Aku melangkah tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Hawa dingin yang mencekam dan aroma antiseptik menyambut kedatanganku.
Aku berlari secepat mungkin menuju ruang rawat Riani. Air mataku meluruh tanpa henti. Duniaku seperti runtuh di atas kepalaku. Pikiranku terasa kosong. Waktu berlalu sangat lambat seperti dalam mimpi. Sejuta pertanyaan terngiang-ngiang di benakku. Kenapa Riani bisa pingsan? Apa penyebabnya? Jantungku berdebar makin tak karuan saat aku tiba di ruang itu. Kakiku terasa lemas tanpa sebab, membuatku nyaris pingsan. Aku mendapati seorang gadis duduk tertegun di bangku tunggu. Wajahnya pucat pasi, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan doa. Aku menyadari situasinya sangat gawat saat melihat ekspresinya. “Di mana adikku?! Gimana keadaannya?! Dia baik-baik aja, kan?” Aku terisak-isak. “Kok dia bisa pingsan?! Apa yang sebenarnya terjadi sama dia?!” Aku tidak bisa mengontrol diriku. Napasku terengah-engah akibat berlari. “Tenang dulu, Kak. Tarik napas dulu—” “Jawab aku! Aku Cuma butuh jawaban!” sergahku, panik dan cemas. “D-dokter sedang memeriksa Riani. Aku juga lagi nunggu konfirmasi dari dokter, jadi aku nggak tahu apa yang terjadi sama dia, Kak.” “Ya Allah…!” Tangisku makin meledak. Aku terduduk lemas di kursi sambil menangis terisak-isak. Dalam sejarah hidup Riani, dia tidak pernah sakit sampai pingsan. Paling parah, dia hanya demam. "Kakak jangan cemas. Aku yakin Riani baik-baik saja.” Gadis itu mengusap-usap pundakku lembut, berusaha menenangkanku. Sayangnya, itu tidak berhasil. Bagaimana aku bisa tenang saat adikku sedang terkapar tak berdaya di brankar rumah sakit? Namun, sebagai kakaknya, aku tidak bisa menolongnya selain memanjatkan doa agar dia baik-baik saja. Ketidak berdayaanku membuatku hancur dalam keputusasaan. Setelah tersiksa menunggu dalam ketidak pastian, akhirnya seorang dokter wanita keluar dengan raut serius dan tegang. Aku langsung menghampirinya. “Gimana keadaan adik saya, Dok? Riani baik-baik saja, kan?” desakku. “Apa kamu adalah kakak kandungnya?” “Ya!” Aku mengangguk cepat. “Dia baik-baik saja, ‘kan, Dok?” “Bisa kamu ikut saya? Saya ingin menyampaikan hal penting padamu.” Jantungku seolah-olah berhenti mendengar itu. Ekspresi dokter memperkuat dugaanku bahwa Riani dalam bahaya, membuatku nyaris pingsan, tetapi aku berusaha tegar. Dengan berat, aku mengangguk dan mengikuti dia ke ruang kerjanya. “Ada apa, Dok? Kenapa Dokter memanggil saya? Apa terjadi hal buruk pada adik saya?” tanyaku terisak. Aku berusaha menguatkan diri pada kemungkinan terburuk. “Silakan duduk dulu dan tenangkan dirimu.” Aku menarik kursi dan duduk di depannya dengan gelisah. Dokter itu menaruh sebuah amplop putih berlogo rumah sakit di depanku. Aku terpaku menatap amplop tersebut dengan pikiran berkecamuk. “Apa ini, Dok?” “Silakan kamu lihat.” Dengan tangan gemetar, aku mengambil dan membukanya. Alisku mengernyit saat mengetahui isinya. Isinya adalah beberapa lembar kertas hitam putih. Aku mengamatinya saksama, mencoba memahaminya. “Apa ini, Dok?” tanyaku polos. Kertas itu tidak menjelaskan apa pun. “Adikmu hamil.” Aku terbelalak. Aku seperti tersambar petir di siang bolong. Tubuhku membeku. Sesaat aku lupa di mana aku berada. Air mataku mengalir membanjiri pipi. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirku. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. “Gak!” Aku menggeleng cepat, menepis kenyataan pahit itu. “Ini pasti salah, Dok! Nggak mungkin adikku hamil! Adikku gadis baik-baik! Dia bahkan benci banget laki-laki!” Kalimat itu bukan untuk dokter itu, melainkan untuk diriku. Aku berupaya menyangkal kenyataan pahit itu. “Saya sudah melakukan pengecekan berkali-kali. Mulai tes darah, air seni dan USG. Semuanya menunjukkan tanda-tanda kehamilan.” Suara Dokter terdengar prihatin, seperti menyampaikan berita duka. “Gak! Itu pasti salah!” Aku mulai menjerit histeris. Dokter menyentuh tanganku lembut. “Saya sangat memahami perasaanmu sebagai kakak. Tetapi kita jangan berprasangka buruk dulu pada adikmu. Mungkin saja telah terjadi hal buruk padanya.” Aku tertegun, bingung. “Apa maksudnya, Dok?” “Kamu pasti paham maksudku.” Dokter itu tersenyum penuh arti. “Lebih baik, kamu bertanya langsung pada adikmu. Tetapi kamu harus berhati-hati dalam mengontrol emosimu, karena kandungannya cukup lemah akibat stres berat.” Setelah berkonsultasi sejenak, aku memutuskan keluar dan terduduk di bangku tunggu sambil menangis sesenggukan. Aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang berlalu-lalang, yang menatapku iba dan penasaran. “Kenapa hal ini bisa menimpa adikku, Ya Allah?” gumamku kecewa. Mungkinkah Riani mengalami rudapaksa seperti dugaan dokter? Dadaku sesak seperti ditekan beban berat saat membayangkan itu. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak karena lalai melindungi adikku. Aku kembali menatap hasil USG itu dengan perasaan hancur porak-poranda. Ingusku dan air mataku sudah meleber ke mana-mana, tetapi aku tidak peduli. Teganya Riani menyembunyikan hal sepenting ini dariku. Rasanya, aku seperti baru saja dikhianati. Aku menarik napas dalam-dalam di depan pintu sebelum masuk ke ruang rawat Riani, berusaha menyiapkan mental. Tentu saja, masalah itu akan menciptakan jarak di antara kami. Namun, aku harus tabah demi adikku karena dia yang lebih hancur dari padaku. Aku memaksakan senyum kecil saat masuk. “Gimana keadaanmu, Rin?” Aku menghampirinya. “Apa kamu sudah mending—” “Apa kata dokter, Kak? Dia ngomong apa aja sama Kakak?” sergah Riani panik. Dia mengabaikan pertanyaanku. Aku terdiam, berusaha memilih kata-kata yang tepat. “Katanya, kamu Cuma kecapekan, kok.” Saat ini, bukan waktu yang tepat untuk membahas kehamilan Riani. Meski kekecewaan mendominasi hatiku, aku lebih takut kehilangan Riani. Bagaimana jika kandungannya kenapa-kenapa sehingga memengaruhi kesehatannya? “Syukurlah.” Dia tersenyum lega. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, berusaha menahan tangis. Bagaimana dia masih bisa tersenyum saat dia harus memikul beban berat? Aku tak menyangka nasib sial ini akan menimpa Riani. Aku bersumpah akan membuat pelaku yang menghamili dia bertanggung jawab. “Kakak bawain makanan kesukaanmu, loh. Ayo, makan. Biar Kakak suapin.” Aku berpura-pura antusias seraya mengeluarkan kotak nasi dari plastik. “Aku nggak lapar, kok, Kak. Kakak aja yang makan.” “Tetapi kamu harus makan. Nanti jani... Maksudku, kamu nggak boleh menyiksa dirimu lebih lagi.” Aku merutuki bibirku. Nyaris saja aku keceplosan mengucapkan ‘janin’. Riani menghela napas pelan, lalu mengangguk. Aku membantunya duduk bersandar di kepala kasur, lalu menyuapinya. Hening. Tidak ada yang membuka pembicaraan di antara kami. Aku hanyut dalam pikiranku. “Kakak kenapa?” Suara Riani menyentakkanku dari lamunan. Aku mendongak, menatapnya bingung. “Kamu ngomong apa