Bab 1
“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun. “Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.” Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah. “Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!” Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk. Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat membingungkan seperti kehilangan gairah hidup. “Riani! Buka pintunya! Aku tahu kamu dengar Kakak! Kalau kamu nggak buka pintunya, Kakak akan panggil aya—” Krek! Aku terkejut saat wajah pucat bak mayat tiba-tiba muncul dari balik pintu. "Astagfirullah! Kok kamu pucat banget? Kamu sakit?” Aku langsung memeriksa dahi Riani, mengecek suhu tubuhnya, tetapi tidak panas. “Aku baik-baik saja, Kak.” Riani tersenyum tipis, berusaha kuat. Dia menyingkirkan tanganku dari dahinya dengan lembut. “Jangan khawatir. Aku Cuma meriang.” "Jangan bohong. Buktinya wajahmu pucat banget!” omelku, lalu menarik tangan Riani. “Ayo, kita ke rumah sak—” “Rumah sakit?” Riani spontan menepis tanganku, membuatku tersentak. Untuk pertama kalinya, dia bersikap kasar. “A-aku baik-baik saja, kok, Kak. Percaya sama aku.” Dia tersenyum kaku. Wajah manisnya makin memucat karena panik. “Tetapi—” “Aku siap-siap dulu, ya! Takut terlambat!” Riani buru-buru menutup pintu di depanku, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan. Aku tertegun. Ini benar-benar aneh. Aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, apa itu? Aku hanya bisa menghela napas berat, tak punya kesempatan bertanya. Aku memutuskan akan bertanya saat di angkot nanti. Kemudian, aku pergi ke ruang makan untuk sarapan. "Di mana adikmu, Sayang? Tumben jam segini dia belum siap-siap,” tanya seorang pria berumur empat puluh lima tahun, berwajah teduh dan berwibawa. Dia duduk di meja makan seraya menyantap nasi goreng. “Dia sedang siap-siap, kok, Ayah.” Aku menarik kursi dan duduk di depan Bagas. Firasatku tidak enak. Ada sesuatu mengganjal di hatiku, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. “Ada apa, Nak? Kok kamu gelisah gitu?” Aku menegang saat mendengar suara ayah. Aku berusaha tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Ayah.” “Kamu jangan bohong. Ayah bukan anak kecil. Jika kamu ada masalah, beri tahu Ayah,” bujuk Bagas. Tenggorokanku tercekat. Aku ingin mengutarakan kerisauanku tentang perubahan sikap dan kesehatan Riani, tetapi sungkan. Akibat kehidupan keluarga kami yang dipenuhi tekanan ekonomi, membuatku tumbuh menjadi anak tertutup dan mandiri, yang akan menyembunyikan segala permasalahan dari orang tuaku. “Beneran, Ayah. Percaya sama aku.” Aku memaksakan senyum cerah. Aku tidak mau masalah Riani akan mengganggu kesehatan ayah, karena dia mempunyai riwayat sakit jantung. Lagi pula, Riani masih punya aku, yang akan siap sedia merawatnya. Bagas mendengus kecewa. “Baiklah. Terserah kamu saja,” sahutnya, malas berdebat. Aku melirik kamar Riani dan arloji di tanganku secara bergantian. Aku makin cemas. Sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi, tetapi dia tak kunjung muncul. Aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng, tak nafsu makan akibat pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku menduga Riani sakit parah karena dia sangat pucat. ‘Tetapi sakit apa?’ Meski kami akrab, Riani sedikit tertutup pada keluarganya. Termasuk aku. Padahal kami sudah berjanji akan saling terbuka dan menguatkan jika ada masalah. Tak lama kemudian, Riani datang sambil tersenyum cerah. Wajah pucatnya sudah dipoles bedak tipis ditambah lipstik merah muda, membuatnya tampak lebih segar. Melihat itu, aku sedikit lega. Selesai sarapan, kami berpamitan pada orang tua kami dan menaiki angkot. "Riani, jawab Kakak jujur.” Aku memberikan tatapan tegas padanya. Riani hanya menunduk, enggan menatap mataku. Dia terus meremas-remas roknya dengan gugup. “Sebenarnya, kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak mau periksa ke rumah sakit? Gimana kalau kamu sakit parah?” omelku. Untungnya, hanya kami berdua di angkot itu sehingga tidak ada yang akan menyaksikan perdebatan kami. Riani membisu. Mungkin dia muak pada sikapku yang terlalu overprotektif. Namun, bagiku, itu wajar karena dia satu-satunya adikku. Sepanjang perjalanan, Riani enggan menjawab. Padahal aku sudah mendesak dan membujuknya dengan berbagai cara agar dia mau periksa ke puskesmas demi mengetahui penyebabnya, tetapi Riani menolak dengan alasan biaya. Padahal Puskesmas gratis. Aku jengkel, tetapi kehabisan kata-kata. Dia sangat keras kepala. Kesehatan Riani sangat mengusik ketenangan hatiku. Mungkinkah dia sebenarnya sudah tahu tentang penyakitnya, tetapi enggan memberi tahu karena tidak mau membuat keluarganya khawatir? Sayangnya, hari ini, aku harus menelan kekecewaan karena Riani harus turun terlebih dahulu karena kami beda sekolah. Sesampainya di kelas, aku terduduk lesu. Hari ini sangat suram. Aku merasa hampa, seperti separuh jiwaku terenggut. Aku makin stres karena tenggelam dalam kebingungan. “Oi! Melamun saja! Pasti lagi mikirin cowok, kan?! Hayo, ngaku!” Anggi, teman sebangku sekaligus sahabatku, menepuk pundakku. Aku mendesis kesal. “Kamu ngagetin aja. Aku nggak mikirin siapa pun, kok!” bantahku. "Ah, bohong! Tuh, lihat! Hidungmu kompas-kempis kalau lagi bohong!” Anggi cekikikan. “Sorry, ya. Aku bukan kamu, yang selalu memikirkan mantan kamu, si Darma itu,” ejekku. “Dia aja nggak mikirin kamu.” “Ih, jahat banget, sih!” Anggi cemberut. "Maaf, maaf. Aku Cuma bercanda, kok.” Aku tertawa pelan. "Lagian, kenapa dia harus pindah, sih? Jadi, kami nggak bisa sering-sering bertemu, deh.” Dia bertopang dagu sambil cemberut. “Bukannya kamu yang putusin dia? Kok, malah kamu yang gagal move on?” Anggi terdiam seribu bahasa. “Ah, kamu nggak asik!” “Kamu harus move on, dong. Kalian ‘kan sudah putus, kenapa kamu masih mengharapkan dia kembali? Aneh.” “Karena dia tampan.” Anggi cengar-cengir dengan tampang tak berdosa. Aku memutar mata malas. Kenapa semua gadis di sekolah tergila-gila pada Darma? Meskipun dia merupakan most wanted di sekolah dan kaya raya, aku sama sekali tidak tertarik. Di tengah percakapan kami, ponselku tiba-tiba berdering. Aku merogoh saku rokku dan memeriksanya. Aku mengernyit saat tertera nomor asing di layar ponselku. “Siapa ini?” gumamku. “Siapa, Din?” Anggi melongok ke ponselku. “Kenapa nggak diangkat? Angkat, dong. Siapa tahu penting.” Aku mengangguk, lalu mengangkatnya ragu-ragu. “Halo—” “Apa benar kamu adalah Kakak Riani?” tanya seorang gadis panik di seberang telepon. “Benar. Kamu siapa, ya?” “Riani pingsan, Kak! Sekarang dia dibawa ke rumah sakit!” "Apa?!”Aku melangkah tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Hawa dingin yang mencekam dan aroma antiseptik menyambut kedatanganku. Aku berlari secepat mungkin menuju ruang rawat Riani. Air mataku meluruh tanpa henti. Duniaku seperti runtuh di atas kepalaku. Pikiranku terasa kosong. Waktu berlalu sangat lambat seperti dalam mimpi.Sejuta pertanyaan terngiang-ngiang di benakku. Kenapa Riani bisa pingsan? Apa penyebabnya?Jantungku berdebar makin tak karuan saat aku tiba di ruang itu. Kakiku terasa lemas tanpa sebab, membuatku nyaris pingsan. Aku mendapati seorang gadis duduk tertegun di bangku tunggu. Wajahnya pucat pasi, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan doa.Aku menyadari situasinya sangat gawat saat melihat ekspresinya.“Di mana adikku?! Gimana keadaannya?! Dia baik-baik aja, kan?” Aku terisak-isak. “Kok dia bisa pingsan?! Apa yang sebenarnya terjadi sama dia?!” Aku tidak bisa mengontrol diriku. Napasku terengah-engah akibat berlari.“Tenang dulu, Kak. Tarik napas dulu—”“Jawab
Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian.Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini.Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya
Aku membasahi bibirku yang kering saat rasa bimbang menyerangku. Tanganku mulai berkeringat dan tubuhku basah.“Hei, Diani? Kok kamu diam aja, sih?” Suara Anggi menggema di ponselku.Lamunanku seketika buyar. “Maaf, maaf.”“Kamu kenapa, sih? Aneh banget hari ini, apa lagi saat di sekolah tadi. Kamu lagi ada masalah atau gimana?” tebak Anggi tepat sasaran. “Cerita dong sama aku.”“N-nggak kok.” Aku mengelak. “A-aku Cuma… Cuma mau tanya sesuatu sama kamu.” Aku bingung bagaimana cara menyampaikannya. “Soal apa? Tumben. Soal pelajaran? Aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri otakku sudah kugadaikan.” Anggi cekikikan.Aku tidak tertawa mendengar candaan itu. Rasanya aku tidak bisa bahagia lagi.“Din? Kamu serius baik-baik aja? Kamu jangan buat aku khawatir.” Suara Anggi terdengar cemas. “Pasti terjadi sesuatu, kan?”Aku sangat sulit menyembunyikan apa pun dari sahabatku. “Kamu lagi di mana?” Aku segera mengalihkan pembicaraan.“Di rumah, kenapa? Kangen?” goda Anggi, berusaha mencairka
Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak
Aku membasahi bibirku yang kering saat rasa bimbang menyerangku. Tanganku mulai berkeringat dan tubuhku basah.“Hei, Diani? Kok kamu diam aja, sih?” Suara Anggi menggema di ponselku.Lamunanku seketika buyar. “Maaf, maaf.”“Kamu kenapa, sih? Aneh banget hari ini, apa lagi saat di sekolah tadi. Kamu lagi ada masalah atau gimana?” tebak Anggi tepat sasaran. “Cerita dong sama aku.”“N-nggak kok.” Aku mengelak. “A-aku Cuma… Cuma mau tanya sesuatu sama kamu.” Aku bingung bagaimana cara menyampaikannya. “Soal apa? Tumben. Soal pelajaran? Aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri otakku sudah kugadaikan.” Anggi cekikikan.Aku tidak tertawa mendengar candaan itu. Rasanya aku tidak bisa bahagia lagi.“Din? Kamu serius baik-baik aja? Kamu jangan buat aku khawatir.” Suara Anggi terdengar cemas. “Pasti terjadi sesuatu, kan?”Aku sangat sulit menyembunyikan apa pun dari sahabatku. “Kamu lagi di mana?” Aku segera mengalihkan pembicaraan.“Di rumah, kenapa? Kangen?” goda Anggi, berusaha mencairka
Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian.Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini.Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya
Aku melangkah tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Hawa dingin yang mencekam dan aroma antiseptik menyambut kedatanganku. Aku berlari secepat mungkin menuju ruang rawat Riani. Air mataku meluruh tanpa henti. Duniaku seperti runtuh di atas kepalaku. Pikiranku terasa kosong. Waktu berlalu sangat lambat seperti dalam mimpi.Sejuta pertanyaan terngiang-ngiang di benakku. Kenapa Riani bisa pingsan? Apa penyebabnya?Jantungku berdebar makin tak karuan saat aku tiba di ruang itu. Kakiku terasa lemas tanpa sebab, membuatku nyaris pingsan. Aku mendapati seorang gadis duduk tertegun di bangku tunggu. Wajahnya pucat pasi, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan doa.Aku menyadari situasinya sangat gawat saat melihat ekspresinya.“Di mana adikku?! Gimana keadaannya?! Dia baik-baik aja, kan?” Aku terisak-isak. “Kok dia bisa pingsan?! Apa yang sebenarnya terjadi sama dia?!” Aku tidak bisa mengontrol diriku. Napasku terengah-engah akibat berlari.“Tenang dulu, Kak. Tarik napas dulu—”“Jawab
Bab 1“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun.“Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.”Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah.“Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!”Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk.Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat me