Zara mengerjap pelan, kepalanya terasa sedikit berat. Ia duduk tegak, menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam.
Apartemen itu sepi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi yang menemani."Bagaimana aku bisa ketiduran di sini?" gumamnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.Pukul tujuh pagi. Ia menggigit bibir bawah, menyesali kebodohannya. Berkas-berkas yang semalam ia bawa masih tergeletak di atas meja. Zara duduk tegak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Zara menarik napas panjang, jemarinya dengan rapi merapikan berkas-berkas tersebut. Jika ingin mengetahui kebenaran, ia harus bergerak lebih dalam. Mendekati keluarga Hendrawan dari dekat adalah satu-satunya cara.Ia bangkit dari sofa, Zara mengambil tasnya dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi sebelum ia meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di rumah, Zara langsung mMalam itu, Jerry baru saja tiba di rumah. Ia melepas jasnya, menyerahkannya pada pelayan di pintu, dan melangkah ke ruang makan. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok Zara duduk di meja makan bersama Tuan Arman dan Bu Hanan.Alis Jerry terangkat. "Zara? Kenapa kamu ada di sini?"Zara menatap Jerry dengan tenang. "Aku akan tinggal di sini sementara waktu."Jerry mengerutkan kening, lalu menarik kursi di sebelah Zara. "Tinggal di sini? Untuk apa?""Aku ingin menunggu kabar dari Rian," jawab Zara, suaranya terdengar tegas namun lembut. "Aku pikir, lebih baik aku di sini daripada kesepian di rumah."Jerry menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca sesuatu di balik jawabannya. "Apa ini idemu... atau ide mereka?" tanyanya, melirik Tuan Arman dan Bu Hanan."Ini keputusanku," tegas Zara. "Aku ingin berada di dekat keluarga Rian."Tuan Arman menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Kita semua ingin yang terbaik untuk Zara, Jerry. Lagipula, rumah
Zara sudah bersiap mengenakan pakaian rapi, wajahnya terlihat segar meski matanya menyiratkan kegelisahan. Ponselnya terus digenggam, sesekali ia memeriksa layar, berharap ada balasan dari Lena. Namun, pesan yang ia kirim sejak tadi pagi masih belum dibaca.Zara menuruni tangga dengan langkah cepat, menemui Bu Hanan yang sedang duduk di ruang tamu sambil menikmati teh paginya. Wanita paruh baya itu menoleh ketika Zara mendekat, menatapnya dengan sorot mata tajam seperti biasa."Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bu Hanan, menyesap tehnya pelan."Aku akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kehamilan," jawab Zara, berusaha terdengar santai. "Aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja."Bu Hanan mengangguk kecil, meski matanya tetap curiga. "Hati-hati di jalan, dan jangan terlalu lama."Zara tersenyum tipis, mengabaikan tatapan Bu Hanan. "Tentu, Ibu."Setelah keluar dari rumah, Zara langsung menuju rumah sakit. Perjalanan terasa sedikit berat. Ia menarik n
"Bertahanlah, Zara."Jalanan siang itu tidak terlalu ramai, tetapi setiap detik terasa seperti siksaan. Setiap lampu merah membuatnya semakin gelisah.Beberapa menit kemudian, Jerry melihat mobil Zara terparkir di pinggir jalan. Ia segera menghentikan mobilnya dan berlari ke arah Zara. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya memegang perutnya dengan keringat bercucuran."Zara!" panggil Jerry, suaranya penuh kepanikan.Zara membuka matanya perlahan, menatap Jerry dengan ekspresi lemah. "Jerry... aku tak bisa... ini sakit sekali," bisiknya.Jerry segera membungkuk, tangannya menahan tubuh Zara dengan hati-hati. "Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kita harus segera pergi," ucapnya, berusaha tetap tenang.Ia membantu Zara berdiri, membawanya ke mobil dengan penuh kehati-hatian. Zara bersandar pada bahunya, tubuhnya terasa begitu lemah. Begitu pintu mobil tertutup, Jerry kembali ke kursi pengemudi dan segera menyalakan mesin.Mo
Luna melangkah dengan percaya diri memasuki gedung kantor Hendrawan Corp. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi yang berirama. Matanya tajam, mencari sosok Jerry yang sejak semalam menghilang begitu saja."Apa Jerry ada di dalam?" tanya Luna pada resepsionis dengan senyum tipis."Maaf, Nona Luna," jawab resepsionis itu sopan. "Tuan Jerry baru saja keluar dari gedung."Luna segera berbalik, matanya menyipit ketika melihat Jerry yang terburu-buru menuju mobilnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengikuti dari kejauhan. Jerry tampak serius, wajahnya tegang saat membuka pintu mobil dan melaju dengan cepat."Ada apa, Jerry?" gumam Luna sambil menyalakan mesin mobilnya. Ia menjaga jarak, memastikan Jerry tidak menyadari kehadirannya.Jerry menyetir dengan kecepatan tinggi, membuat Luna harus fokus agar tidak kehilangan jejak. Di tengah perjalanan, Luna melihat sesuatu yang mengejutkan. Di sisi jalan, Jerry berhenti mendadak, keluar dari mobil, dan berlari ke arah seoran
