“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun.
“Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.” Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah. “Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!” Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk. Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat membingungkan seperti kehilangan gairah hidup. “Riani! Buka pintunya! Aku tahu kamu dengar Kakak! Kalau kamu nggak buka pintunya, Kakak akan panggil aya—” Krek! Aku terkejut saat wajah pucat bak mayat tiba-tiba muncul dari balik pintu. "Astagfirullah! Kok kamu pucat banget? Kamu sakit?” Aku langsung memeriksa dahi Riani, mengecek suhu tubuhnya, tetapi tidak panas. “Aku baik-baik saja, Kak.” Riani tersenyum tipis, berusaha kuat. Dia menyingkirkan tanganku dari dahinya dengan lembut. “Jangan khawatir. Aku Cuma meriang.” "Jangan bohong. Buktinya wajahmu pucat banget!” omelku, lalu menarik tangan Riani. “Ayo, kita ke rumah sak—” “Rumah sakit?” Riani spontan menepis tanganku, membuatku tersentak. Untuk pertama kalinya, dia bersikap kasar. “A-aku baik-baik saja, kok, Kak. Percaya sama aku.” Dia tersenyum kaku. Wajah manisnya makin memucat karena panik. “Tetapi—” “Aku siap-siap dulu, ya! Takut terlambat!” Riani buru-buru menutup pintu di depanku, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan. Aku tertegun. Ini benar-benar aneh. Aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, apa itu? Aku hanya bisa menghela napas berat, tak punya kesempatan bertanya. Aku memutuskan akan bertanya saat di angkot nanti. Kemudian, aku pergi ke ruang makan untuk sarapan. "Di mana adikmu, Sayang? Tumben jam segini dia belum siap-siap,” tanya seorang pria berumur empat puluh lima tahun, berwajah teduh dan berwibawa. Dia duduk di meja makan seraya menyantap nasi goreng. “Dia sedang siap-siap, kok, Ayah.” Aku menarik kursi dan duduk di depan Bagas. Firasatku tidak enak. Ada sesuatu mengganjal di hatiku, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. “Ada apa, Nak? Kok kamu gelisah gitu?” Aku menegang saat mendengar suara ayah. Aku berusaha tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Ayah.” “Kamu jangan bohong. Ayah bukan anak kecil. Jika kamu ada masalah, beri tahu Ayah,” bujuk Bagas. Tenggorokanku tercekat. Aku ingin mengutarakan kerisauanku tentang perubahan sikap dan kesehatan Riani, tetapi sungkan. Akibat kehidupan keluarga kami yang dipenuhi tekanan ekonomi, membuatku tumbuh menjadi anak tertutup dan mandiri, yang akan menyembunyikan segala permasalahan dari orang tuaku. “Beneran, Ayah. Percaya sama aku.” Aku memaksakan senyum cerah. Aku tidak mau masalah Riani akan mengganggu kesehatan ayah, karena dia mempunyai riwayat sakit jantung. Lagi pula, Riani masih punya aku, yang akan siap sedia merawatnya. Bagas mendengus kecewa. “Baiklah. Terserah kamu saja,” sahutnya, malas berdebat. Aku melirik kamar Riani dan arloji di tanganku secara bergantian. Aku makin cemas. Sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi, tetapi dia tak kunjung muncul. Aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng, tak nafsu makan akibat pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku menduga Riani sakit parah karena dia sangat pucat. ‘Tetapi sakit apa?’ Meski kami akrab, Riani sedikit tertutup pada keluarganya. Termasuk aku. Padahal kami sudah berjanji akan saling terbuka dan menguatkan jika ada masalah. Tak lama kemudian, Riani datang sambil tersenyum cerah. Wajah pucatnya sudah dipoles bedak tipis ditambah lipstik merah muda, membuatnya tampak lebih segar. Melihat itu, aku sedikit lega. Selesai sarapan, kami berpamitan pada orang tua kami dan menaiki angkot. "Riani, jawab Kakak jujur.” Aku memberikan tatapan tegas padanya. Riani hanya menunduk, enggan menatap mataku. Dia terus meremas-remas roknya dengan gugup. “Sebenarnya, kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak mau periksa ke rumah sakit? Gimana kalau kamu sakit parah?” omelku. Untungnya, hanya kami berdua di angkot itu sehingga tidak ada yang akan menyaksikan perdebatan kami. Riani membisu. Mungkin dia muak pada sikapku yang terlalu overprotektif. Namun, bagiku, itu wajar karena dia satu-satunya adikku. Sepanjang perjalanan, Riani enggan menjawab. Padahal aku sudah mendesak dan membujuknya dengan berbagai cara agar dia mau periksa ke puskesmas demi mengetahui penyebabnya, tetapi Riani menolak dengan alasan biaya. Padahal Puskesmas gratis. Aku jengkel, tetapi kehabisan kata-kata. Dia sangat keras kepala. Kesehatan Riani sangat mengusik ketenangan hatiku. Mungkinkah dia sebenarnya sudah tahu tentang penyakitnya, tetapi enggan memberi tahu karena tidak mau membuat keluarganya khawatir? Sayangnya, hari ini, aku harus menelan kekecewaan karena Riani harus turun terlebih dahulu karena kami beda sekolah. Sesampainya di kelas, aku terduduk lesu. Hari ini sangat suram. Aku merasa hampa, seperti separuh jiwaku terenggut. Aku makin stres karena tenggelam dalam kebingungan. “Oi! Melamun saja! Pasti lagi mikirin cowok, kan?! Hayo, ngaku!” Anggi, teman sebangku sekaligus sahabatku, menepuk pundakku. Aku mendesis kesal. “Kamu ngagetin aja. Aku nggak mikirin siapa pun, kok!” bantahku. "Ah, bohong! Tuh, lihat! Hidungmu kompas-kempis kalau lagi bohong!” Anggi cekikikan. “Sorry, ya. Aku bukan kamu, yang selalu memikirkan mantan kamu, si Darma itu,” ejekku. “Dia aja nggak mikirin kamu.” “Ih, jahat banget, sih!” Anggi cemberut. "Maaf, maaf. Aku Cuma bercanda, kok.” Aku tertawa pelan. "Lagian, kenapa dia harus pindah, sih? Jadi, kami nggak bisa sering-sering bertemu, deh.” Dia bertopang dagu sambil cemberut. “Bukannya kamu yang putusin dia? Kok, malah kamu yang gagal move on?” Anggi terdiam seribu bahasa. “Ah, kamu nggak asik!” “Kamu harus move on, dong. Kalian ‘kan sudah putus, kenapa kamu masih mengharapkan dia kembali? Aneh.” “Karena dia tampan.” Anggi cengar-cengir dengan tampang tak berdosa. Aku memutar mata malas. Kenapa semua gadis di sekolah tergila-gila pada Darma? Meskipun dia merupakan most wanted di sekolah dan kaya raya, aku sama sekali tidak tertarik. Di tengah percakapan kami, ponselku tiba-tiba berdering. Aku merogoh saku rokku dan memeriksanya. Aku mengernyit saat tertera nomor asing di layar ponselku. “Siapa ini?” gumamku. “Siapa, Din?” Anggi melongok ke ponselku. “Kenapa nggak diangkat? Angkat, dong. Siapa tahu penting.” Aku mengangguk, lalu mengangkatnya ragu-ragu. “Halo—” “Apa benar kamu adalah Kakak Riani?” tanya seorang gadis panik di seberang telepon. “Benar. Kamu siapa, ya?” “Riani pingsan, Kak! Sekarang dia dibawa ke rumah sakit!” "Apa?!”Aku melangkah tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Hawa dingin yang mencekam dan aroma antiseptik menyambut kedatanganku. Aku berlari secepat mungkin menuju ruang rawat Riani. Air mataku meluruh tanpa henti. Duniaku seperti runtuh di atas kepalaku. Pikiranku terasa kosong. Waktu berlalu sangat lambat seperti dalam mimpi.Sejuta pertanyaan terngiang-ngiang di benakku. Kenapa Riani bisa pingsan? Apa penyebabnya?Jantungku berdebar makin tak karuan saat aku tiba di ruang itu. Kakiku terasa lemas tanpa sebab, membuatku nyaris pingsan. Aku mendapati seorang gadis duduk tertegun di bangku tunggu. Wajahnya pucat pasi, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan doa.Aku menyadari situasinya sangat gawat saat melihat ekspresinya.“Di mana adikku?! Gimana keadaannya?! Dia baik-baik aja, kan?” Aku terisak-isak. “Kok dia bisa pingsan?! Apa yang sebenarnya terjadi sama dia?!” Aku tidak bisa mengontrol diriku. Napasku terengah-engah akibat berlari.“Tenang dulu, Kak. Tarik napas dulu—”“Jawab
Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian.Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini.Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya
Aku membasahi bibirku yang kering saat rasa bimbang menyerangku. Tanganku mulai berkeringat dan tubuhku basah.“Hei, Diani? Kok kamu diam aja, sih?” Suara Anggi menggema di ponselku.Lamunanku seketika buyar. “Maaf, maaf.”“Kamu kenapa, sih? Aneh banget hari ini, apa lagi saat di sekolah tadi. Kamu lagi ada masalah atau gimana?” tebak Anggi tepat sasaran. “Cerita dong sama aku.”“N-nggak kok.” Aku mengelak. “A-aku Cuma… Cuma mau tanya sesuatu sama kamu.” Aku bingung bagaimana cara menyampaikannya. “Soal apa? Tumben. Soal pelajaran? Aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri otakku sudah kugadaikan.” Anggi cekikikan.Aku tidak tertawa mendengar candaan itu. Rasanya aku tidak bisa bahagia lagi.“Din? Kamu serius baik-baik aja? Kamu jangan buat aku khawatir.” Suara Anggi terdengar cemas. “Pasti terjadi sesuatu, kan?”Aku sangat sulit menyembunyikan apa pun dari sahabatku. “Kamu lagi di mana?” Aku segera mengalihkan pembicaraan.“Di rumah, kenapa? Kangen?” goda Anggi, berusaha mencairka
Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
“Ayah, bangun!” Aku dan Ibu menangis histeris sambil menggoyangkan tubuh Ayah yang tergeletak di lantai UGD. Empat perawat buru-buru mengangkat Ayah ke brankar di samping Riani, lalu Dokter segera memeriksanya. “Sebaiknya Ibu dan Anda keluar agar kami bisa menangani keluarga kalian dengan baik.” Seorang suster menyarankan. "Nggak! Saya mau menemani anak dan suami saya! Minggir!” Ibu menjerit-jerit histeris, membuat suasana makin runyam. Tanpa berhenti menangis, aku membujuk Ibu untuk segera keluar, tetapi aku malah terkena tamparannya. “Diam kamu! Semua ini salahmu!” maki Ibu sambil memelototiku. “Kalau kamu kasih tahu kami tentang ini dari awal, Ayah nggak bakalan kayak gini! Apa kamu lupa kalau Ayah punya riwayat sakit jantung?!” Aku makin terisak-isak hebat. “M-maafkan aku, Bu. Aku nggak bermaksud—” “Maaf, jangan bertengkar di sini. Kalian menganggu konsentrasi Dokter dan tim medis lainnya yang sedang berusaha menyelamatkan keluarga kalian.” Kalian tidak mau keluarga kalian
Keheningan menyergap aku dan pemuda di depanku selama beberapa saat. Aku sempat terpaku pada ketampanannya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Aku baru menyadari ketampanan Darma jika dilihat dari dekat. “Kamu siapa? Ada perlu apa, ya?” tanya Darma memecah keheningan. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur. Aku menatap Darma dingin. “Aku Diani.” “Diani?” Darma mengernyit, berusaha mengenaliku. “Oh! Kamu! Aku ingat sekarang! Kita pernah sekelas, kan?!” Aku hanya mengangguk singkat, tak berniat meresponsnya dengan ramah. “By the way, dari mana kamu tahu alamat kosanku?” Darma bersandar ke kusen pintu sambil melipat tangan depan dada, menatapku lembut dan dalam, memperlihatkan sisi maskulinnya. “Itu nggak penting,” ketusku, mengalihkan pembicaraan, tak tergoda dengan penampilannya yang rupawan. “Sekarang kamu harus bertanggung jawab.” Aku bisa melihat ekspresi Darma menegang sekaligus kebingungan. “Tanggung jawab soal apa?” Darma mengernyit, tetapi sedetik
"Beraninya cewek lemah kayak kamu mengancamku,” bisik Darma tajam. “Kalau semua penghuni kos ini sampai tahu soal ini, aku nggak akan segan-segan berbuat macam-macam sama kamu, paham?”Aku spontan mendorong dada Darma sekuat tenaga sebelum dia bertindak kurang ajar. “Aku nggak takut! Jika masih menolaknya, aku akan melaporkan kamu ke polisi sekarang juga!”Aku melewati cowok itu, tetapi dia menahan tanganku erat-erat. “Lepasin aku!” Aku memberontak sekuat tenaga, melepaskan cengkeramannya.Darma berkali-kali mendengus kesal. Wajahnya tampak jengkel dan pasrah. Apakah dia menyerah?“Di mana adikmu sekarang?” tanya Darma kemudian.“Memangnya kenapa?” tanyaku ketus. Jangan-jangan dia sedang merencanakan rencana jahat. Aku harus memastikannya.“Aku akan tanggung jawab! Puas?”Aku terkejut, tetapi tetap memasang ekspresi datar. “Bagus! Memang seharusnya begitu! Ayo!” Aku menarik tangan Darma mengikutiku. Tak membiarkan dia kabur.Kami menaiki taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan,
(POV Diani)Hari itu langit tampak suram, seakan merasakan kesedihan yang menyelimuti keluargaku. Aku berdiri di samping makam Riani, menatap batu nisan yang tertutup bunga dan tanah basah. Hati ini rasanya hampir tak sanggup menahan beban yang terus datang. Riani, adikku, yang dulu selalu ceria, yang dulu selalu ada untukku, kini hanya bisa kuingat dalam kenangan.Kami baru saja menguburkan Riani. Pemakaman ini terjadi begitu cepat. Begitu banyak hal yang belum sempat aku katakan padanya. Begitu banyak yang belum sempat kami selesaikan. Tapi kini, semuanya telah terlambat. Aku tidak tahu harus merasa apa. Duka mendalam? Iya, pasti. Tetapi ada juga perasaan marah yang membara dalam dada. Marah pada Darma. Marah pada ketidak peduliannya. Marah pada dunia yang begitu kejam padanya. Aku sudah terlalu lama diam.Ketika kami pulang dari pemakaman, rumah kami dipenuhi oleh keheningan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ayah dan ibu duduk di ruang tamu, wajah mereka hancur. Mereka ti
(POV Darma)Aku masih sangat jengkel saat Diani menyerangku dan mempermalukanku di klub beberapa saat lalu. Makiannya terus terngiang-ngiang di telingaku, meski aku sudah meneguk beberapa gelas alkohol.Sekarang teman-temanku terus-menerus menanyaiku tentang Riani dan meminta penjelasan tentang pernikahan kami. Padahal aku mengaku pada mereka bahwa aku masih lajang.Sial! Beraninya gadis itu mempermalukanku aku di depan teman-teman balap liarku.Aku meremas gelas alkohol saat teringat tatapan penuh kebencian dan tangisan histeris Diani. Sebenarnya aku juga heran tentang kepergian Riani, karena baru pertama kali dia pergi tanpa izinku.Apalagi saat Diani menangis histeris di depanku, membuatku makin penasaran. Dia memang selalu mengkhawatirkan adiknya, tetapi kali ini berbeda, seolah-olah Riani sedang di ambang malapetaka.Namun, bukan itu yang kucemas. Ada perasaan aneh yang memenuhi di dadaku dan aku tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya.Aku merasa cemas dan tegang tanpa alasan
Aku keluar dari club dengan dadaku masih terbakar rasa marah dan benci yang bercampur aduk. Percakapanku dengan Darma barusan benar-benar membuatku muak. Bagaimana mungkin dia bisa sekejam itu? Bahkan di saat Riani sedang dalam kondisi yang tidak jelas, dia masih saja tidak peduli.Langkahku terasa berat saat berjalan di trotoar. Udara malam terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhku menggigil. Rasa takut dan gelisah terus menghantui pikiranku. Aku masih belum tahu di mana Riani dan orang tuaku berada. Darma jelas tidak peduli. Dia bahkan berharap Riani mati.Pikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mengeluarkan ponselku dan mencoba menelepon Ayah sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari mereka ke mana lagi.Tetapi, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benakku. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah mengantar Riani ke rumah sakit karena dia pingsan di kosan. Saat itu, dokter menyuruhnya untuk banyak istirahat dan tidak terlalu stres.Mun
(POV Diani)Hari ini cukup melelahkan. Aku baru saja selesai menemani temanku membeli beberapa baju untuk acara akhir pekan. Ketika sampai di depan rumah, hal yang kupikirkan adalah mandi lalu tidur.Namun, saat aku membuka pintu rumah dan memasuki ruang tamu, perasaan cemas langsung menyelimuti hatiku. Rumah yang biasanya ramai dengan kehadiran orang tua, kini terasa kosong. Tidak ada suara Ibu yang biasanya menyambutku saat pulang. Tidak ada suara televisi yang sering Ayah tonton.Aku berdiri sejenak sambil menatap ke sekeliling. Suasananya sangat berbeda dari sebelumnya. Sangat sepi dan hampa.“Bu?” Aku mencari mereka di semua ruangan, tetapi tidak ada. Ini aneh. Ibu dan Ayah jarang sekali pergi pada malam hari, apalagi tanpa memberitahuku. Biasanya mereka selalu mengabari ke mana mereka pergi, meski hanya sebentar. Tapi malam ini, tidak ada kabar sama sekali. Aku mulai merasa khawatir. Ada yang tidak beres.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimi pesan pada Ibu dan Ayah.“K
(POV Riani) Aku berusaha tetap sadar, meski semuanya terasa gelap dan rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku nyaris pingsan. Pandanganku kabur dan perutku terasa kram luar biasa. Aku mencoba memegang dinding untuk berusaha bangkit berdiri, tetapi tenaga yang kumiliki habis sehingga aku kembali terduduk lemas di lantai. Aku teringat pada bayi di dalam kandunganku. Aku memegangi perutku yang sudah membesar. Rasa nyeri hebat menghantam dinding perutku, membuat darah mengalir dari selangkanganku. ‘Tolong, Tuhan. Jangan sampai aku kehilangan bayiku!’ jeritku dalam hati. Aku mengerang pelan sambil mencoba bangkit dengan bertumpu pada meja kecil di dekatku. Namun, tanganku gemetar hebat dan pandanganku makin gelap. Sebelum aku bisa berdiri dengan sempurna, sikuku menyenggol gelas di atas meja. Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, suaranya menggema dalam kesunyian rumah yang mencekam. Aku tersentak dengan napas tersengal-sengal. Aku kembali meraih meja di dekatku, tetap
Langit biru mulai berubah kekuningan saat aku melangkah keluar dari rumah Ibu. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menghela napas panjang untuk mencoba menguatkan diri. Pertemuan singkat dengan Ibu membuat dadaku semakin sesak. Apalagi saat aku memasuki rumah itu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Aku sangat merindukan semua momen bahagia saat aku dan Diani menghabiskan waktu bersama dengan orang tuaku. Meski masalah utang terus mengancam kami, aku masih bisa berbahagia menikmati kebersamaan keluarga. Bukan seperti sekarang. Setiap hari hanya ada air mata dan ketakutan. Aku menyesal telah menyerahkan diriku pada Darma karena cinta. Kata-kata manisnya seolah dia sangat mencintaiku telah meracuni pikiranku. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku menghela napas berat. Tidak ada gunanya aku menyesali semua yang telah terjadi. Semuanya telah terlambat untuk diperbaiki. Sekarang aku harus fokus menanggung kesalahannya, m
(POV Riani)Ponselku bergetar di atas meja, mengirimkan getaran halus yang terasa menusuk di hatiku. Aku ragu-ragu sebelum mengambilnya. Nama yang tertera di layar membuat dadaku semakin sesak.“Ibu?”Tanganku gemetar saat aku menyentuh layar untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Bu.” Aku berusaha menjawab setenang mungkin.“Gimana kabar kamu hari ini, Nak? Ibu kangen banget sama kamu.” Suara Ibu terdengar lembut dan penuh kerinduan, tapi juga menyimpan kekhawatiran yang begitu jelas. Aku tahu, Ibu pasti sudah lama ingin bertemu denganku. Sudah hampir sebulan aku tidak pulang, tidak berani mengangkat telepon lebih dulu.Aku menelan ludah. Bagaimana aku bisa pergi ke sana dengan kondisi seperti ini?Aku melirik pantulan diriku di cermin kamar. Wajahku masih menampilkan bekas luka. Pipi kiriku memerah dengan sedikit kebiruan. Lengan dan bahuku terasa nyeri setiap kali kugerakkan. Tubuhku sudah penuh dengan memar yang kusembunyikan di balik pakaian longgar.Bagaimana jika Ibu melihatnya?
(POV Diani)Aku menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan panggilan berakhir. Perasaan aneh memenuhi hatiku. Pasti telah terjadi sesuatu yang membuat Riani mendadak meneleponku duluan. Nada suaranya terlalu bergetar. Napasnya terdengar tidak stabil dan aku yakin dia sempat menangis sebelum mengangkat telepon tadi. Biasanya aku selalu pertama kali menghubunginya untuk memancingnya agar Riani mau curhat atau berkata jujur mengenai masalah pernikahannya, tetapi dia selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan memintaku untuk tidak mengkhawatirkan apa pun. Aku menggigit bibir sambil menatap kosong ke dinding kamarku. Kekhawatiranku makin menjadi-jadi. Sejak pernikahan adikku dengan Darma, aku tidak pernah bisa hidup tenang karena cowok itu telah merebut Riani.Sekarang Riani telah berubah drastis. Dulu dia gadis yang ceria, penuh semangat dan selalu berantusias saat menceritakan tentang impian-impiannya. Tapi sekarang, setiap kali aku bertanya tentang kehidupannya, jawabann
(POV Riani)Aku duduk di sudut kamar yang gelap sambil memeluk lutut dengan tubuh gemetar. Cahaya dari lampu meja yang remang-remang tidak bisa mengusir kegelapan yang menyelimuti hatiku. Bekas tamparan Darma masih terasa panas di pipiku, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatiku yang semakin terbuka lebar.Darma pergi lagi. Entah ke mana. Entah untuk berapa lama.Aku bahkan tidak ingin tahu.Setiap kali dia pulang, yang kudapatkan hanya cacian dan pukulan. Setiap kali aku mencoba berbicara, dia hanya menganggapku beban.Aku menunduk dan memandangi perutku yang mulai membesar.Bayiku…Anak ini akan segera lahir, tapi aku masih terjebak dalam penderitaan yang seolah tak berujung. Apakah aku sanggup bertahan di sini? Aku tidak tahu. Jika aku terus tinggal bersama Darma, cepat atau lambat dia akan menyakiti bayi ini juga.Tapi aku bisa pergi ke mana?Aku tidak bisa kembali ke rumah orang tuaku.Mereka sudah cukup menderita dengan utang yang menumpuk. Aku tidak bisa menambah