Rian menutup laptopnya dengan gerakan tegas. Rahangnya mengeras, sementara pikirannya penuh dengan kemarahan yang bergejolak.Ia baru saja menyaksikan rekaman CCTV dari rumah keluarga Hendrawan. Dalam rekaman itu, Zara tampak dipojokkan oleh Bu Hanan, dan tuduhan yang dilontarkan membuat darahnya mendidih."Beraninya ibu memperlakukan istriku seperti itu," gumam Rian dengan nada rendah namun penuh amarah. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Sandi, yang berdiri di sampingnya, menatap Rian dengan waspada. "Apa yang ingin Tuan lakukan selanjutnya?"Rian menghela napas berat, mencoba mengendalikan emosinya. "Tetap laporkan semuanya padaku tanpa menimbulkan kecurigaan. Cari kebenarannya… apakah anak yang dikandung Zara benar-benar darah dagingku."Belum sempat Sandi menjawab, suara pintu yang terbuka dengan keras menarik perhatian mereka. Lena berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kemarahan."Kamu kelewatan, Rian!"Sandi mundur selangka
Setelah makan siang selesai, Bu Hanan dan Luna melangkah keluar menuju taman. Udara siang itu sejuk, tetapi suasana di antara mereka terasa panas oleh percakapan yang baru saja terjadi di ruang makan.Luna berhenti di bawah pohon besar, memandang Bu Hanan dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Tante, apa Zara tinggal di sini sekarang?"Bu Hanan menarik napas panjang, ekspresinya menunjukkan ketidaksenangan. "Iya, dia bilang ingin tinggal di sini sampai Rian ditemukan. Awalnya aku menolak, tapi Arman menyuruhku untuk membiarkannya."Luna membelalakkan matanya, hampir tak percaya. "Dia tinggal di sini? Dan... bersama Jerry juga?"Bu Hanan mengangguk pelan, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Iya, dan itu yang membuatku khawatir. Aku tahu Zara menggunakan alasan kehamilannya, tapi aku tidak bisa menutup mata terhadap apa yang terjadi."Luna tertawa kecil, lalu menatap Bu Hanan dengan tatapan penuh rencana. "Tante, ini bukan kebetulan. Zara pasti punya tujuan tertentu.
Luna tersenyum licik sambil menggenggam memori kecil di tangannya. Ia melangkah keluar dari garasi dengan percaya diri, mencari sudut yang lebih sepi sebelum menelepon seseorang."Halo... Ini aku, Luna," katanya dengan nada lembut, namun penuh maksud tersembunyi. "Aku punya sesuatu yang ingin kupulihkan. Apakah kamu bisa memulihkan data yang sudah dihapus dari sebuah kamera dasbor?"Suara di seberang sana terdengar yakin. "Tentu saja, kirimkan saja memorinya. Aku bisa mengembalikan data yang terhapus, tapi butuh waktu."Luna tersenyum, menatap memori itu seolah memegang kunci kemenangan. "Baik, aku akan mengirimkannya sekarang. Lakukan secepat mungkin. Aku butuh bukti itu."Setelah menutup telepon, Luna menggenggam memori itu lebih erat. "Zara, "Aku tidak sabar melihat wajahmu saat kebenaran terungkap," gumamnya sambil berjalan menuju mobilnya.Sementara itu, Zara hampir menabrak Jerry di lorong sebelum masuk ke kamarnya. Nafasnya terengah-engah, wajahnya tegang
Sandi menatap jalan di depannya, matanya tajam dan penuh fokus. Dengan satu tangan di setir, ia menekan tombol panggilan cepat di ponselnya."Pak Jerry, saya sudah mendapatkan memorinya kembali," ucap Sandi, suaranya datar namun penuh makna."Bagus," jawab Jerry dari ujung telepon, suaranya tenang namun jelas terdengar puas. "Bawa itu padaku."Sandi mengangguk meski Jerry tidak bisa melihatnya. "Baik, Pak. Saya dalam perjalanan."Namun, di dalam hatinya, Sandi tahu ini bukan hanya tentang menyerahkan memori kepada Jerry. Ia memegang sesuatu yang lebih dari sekadar rekaman. Ini adalah kunci untuk memahami permainan yang sedang terjadi di antara keluarga Hendrawan dan musuh-musuh mereka yang tak kasat mata."Terkadang, kita harus mendekati musuh dan menjadikannya seorang teman, agar lebih mudah mengenalnya dari dalam," gumam Sandi sambil menatap memori di tangannya.Mobil melaju dengan tenang, sementara pikiran Sandi berputar cepat. Jerry bukan hanya sekadar pe
"Zara, mau ke mana kamu?" panggil Bu Hanan dari ruang tamu, matanya memperhatikan Zara yang menuruni tangga dengan langkah tergesa-gesa."Saya ada urusan, Bu," jawab Zara singkat, tangannya erat menggenggam tas di pundaknya, jelas menunjukkan niatnya yang tak bisa diganggu."Urusan apa? Gak baik wanita hamil sering-sering keluar rumah," kata Bu Hanan, nadanya setengah memerintah. "Jangan sampai kesehatan calon cucuku terganggu."Zara berhenti sejenak di ujung tangga, menatap Bu Hanan dengan senyum tipis, mencoba menjaga kesopanan. "Terima kasih atas perhatiannya, Bu. Tapi saya harus menyelesaikan sesuatu yang penting."Bu Hanan menyipitkan matanya, seolah tidak percaya. "Apa kamu pergi sendiri? Kenapa gak minta sopir untuk mengantarmu?"Zara menggeleng pelan. "Saya bisa mengurusnya sendiri, Bu.""Zara," suara Bu Hanan melembut, tetapi tetap sarat dengan rasa ingin tahu. "Saya harap kamu gak menyembunyikan sesuatu dari kami. Apalagi sekarang, situasinya sangat sensitif.""Tidak ada yan
Pria itu berdiri tegap di depannya, matanya sedikit melebar melihat Zara, tetapi dengan cepat kembali tenang. Zara, di sisi lain, menatapnya penuh kekecewaan dan amarah."Nona Zara...," Sandi mencoba bersikap tenang."Kamu tahu," suara Zara lirih, hampir seperti bisikan, namun penuh tekanan. "Selama ini... kamu tahu dia masih hidup?"Sandi tidak langsung menjawab. Ia mengusap tengkuknya dengan gelisah, mencari cara untuk menjelaskan. "Nona Zara, tolong dengarkan saya dulu..."Zara menggeleng keras, air matanya sudah tumpah. "Aku hidup dalam kesedihan, kebingungan, dan rasa kehilangan yang tak berujung. Aku hampir gila mencarinya, Sandi! Dan kamu... kamu tahu! Kalian semua tahu, tapi tidak ada yang memberitahuku!"Sandi menatapnya dengan tatapan bersalah. "Saya melakukannya demi Tuan Rian. Dia memintaku untuk tidak mengatakan apa pun. Dia ingin memastikan Anda aman sebelum dia kembali.""Aman? Apa maksudmu aman?" suara Zara mulai bergetar, penuh emosi. "Apa me
Zara mengalihkan pandangannya ke Lena, matanya masih berkilat dengan sisa-sisa kemarahan dan kekecewaan."Lena… selama ini aku menganggapmu sahabat, tempat aku berbagi segalanya. Tapi kenapa kamu menyembunyikan ini dariku?" suaranya bergetar, namun tetap tenang.Lena mendekati Zara, air mata mulai menggenangi matanya. "Zara, aku… aku tidak bermaksud melukaimu. Aku hanya ingin melindungi kamu dan Rian. Aku takut kebenaran ini malah akan memperburuk keadaan."Zara menarik napas panjang, menahan rasa sesak di dadanya. "Aku bisa menerima kalau kamu ingin melindunginya, Lena. Tapi aku pantas tahu dia masih hidup."Rian yang berada di sebelahnya ikut bicara, suaranya pelan namun penuh penyesalan. "Zara, aku yang meminta Lena untuk diam. Aku belum siap menemuimu dengan kondisiku seperti ini. Aku takut kamu kecewa melihat aku yang sekarang."Zara menatap Rian, matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu pikir aku akan kecewa karena kondisi fisikmu? Rian, aku cuma ingin kamu kembal
Rian tercekat. Selama ini, ia tahu ada sebuah tragedi yang melibatkan ayahnya tiga puluh tahun lalu, tapi ia tidak pernah menyangka korban kecelakaan itu adalah ayah Zara. Pikirannya berputar cepat, menghubungkan potongan-potongan yang selama ini tersembunyi."Zara…" suara Rian terdengar parau, penuh rasa bersalah. "Aku tahu soal kecelakaan itu… tapi aku tidak tahu kalau pria itu adalah ayahmu."Zara menatapnya, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku baru tahu, Rian. Dari berkas-berkas lama yang aku temukan di ruang kerja apartemen lamamu. Aku yakin kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Entah bagaimana, tapi aku melihat ayahku tampak begitu dekat dengan keluargamu."Rian menghela napas panjang, mencoba mencerna semuanya. "Jadi selama ini, ayahku menutupi semua itu?""Ya," jawab Zara, suaranya bergetar. "Dan aku yakin Tuan Arman mungkin tahu lebih dari yang dia katakan sebagai saksi. Dia pasti terhubung dengan masa lalu itu.""Sial!" Rian mengepalkan tangan
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk