Luna dan Bu Hanan terdiam, terkejut dengan pengakuan Jerry. Mereka saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan. Luna bahkan melotot ke arah Jerry dengan ekspresi yang penuh kebencian, sementara Bu Hanan tampak terperangah, mulutnya terbuka sedikit.Zara mencoba menahan amarah yang mulai meruak. "Jerry, kenapa kamu harus mengatakan hal itu?" suaranya bergetar, berusaha tetap tenang meskipun hatinya penuh gejolak. "Apa yang kamu harapkan dengan mengatakan itu?"Jerry menatapnya dengan penuh keyakinan, seolah tidak merasa ada yang salah dengan kata-katanya. "Aku tidak ingin mereka terus menindasmu, Zara," katanya pelan. "Aku di sini, dan aku akan bertanggung jawab sampai Rian kembali."Bu Hanan akhirnya membuka suara, suaranya penuh kekesalan. "Jadi, ini yang kalian rencanakan, ya? Menyembunyikan hal besar ini di belakang kami?"Zara menatap Bu Hanan dengan tatapan dingin. "Aku tidak merencanakan apa-apa."Luna mendengus kasar, tidak bisa menyembun
Zara merebahkan dirinya di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Pikiran tentang kejadian hari ini terus berputar di kepalanya, membuatnya sulit memejamkan mata.Dering pelan dari ponselnya mengalihkan perhatian. Ia meraihnya dengan cepat, melihat nama yang tertera di layar.Rian.Zara menghela napas sebelum mengangkatnya. "Halo?"Suara Rian terdengar dalam dan tenang dari seberang telepon. "Kamu masih terjaga?"Zara tersenyum kecil meski ia tahu Rian tidak bisa melihatnya. "Bagaimana aku bisa tidur dengan semua kekacauan ini?""Aku merasa terjebak di sini, Rian," lanjutnya, suaranya seperti bisikan. "Luna terus mencari cara untuk menjatuhkanku. Ibumu juga... Mereka tidak berhenti menuduhku yang bukan-bukan."Zara bisa mendengar tarikan napas panjang dari Rian. "Aku tahu," katanya. "Sandi terus memberiku laporan."Zara mengalihkan pandangannya ke arah cermin di seberang ruangan. Bayangannya tampak lelah."Jerry semakin
Di rumah sakit, Zara duduk di samping tempat tidur Rian, menunggu hasil pemeriksaan kesehatannya. Meskipun dia sudah makan siang, perutnya terasa sedikit aneh. Ada keinginan mendadak yang sulit ia jelaskan.Dia mengusap perutnya yang mulai membuncit, lalu menoleh ke arah Rian yang tengah membaca dokumen di atas tempat tidurnya.“Rian…” Zara memanggil pelan.“Hm?” Rian menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang dipegangnya.Zara menggigit bibirnya, sedikit ragu untuk mengatakannya. Namun, rasa keinginan itu semakin kuat, membuatnya tak bisa mengabaikannya lebih lama.“Aku… ingin makan sesuatu,” katanya akhirnya.Rian akhirnya menoleh, menatap Zara dengan kening berkerut. “Kamu lapar? Bukannya tadi kamu sudah makan?”Zara menggeleng pelan. “Ini berbeda. Aku tiba-tiba ingin makan sesuatu yang asam dan segar…”Rian terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Jadi ini pertama kalinya kamu ngidam?”Zara mengangguk, pipinya sedikit memerah.Rian meletakkan dokumen yang dibacanya k
Tiba-tiba Zara meletakkan tusuk sate dan menatap Sandi dengan ekspresi penuh harap.“Sandi,” panggilnya pelan.Sandi, yang baru saja hendak duduk dan menikmati sedikit ketenangan setelah berburu makanan untuk Zara, langsung menegakkan punggungnya. “Ya, Nona?”Zara tersenyum manis, ekspresinya polos namun penuh niat. “Aku ingin mendengar kamu bernyanyi.”Sandi terdiam. Rian, yang sedang menyuapkan sate ke mulutnya, juga menghentikan gerakannya dan menatap Zara seolah istrinya baru saja meminta sesuatu yang tidak masuk akal.“Bernyanyi?” ulang Sandi, seolah tidak yakin dengan pendengarannya.Zara mengangguk antusias. “Iya. Aku ingin dengar kamu menyanyi. Suaramu pasti bagus, kan?”Sandi mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menoleh ke Rian, berharap mendapat pertolongan. Namun, Rian justru terlihat menikmati situasi ini, bahkan ada senyuman kecil di sudut bibirnya.“Ayo, Sandi,” kata Rian dengan nada santai. “Istriku sedang hamil. Kalau itu bisa membuatnya senang, kenapa tidak?”Sandi h
Zara menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Luna keluar dari mobil dengan senyum sinis. Wanita itu melangkah pelan, dengan anggun.“Aku pikir kamu sibuk di rumah keluarga Hendrawan,” kata Zara dengan suara datar, mencoba menyembunyikan kegugupannya.Luna menyibakkan rambut panjangnya dan tersenyum manis. “Dan aku pikir kamu sibuk mengunjungi dokter, tapi ternyata lebih dari itu, ya?”Zara mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Dia tahu Luna bukan tipe orang yang datang tanpa alasan. “Apa maksudmu, Luna?”Luna melipat tangan di depan dadanya, langkahnya semakin mendekati Zara. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Zara. Kamu tampak begitu sering mengunjungi rumah sakit ini. Menarik, bukan? Dan yang lebih menarik lagi, kamu tampak... terlalu bahagia. Bahkan, di saat suamimu tidak tahu ada di mana.”Zara menahan napas. “Kamu terlalu banyak berspekulasi.”Luna tertawa pelan. “Oh, jangan berpikir aku tidak tahu sesuatu, Zara. Kamu bukan satu-satunya yang bisa
Zara menyalakan mesin mobilnya, tetapi sebelum ia bisa menekan pedal gas, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Layarnya menyala, menampilkan satu nama yang kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya.Luna: "Jangan kira aku tidak tahu apa yang kamu sembunyikan, Zara. Kita akan segera bertemu lagi."Darah Zara berdesir. Ia menghapus pesan itu dan meraih kemudi. Jika Luna ingin bermain, maka ia juga akan bermain.Mobilnya melaju dengan kecepatan stabil, tetapi pikirannya berputar liar. Dia harus memastikan bahwa Rian dipindahkan sebelum Luna bisa berbuat lebih jauh. Dia juga harus berpikir cepat untuk menutupi pergerakannya.Tiba-tiba, di persimpangan jalan, Zara menyadari sesuatu. Sebuah mobil hitam ada di belakangnya, mengikuti sejak ia keluar dari rumah sakit. Jantungnya berdebar lebih cepat. Dia mencoba tetap tenang, tapi instingnya mengatakan ini bukan kebetulan."Tenang, Zara... Jangan panik," gumamnya pada diri sendiri.Ia mempercepat mobilnya sedikit, tetapi mobil hitam itu tetap b
Malam terasa lebih gelap dari biasanya ketika Zara dan Jerry tiba di rumah keluarga Hendrawan. Lampu-lampu di teras menyala terang, menyambut kedatangan mereka dengan sinar yang menusuk mata.Namun, yang lebih tajam dari cahaya itu adalah tatapan Bu Hanan yang sudah berdiri di depan pintu, seolah tahu bahwa mereka akan datang bersama.Zara merasakan firasat buruk merayapi tubuhnya. Napasnya tertahan, sementara Jerry tetap berjalan santai di sampingnya, seakan tak peduli dengan atmosfer penuh ketegangan yang menyelimuti rumah itu.Bu Hanan melipat tangannya di dada, bibirnya melengkung sinis. “Bagus, kamu terus mencari alasan untuk keluar rumah padahal hanya ingin berduaan dengan Jerry,” sindirnya, matanya menelusuri Zara dari ujung kepala hingga kaki.Zara mengernyit, berusaha menahan emosinya. “Bu, kami tidak sengaja bertemu di jalan.”“Tidak sengaja?” Bu Hanan tertawa sinis, melirik Jerry dengan pandangan tajam. “Kalian pikir aku sebodoh itu untuk percaya?”
"Anak ini semakin berani," pikir Tuan Arman, merasa geram dengan keberanian Jerry yang terang-terangan menantang perintahnya.Luna mendengus sinis. "Kamu benar-benar keras kepala, Jerry. Aku tidak mengerti apa yang kamu lihat dari Zara sampai kamu menentang keluargamu sendiri."Zara berbalik menatap Luna dengan tatapan tajam. "Aku tidak pernah meminta Jerry untuk melakukan ini, jadi berhenti menyalahkanku."BRAK!Ketegangan semakin meningkat ketika pintu utama tiba-tiba terbuka dengan keras. Semua kepala menoleh, dan keheningan menyelimuti ruangan itu.Rian.Pria itu memasuki ruang tamu dengan kursi rodanya, didorong oleh Lena yang berdiri tegak di belakangnya. Tatapannya tajam, penuh dengan emosi yang sudah tertahan selama berbulan-bulan. "Rian?" bisik Zara, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Rian menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, lalu bibirnya melengkung tipis. "Sepertinya aku datang di waktu yang tepat."Zara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak t
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk