan kepalanya. "Kenapa nggak dari dulu aja sih Pak coba kirim CV-nya?""Karena aku pikir, novel ku bakal laku, Nilam. Makanya aku nunda kirim CV dan fokus jadi freelancer," jawab Jean apa adanya. "Tapi setelah mendengar ucapan Elisha tadi, aku jadi paham kalau uang di atas segalanya. Jadi kali ini, aku bakal kerja lebih keras demi Qila.""Bapak salah! Uang itu bukan segalanya. Karena menurut saya, yang terpenting itu adalah hadirnya orang yang kita sayangi," timpal Nilam yang kurang setuju pada ucapan Jean. "Coba bapak pikir? Bapak hidup bergelimang harta tapi Mbak Qila nggak ada di deket Bapak
["Surya! Ini urgent banget ya! Gue nggak mau tau pokoknya! Lo harus cari kosan kosong terserah di mana."]["Tapi Non, di mana saya bisa nemuin kosan kosong malem-malem gini?"]["Gue nggak mau tau! Setengah jam dari sekarang, lo harus udah dapat kosannya! Kalo enggak! Lo gue aduin ke Mama kalo pernah bawa cewek ke rumah!"]["Aduh Non! Sadis banget sih ama saya!"]["Bodoh amat! Pokoknya lo harus segera cari kosannya! TITIK!"]"Kamu lagi chat ama siapa, Nilam? Perasaan serius banget dari tadi?""Oh? Ehehehehe—" Nilam mengangkat pandangannya dan melihat ke arah Jean yang baru selesai pesan makanan. "Ini Pak, biasa ada temen pinjem duit," kilahnya."Ya udah! Ayo cari tempat duduk!" ajak Jean sambil mendorong pelan bahu Nilam, efek perempuan itu terlalu lambat bergerak.Setelah makan malam dengan penuh drama karena Jean sempat tidak selera, akhirnya mereka berdua pun menyelesaikan makannya dan langsung membayar.Keduanya berjalan ke luar dari area warung tenda dan melangkah ke halte terde
"Eh— Sur! Lo udah dapat kan kosan yang gue minta?""Udah No— eh— Nilam. Gue udah dapat," balas Surya super canggung. Memang dia dan majikannya ini usianya cuma beda beberapa tahun. Tapi tetap saja rasanya kurang sopan berbicara non formal dengan si majikan."Di mana?" tanya Nilam."Masuk ke mobil aja yuk! Nanti gue tunjukkin tempatnya!" ajak Surya.Setelah mendengar ucapan Surya, Nilam tanpa ragu menggandeng lengan Jean dan mengajaknya masuk ke dalam mobil mewah tersebut. Sedangkan Surya juga langsung gerak cepat duduk di kursi kemudi.Selama di perjalanan, mereka bertiga tidak banyak bicara. Apalagi Jean, dia terlalu sibuk kita jaga aku karena interior mobil mewah yang dia tumpangi kali ini. Mobil yang jauh lebih bagus dari miliknya— ups maksudnya milik Elisha.Ia melihat ke arah Nilam yang duduk bersandar sambil bermain ponsel. Gaya itu memberi kesan jika Nilam sudah terbiasa naik mobil mewah ini. Sama sekali tidak ada rasa sungkan. Padahal kendaraan mewah ini bukan miliknya.Aura m
"Enggak! Saya nggak setuju! Saya bakal tetep bantuin bapak walaupun bapak nolak. Soalnya bapak terlalu baik selama saya kerja di rumah bapak," tolak Nilam sambil mendorong dada bidang pria yang lebih tinggi darinya ini."Nilaam.... Please..."Si empunya nama hanya menatap pria itu dengan bibir mempout sedikit dan pipi yang menggembung. Sementara Jean juga melakukan hal yang sama untuk memberi Nilam penegasan jika dia bisa melakukan semuanya seorang diri. Ia mampu dan akan berjuang untuk menjadi seorang yang sukses walaupun tidak mudah.Namun beberapa detik kemudian, sesuatu hal yang tidak terduga tiba-tiba saja dilakukan oleh Nilam. Di mana, gadis itu maju sedikit ke arah mantan bosnya, mendongkak lalu mencium bibir Jean walaupun harus sedikit berjinjit.Jean sempat terpaku, tapi pada akhirnya ia justru menahan pinggang Nilam dan balik menciumnya. Memang tidak terlalu lama, tapi cukup intens untuk ukuran dua pasang manusia yang tidak punya hubunga
"Emangnya kamu mau ke mana? Ketemuan ama pacar kamu ya?"Nilam yang tadinya sibuk menuang kuah ke dalam wadah, langsung menoleh ke arah Mamanya sambil berkata, "Do'ain aja ya, Ma. Soalnya cowok yang sekarang buat dimiliki hatinya," ucapnya dramatis."Kamu ngejar-ngejar cowok sampai kayak gini?" Sang Mama agak kaget saat mendengar ucapan Nilam. "Tumben banget?""Ehehehe. Yang ini beda Mama. Makanya butuh efforts." Nilam menarik kedua sudut bibirnya. "Udah ya Ma. Aku mau mandi. Nanti keburu sore pas nyampek sana!" Setelah pamit seperti itu, Nilam langsung naik ke lantai dua dengan tidak lupa memberi kecupan di pipi sang Mama.Sementara bu Mala hanya bisa menggelengkan kepalanya karena heran dengan tingkah laku putri semata wayangnya."Punya anak satu, anehnya bukan main," gumam Bu Mala.*Sekitar jam 4 sore, Nilam tiba di kosan milik mantan bosnya. Perempuan yang hari ini mengenakan blouse warna putih dan rok circle sebata
Jean hampir jatuh tertidur saat mendengar suara ketukan pintu. Dengan setengah sadar, dia turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah bidang datar berwarna putih tersebut. Dia benar-benar tak berekspetasi tinggi tentang tamunya. Tapi begitu melihat siapa yang datang, Jean reflek tersentak kaget namun juga senang."Alo, Pak Jean?" Nilam melambaikan tangannya sambil meringis lebar. Menampilkan deretan gigi putihnya yang terawat."Ni— Nilam? Kok kamu bisa di sini? Kan— perempuan nggak boleh masuk?" tanya Jean sambil terheran-heran.Nilam tidak langsung menjawab, ia hanya mendorong dada bidang pria di depannya agar dia bisa masuk ke dalam. "Nanti saya jelasinnya sambil makan aja ya?"Jean memperhatikan perempuan berparas cantik tersebut sambil menautkan alisnya. Sementara Nilam sendiri langsung duduk di bawah dan mengeluarkan isi tas miliknya."Kamu bawa apa? Kok banyak banget?" tanya Jean sambil duduk bersila di hadapan gadis berusia 20 tahun
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog
"Nanti, di kamar ini, kita bakal produksi baby Je-Ni." Sambil mengecupi pelipis Nilam, Jean mengungkap apa yang dia pikirkan."B-baby Jeni?" Nilam mengerutkan keningnya."Iya, Jean Nilam junior maksudnya."Pipi Nilam kian memanas. Ia hampir meledak karena kata-kata pria itu."Karena sebelah langsung kamarnya Qila, jadi aku sengaja bikin ruangan ini kedap suara. Biar nanti pas kamu jerit keenakan ga kedengeran Qila," goda Jean makin menjadi-jadi.Nilam langsung berbalik. Ia menatap Jean dan langsung menjewer kupingnya sampai duda ganteng itu kesakitan."Jangan mancing-mancing ya!""Mancing gimana? Aku bicara sesuai fakta.""Fakta apanya! Kamu ngomongnya ngaco, Pak!" tukas Nilam dengan nada tegas.Jean meringis. Ia mengusap pipi Nilam lembut, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah ayu sang kekasih. "Apa kamu perlu bukti?"Nilam makin syok."Kalau mau bukti, aku bisa kok nunjukin itu sekarang." Jean semakin intens menggoda perempuan itu.Nilam mendelik. Ia dorong wajah Jean hingga
Hari ini, Nilam benar-benar tak tahu akan dibawa ke mana oleh Jean. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dari raut wajahnya, Jean tampak begitu bersemangat, seakan-akan telah menunggu momen ini sejak lama. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Bangunan apartemen mewah itu menjulang tinggi, mencerminkan kemegahan dan eksklusivitas. Fasade bangunan yang berlapis kaca tampak berkilauan, memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. "Selamat datang," ucap Jean dengan senyum penuh arti. Nilam menatapnya dengan bingung sekaligus penasaran. "Kita ke sini ngapain, Pak?" Jean tak langsung menjawab. Ia justru menggandeng tangan Nilam, membawanya masuk ke dalam lobi yang sangat luas dan elegan. Lantai marmernya mengilap, langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung menambah kesan mewah. Resepsionis menyambut mereka dengan ramah, sementara beberapa penghuni yang terlihat lewat berpakaian rapi
Nilam sudah siap sejak pagi, dia duduk di ruang tamu dengan kaki bersilang, mengenakan gaun selutut krem dengan motif bunga yang membuatnya terlihat santai namun tetap rapi. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, membuat wajahnya terlihat lebih lembut. Pandangannya sesekali mengarah ke layar ponsel, namun ia menahan diri untuk tidak menghubungi Jean.Sesuai janji pria itu semalam, mereka akan pergi ke suatu tempat—meski Jean tak menyebutkan di mana. Nilam sebenarnya penasaran, tapi di sisi lain ia juga menikmati sensasi kejutan yang pria itu siapkan.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ibunya, Bu Mala, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh di tangan. Wanita paruh baya itu mengenakan daster batik favoritnya, rambutnya disanggul seadanya. Ia lalu duduk di sebelah Nilam dengan santai.“Masih belum datang ya si Jean?” tanyanya, menyesap teh melati yang aromanya begitu khas. “Belum, Ma. Kayaknya masih di jalan.” “Coba chat aja?” Nilam menggeleng. “Nggak deh. Takutnya dia l
"Memang ada yang berani masuk ke sini tanpa ketuk pintu dulu?" Ia semakin mendekat, nyaris membuat bibir mereka bersentuhan.Nilam menelan ludah. Dalam jarak seperti ini, ia dapat merasakan helaan nafas sang kekasih.Hanya ada dirinya dan Jean dalam ruangan ini, terperangkap dalam jarak yang begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napas pria itu. Jean masih menatapnya dalam, matanya seperti ingin menelusuri setiap inci ekspresi di wajahnya. Bibirnya melengkung dalam senyum samar, penuh godaan."Kamu kalau diem gini jadi makin gemesin," bisiknya lembut, suara rendahnya bergetar di udara di antara mereka.Jantung Nilam berdetak begitu kencang, ia bisa merasakannya hingga ke ujung jari. "Pak Jean..." desis Nilam lirih, tapi tubuhnya tetap diam di tempat. Jean tersenyum semakin lebar, seolah membaca gelagat bahwa gadis di hadapannya tidak benar-benar ingin menjauh. "Apa sayang?""Posisi kita terlalu de—"Tanpa memberikan kesempatan bagi Nilam untuk menyelesaikan ucapannya, Jean
Setelah seminggu penuh istirahat di rumah, akhirnya hari ini Nilam kembali ke kantor. Meski tubuhnya sudah lebih segar, perasaannya masih sedikit berat. Ada rasa cemas yang belum sepenuhnya hilang. Lebih tepatnya perasaan bersalah pada teman-temannya karena acara kantor mereka jadi gagal.Saat melangkah masuk ke gedung kantor, Nilam menghela napas dalam-dalam. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak berada di sini. Ia hanya khawatir dengan reaksi teman-temannya nanti.Namun, baru beberapa langkah memasuki lobi, suara familiar langsung menyambutnya."Mba Nilam!"Gadis itu melihat Talita dan Rina yang sedang berlari ke arahnya. Talita terlihat begitu antusias, sementara Rina—meskipun ekspresinya tidak seheboh Talita—jelas-jelas tampak lega melihat Nilam. "Kamu udah sehat, Mba?" Talita langsung memeluk Nilam erat, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan. "Aku khawatir banget sama kamu Mba.""Kalau aku udah masuk kerja, berarti aku udah sehat," balas Nilam yang tak kuasa menahan s
"Itulah yang sedang kami dalami." Polisi itu menatap Jean dengan ekspresi serius. "Kami sudah meminta teknisi villa untuk memeriksa apakah ini hanya kerusakan teknis atau sabotase. Jika ini disengaja, maka pelaku bisa saja seseorang yang memahami sistem keamanan di villa ini." Jean bersandar ke kursinya, pikirannya berpacu cepat. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan ini dengan sangat matang. Matanya beralih ke Nilam yang masih terbaring di ranjang. Gadis itu tampak lemah, tapi sorot matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. CCTV mati. Tidak ada saksi. Tidak ada petunjuk. Jean menekan pelipisnya, mencoba meredam emosi yang berkecamuk. Fakta bahwa CCTV di villa mati pada saat kejadian membuatnya semakin curiga. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan semua ini. "Apa kalian sudah memeriksa staf villa? Atau tamu lain yang mungkin mencurigakan?" tanya Jean dengan nada mendesak. Polisi yang duduk di depannya menghela napas pelan. "Kami sudah memint