tadi, Rin?” “Kakak kenapa? Kok melamun?” Aku tersenyum kaku, menegang. “Kakak baik-baik aja, kok.” “Tetapi Kakak kayak orang stres gitu. Kakak sedang mikirin apa?” Sorot mata Riani tampak cemas. “Apa Kakak mengkhawatirkan aku?” Aku membisu, sulit mengungkapkan perasaanku. Dia terkekeh pelan. “Aku baik-baik saja, kok. Percaya sama aku. Aku janji aku nggak bakalan sakit lagi.” Bulir-bulir bening meluncur bebas dari pelupuk mataku. Aku langsung menghamburkan pelukan pada Riani sambil terisak di pundaknya. “Kakak kenapa?” Riani syok melihat perubahan sikapku. Aku hanya membisu, enggan menjawab. Saat ini, aku hanya ingin memberikan semangat padanya melalui pelukan. “Kakak?” Riani ikut terisak. Aku merasakan tubuhnya gemetar dalam dekapanku. “Jangan buat aku takut.” Aku segera melerai pelukanku dan tersenyum lembut. “Kakak baik-baik saja. Kakak Cuma bersyukur kamu nggak kenapa-kenapa.” Aku menyeka air mata dari pipinya yang pucat. “Karena jantung Kakak kayak berhenti berdetak saat dengar kamu pingsan di sekolah.” Riani menunduk sedih. Tangisnya pecah, tetapi dia berusaha menahannya, terdengar memilukan. Hatiku tercabik-cabik mendengar itu. "Maafkan aku.” Suaranya terdengar lirih, penuh penyesalan. “Aku selalu menyusahkan Kakak. Seharusnya aku bisa jaga diriku baik-baik.” Aku tahu perkataan Riani mengarah ke arah lain, bukan takut karena telah membuatku khawatir. Apakah sekarang waktunya aku membahas tentang pelakunya?Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian.Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini.Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya
Aku membasahi bibirku yang kering saat rasa bimbang menyerangku. Tanganku mulai berkeringat dan tubuhku basah.“Hei, Diani? Kok kamu diam aja, sih?” Suara Anggi menggema di ponselku.Lamunanku seketika buyar. “Maaf, maaf.”“Kamu kenapa, sih? Aneh banget hari ini, apa lagi saat di sekolah tadi. Kamu lagi ada masalah atau gimana?” tebak Anggi tepat sasaran. “Cerita dong sama aku.”“N-nggak kok.” Aku mengelak. “A-aku Cuma… Cuma mau tanya sesuatu sama kamu.” Aku bingung bagaimana cara menyampaikannya. “Soal apa? Tumben. Soal pelajaran? Aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri otakku sudah kugadaikan.” Anggi cekikikan.Aku tidak tertawa mendengar candaan itu. Rasanya aku tidak bisa bahagia lagi.“Din? Kamu serius baik-baik aja? Kamu jangan buat aku khawatir.” Suara Anggi terdengar cemas. “Pasti terjadi sesuatu, kan?”Aku sangat sulit menyembunyikan apa pun dari sahabatku. “Kamu lagi di mana?” Aku segera mengalihkan pembicaraan.“Di rumah, kenapa? Kangen?” goda Anggi, berusaha mencairka
Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
“Ayah, bangun!” Aku dan Ibu menangis histeris sambil menggoyangkan tubuh Ayah yang tergeletak di lantai UGD. Empat perawat buru-buru mengangkat Ayah ke brankar di samping Riani, lalu Dokter segera memeriksanya. “Sebaiknya Ibu dan Anda keluar agar kami bisa menangani keluarga kalian dengan baik.” Seorang suster menyarankan. "Nggak! Saya mau menemani anak dan suami saya! Minggir!” Ibu menjerit-jerit histeris, membuat suasana makin runyam. Tanpa berhenti menangis, aku membujuk Ibu untuk segera keluar, tetapi aku malah terkena tamparannya. “Diam kamu! Semua ini salahmu!” maki Ibu sambil memelototiku. “Kalau kamu kasih tahu kami tentang ini dari awal, Ayah nggak bakalan kayak gini! Apa kamu lupa kalau Ayah punya riwayat sakit jantung?!” Aku makin terisak-isak hebat. “M-maafkan aku, Bu. Aku nggak bermaksud—” “Maaf, jangan bertengkar di sini. Kalian menganggu konsentrasi Dokter dan tim medis lainnya yang sedang berusaha menyelamatkan keluarga kalian.” Kalian tidak mau keluarga kalian
Keheningan menyergap aku dan pemuda di depanku selama beberapa saat. Aku sempat terpaku pada ketampanannya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Aku baru menyadari ketampanan Darma jika dilihat dari dekat. “Kamu siapa? Ada perlu apa, ya?” tanya Darma memecah keheningan. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur. Aku menatap Darma dingin. “Aku Diani.” “Diani?” Darma mengernyit, berusaha mengenaliku. “Oh! Kamu! Aku ingat sekarang! Kita pernah sekelas, kan?!” Aku hanya mengangguk singkat, tak berniat meresponsnya dengan ramah. “By the way, dari mana kamu tahu alamat kosanku?” Darma bersandar ke kusen pintu sambil melipat tangan depan dada, menatapku lembut dan dalam, memperlihatkan sisi maskulinnya. “Itu nggak penting,” ketusku, mengalihkan pembicaraan, tak tergoda dengan penampilannya yang rupawan. “Sekarang kamu harus bertanggung jawab.” Aku bisa melihat ekspresi Darma menegang sekaligus kebingungan. “Tanggung jawab soal apa?” Darma mengernyit, tetapi sedetik
"Beraninya cewek lemah kayak kamu mengancamku,” bisik Darma tajam. “Kalau semua penghuni kos ini sampai tahu soal ini, aku nggak akan segan-segan berbuat macam-macam sama kamu, paham?”Aku spontan mendorong dada Darma sekuat tenaga sebelum dia bertindak kurang ajar. “Aku nggak takut! Jika masih menolaknya, aku akan melaporkan kamu ke polisi sekarang juga!”Aku melewati cowok itu, tetapi dia menahan tanganku erat-erat. “Lepasin aku!” Aku memberontak sekuat tenaga, melepaskan cengkeramannya.Darma berkali-kali mendengus kesal. Wajahnya tampak jengkel dan pasrah. Apakah dia menyerah?“Di mana adikmu sekarang?” tanya Darma kemudian.“Memangnya kenapa?” tanyaku ketus. Jangan-jangan dia sedang merencanakan rencana jahat. Aku harus memastikannya.“Aku akan tanggung jawab! Puas?”Aku terkejut, tetapi tetap memasang ekspresi datar. “Bagus! Memang seharusnya begitu! Ayo!” Aku menarik tangan Darma mengikutiku. Tak membiarkan dia kabur.Kami menaiki taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan,
Seminggu telah berlalu. Riani dan Darma hanya melangsungkan pernikahan mereka di KUA tanpa ada resepsi atau acara besar-besaran karena mengingat kondisi keuangan orang tua kami sedang sulit dan terlilit utang. Sedangkan orang tua Darma tidak mau ikut campur.Sudah seminggu mereka tinggal di rumah orang tuaku.Namun, berita pernikahan itu menyebar luas ke seluruh komplek. Berbagai tudingan kejam ditujukan pada Riani. Secara terang-terangan para tetangga menuduh Riani hamil di luar nikah sehingga dia buru-buru menikah saat masih berumur tujuh belas tahun.Aku masuk ke kamar Riani sambil membawa nampan berisi masakan sehat khusus ibu hamil. Namun, aku terkejut saat mendapatinya sedang menangis.“Ada apa, Riani?”Riani buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Kak.”“Kamu jangan berbohong,” pintaku sambil duduk di sampingnya. “Jika ada masalah, kasih tahu aku. Aku pasti bantu.”Riani menggeleng sambil menunduk, membuat air matanya bertetesan ke bantal yang dipelukny
