"Kamu ini! Kenapa ngomong aneh-aneh kayak gitu, hah? Nanti kalau disangka kamu beneran hamil anakku gimana?"
Nilam hanya bisa meringis sambil memegangi tangan Jean yang sedang memitingnya. Enggak terlalu kuat, hanya saja karena Jean menjitak kepalanya dan memutar-mutar buku jarinya di ubun-ubun Nilam, jadi gadis itu langsung berteriak-teriak minta di lepaskan."Abisnya aku nggak tau harus ngasih alasan apa biar bisa masuk ke dalam. Jadi aku bohong aja ama dia dan pura-pura hamil.""Ya tapi itu bisa jadi masalah dong Nilam! Nanti kalau aku digosipin gimana? Kan enggak enak.""Ugh..." Nilam ngos-ngosan setelah Jean melepaskan pitingannya. Gadis itu sibuk mengatur nafas juga merapikan rambutnya. "Aku nggak mikir ke sana, kak. Yang aku pikirkan cuma cara buat ketemu kamu."Jean tersentak kecil. Ia tau Nilam tipe anak remaja yang belum bisa berpikir panjang mengenai resiko yang akan terjadi."Oke, kali ini aku maafin, tapi lain kali tMeja kerja Dikta pagi itu, tidak serapi hari-hari sebelumnya. Banyak berkas serta alat tulis berserakan di atas mejanya. Biasanya tempat itu selalu rapi ketika dan termanage dengan baik karena ada sekertarisnya. Namun, sejak Elisha tidak masuk kerja dua minggu terakhir, semuanya jadi sedikit kacau.Tidak hanya ruangannya saja yang sedikit berubah karena bukan Elisha yang merapikan semua file miliknya. Tapi jadwal hariannya juga jadi tidak teratur karena ia harus meng-handle semuanya seorang diri.Kenapa Dikta tidak mempercayakan tanggung jawab Elisha pada orang lain saja? Jawabannya karena untuk sekarang ini, Dikta tidak mau ada yang mungusik posisi perempuan itu. Entah sebagai sekretarisnya atau sebagai teman tidurnya."Haaa..." Dikta menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Mukanya tampak kusut dan lesu. Pekerjaan akhir-akhir ini benar-benar membuatnya agak stress. Ditambah lagi tidak ada perempuan yang biasa 'menghiburnya', membuat pria itu semakin frustasi saja.Ia menekan sat
"Oh ya, omong-omong, rumah kamu sepi banget? Ke mana suami kamu yang pengangguran itu?"Pertanyaan Dikta membuat Elisha bungkam seribu bahasa. Ia bingung apakah harus menceritakan masalah ini pada bosnya atau tidak.Merasa ada yang aneh dengan perempuan itu, Dikta pun mendekati Elisha dan duduk di sebelahnya. "Elisha? Kenapa kamu diem aja? Sebenarnya apa yang terjadi?""Kamu kenapa Sha? Coba cerita sama aku!"Perempuan berdaster midi itu menatap bosnya dengan raut gelisah. Ia bingung harus memulai ceritanya dari mana."Elisha..." Dikta memindah posisi duduknya menjadi di sebelah Elisha. Ia mendekati wanita itu sambil mengenggam tangannya. "Aku bakal dengerin apapun masalah kamu."Elisha menggigit bibir bawahnya, "Mas Jean, udah tau semuanya Pak."Satu kalimat yang Elisha ucapkan, berhasil membuat Dikta tersentak. "Kamu serius?""Iya Pak. Saat kita ke clubbing waktu itu, ada seseorang yang nggak sengaja mergokin aku. Dia sengaja ngerekam video saat kita berciuman, dan melaporkannya ke
"Dita.""Dita?""Iya. Dia karyawati di perusahaan kamu, Pak. Dia orang yang menghasut Mas Jean dan memberitahu ke dia soal perselingkuhan kita."Dikta mengerutkan keningnya. "Dita— aku tau orangnya. Dia orang yang suka tebar pesona itu kan?"Elisha mengangguk."Jadi, kamu mau aku pecat dia?" tanyanya sembari menatap Elisha dengan dalam."Iya. Aku ingin kamu pecat dia tanpa pesangon sepeserpun."Pria tampan itu menarik sudut bibirnya. "Itu masalah sepele buatku, Sha. Bahkan sekarang pun aku bisa melemparnya keluar dari kantor.""Yang bener?""Tentu aja. Kamu mau bukti?"Wanita berambut panjang itu menggeleng. "Enggak perlu! Aku percaya kok sama kamu."Dikta tersenyum. Senang bisa membantu wanita itu."Sama satu lagi Pak.""Siapa lagi?""Dia mantan pembantuku Pak. Orang yang sudah ngasih video ciuman kita ke Mas Jean." Suara Elisha mulai terdengar rendah. Seolah ada nada kebencian di dalamnya. "Aku kesel banget sama dia, Pak. Karena dia semuanya jadi berantakan.""Pembantu kamu yang kat
"Kenapa? Kamu nggak bisa buktiin siapa yang fitnah kamu kan?""Aku akan cari tau orangnya, aku akan buktikan kalau aku emang nggak ngelakuin semua tuduhan itu, Bu.""Dita—" sela sang HRD. "Aku sama sekali nggak peduli dengan urusan pribadi kamu. Terserah kamu mau pacaran sama siapa pun, aku nggak mau tau. Tetapi, apa yang terjadi hari ini adalah kesalahan fatal yang nggak bisa ditolerir."Dita menggelengkan kepalanya. Setiap kata yang HRD ucapkan, selalu berhasil membuatnya semakin down dan ketakutan."Apa yang kamu lakukan ini sama aja mencoreng nama baik perusahaan.""Tapi aku nggak salah, Bu.""Sekarang gini aja— kamu tulis surat pengunduran diri dan keluar dari perusahaan ini tanpa pesangon."Dita terhentak. Ia langsung maju mendekati meja HRD dan kembali memastikan jika telinganya tidak salah dengar. "Apa?! Aku dipecat?""Iya."Perempuan itu menggeleng tak terima. "Ini nggak adil, Bu. Aku bahkan ng
"Gue udah pernah nembak dia kok. Cuman, ditolak."Nana mendengkus. "Ya lagian, lo dulu bilang cinta karena iseng doang kan pengen godain dia. Sekarang lo malah kena karma karena omongan sendiri.""Mana gue tau, kalau gue bakal sesuka ini sama dia."Nana mengernyitkan dahinya. Nilam mode bucin agak disgusting untuknya."Pulang aja yuk. Udah 3 jam kita bengong kayak orang bodoh di sini!" ajak Nana tak berapa lama kemudian."Buru-buru banget?""Buru-buru kamu bilang? Pantat gue aja sampai panas."Nilam berdecak. Dia masih ingin di sini mengawasi Jean, tapi Nana malah mengajaknya pulang. "Nanti aja bisa nggak? Satu jam lagi," pinta Nilam sambil menangkupkan kedua tangannya."Enggak bisa Nilam sayaaang. Pacar gue mau datang ke kosan. Jadi gue harus nonton yang cantik buat nyambut dia," tolak Nana sambil berdiri dari duduknya. Bahkan ia sudah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas."Ck. Nggak asik lo."
"Hai Manis, sendirian aja nih?"Nilam langsung menggeser tubuhnya sambil mengamankan tasnya dengan memeluknya erat di depan dada, ketika seorang pria yang tidak dia kenal, tiba-tiba duduk di sebelahnya dengan jarak yang cukup dekat."Lagi nunggu bis ya?" Pria muda yang sepertinya masih kuliah sama seperti Nilam ini, tersenyum genit ke arah sang gadis."Apa sih? Nggak jelas banget!" gumam Nilam dengan alis berkerut."Cantik-cantik gini kok naik bis sih? Apa nggak takut desek-desekan?" tanya pria itu sambil sesekali menginaskan poninya. Membuat Nilam makin ilfeel."Kakak bawa motor nih, mau bareng nggak?"Nilam melongo. "Kalo lo bawa motor, kenapa malah ke sini? Nggak jelas banget!""Soalnya kakak ini nggak tega liat ada perempuan cantik bengong sendirian di halte. Makanya aku berinisiatif buat nawarin kamu tumpangan." Ia menatap Nilam dengan kelopak mata yang terbuka separuh. Niatnya supaya terlihat keren, tapi jatuhnya m
"Kak Jean kok bisa muncul di sini?""Tadinya aku nyusul kamu ke cafe seberang, tapi pas aku liat kamu nggak ada, aku jalan aja ke sini. Dan taunya, kamu malah digodain sama cowok gak jelas kayak tadi."Nilam melotot. Gadis mengerutkan keningnya sambil mencerna apa yang Jean katakan. "Bentar— kok Kakak bisa tahu kalau aku ada di cafe itu tadi?"Jean mengacak poni Nilam sambil tersenyum. "Nggak cuma tadi aja, Nilam. Tapi hampir tiap hari aku liat kamu nongkrong di sana ama temen kamu." Jean tersenyum puas saat melihat wajah panik Nilam.Pipi Nilam memerah seketika. Bisa-bisanya Jean tau kalau dia sering memandanginya diam-diam."Kamu emangnya nggak kerja tiap hari nongkrong di sana?""Aku— pengangguran," Nilam menjawab dengan asal."Pantesan."Gadis itu meringis sungkan. Setiap bertemu Jean, ada saja kebohongan yang keluar dari mulutnya. Ia sendiri sampai heran."Pulang yuk!" ajak Jean."Kan haru
"Kenapa kamu mikir gitu?""Aku tau betul posisi anak-anak brokenhome, karena aku juga mengalaminya, kak. Aku bisa merasakan sakitnya Mbak Qila karena harus pisah sama orang tuanya," Nilam makin sesenggukan. Kisah masa kecilnya dulu sama pahitnya dengan Qila. Tapi bedanya, papanya dulu tidak sebaik Jean, yang masih berusaha mencarinya dan menghubunginya meski pisah rumah. Sedangkan Papanya sendiri, setelah pergi dengan selingkuhannya, papanya justru menghilang tanpa kabar. Dan baru muncul lagi beberapa tahun ke belakang dengan tanpa rasa bersalah pula."Lagi-lagi, karena keegoisan orang dewasa, anak-anak harus jadi korban." Nilam benar-benar tak kuasa menahan kesedihannya. "Padahal, disaat seperti ini, pasti dia sangat butuh sosok papanya— tapi karena keadaan, dia nggak bisa ketemu dan merasakan kasih sayang papanya lagi."Jean berdiri dari duduknya dan pindah tepat di sebelah Nilam. Ia menarik belakang kepala Nilam dengan lembut dan memeluknya. T
"Omong-omong, Nilam. Aku penasaran sama sesuatu nih.""Soal apa?""Gimana wajah Bos kita? Dia pasti bapak-bapak paruhbaya ya?"Nilam hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Talita, tapi ia tidak langsung menjawab. Ia sengaja membiarkan temannya menebak-nebak.“Eh, gimana, Nilam?” Talita memandangnya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. “Dia pasti tipikal bos-bos kebanyakan, kan? Udah agak tua, pakai kacamata, rambut mulai beruban, tapi tetap kelihatan karismatik. Bener nggak?”Nilam terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Enggak, dia gak kayak gitu.”“Loh?” Talita memiringkan kepala, semakin penasaran. “Kalau gak kayak gitu, terus kayak gimana? Jangan-jangan dia tipe bos yang galak dan suka marah-marah?”Nilam terdiam sesaat, mencoba merangkai kata-kata. “Dia... gimana ya, Mba? Pokoknya jauh dari bayangan kamu deh. Dia kayaknya sih masih muda, mungkin sekitar 35 tahunan. Gayanya juga santai, tapi kelihatan tegas. Terus...
“Sekretaris pribadi? Maksudmu, sekretarisnya Jean Adrian? Pemilik perusahaan ini?” Nilam mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suara Talita membuat semua keraguannya terasa semakin nyata. Talita menatap Nilam dengan campuran rasa kagum. "Kamu keren banget Nilam."Nilam menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai. “Keren apanya?"Talita masih memandangi Nilam dengan wajah kagum. “Keren apanya? Nilam, Kamu sadar gak sih? Dari sekian banyak orang di sini, kamu yang dipilih buat jadi sekretaris pribadi! Itu keren banget, loh!”Nilam menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi terasa kacau. “Tapi aku gak yakin aku pantas buat posisi itu, Mba. Aku gak punya pengalaman apa-apa soal jadi sekretaris. Lagian, kenapa harus aku? Masih banyak orang lain yang lebih cocok padahal. Yang lebih pengalaman maksudnya.” Talita memiringkan kepala, bingung mendengar keraguan Nilam.
Jean menatap Nilam dengan tatapan tajam yang sulit ditebak, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada tegas namun lembut. "Saya ingin kamu menjadi sekretaris pribadi saya."Mata Nilam melebar, wajahnya dipenuhi keterkejutan. "S-sekretaris pribadi, Pak?" ucapnya, setengah gagap. Ia bahkan tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.Jean mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada wajah Nilam yang tampak bingung. "Iya. Sekretaris pribadi. Saya tahu kamu tidak melamar untuk posisi ini, tapi setelah melihat profil kamu dan berbicara langsung denganmu, saya merasa kamu kandidat yang tepat."Nilam menelan ludah, mencoba mencerna situasi ini. "T-tapi Pak, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris. Saya takut bapak kecewa."Jean menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya berubah menjadi lebih santai. "Tidak perlu khawatir soal pengalaman. Tugas seorang sekretaris pribadi sebenarnya cukup sederhana, Nilam. Kamu hanya perlu membantu saya mengatur jad
“Baik, Nilam. Kalau boleh tahu, apa alasan kamu melamar di perusahaan kami? Apa yang membuat kamu tertarik?”Nilam tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih canggung. “Saya pikir, perusahaan ini menawarkan peluang yang baik untuk berkembang, dan posisinya juga sesuai dengan yang saya cari.” Jean mengamati Nilam dengan cermat. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan kecil di wajah gadis itu “Baiklah,” kata Jean, menutup berkas di depannya. “Nilam, apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini? Selain, tentu saja, penghasilan yang kamu sebutkan tadi.”Nilam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin menambah pengalaman dan belajar lebih banyak. Saya percaya, lingkungan kerja yang mendukung seperti perusahaan ini akan memberikan banyak peluang untuk itu.”"Jadi kamu kerja hanya untuk pengalaman saja?""Bukan cuma itu saja sih, Pak.""Lalu?""Saya juga cari penghasil yang lebih baik daripada pekerjaan saya yang sebelu
Jean tidak bisa membohongi dirinya lagi. Pertemuan singkat dengan Nilam tadi membuat semua kenangan yang ia pendam selama bertahun-tahun mendadak menyeruak ke permukaan. Meski tahu tidak seharusnya ia terlibat lagi dalam kehidupan Nilam, hatinya tidak bisa tenang sebelum memastikan satu hal—apakah gadis itu benar-benar mantan kekasihnya yang dulu begitu ia cintai.Ia segera bergegas menuju ruang HRD. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tetapi karena perasaan gugup yang bercampur dengan rasa rindu. Sesampainya di depan pintu, Jean mengetuk pelan sebelum masuk."Selamat siang, Pak Jean," sapa salah satu staff HRD sambil berdiri. Jean mengangguk kecil. "Siang. Aku ingin bicara sebentar, soal salah satu kandidat yang kalian interview hari ini.""Oh, tentu saja, Pak. Kandidat yang mana ya?" tanya staff itu sambil membuka berkas daftar kandidat di tangannya.Jean menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Namanya Nilam."
"Nilam udah sadar, Je. Tapi dia kehilangan memorinya selama beberapa tahun terakhir.""Bukannya itu lebih baik Tante? Supaya Nilam bisa melupakan hal-hal buruk saat sama saya.""Tapi dulu Nilam pernah bilang, meskipun menjadi pacar kamu terlalu berisiko dan berat tapi dia tetap menyukainya.""Itu karena dia yang terlalu baik Tante. Padahal kalau ga ada saya, hidup dia pasti bisa lebih baik lagi."***"Ini Pak berkasnya! Tolong jangan marah ya! Saya beneran ga sengaja." Nilam mengulurkan kertas yang dia pegang ke arah lelaki di depannya. Dia panik sekali karena sudah membuat kekacauan."P- Pak... Bapak kenapa?" beo gadis berkemeja putih itu ketika melihat si pria yang hanya melamun sambil memandanginya. 'Dia kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Apa aku cepirit di rok?' Dengan muka panik dia mengecek roknya.'Huh... Ternyata enggak.' "Pak... Bapak!""Eh- Maaf." Sentakan pelan Nilam membuat pria itu tersadar
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A