“Manusia kali ini benar-benar merepotkan. Seharusnya, dia langsung saja meminta permohonan. Toh, ia tahu kalau masa hidupnya sudah tidak lama lagi.” Aku memperhatikan dari atap gedung tempat Rinjani bekerja.
“Percuma saja kamu meminta pertolongan. Karena tak ada siapapun yang dapat membantumu untuk lepas dari takdir yang sudah terjalin antara kita berdua.”
Yah, untuk sementara ini aku memutuskan untuk memperhatikan apa yang akan gadis itu lakukan. Sama seperti para mangsaku sebelumnya, ia sangat bertekad untuk bisa lepas dariku. Sampai-sampai dia mencari tahu apapun tentangku. Usaha yang tak pernah dilakukan oleh mangsa-mangsaku sebelumnya.
Walau tak bisa dipungkiri, hal itu karena bantuan dari leluhurnya. Siapa lagi kalau bukan wanita yang menyebabkan diriku terkurung di dalam gua. Tapi, semua itu jadi membuatku sedikit tertarik. Aku jadi seperti hewan buas yang memainkan mangsanya sebelum benar-benar membunuhnya.
Tak terasa, bibirku terangkat membentuk sebuah seringai. Aku sudah tak ingat, kapan terakhir kali diriku merasa bersemangat seperti ini. tak apalah jika aku menunda eksekusinya sebentar. Siapa tahu, akan ada hal menarik yang akan terjadi kedepannya. Dan, kalaupun aku memangsanya sekarang, aku akan langsung kembali ke gua itu.
“Zaman cepat sekali berubah.”
Melihat banyak bangunan tinggi, kendaraan yang berlalu lalang disana-sini. terutama saat aku melihat benda pipih yang dimiliki tiap orang membuatku kagum dengan benda yang berhasil diciptakan oleh manusia.
Mereka bisa berkomunikasi tanpa harus bertemu dengan satu sama lain. Tak seperti dulu, yang harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk menyampaikan informasi.
Malam menjelang, Rinjani bersama dengan teman perempuannya terlihat keluar dari gedung tempat mereka bekerja. Dari atap, aku tetap bisa mendengar percakapan mereka. Aku tahu, setelah ini mereka akan pergi kemana.
“Yakin, kamu mau nemenin aku sekarang?” Rinjani dan Sarah berdiri di depan pintu lobby.
“Ya iyalah. Siapa yang nggak panik kalau kamu sampai ngomong begitu?” Rinjani sempat bergumam kalau mungkin beberapa hari kedepan, yang tertinggal darinya hanya sebuah nama.
“Lagian, kamu juga kan belum tahu tempatnya.” Lanjut sarah.
“Makasi banget ya sar. Kamu emang sahabat aku yang paling baik.” Rinjani memeluk sahabatnya.
Mereka berdua segera menaiki kendaran roda empat yang berbahan dasar besi. Jika dibandingkan, kecepatannya sama. Bahkan bisa melebihi kecepatan kuda yang dipacu dengan cepat.
Malam semakin larut, ditambah suasanya mencekam dari hutan. Tapi, tak menghentikan langkah mereka menuju tempat yang diyakini sebagai manusia yang dapat membantu gadis itu untuk lepas dariku.
“Rin, kamu belum cerita sama aku. Memangnya apa yang sedang terjadi sih? Jangan bikin aku takut gini ah!” Sambil berkendara, Sarah terus memberondong Rinjani dengan serentetan pertanyaan.
Rinjani memainkan jari-jemarinya. Ia memperhitungkan, jika diceritakan apakah Sarah akan percaya dengan apa yang sedang ia hadapi?.
Brak…
Karena jalanan yang gelap, tak disangka ban mobil yang sedang mereka naiki masuk ke dalam lubang.
“Gimana Sar?” Rinjani ikut keluar dari mobil, mengikuti Sarah yang sedang mengecek kondisi mobilnya.
“Kayaknya nggak apa-apa.” jawabnya.
Walau ukuran lubangnya tidak terlalu besar, tetap saja dapat membuat jantung mereka berdua nyaris keluar dari tempatnya. Apalagi, suasana disekitar mereka berdua terbilang gelap, karena jalan sudah mulai memasuki area hutan. Ditambah, hanya ada mereka berdua di tempat itu. jika bukan disebut nekat, apalagi namanya?.
Rinjani memperhatikan lingkungan sekitar. Benar-benar sepi, tak ada satu orang pendudukpun yang lewat.
“Sepi banget.”
“Jelas aja. Secara, disini tuh hutan. Emang, siapa mau datang malam-malam kesini? Cuma kita!”
“Biasa aja dong jawabnya. Pake gas segala.” Goda Rinjani.
“Kenapa mobilnya, neng?” Suara dari seorang lelaki tua yang tiba-tiba berada di belakang mereka berdua. sontak, hal itu membuat mereka berdua terlonjak kaget.
“Astaga!” Rinjani tak bisa menahan teriakannya.
“MAMAA…!” Begitupun dengan Sarah, yang spontan memanggil nama orangtuanya.
Kedua gadis itu kompak memegang dadanya. Bukan tanpa alasan, mereka dikejutkan dengan suara lelaki yang tiba-tiba terdengar di telinga. Apalagi, sebelumnya tak ada tanda sedikitpun jika ada seseorang yang tengah berada di tempat itu.
“Sedang apa kalian di tempat ini? Sudah malam, sangat berbahaya. Apalagi kalian berdua hanya perempuan.” Ucap lelaki itu sambil memperhatian area sekitar.
“Kami mau pergi ke suatu tempat pak.” Dengan sopan, Rinjani menjawab. Sementara itu, Sarah mengerutkan keningnya.
"Mbah Marno?" Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Sarah berbicara.
“Neng kenal sama saya?”
“Bukan kenal lagi. Justru kami kesini buat ketemu sama mbah.” Sarah mengambil ponselnya, menyalahkan lampu sorot lalu mengarahkan ke wajahnya.
“Ini aku mbah. Yang waktu itu pernah minta tolong sama mbah biar bisa lepas dari pelet.” Gadis itu meyakinkan lagi.
“Kamu pernah dipelet? Kok nggak cerita sama aku?” Tentu saja, Rinjani sangat terkejut mendengar kenyataan itu.
“Bukan. Tapi sepupu aku.” Sarah mengkonfirmasi.
“Oh.”
“Oh, iya. Mbah ingat. Kalau begitu, gimana kalau kita lanjutkan obrolan ini di rumah mbah? Karena sepertinya, ada makhluk yang sedang memperhatikan kita.” Kedua mata mbah marno terlihat sedang memperhatikan sekitar. Tak hanya itu, raut wajahnya juga menunjukkan gelagat kegelisahan.
“Gimana kalau kita naik mobil aja, Mbah?” Tawar Sarah.
Tak berselang lama, mereka bertiga naik ke dalam mobil. Kebetulan, karena jarak rumahnya sudah dekat, sehingga hanya memerlukan waktu lima menit saja, mereka sudah sampai di tempat tujuan.
“Dari tadi kamu nggak ngomong sama sekali, Rin.”
“Nggak. Nggak kenapa-napa kok.” Rinjani memaksakan senyumnya.
Sementara itu, lelaki yang terkenal sebagai dukun sakti hanya menyipitkan kedua matanya, sambil terus memperhatikan area sekitar. Aku yakin, lelaki tua itu bisa merasakan kehadiranku.
“Ayo, masuk!” Dukun itu melangkahkan kakinya ke dalam, diikuti oleh Rinjani dan juga Sarah.
“Apa yang sudah kamu perbuat, sehingga kamu diikuti oleh makhluk berbahaya seperti dia?” Setelah mereka duduk, tanpa basa-basi, Mbah Marno mengajukan pertanyaan yang ditujukkan kepada Rinjani.
Rinjani tersenyum masam, “Ternyata Mbah sudah tahu ya?”
“Iya. Awalnya saya penasaran. Kenapa sampai ada makhluk seperti itu datang ke tempat ini. Ternyata ada seseorang yang sedang dia ikuti.”
Keheningan menyertai mereka bertiga dalam beberapa saat, “Namanya Ghanindra, Mbah tahu siapa dia?”
“Tunggu deh, aku nggak ngerti sama sekali. Coba kamu jelasin, Rin!” Sarah gemas, karena hanya ia yang tidak tahu kondisinya.
“Kamu ingat, gua tempat kita berteduh sewaktu menaiki gunung beberapa hari yang lalu?”
Sarah mengangguk.
“Itu adalah tempat makhluk itu dikurung. Dan kita sudah membuatnya bebas.”
“Apa?! Tapi, kenapa cuma kamu yang diikuti?”
“Karena akulah yang masuk terlebih dahulu ke tempat itu.”
Aku tahu. Sebagai seorang teman baik, sudah pasti perasaan Sarah saat ini bercampur aduk. Tapi aku yakin, sebagian besar dari pikirannya merasa lega. Jika bukan karena Rinjani yang masuk lebih dulu, pasti ia lah yang akan menjadi targetku.
“Benar. Sekarang, temanmu ini sudah ditandai. Dan dia akan menjadi tumbalnya.”
“Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda, wahai Ghanindra.” Sesosok wanita muncul dari arah belakang Ghanindra.Dengan mengenakan pakaian tradisional yang didominasi oleh warna hijau dan dengan cara berjalannya yang anggun, wanita itu berjalan mendekatinya. Walau berasal dari kegelapan, tapi Ghanindra dapat melihat dengan jelas bahwa wanita itu memiliki paras yang rupawan.“Selama ini saya hanya mendengar tentang anda. Dan, saya pikir, kabar tersebut tak berlebihan.” Lanjutnya.Ghanidra sama sekali tak merespon sapaan tersebut. Hingga akhirnya, wanita itu tepat berada dibelakangnya dan menundukkan wajahnya sedikit sebagai tanda penghormatan.“Sepertinya ada yang sedang anda inginkan. Jika berkenan, bolehkah saya membantu?” Mata cantik nan tajamnya melihat ke arah kediaman Mbah Marno.“Tidak perlu.” Tanpa menoleh sedikitpun, Ghanindra menjawab dengan nada datar.Senyum wanita itupun tak pernah lepas, “Sebagai penguasa tempat ini, saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk tamu t
Pagi kembali menyapa. Dalam tidurnya, Rinjani merasa tubuhnya seakan dibelai oleh hangatnya sinar matahari yang menerpa dirinya. Ia pun perlahan bangkit dan melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Ya, sekarang sudah waktunya bersiap untuk kembali beraktifitas. Padahal, Rinjani merasa baru beberapa jam yang lalu memejamkan matanya.Tapi tak ada waktu untuk mengeluh. Toh, keputusan untuk menemui Mbah Marno semalam adalah keputusannya. Justru, ia harus berterima kasih kepada sahabatnya karena dengan ikhlas mau mengantarkan dirinya walau ditengah malam dan berada ditengah hutan pula.Seperti biasa, ia mulai merapikan dirinya. Bersiap untuk berangkat menuju tempatnya bekerja. Rinjani tersenyum di depan cermin yang tidak terlalu besar setelah memastikan jika pakaian yang dikenakan dan riasan yang menempel pada wajahnya telah melekat sempurna.“Perfect!” Rinjani melenggang keluar dari apartemennya.Hari ini, gadis itu memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum. Entah kenapa, hari ini
Dalam kegelapan, perlahan Sarah membuka matanya. Walau awalnya terasa sangat berat, namun ia tetap berusaha untuk menggerakkan serta tubuhnya. Karena belum sepenuhnya pulih, gadis itu pun tidak bisa memastikan dengan jelas dimana ia sekarang. Tapi yang jelas, suasana tempatnya membuka mata seperti sangat familiar.Dengan pandangan setengah kabur, Sarah memperhatikan sekeliling. Samar-samar ia seperti melihat ada beberapa tumpukan batu yang berjejer rapi dan ditancapkan setengahnya ke dalam tanah.Sarah mencoba bangun. Setelah berhasil duduk, gadis itu yakin jika saat ini ia sedang berada di atas rerumputan. Namun, setelah beberapa saat ia pun dibuat terkejut. Setelah penglihatannya benar-benar jelas, Sarah menyadari jika saat ini ia terbangun di tengah-tengah area pemakaman.“Aku kok bisa ada disini?” Panik setengah mati, Sarah membelalakkan matanya ke segala penjuru.Bayangkan saja, berada di tempat yang dikenal angker oleh sebagian besar masyarakat di tengah malam. Apa tidak disebut
“Dimana Sarah sekarang?!” Sontak Rinjani berteriak sambil memandang Ghanindra dengan tatapan emosi.Ghanindra tersenyum. Ia berpikir, rencana untuk membuat Rinjani terpancing akan segera berhasil.“Kamu mau tahu?” Tatapan tajam Ghanindra langsung menusuk ke dalam retina nan indah milih Rinjani.“Jangan bertele-tele. Cepat katakan, dimana kamu sembunyikan Sarah!”“Baiklah. Tapi, ada syaratnya.” Makhluk itu menyeringai.“Kamu harus memohon kepadaku untuk mengembalikan temanmu sekarang juga.”“Kalau begitu, aku mo…” Rinjani segera menghentikan kata-katanya.‘sebentar. Bukannya itu berarti aku membuat permohonan? Setelah itu, makhluk itu akan…’ untung saja diwaktu yang tepat, Rinjani menyadari rencana yang dilakukan oleh Ghanindra.“Lanjutkan!” Ucap Ghanindra.“Ha… Hahaha” Rinjani tertawa terbahak-bahak. “Jadi itu tujuanmu heh? Membuatku memohon agar kamu bisa leluasa memangsaku? Jangan harap hal itu akan terjadi!” Lanjutnya.“Wah, aku akui ternyata kamu pintar juga. Bisa menyadari rencan
Di sebuah hutan yang berada sangat jauh dari pusat kota, Ghanindra berdiri sendirian. Hutan dengan suasana yang mencekam, karena sinar matahari yang tak bisa menembus padatnya pepohonan yang tumbuh disana. Membuat hutan itu selalu gelap, sehingga hampir tak bisa dibedakan kapan siang dan malamnya.Sambil mengepalkan kedua tangannya, mata merahnya terus menatap jauh dengan tatapan tajamnya.“Sial, bisa-bisanya aku kalah dari manusia lemah itu!”“AAARGH…” suara Ghanindra menggelegar, sehingga membuat burung-burung yang ada disana berterbangan.“Ck… Aku kira siapa yang berani masuk ke dalam wilayahku,” wanita yang memakai pakaian tradisional berjalan mendekat. “Aku senang, akhirnya kita bisa bertemu lagi.” Maheswari, makhluk penguasa hutan yang terkenal akan sosoknya yang cantik jelita.“Biar ku tebak, sepertinya rencanamu tidak berjalan lancar ya?”Ghanindra menoleh tanpa menjawab apa-apa.“Bukankah sebelumnya aku sudah menawarkan bantuan? Harusnya kamu terima saja. Tapi sayang, kamu ma
Rinjani terus mengikuti langkah besar pria yang berjalan di depannya. Mau tidak mau, gadis itu harus mengikutinya karena tas miliknya masih bertengger di tangan Ghanindra. Walau dirinya sudah mempercepat langkahnya, tetap saja ia tak bisa menyamakannya dengan pria tersebut.“Kembalikan tasku! Mau sampai kapan kamu mau membawanya, heh?” Rinjani berharap, dengan suaranya yang diperkeras, dapat membuat Ghanindra menghentikan langkahnya.Namun, sepertinya Rinjani harus menelan kekecewaan, melihat Ghanindra tak mengindahkan kata-katanya sama sekali.Akhirnya, kesabarannya pun habis. “Aku bilang berhenti!” Rinjani berteriak. Tak peduli sekarang mereka berdua sedang berada di tempat umum sekalipun. Semua orang yang berada di tempat itupun langsung memusatkan pandangan mereka kepada gadis itu.Tentu saja, setelah itu mata Rinjani menyapu ke segala arah. Dan akhirnya, ia pun tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya sendiri.Tak disangka, Ghanindra yang tadinya bersikap cuek kini sedang m
Sepeninggal Ghanindra, Maheswari masih mematung sendirian di tempat yang sama. Ia merasa harga dirinya sebagai pemimpin hutan telah tercoreng. “Entah kenapa, ancamanmu justru membuatku semakin ingin mengganggunya.” Wanita itu menyeringai. Iapun melihat sekeliling, “Akhirnya, batu pusaka itu akan jadi milikku. Dengan begitu, kamu akan berada dalam genggamanku.” Maheswari menatap kedua tangannya yang telah pulih seperti sedia kala. “Atreya.” Tak lama setelah Maheswari menyebut sebuah nama, dari belakangnya muncul sesosok pria seperti seorang pengawal kerajaan jaman dahulu. Postur tubuhnya gagah, kulit yang bersih dan tatapan mata yang tajam seolah dapat mengetahui apa yang ada disekitarnya. “Anda memanggil saya, ratu?” Pria itu menundukkan kepalanya. “Ada hal yang harus kamu lakukan.” Jawab sang ratu tanpa menoleh ke belakang. “Apapun itu, akan hamba laksanakan.” Setelah Atreya mendengar perintah dari pimpinannyaa, ia pun segera beranjak untuk menjalankan tugas. Sementara itu, G
Atreya yang pergerakannya telah terhenti akibat genggaman erat dari Ghanindra, tiba-tiba menghilang. Sosoknya kembali berubah menjadi asap dan hilang bak dihembus angin.Tak lama kemudian, ia kembali terlihat sedang berdiri di hadapan Ghanindra. Tak terlalu jauh, sampai ekspresi santainya dapat terlihat dengan jelas. Ghanindra sempat dibuat kesal lantaran Atreya memperlihatkan senyumnya. Entah karena dapat melepaskan diri atau meremehkan dirinya.‘Ku lenyapkan kau!’ Batin Ghanindra sambil mengepalkan kedua tangannya.Ada istilah kesabaran itu setipis tisu sepertinya memang benar. Baru dipancing begitu saja, rasanya Ghanindra ingin mengamuk. Namun, ia kembali berpikir tentang dimana tempat mereka berada. Yang ada, seluruh tempat itu akan hancur berkeping-keping.Disaat Ghanindra masih sibuk dengan gejolak batinnya, asap yang tadinya menghilang, kini kembali muncul. Bahkan mulai mengelilingi dirinya. Dengan begitu, Ghanindra kembali berkonsentrasi untuk melawan Atreya.“Sekarang, apa ya