"Eh— Sur! Lo udah dapat kan kosan yang gue minta?""Udah No— eh— Nilam. Gue udah dapat," balas Surya super canggung. Memang dia dan majikannya ini usianya cuma beda beberapa tahun. Tapi tetap saja rasanya kurang sopan berbicara non formal dengan si majikan."Di mana?" tanya Nilam."Masuk ke mobil aja yuk! Nanti gue tunjukkin tempatnya!" ajak Surya.Setelah mendengar ucapan Surya, Nilam tanpa ragu menggandeng lengan Jean dan mengajaknya masuk ke dalam mobil mewah tersebut. Sedangkan Surya juga langsung gerak cepat duduk di kursi kemudi.Selama di perjalanan, mereka bertiga tidak banyak bicara. Apalagi Jean, dia terlalu sibuk kita jaga aku karena interior mobil mewah yang dia tumpangi kali ini. Mobil yang jauh lebih bagus dari miliknya— ups maksudnya milik Elisha.Ia melihat ke arah Nilam yang duduk bersandar sambil bermain ponsel. Gaya itu memberi kesan jika Nilam sudah terbiasa naik mobil mewah ini. Sama sekali tidak ada rasa sungkan. Padahal kendaraan mewah ini bukan miliknya.Aura m
"Enggak! Saya nggak setuju! Saya bakal tetep bantuin bapak walaupun bapak nolak. Soalnya bapak terlalu baik selama saya kerja di rumah bapak," tolak Nilam sambil mendorong dada bidang pria yang lebih tinggi darinya ini."Nilaam.... Please..."Si empunya nama hanya menatap pria itu dengan bibir mempout sedikit dan pipi yang menggembung. Sementara Jean juga melakukan hal yang sama untuk memberi Nilam penegasan jika dia bisa melakukan semuanya seorang diri. Ia mampu dan akan berjuang untuk menjadi seorang yang sukses walaupun tidak mudah.Namun beberapa detik kemudian, sesuatu hal yang tidak terduga tiba-tiba saja dilakukan oleh Nilam. Di mana, gadis itu maju sedikit ke arah mantan bosnya, mendongkak lalu mencium bibir Jean walaupun harus sedikit berjinjit.Jean sempat terpaku, tapi pada akhirnya ia justru menahan pinggang Nilam dan balik menciumnya. Memang tidak terlalu lama, tapi cukup intens untuk ukuran dua pasang manusia yang tidak punya hubunga
"Emangnya kamu mau ke mana? Ketemuan ama pacar kamu ya?"Nilam yang tadinya sibuk menuang kuah ke dalam wadah, langsung menoleh ke arah Mamanya sambil berkata, "Do'ain aja ya, Ma. Soalnya cowok yang sekarang buat dimiliki hatinya," ucapnya dramatis."Kamu ngejar-ngejar cowok sampai kayak gini?" Sang Mama agak kaget saat mendengar ucapan Nilam. "Tumben banget?""Ehehehe. Yang ini beda Mama. Makanya butuh efforts." Nilam menarik kedua sudut bibirnya. "Udah ya Ma. Aku mau mandi. Nanti keburu sore pas nyampek sana!" Setelah pamit seperti itu, Nilam langsung naik ke lantai dua dengan tidak lupa memberi kecupan di pipi sang Mama.Sementara bu Mala hanya bisa menggelengkan kepalanya karena heran dengan tingkah laku putri semata wayangnya."Punya anak satu, anehnya bukan main," gumam Bu Mala.*Sekitar jam 4 sore, Nilam tiba di kosan milik mantan bosnya. Perempuan yang hari ini mengenakan blouse warna putih dan rok circle sebata
Jean hampir jatuh tertidur saat mendengar suara ketukan pintu. Dengan setengah sadar, dia turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah bidang datar berwarna putih tersebut. Dia benar-benar tak berekspetasi tinggi tentang tamunya. Tapi begitu melihat siapa yang datang, Jean reflek tersentak kaget namun juga senang."Alo, Pak Jean?" Nilam melambaikan tangannya sambil meringis lebar. Menampilkan deretan gigi putihnya yang terawat."Ni— Nilam? Kok kamu bisa di sini? Kan— perempuan nggak boleh masuk?" tanya Jean sambil terheran-heran.Nilam tidak langsung menjawab, ia hanya mendorong dada bidang pria di depannya agar dia bisa masuk ke dalam. "Nanti saya jelasinnya sambil makan aja ya?"Jean memperhatikan perempuan berparas cantik tersebut sambil menautkan alisnya. Sementara Nilam sendiri langsung duduk di bawah dan mengeluarkan isi tas miliknya."Kamu bawa apa? Kok banyak banget?" tanya Jean sambil duduk bersila di hadapan gadis berusia 20 tahun
"Kamu ini! Kenapa ngomong aneh-aneh kayak gitu, hah? Nanti kalau disangka kamu beneran hamil anakku gimana?"Nilam hanya bisa meringis sambil memegangi tangan Jean yang sedang memitingnya. Enggak terlalu kuat, hanya saja karena Jean menjitak kepalanya dan memutar-mutar buku jarinya di ubun-ubun Nilam, jadi gadis itu langsung berteriak-teriak minta di lepaskan."Abisnya aku nggak tau harus ngasih alasan apa biar bisa masuk ke dalam. Jadi aku bohong aja ama dia dan pura-pura hamil.""Ya tapi itu bisa jadi masalah dong Nilam! Nanti kalau aku digosipin gimana? Kan enggak enak.""Ugh..." Nilam ngos-ngosan setelah Jean melepaskan pitingannya. Gadis itu sibuk mengatur nafas juga merapikan rambutnya. "Aku nggak mikir ke sana, kak. Yang aku pikirkan cuma cara buat ketemu kamu."Jean tersentak kecil. Ia tau Nilam tipe anak remaja yang belum bisa berpikir panjang mengenai resiko yang akan terjadi."Oke, kali ini aku maafin, tapi lain kali t
Meja kerja Dikta pagi itu, tidak serapi hari-hari sebelumnya. Banyak berkas serta alat tulis berserakan di atas mejanya. Biasanya tempat itu selalu rapi ketika dan termanage dengan baik karena ada sekertarisnya. Namun, sejak Elisha tidak masuk kerja dua minggu terakhir, semuanya jadi sedikit kacau.Tidak hanya ruangannya saja yang sedikit berubah karena bukan Elisha yang merapikan semua file miliknya. Tapi jadwal hariannya juga jadi tidak teratur karena ia harus meng-handle semuanya seorang diri.Kenapa Dikta tidak mempercayakan tanggung jawab Elisha pada orang lain saja? Jawabannya karena untuk sekarang ini, Dikta tidak mau ada yang mungusik posisi perempuan itu. Entah sebagai sekretarisnya atau sebagai teman tidurnya."Haaa..." Dikta menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Mukanya tampak kusut dan lesu. Pekerjaan akhir-akhir ini benar-benar membuatnya agak stress. Ditambah lagi tidak ada perempuan yang biasa 'menghiburnya', membuat pria itu semakin frustasi saja.Ia menekan sat
"Oh ya, omong-omong, rumah kamu sepi banget? Ke mana suami kamu yang pengangguran itu?"Pertanyaan Dikta membuat Elisha bungkam seribu bahasa. Ia bingung apakah harus menceritakan masalah ini pada bosnya atau tidak.Merasa ada yang aneh dengan perempuan itu, Dikta pun mendekati Elisha dan duduk di sebelahnya. "Elisha? Kenapa kamu diem aja? Sebenarnya apa yang terjadi?""Kamu kenapa Sha? Coba cerita sama aku!"Perempuan berdaster midi itu menatap bosnya dengan raut gelisah. Ia bingung harus memulai ceritanya dari mana."Elisha..." Dikta memindah posisi duduknya menjadi di sebelah Elisha. Ia mendekati wanita itu sambil mengenggam tangannya. "Aku bakal dengerin apapun masalah kamu."Elisha menggigit bibir bawahnya, "Mas Jean, udah tau semuanya Pak."Satu kalimat yang Elisha ucapkan, berhasil membuat Dikta tersentak. "Kamu serius?""Iya Pak. Saat kita ke clubbing waktu itu, ada seseorang yang nggak sengaja mergokin aku. Dia sengaja ngerekam video saat kita berciuman, dan melaporkannya ke
"Dita.""Dita?""Iya. Dia karyawati di perusahaan kamu, Pak. Dia orang yang menghasut Mas Jean dan memberitahu ke dia soal perselingkuhan kita."Dikta mengerutkan keningnya. "Dita— aku tau orangnya. Dia orang yang suka tebar pesona itu kan?"Elisha mengangguk."Jadi, kamu mau aku pecat dia?" tanyanya sembari menatap Elisha dengan dalam."Iya. Aku ingin kamu pecat dia tanpa pesangon sepeserpun."Pria tampan itu menarik sudut bibirnya. "Itu masalah sepele buatku, Sha. Bahkan sekarang pun aku bisa melemparnya keluar dari kantor.""Yang bener?""Tentu aja. Kamu mau bukti?"Wanita berambut panjang itu menggeleng. "Enggak perlu! Aku percaya kok sama kamu."Dikta tersenyum. Senang bisa membantu wanita itu."Sama satu lagi Pak.""Siapa lagi?""Dia mantan pembantuku Pak. Orang yang sudah ngasih video ciuman kita ke Mas Jean." Suara Elisha mulai terdengar rendah. Seolah ada nada kebencian di dalamnya. "Aku kesel banget sama dia, Pak. Karena dia semuanya jadi berantakan.""Pembantu kamu yang kat
"Omong-omong, Nilam. Aku penasaran sama sesuatu nih.""Soal apa?""Gimana wajah Bos kita? Dia pasti bapak-bapak paruhbaya ya?"Nilam hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Talita, tapi ia tidak langsung menjawab. Ia sengaja membiarkan temannya menebak-nebak.“Eh, gimana, Nilam?” Talita memandangnya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. “Dia pasti tipikal bos-bos kebanyakan, kan? Udah agak tua, pakai kacamata, rambut mulai beruban, tapi tetap kelihatan karismatik. Bener nggak?”Nilam terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Enggak, dia gak kayak gitu.”“Loh?” Talita memiringkan kepala, semakin penasaran. “Kalau gak kayak gitu, terus kayak gimana? Jangan-jangan dia tipe bos yang galak dan suka marah-marah?”Nilam terdiam sesaat, mencoba merangkai kata-kata. “Dia... gimana ya, Mba? Pokoknya jauh dari bayangan kamu deh. Dia kayaknya sih masih muda, mungkin sekitar 35 tahunan. Gayanya juga santai, tapi kelihatan tegas. Terus...
“Sekretaris pribadi? Maksudmu, sekretarisnya Jean Adrian? Pemilik perusahaan ini?” Nilam mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suara Talita membuat semua keraguannya terasa semakin nyata. Talita menatap Nilam dengan campuran rasa kagum. "Kamu keren banget Nilam."Nilam menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai. “Keren apanya?"Talita masih memandangi Nilam dengan wajah kagum. “Keren apanya? Nilam, Kamu sadar gak sih? Dari sekian banyak orang di sini, kamu yang dipilih buat jadi sekretaris pribadi! Itu keren banget, loh!”Nilam menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi terasa kacau. “Tapi aku gak yakin aku pantas buat posisi itu, Mba. Aku gak punya pengalaman apa-apa soal jadi sekretaris. Lagian, kenapa harus aku? Masih banyak orang lain yang lebih cocok padahal. Yang lebih pengalaman maksudnya.” Talita memiringkan kepala, bingung mendengar keraguan Nilam.
Jean menatap Nilam dengan tatapan tajam yang sulit ditebak, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada tegas namun lembut. "Saya ingin kamu menjadi sekretaris pribadi saya."Mata Nilam melebar, wajahnya dipenuhi keterkejutan. "S-sekretaris pribadi, Pak?" ucapnya, setengah gagap. Ia bahkan tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.Jean mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada wajah Nilam yang tampak bingung. "Iya. Sekretaris pribadi. Saya tahu kamu tidak melamar untuk posisi ini, tapi setelah melihat profil kamu dan berbicara langsung denganmu, saya merasa kamu kandidat yang tepat."Nilam menelan ludah, mencoba mencerna situasi ini. "T-tapi Pak, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris. Saya takut bapak kecewa."Jean menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya berubah menjadi lebih santai. "Tidak perlu khawatir soal pengalaman. Tugas seorang sekretaris pribadi sebenarnya cukup sederhana, Nilam. Kamu hanya perlu membantu saya mengatur jad
“Baik, Nilam. Kalau boleh tahu, apa alasan kamu melamar di perusahaan kami? Apa yang membuat kamu tertarik?”Nilam tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih canggung. “Saya pikir, perusahaan ini menawarkan peluang yang baik untuk berkembang, dan posisinya juga sesuai dengan yang saya cari.” Jean mengamati Nilam dengan cermat. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan kecil di wajah gadis itu “Baiklah,” kata Jean, menutup berkas di depannya. “Nilam, apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini? Selain, tentu saja, penghasilan yang kamu sebutkan tadi.”Nilam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin menambah pengalaman dan belajar lebih banyak. Saya percaya, lingkungan kerja yang mendukung seperti perusahaan ini akan memberikan banyak peluang untuk itu.”"Jadi kamu kerja hanya untuk pengalaman saja?""Bukan cuma itu saja sih, Pak.""Lalu?""Saya juga cari penghasil yang lebih baik daripada pekerjaan saya yang sebelu
Jean tidak bisa membohongi dirinya lagi. Pertemuan singkat dengan Nilam tadi membuat semua kenangan yang ia pendam selama bertahun-tahun mendadak menyeruak ke permukaan. Meski tahu tidak seharusnya ia terlibat lagi dalam kehidupan Nilam, hatinya tidak bisa tenang sebelum memastikan satu hal—apakah gadis itu benar-benar mantan kekasihnya yang dulu begitu ia cintai.Ia segera bergegas menuju ruang HRD. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tetapi karena perasaan gugup yang bercampur dengan rasa rindu. Sesampainya di depan pintu, Jean mengetuk pelan sebelum masuk."Selamat siang, Pak Jean," sapa salah satu staff HRD sambil berdiri. Jean mengangguk kecil. "Siang. Aku ingin bicara sebentar, soal salah satu kandidat yang kalian interview hari ini.""Oh, tentu saja, Pak. Kandidat yang mana ya?" tanya staff itu sambil membuka berkas daftar kandidat di tangannya.Jean menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Namanya Nilam."
"Nilam udah sadar, Je. Tapi dia kehilangan memorinya selama beberapa tahun terakhir.""Bukannya itu lebih baik Tante? Supaya Nilam bisa melupakan hal-hal buruk saat sama saya.""Tapi dulu Nilam pernah bilang, meskipun menjadi pacar kamu terlalu berisiko dan berat tapi dia tetap menyukainya.""Itu karena dia yang terlalu baik Tante. Padahal kalau ga ada saya, hidup dia pasti bisa lebih baik lagi."***"Ini Pak berkasnya! Tolong jangan marah ya! Saya beneran ga sengaja." Nilam mengulurkan kertas yang dia pegang ke arah lelaki di depannya. Dia panik sekali karena sudah membuat kekacauan."P- Pak... Bapak kenapa?" beo gadis berkemeja putih itu ketika melihat si pria yang hanya melamun sambil memandanginya. 'Dia kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Apa aku cepirit di rok?' Dengan muka panik dia mengecek roknya.'Huh... Ternyata enggak.' "Pak... Bapak!""Eh- Maaf." Sentakan pelan Nilam membuat pria itu tersadar
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A