Rian tercekat. Selama ini, ia tahu ada sebuah tragedi yang melibatkan ayahnya tiga puluh tahun lalu, tapi ia tidak pernah menyangka korban kecelakaan itu adalah ayah Zara. Pikirannya berputar cepat, menghubungkan potongan-potongan yang selama ini tersembunyi.
"Zara…" suara Rian terdengar parau, penuh rasa bersalah. "Aku tahu soal kecelakaan itu… tapi aku tidak tahu kalau pria itu adalah ayahmu."Zara menatapnya, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku baru tahu, Rian. Dari berkas-berkas lama yang aku temukan di ruang kerja apartemen lamamu. Aku yakin kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Entah bagaimana, tapi aku melihat ayahku tampak begitu dekat dengan keluargamu."Rian menghela napas panjang, mencoba mencerna semuanya. "Jadi selama ini, ayahku menutupi semua itu?""Ya," jawab Zara, suaranya bergetar. "Dan aku yakin Tuan Arman mungkin tahu lebih dari yang dia katakan sebagai saksi. Dia pasti terhubung dengan masa lalu itu.""Sial!" Rian mengepalkan tanganLangit pagi itu terlihat cerah, meski awan tipis mulai menutupi matahari. Di sebuah rumah megah keluarga Hendrawan, suasana terasa sibuk. Para pelayan berlalu-lalang, memastikan segalanya sempurna. Hari itu adalah hari pernikahan Jerry Hendrawan.Di lantai atas, Jerry berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Jas hitamnya terpasang rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya. Ia tersenyum kecil, membayangkan Zara yang akan segera menjadi istrinya."Akhirnya... hari ini tiba," gumam Jerry.Rasa bahagia memenuhi dadanya. Ia sudah menantikan momen ini sejak lama, di mana ia bisa menjalani hidup bersama wanita yang ia cintai. Zara adalah segalanya baginya. Dia tidak pernah membayangkan masa depannya tanpa Zara di sisinya.Pintu kamarnya terbuka, dan Bu Hanan masuk dengan senyum lebar. "Kamu tampan sekali, Jerry. Zara pasti akan terpesona.""Terima kasih, Bu," jawab Jerry dengan tawa kecil. "Aku harap dia tidak berubah pikiran di altar.""Tentu saja tidak," kata Bu H
"Rian, sebenarnya apa yang terjadi padamu malam itu? Dan bagimana kamu bisa bertemu dengan Lena?" tanya Zara, penasaran.Rian menghela napas panjang sebelum menjawab, sebenarnya dia tidak mau mengingat lagi kejadian itu. Kejadian yang membuatnya hancur seperti sekarang.Malam itu, angin bertiup dingin. Rian duduk di kursi tunggu bandara, menatap tiket penerbangan ke Korea yang digenggamnya. Pikirannya melayang pada Zara, bayangan wajah istrinya memenuhi benaknya.Ia menghela napas berat, meraih ponsel, bersiap untuk menelepon Zara bahwa dia akan segera berangkat. Namun, sebelum ia sempat menekan tombol panggil, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal muncul di layar."Halo?"Suara berat di seberang sana membuatnya merinding. "Zara dalam bahaya."Rian berdiri dengan tegang, matanya menyipit. "Siapa kamu? Apa maksudmu?"Namun, telepon itu sudah terputus. Rian mencoba menelepon balik, tetapi tak ada jawaban. Detak jantungnya berpacu. Ia tahu, ini bukan ancaman
Rian mengakhiri ceritanya dengan desahan napas panjang. Dia menoleh ke samping, ingin melihat reaksi Zara terhadap semua yang baru saja dia ungkapkan. Namun, alih-alih menemukan ekspresi terkejut atau pertanyaan yang menyerangnya, Rian justru mendapati Zara telah terlelap di pelukannya.Matanya mengamati wajah Zara yang tampak damai dalam tidurnya. Napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, dan alisnya yang tadi sempat berkerut kini telah rileks. Rian tersenyum kecil, merasakan kehangatan di dadanya.“Sepertinya aku terlalu banyak bicara,” gumamnya pelan.Tangannya bergerak otomatis, menyelipkan helaian rambut Zara yang jatuh ke pipinya. Kulitnya terasa begitu lembut di bawah sentuhannya. Rian menatap wanita itu lama, seolah mencoba mengabadikan setiap detail wajahnya dalam ingatan.Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia bisa melihat Zara dari jarak sedekat ini? Tanpa ada kemarahan, tanpa ada jarak yang memisahkan mereka.Dia mengingat kembali lima tahun perni
Zara duduk di samping tempat tidur Rian, menunggu dokter selesai memeriksa kondisinya. Ia memperhatikan wajah suaminya yang terlihat lebih tenang meskipun masih pucat.Dokter melepas stetoskopnya, mencatat sesuatu di clipboard sebelum menoleh ke Zara. "Tuan Rian dalam kondisi stabil, tapi pastikan dia tidak terlalu banyak bergerak. Proses pemulihan saraf kakinya masih memerlukan waktu," jelasnya.Zara mengangguk, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Terima kasih, Dok."Rian yang sejak tadi diam, menatap Zara dengan lembut. "Jangan terlalu lama di sini. Ini sudah malam."Zara menatapnya ragu. "Aku ingin menemanimu lebih lama."Rian tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Kamu juga harus istirahat."Zara menghela napas, lalu akhirnya berdiri. Ia menggenggam tangan Rian sebentar, merasakan hangatnya yang menenangkan. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Aku akan kembali besok."Rian mengeratkan genggamannya sejenak sebelum melepaskannya perlahan. "Hati-hati
Zara menekan bel kamar, memanggil salah satu pelayan. Tak butuh waktu lama, seorang wanita paruh baya datang dengan kepala sedikit menunduk.“Nona Zara, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.Zara menghela napas, mencoba meredakan emosi yang masih mengganjal setelah perdebatan di ruang makan tadi. “Tolong bawakan makan malam ke kamar. Aku tidak ingin turun.”Pelayan itu tampak ragu sejenak. “Tapi, Nona... Nyonya Hanan biasanya tidak mengizinkan makan di kamar—”Zara menatapnya dengan tenang namun tegas. “Aku mengerti. Tapi aku juga tidak ingin mencari masalah. Aku hanya ingin makan dengan tenang.”Pelayan itu akhirnya mengangguk. “Baik, Nona. Saya akan segera membawanya.”Zara tersenyum tipis, lalu menutup pintu. Ia berjalan ke balkon, menatap langit malam yang kelam. Semua yang terjadi hari ini membuat kepalanya berdenyut.Tidak butuh waktu lama sebelum ketukan di pintu kembali terdengar. Pelayan tadi datang dengan nampan berisi makanan hangat. “Silakan, Nona. Saya sudah memastik
Luna dan Bu Hanan terdiam, terkejut dengan pengakuan Jerry. Mereka saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan. Luna bahkan melotot ke arah Jerry dengan ekspresi yang penuh kebencian, sementara Bu Hanan tampak terperangah, mulutnya terbuka sedikit.Zara mencoba menahan amarah yang mulai meruak. "Jerry, kenapa kamu harus mengatakan hal itu?" suaranya bergetar, berusaha tetap tenang meskipun hatinya penuh gejolak. "Apa yang kamu harapkan dengan mengatakan itu?"Jerry menatapnya dengan penuh keyakinan, seolah tidak merasa ada yang salah dengan kata-katanya. "Aku tidak ingin mereka terus menindasmu, Zara," katanya pelan. "Aku di sini, dan aku akan bertanggung jawab sampai Rian kembali."Bu Hanan akhirnya membuka suara, suaranya penuh kekesalan. "Jadi, ini yang kalian rencanakan, ya? Menyembunyikan hal besar ini di belakang kami?"Zara menatap Bu Hanan dengan tatapan dingin. "Aku tidak merencanakan apa-apa."Luna mendengus kasar, tidak bisa menyembun
Zara merebahkan dirinya di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Pikiran tentang kejadian hari ini terus berputar di kepalanya, membuatnya sulit memejamkan mata.Dering pelan dari ponselnya mengalihkan perhatian. Ia meraihnya dengan cepat, melihat nama yang tertera di layar.Rian.Zara menghela napas sebelum mengangkatnya. "Halo?"Suara Rian terdengar dalam dan tenang dari seberang telepon. "Kamu masih terjaga?"Zara tersenyum kecil meski ia tahu Rian tidak bisa melihatnya. "Bagaimana aku bisa tidur dengan semua kekacauan ini?""Aku merasa terjebak di sini, Rian," lanjutnya, suaranya seperti bisikan. "Luna terus mencari cara untuk menjatuhkanku. Ibumu juga... Mereka tidak berhenti menuduhku yang bukan-bukan."Zara bisa mendengar tarikan napas panjang dari Rian. "Aku tahu," katanya. "Sandi terus memberiku laporan."Zara mengalihkan pandangannya ke arah cermin di seberang ruangan. Bayangannya tampak lelah."Jerry semakin
Di rumah sakit, Zara duduk di samping tempat tidur Rian, menunggu hasil pemeriksaan kesehatannya. Meskipun dia sudah makan siang, perutnya terasa sedikit aneh. Ada keinginan mendadak yang sulit ia jelaskan.Dia mengusap perutnya yang mulai membuncit, lalu menoleh ke arah Rian yang tengah membaca dokumen di atas tempat tidurnya.“Rian…” Zara memanggil pelan.“Hm?” Rian menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang dipegangnya.Zara menggigit bibirnya, sedikit ragu untuk mengatakannya. Namun, rasa keinginan itu semakin kuat, membuatnya tak bisa mengabaikannya lebih lama.“Aku… ingin makan sesuatu,” katanya akhirnya.Rian akhirnya menoleh, menatap Zara dengan kening berkerut. “Kamu lapar? Bukannya tadi kamu sudah makan?”Zara menggeleng pelan. “Ini berbeda. Aku tiba-tiba ingin makan sesuatu yang asam dan segar…”Rian terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Jadi ini pertama kalinya kamu ngidam?”Zara mengangguk, pipinya sedikit memerah.Rian meletakkan dokumen yang dibacanya k
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk