Share

Terjerat Cinta Siluman Pemakan Manusia
Terjerat Cinta Siluman Pemakan Manusia
Author: Byul

Kutukan Dewa

1000 TAHUN YANG LALU

“Tolong, tolong!!” Seorang wanita muda berlari dengan kecepatan seadanya akibat kedua kakinya yang tengah terluka. Tanpa memakai alas kaki, wanita itu terus berlari tak peduli dengan medan berat yang bisa menambah luka di sekujur tubuhnya. Ia menuruni pegunungan terjal usai mencari beberapa ranting kayu untuk keperluan sehari-hari. Wajahnya pucat seperti sedang dikejar oleh sesuatu. Terus berlari sambil sesekali melihat ke belakang untuk memastikan jika ia bisa lepas dari kejaran makhluk yang menakutkan.

Zaman dahulu tidak seperti sekarang, dimana masih belum banyak penduduk yang bermukim. Sekuat apapun berteriak, tidak ada orang yang mendengarnya. Apalagi wanita itu masih ada didalam hutan, sehingga kemungkinan bertemu dengan manusia lain akan sangat tipis.

Wanita itu terus berlari sekuat tenaga menghindari kejaran dari makhluk yang dikenal dengan siluman penunggu gunung yang gemar memakan manusia. Itulah kepercayaan yang dipercaya oleh para penduduk di kaki gunung tersebut. Siapapun yang bertemu dengannya, niscaya tidak akan selamat alias menjadi mangsa dari siluman itu. Dengan wajah menyeramkan berwarna hijau ditambah postur tubuh hampir setinggi hampir tiga meter, membuat siluman bernama ghanindra itu mudah mengejar mangsanya yang mencoba kabur.

Dum... Dum...

Suara langkah kaki ghanindra kian terdengar jelas. Menandakan jika makhluk itu sudah semakin dekat dengan posisinya. Dengan putus asa, wanita itu terus berlari. Melihat ada semak-semak yang lumayan rimbun, muncul ide untuk bersembunyi didalamnya. Berlari sekuat apapun tidak akan menyelamatkannya, pikir wanita itu.

Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia berusaha menenangkan diri. Benar saja, tak lama setelah itu, terlihat sosok ghanindra yang mengejarnya.

“Berusaha lari kemanapun tidak akan menyelamatkanmu, wahai manusia!” Suara ghanindra menggelegar, membuat hewan yang ada disana ikut melarikan diri.

Wanita itu melihat kesekeliling, mencari sesuatu yang bisa ia jadikan senjata untuk melawan sang siluman. Secara tak sengaja, matanya menangkap sebuah batu yang bertentuk agak runcing. Ia pikir benda itu bisa ia gunakan untuk melawan walau hanya sedikit. Diraihnya batu itu untuk berjaga jaga sambil terus memantau sosok mengerikan itu.

Tapi baru saja pandangannya lengah, ia sudah tidak melihat keberadaan makhluk itu. Entah kemana perginya, yang jelas ia sama sekali tidak tahu kemana arah ganindra pergi. Disaat ia mulai merasa aman, tiba tiba ada tangan besar yang menarik tubuhnya ke atas.

Wanita itu berteriak, karena ternyata ganindra telah menemukan keberadaannya. Sambil terus memegang batu, muncul keberanian dalam diri wanita itu. Ia mencoba melawan dengan menggoreskan sisi runcing dari batu yang ia pegang ke tangan siluman itu.

“Aduh, dasar manusia lemah.” Refleks, ghanindra melepaskan tubuh wanita itu. “Percuma kamu melawan, toh tetap akan menjadi makanan ku!” Suara siluman itu meninggi akibat kesakitan karena luka yang ia derita di tangannya.

Aneh, biasanya ia tidak mudah terluka apalagi hanya serangan ringan dari seorang wanita. Tapi, kenapa luka kecil yang ia dapatkan terasa sangat menyakitkan sehingga membuat cengkeraman tangannya melemah. Tak terasa wanita itupun bisa lolos dari genggamannya.

Merasa sangat marah karena kalah hanya dengan serangan ringan, ghanindra jadi ingin memberi pelajaran terhadap manusia yang menurutnya lemah itu. Melihat serangannya berhasil, keberanian wanita itu semakin besar. Tak peduli bagaimana ia akan berakhir, wanita itu akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.

“Coba saja kalau kamu bisa!” Teriak wanita itu dengan lantang. Tak ada lagi raut wajah ketakutan yang tadi sempat diperlihatkan. Ghanindra pun terkejut dengan perubahan yang terjadi dengan manusia di hadapannya hingga ia merasa wanita itu bukan seperti orang yang tadi ia kejar sebelumnya.

Jadi benda itu yang membuatnya menjadi berani. Kalau begitu akan ku hancurkan batu tak berguna itu.’ Ghanindra berbicara dalam hatinya sambil sesekali melirik ke arah batu yang sedang dipegang oleh wanita itu.

Seringai diperlihatkan makhluk di hadapannya membuat wanita itu semakin waspada dan bersiap untuk serangan berikutnya. Ia tahu ganindra sedang mengincar batu yang ia pegang.

Ghanindra segera melaju ke arah wanita itu, begitupun sebaliknya. Mereka berdua telah siap untuk saling menyerang. Dan lagi-lagi wanita itu berhasil melukai tubuh ghanindra, kini dibagian punggung. Luka yang cukup panjang jika diperlihatkan.

“Siapa kamu sebenarnya?” Ghanindra bertanya penuh kemarahan. Ia tahu wanita itu memang bukan wanita yang ia kejar tadi.

“Ternyata kamu menyadarinya ya,” tiba tiba saja suara wanita itu berubah menjadi suara lelaki. Dengan senyum penuh keteduhan, wanita itu berdiri dengan anggun.

“Aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Tapi sifatmu yang tamak itu memang tidak pernah berubah.” wanita itu melanjutkan kalimatnya.

“Siapa kamu berani beraninya menasehatiku, hah?” Luka di punggung ghanindra membuatnya sulit untuk bergerak.

“Aku adalah dewa yang diutus untuk memusnahkanmu. Kamu sudah terlalu banyak memakan korban tak peduli kapan dan dimanapun. Sifat tamakmu membuat dunia ini tak seimbang.”

“Jangan sok menasehatiku. Kamu tidak tahu apapun tentang manusia. Sifat tamak ku tidak ada apa apanya dibandingkan mereka yang tak pernah puas dengan apa yang telah mereka dapatkan. Yang kalian semua sebut makhluk sempurna tapi nyatanya tidak lebih dari sekedar tulang berbungkus daging yang lemah. Tak memiliki kekuatan apapun dibanding aku yang kuat ini!” Dengan sombongnya, ghanindra berbicara membandingkan dirinya dengan manusia yang menjadi korbannya selama ini.

Sang dewa yang merasuki tubuh wanita itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Memang benar, makhluk ini memiliki sifat sombong tapi tak disangka jika separah ini. “Kalau begitu, mau tak mau kamu harus aku lenyapkan.” Melihat sifat arogan dari ghanindra, membuat dewa tidak akan memberikan kesempatan.

“Silahkan kalau kamu bisa!” ghanindra tidak mau kalah, ia malah menantang dewa yang masih ada di dalam tubuh wanita itu.

Akhirnya terjadi pertempuran sengit antara dewa dan sang siluman. Setelah sekian lama ghanindra dapat dikalahkan. Tubuhnya menjadi lemah tapi tidak sampai terbunuh karena kekuatan yang telah ia dapatkan dari banyak orang yang menjadi makanannya.

Tak bisa dikatakan berhasil karena sang dewa tidak berhasil melenyapkan ghanindra. Ia pun berpikir jika dibiarkan seperti ini, ghanindra pasti akan mengulangi perbuatannya. Akhirnya ia memiliki ide untuk mengurung makhluk sombong itu di gua yang ada di gunung tersebut.

“Aku akan mengurungmu di dalam gua itu!” Sang dewa menunjuk salah satu gua yang cukup besar yang berada di area gunung. Jauh dari akses penduduk agar tidak ada orang yang menyadari adanya gua di dalam sana.

“Jangan! Aku mohon. Jika kamu mengurungku disana, bagaimana aku bisa makan?” Dengan wajah memelas, ghanindra terus memohon agar dewa itu mau melepasnya.

“Aku tidak akan termakan rayuanmu wahai siluman. Kamu adalah salah satu angkara murka yang sebenarnya harus dilenyapkan dari muka bumi ini. Tapi karena kekuatanmu terlalu besar, maka aku hanya akan mengurungmu disana agar kamu tidak bisa lagi berkeliaran dan membuat banyak manusia menjadi korban.”

“lalu bagaimana aku harus bertahan hidup?”

“baiklah. Aku akan meringankan hukumanmu. Setiap 10 tahun sekali kamu baru bisa keluar untuk mencari makan. Itupun hanya sebatas satu orang yang pertama kali bertemu dengan mu. Ah, dan ingat sebelum menjadikannya makanan, kamu harus mengabulkan satu permintaannya. Hal itu sebagai ganti rugi karena kamu telah mengakhiri hidupnya.” Penjelasan panjang dikatakan oleh dewa yang mendiami tubuh wanita itu. Tanpa ada kesulitan sedikitpun, sang dewa memulai proses pengurungan siluman itu ke dalam gua.

Tak bisa berkata apa-apa, kini ghanindra hanya bisa pasrah menghadapi hukumannya. Mulai saat ini, ia telah resmi mendiami gua yang sangat terpencil yang jauh dari jangkauan manusia.

“Boleh aku bertanya sesuatu?” Ghanindra yang sudah terkurung, melihat sang wanita yang berdiri di mulut gua.

“Apa?”

“Kenapa kamu mendiami tubuh wanita itu? Bukankah justru akan menghambat pergerakanmu?” Itulah pertanyaan yang sedari tadi berada di dalam pikiran ghanindra.

“Ini sengaja aku lakukan. Karena jika dalam wujud normal, aku khawatir akan menghancurkan gunung ini.” Setelah menjawab pertanyaan ghanindra, sang dewa segera meninggalkan tempat tersebut dan berjalan menuruni gunung. Tentu saja, masih dengan menggenggam batu yang ia pakai sebagai senjata melawan ghanindra.

Setelah cukup jauh, barulah dewa itu keluar dari tubuh manusia yang ditumpanginya. Sang wanita kini sadar dan ia ingat tadi sedang dikejar oleh sosok siluman penunggu gunung. Melihat kesemua arah, tapi tidak menemukan apapun bahkan sekarang ia sudah bukan berada di tempat terakhir yang ia ingat.

“Tenanglah wahai manusia. Kini dirimu telah aman.” Sesosok pria dengan wajah teduh memakai pakaian tradisional berjalan mendekat membuat wanita itu ketakutan setengah mati.

“Si, siapa kamu? Apa kamu siluman yang mau menjadikanku korbanmu?” Wanita itu berjalan mundur untuk menghindari pria di hadapannya.

“Tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas aku disini tidak untuk menyakitimu. Oh ya, siluman yang tadi mengejarmu pun sudah terkurung di dalam gua. Jadi aku minta tolong padamu untuk mengabarkan ke semua penduduk untuk menjauhi lokasi ini. Apa kamu mengerti?” Kini wanita itu lebih tenang setelah mengetahui jika orang yang ada dihadapannya justru adalah penyelamat hidupnya.

“Baiklah.” wanita itu heran dengan benda yang masih ia pegang erat. Sebuah batu dengan masih adanya sedikit bercak darah ganindra. Iapun takut dan bermaksud untuk membuang benda itu tapi langsung dicegah oleh sang dewa.

“Simpan saja benda itu. Dan turunkan kepada keturunanmu karena suatu saat pasti akan sangat berguna untuk menjaga mereka.” akhirnya wanita itu mengurungkan niatnya. Dengan tangan bergetar akhirnya wanita itu menyimpan batu tersebut di balik bajunya. Berniat menyimpan benda tersebut sesuai arahan dari orang yang tidak ia kenal sama sekali.

“Kalau begitu pulanglah. Keluargamu pasti sedang cemas karena anak gadisnya belum pulang setelah sekian lama.” Wanita itu menyadari hari sudah semakin petang. Kedua orangtuanya pasti tengah cemas menanti kabar darinya. Apalagi terakhir ia pamit untuk pergi ke gunung mencari kayu bakar. Bisa-bisa ayah dan ibunya berpikir ia telah menjadi korban dari ghanindra.

“Baik. Terima kasih banyak atas pertolonganmu. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu.” Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, wanita itu heran karena tiba-tiba saja sosok lelaki dihadapannya telah menghilang.

Ia berjalan kembali ke rumah. Tapi untuk yang kesekian kalinya ia dibuat terkejut karena kakinya yang tadi terluka kini dalam kondisi baik tanpa ada goresan sedikitpun. Dengan begitu ia bisa berjalan dengan lebih cepat untuk kembali ke rumahnya dan mengabarkan semua yang telah ia saksikan kepada seluruh warga tentang ghanindra yang terkurung di dalam gua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status