Rian menutup laptopnya dengan gerakan tegas. Rahangnya mengeras, sementara pikirannya penuh dengan kemarahan yang bergejolak.Ia baru saja menyaksikan rekaman CCTV dari rumah keluarga Hendrawan. Dalam rekaman itu, Zara tampak dipojokkan oleh Bu Hanan, dan tuduhan yang dilontarkan membuat darahnya mendidih."Beraninya ibu memperlakukan istriku seperti itu," gumam Rian dengan nada rendah namun penuh amarah. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Sandi, yang berdiri di sampingnya, menatap Rian dengan waspada. "Apa yang ingin Tuan lakukan selanjutnya?"Rian menghela napas berat, mencoba mengendalikan emosinya. "Tetap laporkan semuanya padaku tanpa menimbulkan kecurigaan. Cari kebenarannya… apakah anak yang dikandung Zara benar-benar darah dagingku."Belum sempat Sandi menjawab, suara pintu yang terbuka dengan keras menarik perhatian mereka. Lena berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kemarahan."Kamu kelewatan, Rian!"Sandi mundur selangka
Setelah makan siang selesai, Bu Hanan dan Luna melangkah keluar menuju taman. Udara siang itu sejuk, tetapi suasana di antara mereka terasa panas oleh percakapan yang baru saja terjadi di ruang makan.Luna berhenti di bawah pohon besar, memandang Bu Hanan dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Tante, apa Zara tinggal di sini sekarang?"Bu Hanan menarik napas panjang, ekspresinya menunjukkan ketidaksenangan. "Iya, dia bilang ingin tinggal di sini sampai Rian ditemukan. Awalnya aku menolak, tapi Arman menyuruhku untuk membiarkannya."Luna membelalakkan matanya, hampir tak percaya. "Dia tinggal di sini? Dan... bersama Jerry juga?"Bu Hanan mengangguk pelan, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Iya, dan itu yang membuatku khawatir. Aku tahu Zara menggunakan alasan kehamilannya, tapi aku tidak bisa menutup mata terhadap apa yang terjadi."Luna tertawa kecil, lalu menatap Bu Hanan dengan tatapan penuh rencana. "Tante, ini bukan kebetulan. Zara pasti punya tujuan tertentu.
Luna tersenyum licik sambil menggenggam memori kecil di tangannya. Ia melangkah keluar dari garasi dengan percaya diri, mencari sudut yang lebih sepi sebelum menelepon seseorang."Halo... Ini aku, Luna," katanya dengan nada lembut, namun penuh maksud tersembunyi. "Aku punya sesuatu yang ingin kupulihkan. Apakah kamu bisa memulihkan data yang sudah dihapus dari sebuah kamera dasbor?"Suara di seberang sana terdengar yakin. "Tentu saja, kirimkan saja memorinya. Aku bisa mengembalikan data yang terhapus, tapi butuh waktu."Luna tersenyum, menatap memori itu seolah memegang kunci kemenangan. "Baik, aku akan mengirimkannya sekarang. Lakukan secepat mungkin. Aku butuh bukti itu."Setelah menutup telepon, Luna menggenggam memori itu lebih erat. "Zara, "Aku tidak sabar melihat wajahmu saat kebenaran terungkap," gumamnya sambil berjalan menuju mobilnya.Sementara itu, Zara hampir menabrak Jerry di lorong sebelum masuk ke kamarnya. Nafasnya terengah-engah, wajahnya tegang
Sandi menatap jalan di depannya, matanya tajam dan penuh fokus. Dengan satu tangan di setir, ia menekan tombol panggilan cepat di ponselnya."Pak Jerry, saya sudah mendapatkan memorinya kembali," ucap Sandi, suaranya datar namun penuh makna."Bagus," jawab Jerry dari ujung telepon, suaranya tenang namun jelas terdengar puas. "Bawa itu padaku."Sandi mengangguk meski Jerry tidak bisa melihatnya. "Baik, Pak. Saya dalam perjalanan."Namun, di dalam hatinya, Sandi tahu ini bukan hanya tentang menyerahkan memori kepada Jerry. Ia memegang sesuatu yang lebih dari sekadar rekaman. Ini adalah kunci untuk memahami permainan yang sedang terjadi di antara keluarga Hendrawan dan musuh-musuh mereka yang tak kasat mata."Terkadang, kita harus mendekati musuh dan menjadikannya seorang teman, agar lebih mudah mengenalnya dari dalam," gumam Sandi sambil menatap memori di tangannya.Mobil melaju dengan tenang, sementara pikiran Sandi berputar cepat. Jerry bukan hanya sekadar pe
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam