Aku membasahi bibirku yang kering saat rasa bimbang menyerangku. Tanganku mulai berkeringat dan tubuhku basah.
“Hei, Diani? Kok kamu diam aja, sih?” Suara Anggi menggema di ponselku. Lamunanku seketika buyar. “Maaf, maaf.” “Kamu kenapa, sih? Aneh banget hari ini, apa lagi saat di sekolah tadi. Kamu lagi ada masalah atau gimana?” tebak Anggi tepat sasaran. “Cerita dong sama aku.” “N-nggak kok.” Aku mengelak. “A-aku Cuma… Cuma mau tanya sesuatu sama kamu.” Aku bingung bagaimana cara menyampaikannya. “Soal apa? Tumben. Soal pelajaran? Aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri otakku sudah kugadaikan.” Anggi cekikikan. Aku tidak tertawa mendengar candaan itu. Rasanya aku tidak bisa bahagia lagi. “Din? Kamu serius baik-baik aja? Kamu jangan buat aku khawatir.” Suara Anggi terdengar cemas. “Pasti terjadi sesuatu, kan?” Aku sangat sulit menyembunyikan apa pun dari sahabatku. “Kamu lagi di mana?” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Di rumah, kenapa? Kangen?” goda Anggi, berusaha mencairkan suasana. Aku memaksa tawaku, berusaha menyembunyikan kesedihan. “By the way, gimana hubungan kamu sama Darma? Kamu pernah ketemu dia lagi, nggak?” Ada jeda cukup panjang di antara kami sebelum dia menjawab, “Tumben kamu tanyain dia. Biasanya kamu muak dengar aku bahas soal Darma.” Aku merutuki dahiku karena tidak pandai berpura-pura. “Nggak apa-apa. Aku Cuma pengen tahu aja. Apa kamu tahu rumah dia di mana?” “Ngapain kamu tanya-tanya rumah dia?” Anggi terdengar syok. “Hmm... Aku Cuma…” Aku menggigit kuku, berusaha mencari alasan yang tepat. Tanpa kusadari, aku berjalan mondar-mandir dekat jendela kamarku. “Jangan-jangan… kamu naksir sama dia juga?” celetuk Anggi. "Nggak!” Aku nyaris berteriak, terkesan jijik. “Canda, kali. Aku tahu, kok. Nggak usah teriak juga, kupingku sakit,” gerutu Anggi. Aku segera memutar otak. “Guru suruh aku kasih surat sama orang tuanya karena mereka nggak angkat-angkat panggilan dari pihak sekolah.” Aku beralasan. “Darma buat ulah lagi?” Anggi makin kepo. “Aku juga nggak tahu. Kamu tahu rumah dia di mana?” Aku ingin segera menyudahi percakapan menegangkan ini. “Sorry, Din. Aku juga nggak tahu. Semua akun media sosial-nya sudah diblokir, jadi aku nggak bisa stalking dia lagi.” Anggi sedih. Aku menghela napas kecewa, seolah harapanku pupus. “Kamu kenapa, sih? Dari tadi kamu buang napas terus,” desak Anggi. “Kayaknya kamu kepengen banget tahu rumah dia. Emang isi suratnya apa? Penting banget?” “Guru akan mengomeli aku kalau aku nggak kasih surat ini.” Aku berbohong. “Apa kamu punya nomor teman-temannya?” “Nggak ada. Aku ogah juga berteman sama mereka, karena mereka pasti mesum kayak Darma juga!” Mendengar kalimat ‘mesum’, menyobek hatiku. “Ya sudah, aku mandi dulu, ya. Udah sore.” “Okelah. Kalau ada informasi soal dia, aku akan langsung telpon kamu.” “Makasih, ya, Good Bye...” Aku langsung menutup teleponnya sambil menghela napas berat. Sekarang, bagaimana caranya aku mencari petunjuk keberadaan dia? Apakah menanyai guru Darma atau pihak sekolah merupakan keputusan yang tepat? Tetapi aku takut mereka malah mencurigaiku. Bagaimanapun, aku tidak boleh membocorkan rahasia kehamilan Riani pada pihak sekolah. Aku mematung di depan pintu kelas Darma, bingung memutuskan untuk masuk atau tidak. Jantungku berdegup kencang. Padahal masih pagi, tetapi atmosfernya mendadak panas hingga aku gerah. Mungkin karena efek panik dan gugup. Aku tahu Darma adalah kakak kelas adikku. Aku yakin teman sekelas cowok itu menyimpan informasi tentangnya. Hanya itu satu-satunya cara agar aku tahu keberadaan dia. “Kamu siapa, ya? Kok dari tadi berdiri di sini.” Aku tersentak kaget saat seorang guru menepuk pundakku dari belakang. “Kayaknya kamu bukan murid kelas ini,” tambahnya, melirik penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. “A-aku…” Aku mendadak kehilangan kata-kata. “Kamu lagi nyari seseorang? Jangan-jangan… pacar kamu?” Wanita paruh baya itu terkekeh, menggoda. “Siapa namanya? Biar Ibu panggilkan.” “Bukan, Bu. Saya lagi nyari teman lama saya, Darma.” Wajahnya seketika berubah muram seperti awan mendung. “Teman?” ulangnya, ragu-ragu. “Yakin dia bukan pacar kamu?” Aku menangkap ekspresi muak di wajah dan nada suaranya. Darma pasti berbuat ulah yang sama saat masih bersekolah di sekolah kami dulu. “Aku Cuma temannya, kok, Bu. Aku datang Cuma mau nagih buku yang dia pinjam.” “Ck, dia pasti Cuma modus,” gumamnya jijik sambil membenarkan letak kacamata. “Ibu nggak tahu dia di mana. Kayaknya hari ini dia nggak bakalan masuk lagi.” “Lagi?” “Dia sering bolos dan buat onar di sekolah ini. Ibu harap dia nggak pernah muncul lagi,” ketusnya, mengeluarkan unek-unek. “Apa Ibu tahu alamat rumah dia? Aku mau nagih langsung ke rumahnya aja.” “Kamu tanya aja sama teman-teman Darma. Ibu malas bahas soal dia.” Guru itu langsung melenggang masuk ke kelas. Aku kebingungan. Tidak mungkin aku menanyai satu per satu cowok di kelas itu. “Permisi.” Aku berpaling saat seseorang menyapaku. Aku sedikit terpaku melihat kecantikannya. Kulitnya putih, matanya indah, dan wajahnya manis. “Kakak lagi nyari Darma, ya?” Mataku berbinar. Aku menganggap dia tahu sesuatu dari kalimatnya. “Ya.” “Bisa Kakak ikut aku sebentar?” Aku heran saat dia melirik kiri-kanan, seperti takut ada orang mendengar. “Tentu saja.” Aku mengikuti dia. Dia mengajakku ke taman belakang sekolah, yang tersedia bangku, lalu kami duduk bersebelahan. Hening. Sesaat, tidak ada membuka percakapan. Wanita berkuncir kuda itu tampak sedang menyusun kata-kata. “Perkenalkan, namaku Febrianti.” Aku menjabat tangannya sambil tersenyum seadanya. “Aku Diani.” “Kalau boleh tahu, kenapa Kakak cari Darma?” tanyanya. “Aku yakin Kakak cari dia bukan masalah buku.” Aku sedikit gugup saat dia menatapku penuh selidik. “Santai aja, Kak. Aku nggak bakalan bocorin ke siapa pun, kok.” Aku tertegun saat dia seolah bisa menerawang apa yang terjadi atas adikku. “Apa dia selingkuh? Mukul Kakak? Atau… bersikap kurang ajar?” tebak Febrianti. Aku terbelalak. ‘Kurang ajar? Apa maksudnya?’ “Kurang ajar, gimana?” Aku pura-pura polos. Dia tersenyum lega. “Dari ekspresi Kakak, kayaknya dia nggak pernah macem-macem sama Kakak. Syukurlah kalau Kakak bukan korbannya.” Febrianti berpaling, menatap lurus ke depan dengan tatapan sendu. “Kayaknya kamu kenal banget sama dia, ya?” Aku menebak. “Bukan kenal lagi.” Kalimat itu terdengar ambigu bagiku. “Maksudnya?” aku memberanikan diri bertanya. “Aku adalah mantan Darma.” “Apa?” Aku membeliak tak percaya. “Mantan?!”Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
Bab 1“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun.“Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.”Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah.“Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!”Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk.Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat me
Aku melangkah tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Hawa dingin yang mencekam dan aroma antiseptik menyambut kedatanganku. Aku berlari secepat mungkin menuju ruang rawat Riani. Air mataku meluruh tanpa henti. Duniaku seperti runtuh di atas kepalaku. Pikiranku terasa kosong. Waktu berlalu sangat lambat seperti dalam mimpi.Sejuta pertanyaan terngiang-ngiang di benakku. Kenapa Riani bisa pingsan? Apa penyebabnya?Jantungku berdebar makin tak karuan saat aku tiba di ruang itu. Kakiku terasa lemas tanpa sebab, membuatku nyaris pingsan. Aku mendapati seorang gadis duduk tertegun di bangku tunggu. Wajahnya pucat pasi, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan doa.Aku menyadari situasinya sangat gawat saat melihat ekspresinya.“Di mana adikku?! Gimana keadaannya?! Dia baik-baik aja, kan?” Aku terisak-isak. “Kok dia bisa pingsan?! Apa yang sebenarnya terjadi sama dia?!” Aku tidak bisa mengontrol diriku. Napasku terengah-engah akibat berlari.“Tenang dulu, Kak. Tarik napas dulu—”“Jawab
Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian.Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini.Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya
“Siapa yang hamil?” Ibu menatap kami dengan alis berkerut, memperlihatkan kerutan di sekitar matanya.Dia masuk sambil membawa nampan berisi roti dan susu, lalu menaruhnya di nakas dekat Riani.Aku dan Riani hanya saling melirik gugup, takut untuk menjawab.“Kok kalian diam aja? Ibu lagi tanya, loh.” Kecurigaan Ibu makin menjadi-jadi.“I-itu, Bu...,” Aku memberanikan diri bersuara sembari menggaruk keningku yang tak gatal untuk meredakan keteganganku. “Ibu temanku di sekolah hamil lagi.”“Siapa namanya?” Wajah ibu tampak tidak puas dengan jawabanku, seolah tahu aku berbohong. Dia menyodorkan susu pada Riani, yang menunduk takut-takut.“Anggi.”“Anggi?” Ibu terkejut. “Dia ‘kan sudah remaja, masa ibunya hamil lagi, sih?”Aku terkekeh kaku. “Aku juga nggak tahu. Namanya juga rezeki, Bu.”“Benar ju—”“KAPAN KALIAN MAU MEMBAYAR HUTANG KALIAN, HAH? KALIAN SUDAH MENUNGGAK BEBERAPA BULAN!”Aku, Riani dan Ibu terkejut saat teriakan seorang pria menggelegar di rumah kami. Suara i
Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap.“Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?”Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun.“Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan.“Kok Kakak nangis?”“Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku.“Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.”Ak
Aku membasahi bibirku yang kering saat rasa bimbang menyerangku. Tanganku mulai berkeringat dan tubuhku basah.“Hei, Diani? Kok kamu diam aja, sih?” Suara Anggi menggema di ponselku.Lamunanku seketika buyar. “Maaf, maaf.”“Kamu kenapa, sih? Aneh banget hari ini, apa lagi saat di sekolah tadi. Kamu lagi ada masalah atau gimana?” tebak Anggi tepat sasaran. “Cerita dong sama aku.”“N-nggak kok.” Aku mengelak. “A-aku Cuma… Cuma mau tanya sesuatu sama kamu.” Aku bingung bagaimana cara menyampaikannya. “Soal apa? Tumben. Soal pelajaran? Aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri otakku sudah kugadaikan.” Anggi cekikikan.Aku tidak tertawa mendengar candaan itu. Rasanya aku tidak bisa bahagia lagi.“Din? Kamu serius baik-baik aja? Kamu jangan buat aku khawatir.” Suara Anggi terdengar cemas. “Pasti terjadi sesuatu, kan?”Aku sangat sulit menyembunyikan apa pun dari sahabatku. “Kamu lagi di mana?” Aku segera mengalihkan pembicaraan.“Di rumah, kenapa? Kangen?” goda Anggi, berusaha mencairka
Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian.Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini.Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya
Aku melangkah tergesa-gesa melintasi koridor rumah sakit. Hawa dingin yang mencekam dan aroma antiseptik menyambut kedatanganku. Aku berlari secepat mungkin menuju ruang rawat Riani. Air mataku meluruh tanpa henti. Duniaku seperti runtuh di atas kepalaku. Pikiranku terasa kosong. Waktu berlalu sangat lambat seperti dalam mimpi.Sejuta pertanyaan terngiang-ngiang di benakku. Kenapa Riani bisa pingsan? Apa penyebabnya?Jantungku berdebar makin tak karuan saat aku tiba di ruang itu. Kakiku terasa lemas tanpa sebab, membuatku nyaris pingsan. Aku mendapati seorang gadis duduk tertegun di bangku tunggu. Wajahnya pucat pasi, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan doa.Aku menyadari situasinya sangat gawat saat melihat ekspresinya.“Di mana adikku?! Gimana keadaannya?! Dia baik-baik aja, kan?” Aku terisak-isak. “Kok dia bisa pingsan?! Apa yang sebenarnya terjadi sama dia?!” Aku tidak bisa mengontrol diriku. Napasku terengah-engah akibat berlari.“Tenang dulu, Kak. Tarik napas dulu—”“Jawab
Bab 1“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun.“Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.”Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah.“Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!”Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk.Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat me