Share

Bab 6. Fakta Menunjukan

Penulis: Pita Chris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 18:54:08

“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.

Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.

Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.

“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.

“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”

“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong.

Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.

“Anggi.”

“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”

Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”

“Benar ju—”

“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”

Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara itu berasal dari ruang tamu.

Ibu buru-buru ke luar dengan ekspresi panik. Aku pun segera menyusulnya untuk mengecek apa yang terjadi. Tetapi Riani nekat mengekoriku, membuatku segera mencegatnya di ambang pintu.

“Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu sini aja,” pintaku tegas.

“Tetapi, Kak—”

“Kali ini, dengarin Kakak. Apa kamu mau pingsan lagi di depan orang tua kita?” omelku. “Kalau ibu dan ayah berhasil bawa kamu ke rumah sakit, semuanya akan terbongkar.”

Akhirnya, Riani terpaksa mengangguk lemah dan kembali masuk. Aku menutup pintu kamarnya sebelum menyusul Ibu.

Aku mendapati tiga pria berpenampilan seperti preman berteriak-teriak di ruang tamu.

Aku hanya mengintip di balik tembok, karena ibu dan ayah selalu melarangku untuk ikut campur saat mereka datang.

“Kami benar-benar minta maaf, tetapi kami akan segera membayarnya, tolong beri kami waktu,” jawab Ayah gugup “karena akhir-akhir ini, toko kue kami sedang bermasalah—”

BRUK!

Suara pecahan kaca menggema di rumah itu. Salah satu pria meraih pot bunga hias di meja tamu dan melemparkannya ke lantai, dekat kaki ayah dan ibu, dengan beringas.

“KAMI NGGAK BUTUH OMONG KOSONG! KALIAN HARUS MELUNASI UTANG KALIAN SEKARANG JUGA! JIKA TIDAK… KALIAN HARUS PERGI DARI RUMAH INI!”

Tubuh Ibu makin gemetar ketakutan sambil berlinang air mata.

Dengan wajah tabah dan tersenyum, ayah memohon, “Berikan kami waktu seminggu lagi, kami berjanji akan melunasi semuanya.”

Aku hanya bisa menangis menyaksikan orang tuaku dipermalukan di depan banyak orang. Teriakan ketiga penagih utang itu mengundang banyak tetangga berkumpul di teras untuk menonton keributan itu.

Terdengar cibiran di antara mereka, yang makin mencabik hatiku.

Aku merutuki diriku yang tidak bisa membantu apa pun untuk meringankan beban mereka. Selama ini, aku hanya bisa membantu ibu membuat kue atau menjaga toko.

“TIDAK!” bentak mereka. “SEKARANG KEMASIN BARANG KALIAN DAN PERGI DARI SINI SEBELUM KAMI MENYERET KALIAN SECARA PAKSA!”

Tangis Ibu makin pecah, sedangkan Ayah syok, tetapi berusaha tenang. “Jangan usir kami karena kami tidak tahu harus pergi ke mana kalau kalian mengusir kami. Putri kami juga sedang sakit, jadi tolong kasihan kami.”

“ITU BUKAN URUSAN KAMI!” maki mereka. “ITULAH AKIBATNYA KALAU NEKAT PINJAM UANG DASAR MISKIN!”

Ayah kehabisan kata-kata.

“Kami mohon kasihan kami, Om.” Riani tiba-tiba terjun ke tengah keributan tanpa sempat kusadari. Sejak kapan dia di sana? Aku terlambat untuk menahannya.

“Kami berjanji nggak akan kabur. Tolong beri kami waktu beberapa minggu lagi. Jika kami gagal melunasinya, kalian boleh mengusir kami.” Suara Riani terdengar lemah, tetapi senyum manisnya tak luntur di wajah cantiknya.

‘Kenapa dia keras kepala banget, sih?’ gerutuku dalam hati. Situasi akan makin kacau jika aku menariknya kembali ke kamar, karena dia akan keras kepala.