“Aku dengar kamu punya adik, ya?” tanya Clara tiba-tiba di sela-sela waktu belajar kami.Aku menegang. Apa yang harus kujawab? Sejak rumor di sekolah, aku jadi takut membahas soal Riani pada orang asing.“Aku lihat ada foto saat kamu sedang berfoto dengan seorang gadis.”“Ya,” jawabku senormal mungkin. “Itu adikku.”“Kok dia nggak ada di sini? Apa dia pergi les?” tebak Clara.Aku terdiam karena bingung harus menjawab apa.“Sorry, Din. Aku bukan mau kepo. Aku Cuma mau kenal sama keluarga kamu aja,” jelas Clara cepat, tersenyum manis. Sepertinya dia menyadari keenggananku.Senyum Clara sangat tulus, membuatku tak tega untuk tidak menjawab. “Dia nggak tinggal sama aku dan orang tuaku lagi.”Clara bingung dan terkejut. “Kenapa?”Aku menggaruk pipiku yang tak gatal. “Dia tinggal sama—”“Maaf kalau Ibu menganggu kalian.” Tiba-tiba Ibu datang ke ruang keluarga sambil membawa teh dan roti, lalu menaruhnya di meja. “Silakan dinikmati. Maaf, Tante Cuma ada ini.“ Dia terkekeh.“Nggak apa-apa, Bu
Selama kami di kantin, Clara bercerita tentang banyak hal. Aku hanya tersenyum atau mengangguk sebagai tanggapan. Aneh, tetapi aku merasa nyaman dekat dengannya.Aku baru menyadari Clara sangat mirip dengan Diani. Caranya tertawa, bercerita dan auranya. Gadis itu mengingatkanku pada Riani dulu yang selalu ceria sebelum semuanya berubah.“Apa benar adikmu sudah nikah sama Darma?” Tiba-tiba seorang gadis lain bertanya ketus padaku.Hari ini sudah sangat banyak siswi yang menanyakan tentang kebenaran pernikahan Riani dan Darma.Aku banyak terdiam karena bingung memberi alasan yang masuk akal. Sepertinya mereka tidak terima karena Darma, cowok idaman mereka, telah menikah.“Jawab! Jangan malah diam!” bentaknya. Teriakannya membuatku jadi pusat perhatian. Aku makin ketakutan.“Apa-apaan sih?! Hak Diani mau jawab atau enggak! Pergi sana!” ketus Clara.Aku tertegun sejenak. Clara benar-benar mirip Riani. Dia akan sangat judes jika ada yang mengganggu kami.Gadis bar-bar itu pergi dengan kesa
Keesokan harinya, aku buru-buru ke luar setelah bersiap-siap mengenakan celana jeans dan kaos putih. Rambutku hanya dikuncir kuda, sedangkan wajahku tidak dipoles riasan.“Kamu ke mana, Nak?” tanya Ibu heran. “Kok pakai baju bebas?” Ibu dan Ayah sedang bersantai di ruang tamu.Aku tak menduga mereka sedang berbincang-bincang di situ. Aku tersenyum kaku. “Aku mau ke tempat Riani, Bu,” jawabku setenang mungkin.“Loh? Memangnya kamu nggak sekolah?” tanya Ayah sambil melipat koran. Alisnya berkerut tajam sambil menatapku heran.Ibu spontan berdiri dengan cemas. “Apa terjadi sesuatu sama Riani?” tebak Ibu. Dia tampak hampir menangis.Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Apa yang harus kujawab? Tidak mungkin aku mengatakan tentang mimpi burukku.“Din, jawab Ibu!” desak Ibu sambil menggoyang-goyangkan lenganku. “Jadi, tebakan Ibu benar?!”“Riani baik-baik saja, Bu.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya lembut. “Katanya, dia bosan karena ditinggal kerja sama Dharma, makanya dia minta
Seminggu telah berlalu. Riani dan Darma hanya melangsungkan pernikahan mereka di KUA tanpa ada resepsi atau acara besar-besaran karena mengingat kondisi keuangan orang tua kami sedang sulit dan terlilit utang. Sedangkan orang tua Darma tidak mau ikut campur.Sudah seminggu mereka tinggal di rumah orang tuaku.Namun, berita pernikahan itu menyebar luas ke seluruh komplek. Berbagai tudingan kejam ditujukan pada Riani. Secara terang-terangan para tetangga menuduh Riani hamil di luar nikah sehingga dia buru-buru menikah saat masih berumur tujuh belas tahun.Aku masuk ke kamar Riani sambil membawa nampan berisi masakan sehat khusus ibu hamil. Namun, aku terkejut saat mendapatinya sedang menangis.“Ada apa, Riani?”Riani buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Kak.”“Kamu jangan berbohong,” pintaku sambil duduk di sampingnya. “Jika ada masalah, kasih tahu aku. Aku pasti bantu.”Riani menggeleng sambil menunduk, membuat air matanya bertetesan ke bantal yang dipelukny
"Beraninya cewek lemah kayak kamu mengancamku,” bisik Darma tajam. “Kalau semua penghuni kos ini sampai tahu soal ini, aku nggak akan segan-segan berbuat macam-macam sama kamu, paham?”Aku spontan mendorong dada Darma sekuat tenaga sebelum dia bertindak kurang ajar. “Aku nggak takut! Jika masih menolaknya, aku akan melaporkan kamu ke polisi sekarang juga!”Aku melewati cowok itu, tetapi dia menahan tanganku erat-erat. “Lepasin aku!” Aku memberontak sekuat tenaga, melepaskan cengkeramannya.Darma berkali-kali mendengus kesal. Wajahnya tampak jengkel dan pasrah. Apakah dia menyerah?“Di mana adikmu sekarang?” tanya Darma kemudian.“Memangnya kenapa?” tanyaku ketus. Jangan-jangan dia sedang merencanakan rencana jahat. Aku harus memastikannya.“Aku akan tanggung jawab! Puas?”Aku terkejut, tetapi tetap memasang ekspresi datar. “Bagus! Memang seharusnya begitu! Ayo!” Aku menarik tangan Darma mengikutiku. Tak membiarkan dia kabur.Kami menaiki taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan,
Keheningan menyergap aku dan pemuda di depanku selama beberapa saat. Aku sempat terpaku pada ketampanannya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Aku baru menyadari ketampanan Darma jika dilihat dari dekat. “Kamu siapa? Ada perlu apa, ya?” tanya Darma memecah keheningan. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur. Aku menatap Darma dingin. “Aku Diani.” “Diani?” Darma mengernyit, berusaha mengenaliku. “Oh! Kamu! Aku ingat sekarang! Kita pernah sekelas, kan?!” Aku hanya mengangguk singkat, tak berniat meresponsnya dengan ramah. “By the way, dari mana kamu tahu alamat kosanku?” Darma bersandar ke kusen pintu sambil melipat tangan depan dada, menatapku lembut dan dalam, memperlihatkan sisi maskulinnya. “Itu nggak penting,” ketusku, mengalihkan pembicaraan, tak tergoda dengan penampilannya yang rupawan. “Sekarang kamu harus bertanggung jawab.” Aku bisa melihat ekspresi Darma menegang sekaligus kebingungan. “Tanggung jawab soal apa?” Darma mengernyit, tetapi sedetik
“Ayah, bangun!” Aku dan Ibu menangis histeris sambil menggoyangkan tubuh Ayah yang tergeletak di lantai UGD. Empat perawat buru-buru mengangkat Ayah ke brankar di samping Riani, lalu Dokter segera memeriksanya. “Sebaiknya Ibu dan Anda keluar agar kami bisa menangani keluarga kalian dengan baik.” Seorang suster menyarankan. "Nggak! Saya mau menemani anak dan suami saya! Minggir!” Ibu menjerit-jerit histeris, membuat suasana makin runyam. Tanpa berhenti menangis, aku membujuk Ibu untuk segera keluar, tetapi aku malah terkena tamparannya. “Diam kamu! Semua ini salahmu!” maki Ibu sambil memelototiku. “Kalau kamu kasih tahu kami tentang ini dari awal, Ayah nggak bakalan kayak gini! Apa kamu lupa kalau Ayah punya riwayat sakit jantung?!” Aku makin terisak-isak hebat. “M-maafkan aku, Bu. Aku nggak bermaksud—” “Maaf, jangan bertengkar di sini. Kalian menganggu konsentrasi Dokter dan tim medis lainnya yang sedang berusaha menyelamatkan keluarga kalian.” Kalian tidak mau keluarga kalian
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak