Terkadang rasa takut menutup jalan menuju kebahagiaan. Menghabiskan banyak waktu untuk sebuah penyesalan, melayukan benih dan membuatnya bersemayam. Andai, jika saja kata ‘Andai’ bisa berlaku, maka ingin rasanya menebus ketakutan itu dengan sebuah keberanian, agar tidak ada penyesalan setelah delapan tahun lamanya. Andai, sejak awal keberanian itu mampu mengalahkan rasa takut, mungkin kebersamaan itu bisa dijalin tanpa sebuah kebencian yang mengawali.Langit berbaring sambil menggunakan paha sang mimi untuk dijadikan bantal. Malam itu dia sengaja menginap di rumah orangtuanya karena rindu dan sedang bahagia.“Apa kamu benar-benar serius dengannya lagi, El? Mimi tahu kamu dulu sangat mencintainya sampai gila saat berpisah dengannya. Tapi sekarang, apa kamu yakin jika perasaanmu dan keinginanmu, bukanlah semata-mata karena kamu ingin balas dendam kepadanya? Mimi ga mau itu, El.” Joya bicara sambil mengusap lembut rambut El, bahkan sesekali menyisir lembut rambut putranya.Langit memeja
Perasaan itu sudah tidak terbendung lagi, mengabaikan masa lalu yang buruk, demi kebahagiaan yang sudah menanti. Bintang memang tidak pernah bisa lepas dari langit, kini kembali dipersatukan, setelah penghalang di antara mereka menghilang.Bintang terlihat begitu cantik dengan dress berwarna peach dan motif bunga sakura di bagian bawahnya. Dia membiarkan rambutnya tergerai, wajahnya dipoles make up tipis, sehingga tidak menghilangkan kealamian wajah cantiknya.Langit baru saja sampai di rumah Bintang. Di sana langsung disambut Bintang di depan rumah, gadis itu begitu cantik hingga membuat Langit semakin terpesona. Bintang yang biasa berpakaian formal, kini mengenakan gaun yang membuat gadis itu terlihat begitu berbeda. Dia menatap Langit tanpa berkedip, membuat Bintang keheranan dibuatnya.“El.” Bintang melambaikan tangan di depan wajah Langit. Ditatapnya wajah tampan sang kekasih, yang terlihat berwibawa meski tanpa pakaian formal.Langit tersadar dari lamunan, memandang Bintang yang
Bintang duduk dengan tidak tenang. Terlihat jelas kecemasan di raut wajahnya. Bintang tiba-tiba berdiri, membuat Annetha dan Orion terkejut.“Mau apa kamu?” tanya Annetha.“Mau memastikan, kalau Papi tidak bicara yang aneh-aneh ke Langit.”Bintang beranjak dari ruang makan setelah menjawab pertanyan Annetha, lantas pergi ke ruang kerja untuk menguping pembicaraan Arlan dan Langit.Annetha cemas jika malam itu berubah kacau jika Bintang menelinga pembicaraan antara Arlan dan Langit. Dia pun ikut menyusul Bintang, membuat Orion sampai geleng-geleng kepala karena tingkah ibu dan kakaknya.“Bin, Bintang.” Annetha memanggil tapi dengan suara lirih agar tidak berisik.Bintang mengabaikan panggilan dari sang mami, terus melangkah ke ruang kerja Arlan yang tertutup. Begitu sampai di sana, Bintang menempelkan telinga di daun pintu dan berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan di dalam.Annetha malah meringis sendiri, kenapa putrinya itu susah sekali diberitahu. Kalau ketahuan menguping pastin
Anta sangat terkejut mendengar pertanyaan Laras, hingga menatap gadis itu dengan dahi yang berkerut halus.Laras malah tersenyum melihat ekspresi terkejut di wajah Anta, mengisyaratkan kalau dia memang serius ingin mengajak pria itu bicara.Keduanya akhirnya duduk bersama di salah satu sofa yang terdapat di sudut ruangan kafe itu.“Apa yang ingin kamu bicarakan? Aku tidak banyak waktu,” ucap Anta sambil melipat kedua tangan di depan dada, bahkan dia memalingkan wajah karena enggan bicara dengan Laras.“Aku ingin minta maaf,” ucap Laras sambil menatap Anta.Anta lagi-lagi dibuat terkejut dan kini menatap Laras.“Memangnya kamu salah apa sampai minta maaf?” Anta menanggapi ucapan Laras dengan ketus.Laras menghela napas kasar, hingga terlihat senyum getir di wajah.“Aku tahu selama ini sudah salah, sehingga menjauhkanku dari teman-teman yang sangat baik. Mungkin aku begitu egois, hanya memikirkan perasaanku, tanpa memikirkan perasaan orang lain. Beberapa waktu ini, setelah mendengar cer
Laras sedang menunggu resepsionis menghubungi Bintang. Kini dia berdiri di depan meja resepsionis sambil menatap petugas di sana menghubungi Bintang.“Bagaimana?” tanya Laras ketika resepsionis kembali datang dan tersenyum kepadanya.“Bu Bintang akan segera turun menemui Anda. Anda bisa menunggu di ruangan sebelah sana.” Resepsionis menunjuk ke ruang tunggu dengan sopan.Laras menoleh ke ruang tunggu, lantas mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju ke ruangan itu.Bintang keluar dari ruangannya dengan perasaan cemas, takut, juga penasaran. Delapan tahun lalu mereka sama-sama berpikiran labil dan saling mementingkan ego, apakah mungkin kejadian delapan tahun lalu akan terulang lagi, mengingat Laras dekat dengan Langit terlebih dahulu ketimbang dirinya.Namun, Bintang pun mencoba menepis pikiran itu. Meski Laras akan kembali bersikap egois, dia akan menghadapinya dan tidak akan lari seperti delapan tahun lalu.Begitu keluar dari lift, Bintang pun berjalan menuju ke bagian resepsioni
Langit memarkirkan mobil tepat di halaman kafe milik Anta. Dia lantas buru-buru keluar dan berjalan memutar mobil, sebelum kemudian membuka pintu sebelah samping kemudi sebelum terbuka, agar Bintang bisa turun.Bintang terkejut melihat apa yang dilakukan Langit, pria itu sungguh perhatian hingga mau turun dari mobil pun Langit yang membukakan untuknya.“Terima kasih,” ucap Bintang sambil melangkahkan kaki keluar dari mobil.“Terima kasih kembali.” Langit dengan sigap meraih tangan Bintang agar berpegangan padanya, membuat Bintang tertawa kecil karena tingkah Langit yang seolah sedang datang ke sebuah pesta, hingga menyambutnya dengan tindakan formal.“Ayo.” Langit menautkan jemari mereka, begitu Bintang sudah turun.Bintang mengangguk dan membiarkan Langit menggandeng tangannya, keduanya berjalan masuk kafe dan melihat Anta yang sedang membantu membersihkan meja. Sungguh kakak sepupu Bintang itu memang seorang bos yang sangat baik karena mau membantu pekerjaan anak buahnya.Anta menol
Pintu mobil terbuka, Laras pun bersiap turun setelah Anta mengantarnya sampai di depan rumah kontrakannya.“Terima kasih karena sudah mengantarku,” ucap Laras sambil menatap Anta, sebelum kemudian melangkahkan kaki turun dari mobil.Sikap Anta masih terasa begitu dingin, sehingga membuat Laras tidak berani bicara banyak hal karena takut menyinggung pria itu. Anta mau peduli saja sudah sangat membuat Laras sangat bersyukur, sehingga dia pun tidak menuntut banyak.Anta mencengkram stir kemudi, ketika Laras berpamitan rasanya masih memiliki gengsi untuk bersikap hangat ke gadis itu. Namun, Anta tidak memungkiri jika sebenarnya dia masih menaruh rasa ke gadis itu, hanya saja rasa kesal karena sikap Laras yang egois membuatnya memilih diam.Namun, bukankah sekarang Laras sudah berubah, bahkan sudah mengakui semua kesalahannya. Lantas, kenapa Anta masih belum bisa memaafkan. Benarkah sikap dinginnya hanya karena Laras membenci Bintang, ataukah sebenarnya dia kecewa karena Laras lebih tertar
“Kenapa kamu mengajakku ke sini, hm?”Bintang tidak percaya Langit malah mengajak ke apartemen. Dia kini menatap Langit yang baru saja selesai memarkirkan mobil mereka. Langit mengulum senyum, melirik Bintang kemudian melepas seat belt.“Tidak apa-apa sekali-kali. Lagi pula, tidak akan ada yang melarang kalau kamu ke tempatku, bukan?” Langit sedikit mencondongkan tubuh ke arah Bintang ketika bicara, sebelum kemudian membuka pintu dan keluar dari mobil.Bintang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Langit, lantas ikut keluar karena tahu jika tidak mungkin baginya untuk menolak ajakan pria itu.Langit mengulurkan tangan, kemudian menggandeng tangan Bintang dan mengajak kekasihnya itu berjalan menuju lift. Hubungan mereka semakin harmonis setiap harinya, seolah tidak ada lagi masalah yang menghampiri, setelah keduanya jujur akan perasaan masing-masing.Langit membuka lebar pintu apartemennya, kemudian mempersilakan Bintang masuk sebelum kembali menutup pintu. Dia pun menyusul B
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a