"Kak Jean kok bisa muncul di sini?"
"Tadinya aku nyusul kamu ke cafe seberang, tapi pas aku liat kamu nggak ada, aku jalan aja ke sini. Dan taunya, kamu malah digodain sama cowok gak jelas kayak tadi."Nilam melotot. Gadis mengerutkan keningnya sambil mencerna apa yang Jean katakan. "Bentar— kok Kakak bisa tahu kalau aku ada di cafe itu tadi?"Jean mengacak poni Nilam sambil tersenyum. "Nggak cuma tadi aja, Nilam. Tapi hampir tiap hari aku liat kamu nongkrong di sana ama temen kamu." Jean tersenyum puas saat melihat wajah panik Nilam.Pipi Nilam memerah seketika. Bisa-bisanya Jean tau kalau dia sering memandanginya diam-diam."Kamu emangnya nggak kerja tiap hari nongkrong di sana?""Aku— pengangguran," Nilam menjawab dengan asal."Pantesan."Gadis itu meringis sungkan. Setiap bertemu Jean, ada saja kebohongan yang keluar dari mulutnya. Ia sendiri sampai heran."Pulang yuk!" ajak Jean."Kan haru"Kenapa kamu mikir gitu?""Aku tau betul posisi anak-anak brokenhome, karena aku juga mengalaminya, kak. Aku bisa merasakan sakitnya Mbak Qila karena harus pisah sama orang tuanya," Nilam makin sesenggukan. Kisah masa kecilnya dulu sama pahitnya dengan Qila. Tapi bedanya, papanya dulu tidak sebaik Jean, yang masih berusaha mencarinya dan menghubunginya meski pisah rumah. Sedangkan Papanya sendiri, setelah pergi dengan selingkuhannya, papanya justru menghilang tanpa kabar. Dan baru muncul lagi beberapa tahun ke belakang dengan tanpa rasa bersalah pula."Lagi-lagi, karena keegoisan orang dewasa, anak-anak harus jadi korban." Nilam benar-benar tak kuasa menahan kesedihannya. "Padahal, disaat seperti ini, pasti dia sangat butuh sosok papanya— tapi karena keadaan, dia nggak bisa ketemu dan merasakan kasih sayang papanya lagi."Jean berdiri dari duduknya dan pindah tepat di sebelah Nilam. Ia menarik belakang kepala Nilam dengan lembut dan memeluknya. T
"Kenapa kamu mikir gitu?""Aku tau betul posisi anak-anak brokenhome, karena aku juga mengalaminya, kak. Aku bisa merasakan sakitnya Mbak Qila karena harus pisah sama orang tuanya," Nilam makin sesenggukan. Kisah masa kecilnya dulu sama pahitnya dengan Qila. Tapi bedanya, papanya dulu tidak sebaik Jean, yang masih berusaha mencarinya dan menghubunginya meski pisah rumah. Sedangkan Papanya sendiri, setelah pergi dengan selingkuhannya, papanya justru menghilang tanpa kabar. Dan baru muncul lagi beberapa tahun ke belakang dengan tanpa rasa bersalah pula."Lagi-lagi, karena keegoisan orang dewasa, anak-anak harus jadi korban." Nilam benar-benar tak kuasa menahan kesedihannya. "Padahal, disaat seperti ini, pasti dia sangat butuh sosok papanya— tapi karena keadaan, dia nggak bisa ketemu dan merasakan kasih sayang papanya lagi."Jean berdiri dari duduknya dan pindah tepat di sebelah Nilam. Ia menarik belakang kepala Nilam dengan lembut dan memeluknya. T
"Emang kamu nggak kesepian?" tanya Dikta dengan nada seduktif."Sidang putusan cerai ku saja baru besok, masa aku udah ngomongin pasangan? Gimana kata orang-orang coba?" tanya Elisha balik. Ia memutar kepalanya ke belakang agar bisa melihat wajah sang atasan."Kenapa harus memikirkan orang lain? Kan kita yang jalanin?""Sama aja, Pak. Aku masih belum siap denger cacian orang-orang."Dikta menghela nafas panjang. Dia meminta Elisha bangun agar bisa membalik badannya dan berhadapan langsung dengan dirinya."Mungkin psikis kamu emang belum siap sama omongan orang lain, tapi— gimana sama ini?" Dikta menelusuri bibir Elisha dengan menggunakan jari telunjuknya. "Ini..." Lalu turun ke bawah melewati dagu dan leher jenjang sang sekretaris.Elisha memejamkan mata sembari menahan nafas saat jari Dikta mulai melewati perpotongan dadanya hingga ke pusar."Dan ini?" tanya Dikta lagi sambil menghentikan jarinya di tengah-tengah kedua
"Besok, aku boleh kan datang ke sidang kamu dan Jean?""Buat apa?""Ya aku ingin menunjukkan pada Jean, jika selingkuhan seorang Elisha bukanlah orang sembarangan."Wanita 28 tahun itu langsung menyikut perut bosnya. Pelan sih, tapi berhasil membuat Dikta mengaduh. "Kan tadi aku udah bilang, kalau kamu nggak usah aneh-aneh! Aku malas ribut ama Jean."Dikta menjatuhkan kembali tubuhnya di atas ranjang. Capek juga mengambil posisi miring dengan sikunya sebagai tumpuan. "Padahal aku udah begitu percaya diri buat muncul di hadapan Jean.""Kapan-kapan pasti ada waktu buat pamer ke Jean dan nunjukin siapa kamu sebenarnya. Tapi— enggak sekarang." Sambil berkata begitu, Elisha mencoba bangun dari posisi tidurnya. "Aku mau ke kamar mandi dulu. Mau bersih-bersih.""Sekarang?""Iya. Badanku rasanya udah lengket banget.""Padahal— aku mau kita lanjut part dua.""Ngaco!" tukas Elisha sambil berlari kabur dari Dikta
"Gue sempat kepikiran sesuatu, Na..."Suara Nilam itu membuat Nana yang tadinya melamun, jadi kembali fokus memandangi gadis itu. "Apa? Lo ada niatan buat jujur?"Nilam menggeleng. Rambutnya yang dikuncir belakang tengkuk itu sampai ikut bergoyang ke kanan dan kiri."Enggak. Gue kepikiran ini barusan banget," jelas Nilam."Emang lo mikir apa?""Gue kepikiran, apa tabungan gue cukup buat beli rumah yang kemarin itu, supaya pas kak Jean datang, gue nggak ketahuan bohong," ucapnya dengan wajah yang begitu polos tanpa dosa.Nana melongo. Dia pikir Nilam memikirkan waktu yang tepat untuk jujur sama Jean, taunya malah kepikiran hal random seperti itu."Lo bener-bener ya! Kirain lo mau jujur tadi," gerutu Nana sambil menjitak kepala Nilam hingga si empunya mengaduh pelan. "Bisa-bisanya lo malah mau beli rumah orang demi nggak ketahuan."Nilam yang sedang menggosok kepalanya yang baru saja jadi korban Nana, hanya menden
["Oke, Papa tutup dulu telfonnya ya! Bye Qila. I love you."] "Love you too Pa." Qila memasang wajah lesu ketika panggilan telfonnya dengan sang Papa berakhir. Ia menatap gurunya lalu mengembalikan benda hitam berbentuk persegi panjang tersebut pada wanita di sebelahnya. "Makasih bu, udah pinjemin Qila hape." Sang guru tersenyum. Ia usap kepala bocah berusia 8 tahun itu sambil berkata, "Sama-sama Qila. Nanti kalau kamu mau pinjem hape ibu buat telfon Papa kamu, bilang aja langsung ya!" Qila mengangguk pelan. "Kamu jangan sedih lagi! Fokus belajarnya ya! Kalau kamu butuh sesuatu, kamu tinggal bilang ke ibu." Qila hanya mengatakan iya dan berterima kasih karena wali kelasnya ini sangat baik padanya. "Bu guru, masuk kelas duluan ya. Kamu tunggu di sini sebentar. Jemputan kamu habis ini datang kok." "Iya Bu." Qila hanya patuh saat sang guru
Nilam berdecih. "Sampai rumah aja belom, gimana gue mau ngasih tau lo!"Nana cengengesan. "Iya juga sih."Mereka berdua berjalan ke arah depan. Hari ini Nana memang tidak bawa motor karena pacarnya mau jemput. Sedangkan Nilam, meminta tolong pada Surya untuk menjemputnya.Tapi baru juga di luar gerbang, keduanya melihat kerumunan di area halte yang membuat mereka penasaran."Ada apa ya, Na? Kok kayaknya rame banget?""Enggak tau. Ada kecelakaan mungkin," jawab Nana asal. "Liat ke sana yuk!""Ngapain?""Ya cari tau aja, siapa tau kita kenal ama korban, ya kan?"Nilam sebenarnya malas untuk melihat apa yang terjadi, tapi karena Nana terus menariknya, jadi mau tidak mau, perempuan berambut panjang ini pasrah saja saat di ajak mendekat."Nak, kamu jangan nangis ya! Ayo minum dulu!""Kamu hafal nomor telfon Mama atau Papa kamu?""Rumah kamu di mana? Kok bisa sampai sini?"Nilam dan