Ketiga pria itu sempat tertegun saat melihat wajah Riani sangat pucat seperti mayat sebelum membentaknya.

“Tidak!” Suara preman itu sedikit melunak, meski tetap kasar. “Bos kami tidak sudi untuk memberi waktu lagi! Sekarang, cepat kosongkan rumah ini karena orang tuamu sudah menggadaikan sertifikatnya!”

“Kami mohon—”

“Riani, masuk!” potong Ayah tegas, enggan dibantah.

Riani menatapnya, memelas. “Tapi, Ayah—”

“Apa kamu tuli!?” Ayah mendelik pada Riani. “Ini urusan ayah, bukan kamu! Cepat masuk!”

“Maafkan aku.” Dengan lunglai, Riani berputar dan berjalan ke arahku. Tapi, dia mendadak berhenti, memegangi kepalanya.

“Riani, kamu baik-baik aja?” tanya Ibu cemas, aku bergegas menghampirinya dan memapahnya.

“Riani baik-baik saja, Bu,” selaku. “Dia Cuma kecapekan aja—”

BRUK!

Belum sempat menyelesaikan kalimatku, tubuh Riani ambruk dan terjatuh di pangkuanku.

“Ya Allah!” pekik Ibu histeris, sedangkan Ayah langsung berjongkok dan menepuk-nepuk pipi Riani.

“Riani, bangun! Kamu kenapa?!”

Tidak ada respon dari adikku.

Tanpa membuang-buang waktu, Ayah langsung menggendong Riani keluar untuk membawanya ke rumah sakit. Untungnya, ada salah satu tetangga yang berbaik hati menawari kami tumpangan mobil.

Kami sekeluarga pergi menuju rumah sakit. Sejak tadi, ibu dan aku menangis terisak-isak sambil memegangi tangan Riani yang dingin. Ayah duduk di sebelah kemudi sambil berkali-kali menyeka keringat dari dagunya dengan cemas.

Karena panik, aku merasa laju mobil sangat lambat sampai Ibu berkali-kali protes. Beberapa menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah sakit.

Ayah mengeluarkan Riani dari mobil dan menaruh tubuh lemasnya di atas brankar, lalu beberapa perawat bergegas mendorongnya menuju ruang UGD.

“Mohon tunggu di luar.” Seorang perawat mencegat kami saat hendak ikut masuk, lalu menutup pintu itu di depan kami.

Aku menggigit kuku tanpa berhenti memanjatkan doa, Ibu menangis terisak-isak sambil menyebut nama Riani, sedangkan Ayah mondar-mandir dengan gelisah.

“Sebenarnya Riani sakit apa, hah? Kenapa dia tiba-tiba pingsan?” Ayah mengomeliku. “Sebenarnya apa yang kalian lakukan selama kami pergi?”

“A-aku juga nggak tahu, Yah.” Aku berbohong, tubuhku gemetar ketakutan. Sebentar lagi, aku akan menghadapi kemarahan mereka lebih dari pada ini.

Setengah jam kemudian, seorang perawat keluar menemui kami.

Ibu segera menghampirinya. “Bagaimana keadaan anak saya, Sus?! Dia baik-baik saja, kan?”

“Silakan masuk. Dokter akan menjelaskan semuanya di dalam.” Wajah perawat itu tegang.

Aku, Ayah, Ibu segera masuk dan mendekati Dokter, yang sedang berdiri di samping Riani.

“Apa yang terjadi sama anak saya, Dok?” sela Ayah.

“Jadi, kalian belum tahu masalah ini?”

Ibu dan Ayah menggeleng, sedangkan aku berdiri tertunduk di belakang mereka.

Dokter menghela napas berat, lalu menatap Ayah dan Ibu prihatin. “Anak ibu hamil.”

“Hamil?” Ibu ternganga.

“Hamil gimana, Dokter?! Putri saya gadis baik-baik! Nggak mungkin hamil!” protes Ayah.

“Pasti ada kesalahan!” bentak Ibu. “Coba diperiksa lagi!”

“Tetapi saya sudah memeriksanya berkali-kali melalui USG dan darah, hasilnya positif.”

“Nggak! Itu nggak mungkin!” Ayah menggeleng kuat, menolak kenyataan itu. “Anak saya nggak mungkin hamil! Dokter jangan ngawur!”

“Itu nggak mungkin!” Ibu menjerit histeris sembari memukul-mukuli Dokter. “Dokter pasti berbohong! Putri saya nggak mungkin hamil! Putri saya anak baik-baik!”

Aku segera menahan Ibu agar jangan memukuli Dokter. “Ibu, tenang—”

“Minggir!” Ibu mendorongku hingga aku terhuyung-huyung.

“Apa kamu sudah tahu hal ini, hah?!” bentak Ayah.

Aku hanya menunduk sambil menangis sesenggukan, mulutku mendadak kelu.

“JAWAB, AYAH!”

“Ma-maafkan aku, Yah...” Hanya itu yang bisa kukatakan.

“BERANI-BERANINYA KAMU... ARGH!” Ayah tiba-tiba memegangi dadanya sambil mengerang kesakitan.

BRUK!

“AYAH!”

Bab terkait

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 7. Tekad

    “Ayah, bangun!” Aku dan Ibu menangis histeris sambil menggoyangkan tubuh Ayah yang tergeletak di lantai UGD. Empat perawat buru-buru mengangkat Ayah ke brankar di samping Riani, lalu Dokter segera memeriksanya. “Sebaiknya Ibu dan Anda keluar agar kami bisa menangani keluarga kalian dengan baik.” Seorang suster menyarankan. "Nggak! Saya mau menemani anak dan suami saya! Minggir!” Ibu menjerit-jerit histeris, membuat suasana makin runyam. Tanpa berhenti menangis, aku membujuk Ibu untuk segera keluar, tetapi aku malah terkena tamparannya. “Diam kamu! Semua ini salahmu!” maki Ibu sambil memelototiku. “Kalau kamu kasih tahu kami tentang ini dari awal, Ayah nggak bakalan kayak gini! Apa kamu lupa kalau Ayah punya riwayat sakit jantung?!” Aku makin terisak-isak hebat. “M-maafkan aku, Bu. Aku nggak bermaksud—” “Maaf, jangan bertengkar di sini. Kalian menganggu konsentrasi Dokter dan tim medis lainnya yang sedang berusaha menyelamatkan keluarga kalian.” Kalian tidak mau keluarga kalian

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 8. Amarah Yang Memuncak

    Keheningan menyergap aku dan pemuda di depanku selama beberapa saat. Aku sempat terpaku pada ketampanannya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Aku baru menyadari ketampanan Darma jika dilihat dari dekat. “Kamu siapa? Ada perlu apa, ya?” tanya Darma memecah keheningan. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur. Aku menatap Darma dingin. “Aku Diani.” “Diani?” Darma mengernyit, berusaha mengenaliku. “Oh! Kamu! Aku ingat sekarang! Kita pernah sekelas, kan?!” Aku hanya mengangguk singkat, tak berniat meresponsnya dengan ramah. “By the way, dari mana kamu tahu alamat kosanku?” Darma bersandar ke kusen pintu sambil melipat tangan depan dada, menatapku lembut dan dalam, memperlihatkan sisi maskulinnya. “Itu nggak penting,” ketusku, mengalihkan pembicaraan, tak tergoda dengan penampilannya yang rupawan. “Sekarang kamu harus bertanggung jawab.” Aku bisa melihat ekspresi Darma menegang sekaligus kebingungan. “Tanggung jawab soal apa?” Darma mengernyit, tetapi sedetik

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 9. Penghinaan

    "Beraninya cewek lemah kayak kamu mengancamku,” bisik Darma tajam. “Kalau semua penghuni kos ini sampai tahu soal ini, aku nggak akan segan-segan berbuat macam-macam sama kamu, paham?”Aku spontan mendorong dada Darma sekuat tenaga sebelum dia bertindak kurang ajar. “Aku nggak takut! Jika masih menolaknya, aku akan melaporkan kamu ke polisi sekarang juga!”Aku melewati cowok itu, tetapi dia menahan tanganku erat-erat. “Lepasin aku!” Aku memberontak sekuat tenaga, melepaskan cengkeramannya.Darma berkali-kali mendengus kesal. Wajahnya tampak jengkel dan pasrah. Apakah dia menyerah?“Di mana adikmu sekarang?” tanya Darma kemudian.“Memangnya kenapa?” tanyaku ketus. Jangan-jangan dia sedang merencanakan rencana jahat. Aku harus memastikannya.“Aku akan tanggung jawab! Puas?”Aku terkejut, tetapi tetap memasang ekspresi datar. “Bagus! Memang seharusnya begitu! Ayo!” Aku menarik tangan Darma mengikutiku. Tak membiarkan dia kabur.Kami menaiki taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 10. Sebuah Petunjuk

    Seminggu telah berlalu. Riani dan Darma hanya melangsungkan pernikahan mereka di KUA tanpa ada resepsi atau acara besar-besaran karena mengingat kondisi keuangan orang tua kami sedang sulit dan terlilit utang. Sedangkan orang tua Darma tidak mau ikut campur.Sudah seminggu mereka tinggal di rumah orang tuaku.Namun, berita pernikahan itu menyebar luas ke seluruh komplek. Berbagai tudingan kejam ditujukan pada Riani. Secara terang-terangan para tetangga menuduh Riani hamil di luar nikah sehingga dia buru-buru menikah saat masih berumur tujuh belas tahun.Aku masuk ke kamar Riani sambil membawa nampan berisi masakan sehat khusus ibu hamil. Namun, aku terkejut saat mendapatinya sedang menangis.“Ada apa, Riani?”Riani buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Kak.”“Kamu jangan berbohong,” pintaku sambil duduk di sampingnya. “Jika ada masalah, kasih tahu aku. Aku pasti bantu.”Riani menggeleng sambil menunduk, membuat air matanya bertetesan ke bantal yang dipelukny

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 11. Rumor

    Keesokan harinya, aku buru-buru ke luar setelah bersiap-siap mengenakan celana jeans dan kaos putih. Rambutku hanya dikuncir kuda, sedangkan wajahku tidak dipoles riasan.“Kamu ke mana, Nak?” tanya Ibu heran. “Kok pakai baju bebas?” Ibu dan Ayah sedang bersantai di ruang tamu.Aku tak menduga mereka sedang berbincang-bincang di situ. Aku tersenyum kaku. “Aku mau ke tempat Riani, Bu,” jawabku setenang mungkin.“Loh? Memangnya kamu nggak sekolah?” tanya Ayah sambil melipat koran. Alisnya berkerut tajam sambil menatapku heran.Ibu spontan berdiri dengan cemas. “Apa terjadi sesuatu sama Riani?” tebak Ibu. Dia tampak hampir menangis.Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Apa yang harus kujawab? Tidak mungkin aku mengatakan tentang mimpi burukku.“Din, jawab Ibu!” desak Ibu sambil menggoyang-goyangkan lenganku. “Jadi, tebakan Ibu benar?!”“Riani baik-baik saja, Bu.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya lembut. “Katanya, dia bosan karena ditinggal kerja sama Dharma, makanya dia minta

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-05
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 12. Ayah Kejam!

    Selama kami di kantin, Clara bercerita tentang banyak hal. Aku hanya tersenyum atau mengangguk sebagai tanggapan. Aneh, tetapi aku merasa nyaman dekat dengannya.Aku baru menyadari Clara sangat mirip dengan Diani. Caranya tertawa, bercerita dan auranya. Gadis itu mengingatkanku pada Riani dulu yang selalu ceria sebelum semuanya berubah.“Apa benar adikmu sudah nikah sama Darma?” Tiba-tiba seorang gadis lain bertanya ketus padaku.Hari ini sudah sangat banyak siswi yang menanyakan tentang kebenaran pernikahan Riani dan Darma.Aku banyak terdiam karena bingung memberi alasan yang masuk akal. Sepertinya mereka tidak terima karena Darma, cowok idaman mereka, telah menikah.“Jawab! Jangan malah diam!” bentaknya. Teriakannya membuatku jadi pusat perhatian. Aku makin ketakutan.“Apa-apaan sih?! Hak Diani mau jawab atau enggak! Pergi sana!” ketus Clara.Aku tertegun sejenak. Clara benar-benar mirip Riani. Dia akan sangat judes jika ada yang mengganggu kami.Gadis bar-bar itu pergi dengan kesa

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 13. Fakta

    “Aku dengar kamu punya adik, ya?” tanya Clara tiba-tiba di sela-sela waktu belajar kami.Aku menegang. Apa yang harus kujawab? Sejak rumor di sekolah, aku jadi takut membahas soal Riani pada orang asing.“Aku lihat ada foto saat kamu sedang berfoto dengan seorang gadis.”“Ya,” jawabku senormal mungkin. “Itu adikku.”“Kok dia nggak ada di sini? Apa dia pergi les?” tebak Clara.Aku terdiam karena bingung harus menjawab apa.“Sorry, Din. Aku bukan mau kepo. Aku Cuma mau kenal sama keluarga kamu aja,” jelas Clara cepat, tersenyum manis. Sepertinya dia menyadari keenggananku.Senyum Clara sangat tulus, membuatku tak tega untuk tidak menjawab. “Dia nggak tinggal sama aku dan orang tuaku lagi.”Clara bingung dan terkejut. “Kenapa?”Aku menggaruk pipiku yang tak gatal. “Dia tinggal sama—”“Maaf kalau Ibu menganggu kalian.” Tiba-tiba Ibu datang ke ruang keluarga sambil membawa teh dan roti, lalu menaruhnya di meja. “Silakan dinikmati. Maaf, Tante Cuma ada ini.“ Dia terkekeh.“Nggak apa-apa, Bu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 1. Kecurigaan Diani

    “Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun. “Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.” Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah. “Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!” Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk. Namun, dari hari ke hari, sikapnya sang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 13. Fakta

    “Aku dengar kamu punya adik, ya?” tanya Clara tiba-tiba di sela-sela waktu belajar kami.Aku menegang. Apa yang harus kujawab? Sejak rumor di sekolah, aku jadi takut membahas soal Riani pada orang asing.“Aku lihat ada foto saat kamu sedang berfoto dengan seorang gadis.”“Ya,” jawabku senormal mungkin. “Itu adikku.”“Kok dia nggak ada di sini? Apa dia pergi les?” tebak Clara.Aku terdiam karena bingung harus menjawab apa.“Sorry, Din. Aku bukan mau kepo. Aku Cuma mau kenal sama keluarga kamu aja,” jelas Clara cepat, tersenyum manis. Sepertinya dia menyadari keenggananku.Senyum Clara sangat tulus, membuatku tak tega untuk tidak menjawab. “Dia nggak tinggal sama aku dan orang tuaku lagi.”Clara bingung dan terkejut. “Kenapa?”Aku menggaruk pipiku yang tak gatal. “Dia tinggal sama—”“Maaf kalau Ibu menganggu kalian.” Tiba-tiba Ibu datang ke ruang keluarga sambil membawa teh dan roti, lalu menaruhnya di meja. “Silakan dinikmati. Maaf, Tante Cuma ada ini.“ Dia terkekeh.“Nggak apa-apa, Bu

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 12. Ayah Kejam!

    Selama kami di kantin, Clara bercerita tentang banyak hal. Aku hanya tersenyum atau mengangguk sebagai tanggapan. Aneh, tetapi aku merasa nyaman dekat dengannya.Aku baru menyadari Clara sangat mirip dengan Diani. Caranya tertawa, bercerita dan auranya. Gadis itu mengingatkanku pada Riani dulu yang selalu ceria sebelum semuanya berubah.“Apa benar adikmu sudah nikah sama Darma?” Tiba-tiba seorang gadis lain bertanya ketus padaku.Hari ini sudah sangat banyak siswi yang menanyakan tentang kebenaran pernikahan Riani dan Darma.Aku banyak terdiam karena bingung memberi alasan yang masuk akal. Sepertinya mereka tidak terima karena Darma, cowok idaman mereka, telah menikah.“Jawab! Jangan malah diam!” bentaknya. Teriakannya membuatku jadi pusat perhatian. Aku makin ketakutan.“Apa-apaan sih?! Hak Diani mau jawab atau enggak! Pergi sana!” ketus Clara.Aku tertegun sejenak. Clara benar-benar mirip Riani. Dia akan sangat judes jika ada yang mengganggu kami.Gadis bar-bar itu pergi dengan kesa

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 11. Rumor

    Keesokan harinya, aku buru-buru ke luar setelah bersiap-siap mengenakan celana jeans dan kaos putih. Rambutku hanya dikuncir kuda, sedangkan wajahku tidak dipoles riasan.“Kamu ke mana, Nak?” tanya Ibu heran. “Kok pakai baju bebas?” Ibu dan Ayah sedang bersantai di ruang tamu.Aku tak menduga mereka sedang berbincang-bincang di situ. Aku tersenyum kaku. “Aku mau ke tempat Riani, Bu,” jawabku setenang mungkin.“Loh? Memangnya kamu nggak sekolah?” tanya Ayah sambil melipat koran. Alisnya berkerut tajam sambil menatapku heran.Ibu spontan berdiri dengan cemas. “Apa terjadi sesuatu sama Riani?” tebak Ibu. Dia tampak hampir menangis.Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Apa yang harus kujawab? Tidak mungkin aku mengatakan tentang mimpi burukku.“Din, jawab Ibu!” desak Ibu sambil menggoyang-goyangkan lenganku. “Jadi, tebakan Ibu benar?!”“Riani baik-baik saja, Bu.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya lembut. “Katanya, dia bosan karena ditinggal kerja sama Dharma, makanya dia minta

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 10. Sebuah Petunjuk

    Seminggu telah berlalu. Riani dan Darma hanya melangsungkan pernikahan mereka di KUA tanpa ada resepsi atau acara besar-besaran karena mengingat kondisi keuangan orang tua kami sedang sulit dan terlilit utang. Sedangkan orang tua Darma tidak mau ikut campur.Sudah seminggu mereka tinggal di rumah orang tuaku.Namun, berita pernikahan itu menyebar luas ke seluruh komplek. Berbagai tudingan kejam ditujukan pada Riani. Secara terang-terangan para tetangga menuduh Riani hamil di luar nikah sehingga dia buru-buru menikah saat masih berumur tujuh belas tahun.Aku masuk ke kamar Riani sambil membawa nampan berisi masakan sehat khusus ibu hamil. Namun, aku terkejut saat mendapatinya sedang menangis.“Ada apa, Riani?”Riani buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Kak.”“Kamu jangan berbohong,” pintaku sambil duduk di sampingnya. “Jika ada masalah, kasih tahu aku. Aku pasti bantu.”Riani menggeleng sambil menunduk, membuat air matanya bertetesan ke bantal yang dipelukny

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 9. Penghinaan

    "Beraninya cewek lemah kayak kamu mengancamku,” bisik Darma tajam. “Kalau semua penghuni kos ini sampai tahu soal ini, aku nggak akan segan-segan berbuat macam-macam sama kamu, paham?”Aku spontan mendorong dada Darma sekuat tenaga sebelum dia bertindak kurang ajar. “Aku nggak takut! Jika masih menolaknya, aku akan melaporkan kamu ke polisi sekarang juga!”Aku melewati cowok itu, tetapi dia menahan tanganku erat-erat. “Lepasin aku!” Aku memberontak sekuat tenaga, melepaskan cengkeramannya.Darma berkali-kali mendengus kesal. Wajahnya tampak jengkel dan pasrah. Apakah dia menyerah?“Di mana adikmu sekarang?” tanya Darma kemudian.“Memangnya kenapa?” tanyaku ketus. Jangan-jangan dia sedang merencanakan rencana jahat. Aku harus memastikannya.“Aku akan tanggung jawab! Puas?”Aku terkejut, tetapi tetap memasang ekspresi datar. “Bagus! Memang seharusnya begitu! Ayo!” Aku menarik tangan Darma mengikutiku. Tak membiarkan dia kabur.Kami menaiki taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan,

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 8. Amarah Yang Memuncak

    Keheningan menyergap aku dan pemuda di depanku selama beberapa saat. Aku sempat terpaku pada ketampanannya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Aku baru menyadari ketampanan Darma jika dilihat dari dekat. “Kamu siapa? Ada perlu apa, ya?” tanya Darma memecah keheningan. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur. Aku menatap Darma dingin. “Aku Diani.” “Diani?” Darma mengernyit, berusaha mengenaliku. “Oh! Kamu! Aku ingat sekarang! Kita pernah sekelas, kan?!” Aku hanya mengangguk singkat, tak berniat meresponsnya dengan ramah. “By the way, dari mana kamu tahu alamat kosanku?” Darma bersandar ke kusen pintu sambil melipat tangan depan dada, menatapku lembut dan dalam, memperlihatkan sisi maskulinnya. “Itu nggak penting,” ketusku, mengalihkan pembicaraan, tak tergoda dengan penampilannya yang rupawan. “Sekarang kamu harus bertanggung jawab.” Aku bisa melihat ekspresi Darma menegang sekaligus kebingungan. “Tanggung jawab soal apa?” Darma mengernyit, tetapi sedetik

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 7. Tekad

    “Ayah, bangun!” Aku dan Ibu menangis histeris sambil menggoyangkan tubuh Ayah yang tergeletak di lantai UGD. Empat perawat buru-buru mengangkat Ayah ke brankar di samping Riani, lalu Dokter segera memeriksanya. “Sebaiknya Ibu dan Anda keluar agar kami bisa menangani keluarga kalian dengan baik.” Seorang suster menyarankan. "Nggak! Saya mau menemani anak dan suami saya! Minggir!” Ibu menjerit-jerit histeris, membuat suasana makin runyam. Tanpa berhenti menangis, aku membujuk Ibu untuk segera keluar, tetapi aku malah terkena tamparannya. “Diam kamu! Semua ini salahmu!” maki Ibu sambil memelototiku. “Kalau kamu kasih tahu kami tentang ini dari awal, Ayah nggak bakalan kayak gini! Apa kamu lupa kalau Ayah punya riwayat sakit jantung?!” Aku makin terisak-isak hebat. “M-maafkan aku, Bu. Aku nggak bermaksud—” “Maaf, jangan bertengkar di sini. Kalian menganggu konsentrasi Dokter dan tim medis lainnya yang sedang berusaha menyelamatkan keluarga kalian.” Kalian tidak mau keluarga kalian

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 6. Fakta Menunjukan

    “Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i

  • Terjerat Cinta Suami Adikku   Bab 5. Sandiwara

    Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status