“Sekarang, cepat pergi dari sini. atau kamu mau bernasib seperti seribu tahun yang lalu?”
Ghanindra menggertakkan giginya. Cahaya yang keluar dari pusaka berbentuk batu itu masih terpancar dengan terangnya. Membuat makhluk itupun berpikir ulang untuk melawan.
“kali ini kalian boleh menang. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Ingat itu!!” Kalimat tersebut diikuti dengan menghilangnya sosok siluman penghuni gua bernama ghanindra.
Situasi mencekam kembali damai, seolah kejadian yang dialami rinjani barusan merupakan khayalan belaka. Tapi, setelah melihat sosok perempuan yang sedang tersenyum ke arahnya, rinjani sadar jika itu adalah kenyataan.
“Sekarang kamu sudah aman” ucap wanita yang keluar dari tubuh rinjani. “Sekarang, kamu bisa berdiri.”
‘Tapi, lututku rasanya tak ada kekuatan sedikitpun.’ Batin rinjani merutuk.
Tanpa mengubah posisinya semula, rinjani pun bertanya, “Apa benar yang tadi kamu katakan?”
“Bahwa kamu adalah keturunanku? Iya, itu memang benar.”
“Siapa namamu?” Tanya rinjani.
“Aku gayatri.”
“Lalu, apa makhluk itu akan kembali lagi?”
Gayatri tak menjawab satu katapun. Tapi dengan begitu, sepertinya rinjani tahu apa jawabannya.
“Simpanlah! Ini akan melindungimu darinya.” Gayatri menyerahkan batu tersebut.
“Dan ingat, jangan sekalipun kamu memohon kepada ghanindra. Karena dengan begitu, kamu akan benar-benar menjadi mangsanya.” Lanjutnya.
“Kenapa harus aku?”
“Karena ini adalah takdirmu. Aku yakin kamu pasti bisa rinjani. Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik. Karena ini adalah pertama dan terakhir kali kita bertemu.”
Ingin sekali rinjani memohon untuk tidak ditinggal sendirian. Tapi, tubuhnya sudah tak memiliki kekuatan lagi bahkan untuk berdiri sekalipun. Pandangannya pun berangsur-angsur memudar.
***
Cahaya matahari menerobos masuk melalui kaca jendela, mengenai tepat ke tubuh yang sedang berbaring nyaman di atas tempat tidurnya.
“Rinjani, bangun! Udah siang woy. Kamu tuh tidur atau pingsan sih?” Suara sarah menginterupsi rinjani yang tadinya tertidur.
Perlahan, gadis itu pun terbangun dengan rasa heran. Bukankah semalam ia pingsan di ruang tamu? Tapi kenapa bisa-bisanya sekarang terbangun di kamar tidurnya.
“Kamu yang pindahin aku?” Tanya rinjani.
“Apa sih? Aku aja baru aja sampai. Habisnya kamu di telepon nggak diangkat-angkat. Makanya aku langsung kesini. Eh, ternyata kamu masih tidur.”
‘Jadi, bukan sarah yang pindahin aku? Terus, siapa dong? Atau yang semalam cuma mimpi?’ Lanjutnya dalam hati.
Setelah ‘mengumpulkan nyawanya’, rinjani pun bangun dari kasurnya. Namun, segera ia menyadari ada yang berbeda dengan lehernya. Seperti ada yang menggantung disana.
Dirinya tercekat, lantaran benda yang menggantung dilehernya ternyata merupakan kalung berliontin batu yang semalam ia terima. Namun, dengan ukuran yang lebih kecil.
Sambil menggenggam erat batu tersebut, rinjani berkata dalam hatinya. ‘ternyata yang semalam bukan mimpi.’
Akhirnya, gadis itu berjalan keluar menuju ruang tamu, menyusul sarah yang sedang berada disana.
Setelah keluar dari kamar, ia sadar jika kondisi apartemennya kini seperti tidak pernah terjadi apapun. Padahal, ia ingat khususnya di ruang tamunya sangat berantakan akibat ulah makhluk bernama ghanindra.
“Hei, melamun aja. Gimana kalau kita makan siang di luar? Aku tahu, kamu pasti lapar kan.” Kesadaran rinjani dipaksa untuk kembali ke dunia nyata, dikala suara sarah mengejutkannya.
“Ya ampun, ternyata udah jam segini!?” Kedua mata rinjani membola, disaat ia melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Pantas dari tadi ia merasa perutnya sedang meronta.
‘Persetan dengan ghanindra. Yang penting sekarang isi perut dulu, baru pikirin gimana menghadapi makhluk itu.’ Ia bertekad dalam hati.
“Kalau gitu, aku mandi dulu sebentar ya.”
Tak membutuhkan waktu lama untuknya merapihkan diri. Dengan memakai pakaian casual, rinjani dan sarah segera melaju untuk prosesi pengisian perut yang sudah melakukan ‘demonstrasi’ karena sama sekali belum terisi dari pagi.
Dengan menggunakan mobil, sarah mengemudikannya ke restoran khas padang. Selain rasanya yang nikmat, porsi yang sajikan juga terbilang banyak. Sangat pas untuk menetralisir rasa lapar yang dideritanya.
“Kenapa pas lagi lapar-laparnya, ni tempat malah penuh sih?”
Sesampainya di tempat tujuan, rinjani dan sarah kecewa karena ternyata tempat tersebut sudah diserbu oleh banyak orang. Padahal perutnya sudah tak bisa menunggu lagi untuk segera diisi.
“Terus, gimana dong? mau pindah ke tempat yang lain aja?” Ajak sarah.
“Tapi aku maunya makan masakan padang sar.”
“Ya kan masih banyak tempat yang lain. Gimana? Atau kamu mau tetap antri?”
“…”
Bukannya langsung menjawab, rinjani justru terlihat melamun. Mungkin karena ia sedang galau antara pindah ke tempat lain, atau tetap antri demi restoran yang terkenal akan kenikmatan masakannya ini.
“Hei, jangan melamun aja. Gimana?”
“Ya udah deh. Kita tetap disini aja. Lagian kalau kita cari tempat lain, belum tentu rasanya enak kayak disini.”
“Oke.”
Mereka berdua pun segera turun dari mobil dan berjalan menuju restoran khas padang tersebut.
“COPET… TOLONG, ADA COPET!!” Di tengah terik matahari, mereka semua dikejutkan dengan teriakan seorang ibu yang menjadi korban kejahatan jalanan.
Semua mata pun mencari dari mana asal suara tersebut. Tentunya, sambil mencari keberadaan copet yang diteriaki oleh sang ibu. Syukur-syukur jika sebagain dari mereka dapat membantu menangkapnya.
Tak terkecuali dengan rinjani. Gadis itu juga secara refleks memutar tubuhnya untuk mencari dari mana sumber teriakan berasal. Tapi, baru saja menengok ke belakang, ia melihat ada sosok laki-laki yang berlari cepat ke arahnya.
“Rinjani awas!!” teriakan sarah kalah cepat dengan pria yang menabrak tubuh sahabatnya.
Brak…
Benar saja, rinjani tak sempat untuk menghindar sehingga tubuhnya tertabrak oleh lelaki yang tak diketahui siapa namanya.
Sontak, gadis itu menutup matanya karena yakin ia pasti akan terjatuh. Anehnya, setelah beberapa saat, ia tak merasakan sakit sedikitpun. Apalagi posisinya masih berdiri seperti tidak terjadi apa-apa.
‘Thank’s sar. Kamu udah nyelametin aku.’ Masih dalam mata tertutup, rinjani berbicara dalam hati.
“Rin, rin. Kamu nggak apa-apa kan?” suara sarah terdengar dari jarak yang lumayan jauh.
Rinjani mengerutkan keningnya. Perlahan ia membuka matanya, untuk memastikan siapa yang sudah menangkap tubuhnya.
“Siapa kamu?” alangkah terkejutnya ia saat melihat ada seseorang yang sedang menahan tubuhnya agar tak terjatuh.
Sosok lelaki berwajah tampan, dengan rambut berwarna hitam legam. Dari dekapan tangannya saja, rinjani sudah bisa merasakan jika pria tersebut memiliki tubuh yang proporsional. Tapi, ada yang aneh. Walau matanya sangat tajam, namun ia memiliki pupil berwarna kemerahan.
Sambil menyeringai, pria itu berkata. “Tak disangka, kamu langsung lupa dengan ku.”
Mendengar kata-katanya, rinjani pun memutar memorinya. Mungkinkah mereka pernah bertemu di suatu tempat? Tapi diingat sebagaimanapun, ia tetap tak dapat mengingat kapan pernah bertemu dengan pria seperti ini.
Padahal, tipe wajah yang pria itu miliki bukanlah wajah yang mudah untuk dilupakan begitu saja. Hingga kalimat terakhir dari pria itu menyadarkan rinjani, siapa ia sebenarnya.
“Ingatlah ini. Aku tak akan membiarkan makananku rusak sedikitpun.”
“Kamu nggak apa-apa?” Secepat kilat, Sarah berlari ke arah sahabatnya.“Iya, aku nggak apa-apa kok.” Rinjani kembali tersadar akan lamunannya dan melepaskan dirinya dari dekapan sang pria misterius nan rupawan.“Terima kasih banget ya. Kalau bukan karena mas, pasti teman saya ini sudah jatuh ke jalanan.” – Sarah.Melihat posisi Rinjani yang berada di trotoar, sudah pasti gadis itu akan langsung terhempas tepat di badan jalan jika tadi tak sempat diselamatkan oleh pria tersebut.“Bukan apa-apa. Lain kali, jaga tubuhmu baik-baik. Karena aku tak mau melihatmu rusak sedikitpun.”Sarah mengerutkan keningnya lalu menatap bergantian antara sahabatnya dan pria di hadapannya. “Kalian sudah saling kenal?”“Iya.” jawaban singkat yang keluar dari mulut Rinjani dengan raut wajah terlihat tak menyukai pertemuan tersebut.“Ayo, pergi dari sini!” Rinjani menarik tangan Sarah, sampai-sampai sahabatnya tak sempat berbicara apapun lagi.Dengan langkah cepat, kedua gadis itu meninggalkan Ghanindra sendir
“Hahaha…” Ghanindra tertawa terbahak-bahak. Kedua tangannya menyeka kepalanya hingga ke belakang. Bukannya mengesankan, pemandangan tersebut malah terkesan menakutkan.“Berani-beraninya wanita itu memberitahukan rahasiaku.” Lanjutnya.“Jadi, lebih baik kamu urungkan niatmu untuk memakanku. Karena sampai kapanpun, aku nggak akan memohon apa-apa darimu!.”Ghanindra mendengus, “Memangnya, apa alasan para dewa itu sampai mengurungku? Kalau bukan karena aku adalah makhluk yang paling kejam yang pernah ada. Jangan yakin dulu kalau kamu akan lolos begitu saja, wahai manusia!”Rinjani menelan ludahnya, seringai yang terlihat dari wajah siluman di depannya benar-benar membuatnya ketakutan. Tapi, dengan sekuat tenaga, gadis itu menahan agar perasaannya tak terlihat sedikitpun.Benar, yang ia hadapi saat ini bukan sekedar preman pasar. Tapi makhluk berusia ribuan tahun dan terkenal dengan kebengisannya.Setelah mengatakan hal itu, dalam hitungan detik tubuh Ghanindra menguap bagai tertiup angin.
“Manusia kali ini benar-benar merepotkan. Seharusnya, dia langsung saja meminta permohonan. Toh, ia tahu kalau masa hidupnya sudah tidak lama lagi.” Aku memperhatikan dari atap gedung tempat Rinjani bekerja.“Percuma saja kamu meminta pertolongan. Karena tak ada siapapun yang dapat membantumu untuk lepas dari takdir yang sudah terjalin antara kita berdua.”Yah, untuk sementara ini aku memutuskan untuk memperhatikan apa yang akan gadis itu lakukan. Sama seperti para mangsaku sebelumnya, ia sangat bertekad untuk bisa lepas dariku. Sampai-sampai dia mencari tahu apapun tentangku. Usaha yang tak pernah dilakukan oleh mangsa-mangsaku sebelumnya.Walau tak bisa dipungkiri, hal itu karena bantuan dari leluhurnya. Siapa lagi kalau bukan wanita yang menyebabkan diriku terkurung di dalam gua. Tapi, semua itu jadi membuatku sedikit tertarik. Aku jadi seperti hewan buas yang memainkan mangsanya sebelum benar-benar membunuhnya.Tak terasa, bibirku terangkat membentuk sebuah seringai. Aku sudah ta
“Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda, wahai Ghanindra.” Sesosok wanita muncul dari arah belakang Ghanindra.Dengan mengenakan pakaian tradisional yang didominasi oleh warna hijau dan dengan cara berjalannya yang anggun, wanita itu berjalan mendekatinya. Walau berasal dari kegelapan, tapi Ghanindra dapat melihat dengan jelas bahwa wanita itu memiliki paras yang rupawan.“Selama ini saya hanya mendengar tentang anda. Dan, saya pikir, kabar tersebut tak berlebihan.” Lanjutnya.Ghanidra sama sekali tak merespon sapaan tersebut. Hingga akhirnya, wanita itu tepat berada dibelakangnya dan menundukkan wajahnya sedikit sebagai tanda penghormatan.“Sepertinya ada yang sedang anda inginkan. Jika berkenan, bolehkah saya membantu?” Mata cantik nan tajamnya melihat ke arah kediaman Mbah Marno.“Tidak perlu.” Tanpa menoleh sedikitpun, Ghanindra menjawab dengan nada datar.Senyum wanita itupun tak pernah lepas, “Sebagai penguasa tempat ini, saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk tamu t
Pagi kembali menyapa. Dalam tidurnya, Rinjani merasa tubuhnya seakan dibelai oleh hangatnya sinar matahari yang menerpa dirinya. Ia pun perlahan bangkit dan melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Ya, sekarang sudah waktunya bersiap untuk kembali beraktifitas. Padahal, Rinjani merasa baru beberapa jam yang lalu memejamkan matanya.Tapi tak ada waktu untuk mengeluh. Toh, keputusan untuk menemui Mbah Marno semalam adalah keputusannya. Justru, ia harus berterima kasih kepada sahabatnya karena dengan ikhlas mau mengantarkan dirinya walau ditengah malam dan berada ditengah hutan pula.Seperti biasa, ia mulai merapikan dirinya. Bersiap untuk berangkat menuju tempatnya bekerja. Rinjani tersenyum di depan cermin yang tidak terlalu besar setelah memastikan jika pakaian yang dikenakan dan riasan yang menempel pada wajahnya telah melekat sempurna.“Perfect!” Rinjani melenggang keluar dari apartemennya.Hari ini, gadis itu memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum. Entah kenapa, hari ini
Dalam kegelapan, perlahan Sarah membuka matanya. Walau awalnya terasa sangat berat, namun ia tetap berusaha untuk menggerakkan serta tubuhnya. Karena belum sepenuhnya pulih, gadis itu pun tidak bisa memastikan dengan jelas dimana ia sekarang. Tapi yang jelas, suasana tempatnya membuka mata seperti sangat familiar.Dengan pandangan setengah kabur, Sarah memperhatikan sekeliling. Samar-samar ia seperti melihat ada beberapa tumpukan batu yang berjejer rapi dan ditancapkan setengahnya ke dalam tanah.Sarah mencoba bangun. Setelah berhasil duduk, gadis itu yakin jika saat ini ia sedang berada di atas rerumputan. Namun, setelah beberapa saat ia pun dibuat terkejut. Setelah penglihatannya benar-benar jelas, Sarah menyadari jika saat ini ia terbangun di tengah-tengah area pemakaman.“Aku kok bisa ada disini?” Panik setengah mati, Sarah membelalakkan matanya ke segala penjuru.Bayangkan saja, berada di tempat yang dikenal angker oleh sebagian besar masyarakat di tengah malam. Apa tidak disebut
“Dimana Sarah sekarang?!” Sontak Rinjani berteriak sambil memandang Ghanindra dengan tatapan emosi.Ghanindra tersenyum. Ia berpikir, rencana untuk membuat Rinjani terpancing akan segera berhasil.“Kamu mau tahu?” Tatapan tajam Ghanindra langsung menusuk ke dalam retina nan indah milih Rinjani.“Jangan bertele-tele. Cepat katakan, dimana kamu sembunyikan Sarah!”“Baiklah. Tapi, ada syaratnya.” Makhluk itu menyeringai.“Kamu harus memohon kepadaku untuk mengembalikan temanmu sekarang juga.”“Kalau begitu, aku mo…” Rinjani segera menghentikan kata-katanya.‘sebentar. Bukannya itu berarti aku membuat permohonan? Setelah itu, makhluk itu akan…’ untung saja diwaktu yang tepat, Rinjani menyadari rencana yang dilakukan oleh Ghanindra.“Lanjutkan!” Ucap Ghanindra.“Ha… Hahaha” Rinjani tertawa terbahak-bahak. “Jadi itu tujuanmu heh? Membuatku memohon agar kamu bisa leluasa memangsaku? Jangan harap hal itu akan terjadi!” Lanjutnya.“Wah, aku akui ternyata kamu pintar juga. Bisa menyadari rencan
Di sebuah hutan yang berada sangat jauh dari pusat kota, Ghanindra berdiri sendirian. Hutan dengan suasana yang mencekam, karena sinar matahari yang tak bisa menembus padatnya pepohonan yang tumbuh disana. Membuat hutan itu selalu gelap, sehingga hampir tak bisa dibedakan kapan siang dan malamnya.Sambil mengepalkan kedua tangannya, mata merahnya terus menatap jauh dengan tatapan tajamnya.“Sial, bisa-bisanya aku kalah dari manusia lemah itu!”“AAARGH…” suara Ghanindra menggelegar, sehingga membuat burung-burung yang ada disana berterbangan.“Ck… Aku kira siapa yang berani masuk ke dalam wilayahku,” wanita yang memakai pakaian tradisional berjalan mendekat. “Aku senang, akhirnya kita bisa bertemu lagi.” Maheswari, makhluk penguasa hutan yang terkenal akan sosoknya yang cantik jelita.“Biar ku tebak, sepertinya rencanamu tidak berjalan lancar ya?”Ghanindra menoleh tanpa menjawab apa-apa.“Bukankah sebelumnya aku sudah menawarkan bantuan? Harusnya kamu terima saja. Tapi sayang, kamu ma