"Qila!"Melihat papanya berlari ke arahnya, tanpa pikir panjang, Qila langsung turun dari duduknya dan melompat ke arah pria berkemrja hitam tersebut."Papa..." Tangis bocah itu kembali meledak. Ia begitu senang bisa bertemu papanya setelah beberapa minggu berpisah. "Papa, Qila kangen..."Jean mendekap erat Qila seperti sesekor Koala yang sedang menggendong bayinya. Gadis 8 tahun itu terlihat begitu mungil saat berada dalam gendongan Papanya. "Qilaaa, Papa juga kangen sama kamu.""Papa kenapa perginya lama? Papa kenapa nggak mau nemuin Qila?" tanya gadis kecil itu sambil menangis di bahu papanya.Jean mengecup pelipis Qila sambil meminta maaf. "Maafin Papa sayang. Maafin Papa."Nilam yang berdiri tak jauh dari kedua orang itu hanya bisa mengulum senyum kecilnya. Jujur ia merasa terharu karena pertemuan ayah dan anak tersebut.*"Aku bersyukur banget, Qila ketemu sama kamu tadi. Coba kalau enggak ada kamu, mungki
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog
"Nanti, di kamar ini, kita bakal produksi baby Je-Ni." Sambil mengecupi pelipis Nilam, Jean mengungkap apa yang dia pikirkan."B-baby Jeni?" Nilam mengerutkan keningnya."Iya, Jean Nilam junior maksudnya."Pipi Nilam kian memanas. Ia hampir meledak karena kata-kata pria itu."Karena sebelah langsung kamarnya Qila, jadi aku sengaja bikin ruangan ini kedap suara. Biar nanti pas kamu jerit keenakan ga kedengeran Qila," goda Jean makin menjadi-jadi.Nilam langsung berbalik. Ia menatap Jean dan langsung menjewer kupingnya sampai duda ganteng itu kesakitan."Jangan mancing-mancing ya!""Mancing gimana? Aku bicara sesuai fakta.""Fakta apanya! Kamu ngomongnya ngaco, Pak!" tukas Nilam dengan nada tegas.Jean meringis. Ia mengusap pipi Nilam lembut, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah ayu sang kekasih. "Apa kamu perlu bukti?"Nilam makin syok."Kalau mau bukti, aku bisa kok nunjukin itu sekarang." Jean semakin intens menggoda perempuan itu.Nilam mendelik. Ia dorong wajah Jean hingga
Hari ini, Nilam benar-benar tak tahu akan dibawa ke mana oleh Jean. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dari raut wajahnya, Jean tampak begitu bersemangat, seakan-akan telah menunggu momen ini sejak lama. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Bangunan apartemen mewah itu menjulang tinggi, mencerminkan kemegahan dan eksklusivitas. Fasade bangunan yang berlapis kaca tampak berkilauan, memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. "Selamat datang," ucap Jean dengan senyum penuh arti. Nilam menatapnya dengan bingung sekaligus penasaran. "Kita ke sini ngapain, Pak?" Jean tak langsung menjawab. Ia justru menggandeng tangan Nilam, membawanya masuk ke dalam lobi yang sangat luas dan elegan. Lantai marmernya mengilap, langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung menambah kesan mewah. Resepsionis menyambut mereka dengan ramah, sementara beberapa penghuni yang terlihat lewat berpakaian rapi
Nilam sudah siap sejak pagi, dia duduk di ruang tamu dengan kaki bersilang, mengenakan gaun selutut krem dengan motif bunga yang membuatnya terlihat santai namun tetap rapi. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, membuat wajahnya terlihat lebih lembut. Pandangannya sesekali mengarah ke layar ponsel, namun ia menahan diri untuk tidak menghubungi Jean.Sesuai janji pria itu semalam, mereka akan pergi ke suatu tempat—meski Jean tak menyebutkan di mana. Nilam sebenarnya penasaran, tapi di sisi lain ia juga menikmati sensasi kejutan yang pria itu siapkan.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ibunya, Bu Mala, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh di tangan. Wanita paruh baya itu mengenakan daster batik favoritnya, rambutnya disanggul seadanya. Ia lalu duduk di sebelah Nilam dengan santai.“Masih belum datang ya si Jean?” tanyanya, menyesap teh melati yang aromanya begitu khas. “Belum, Ma. Kayaknya masih di jalan.” “Coba chat aja?” Nilam menggeleng. “Nggak deh. Takutnya dia l
"Memang ada yang berani masuk ke sini tanpa ketuk pintu dulu?" Ia semakin mendekat, nyaris membuat bibir mereka bersentuhan.Nilam menelan ludah. Dalam jarak seperti ini, ia dapat merasakan helaan nafas sang kekasih.Hanya ada dirinya dan Jean dalam ruangan ini, terperangkap dalam jarak yang begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napas pria itu. Jean masih menatapnya dalam, matanya seperti ingin menelusuri setiap inci ekspresi di wajahnya. Bibirnya melengkung dalam senyum samar, penuh godaan."Kamu kalau diem gini jadi makin gemesin," bisiknya lembut, suara rendahnya bergetar di udara di antara mereka.Jantung Nilam berdetak begitu kencang, ia bisa merasakannya hingga ke ujung jari. "Pak Jean..." desis Nilam lirih, tapi tubuhnya tetap diam di tempat. Jean tersenyum semakin lebar, seolah membaca gelagat bahwa gadis di hadapannya tidak benar-benar ingin menjauh. "Apa sayang?""Posisi kita terlalu de—"Tanpa memberikan kesempatan bagi Nilam untuk menyelesaikan ucapannya, Jean
Setelah seminggu penuh istirahat di rumah, akhirnya hari ini Nilam kembali ke kantor. Meski tubuhnya sudah lebih segar, perasaannya masih sedikit berat. Ada rasa cemas yang belum sepenuhnya hilang. Lebih tepatnya perasaan bersalah pada teman-temannya karena acara kantor mereka jadi gagal.Saat melangkah masuk ke gedung kantor, Nilam menghela napas dalam-dalam. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak berada di sini. Ia hanya khawatir dengan reaksi teman-temannya nanti.Namun, baru beberapa langkah memasuki lobi, suara familiar langsung menyambutnya."Mba Nilam!"Gadis itu melihat Talita dan Rina yang sedang berlari ke arahnya. Talita terlihat begitu antusias, sementara Rina—meskipun ekspresinya tidak seheboh Talita—jelas-jelas tampak lega melihat Nilam. "Kamu udah sehat, Mba?" Talita langsung memeluk Nilam erat, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan. "Aku khawatir banget sama kamu Mba.""Kalau aku udah masuk kerja, berarti aku udah sehat," balas Nilam yang tak kuasa menahan s
"Itulah yang sedang kami dalami." Polisi itu menatap Jean dengan ekspresi serius. "Kami sudah meminta teknisi villa untuk memeriksa apakah ini hanya kerusakan teknis atau sabotase. Jika ini disengaja, maka pelaku bisa saja seseorang yang memahami sistem keamanan di villa ini." Jean bersandar ke kursinya, pikirannya berpacu cepat. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan ini dengan sangat matang. Matanya beralih ke Nilam yang masih terbaring di ranjang. Gadis itu tampak lemah, tapi sorot matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. CCTV mati. Tidak ada saksi. Tidak ada petunjuk. Jean menekan pelipisnya, mencoba meredam emosi yang berkecamuk. Fakta bahwa CCTV di villa mati pada saat kejadian membuatnya semakin curiga. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan semua ini. "Apa kalian sudah memeriksa staf villa? Atau tamu lain yang mungkin mencurigakan?" tanya Jean dengan nada mendesak. Polisi yang duduk di depannya menghela napas pelan. "Kami sudah memint