"Sejak kapan?" tanya Andrew kebingungan, matanya melirik ke arah dua orang yang ia ketahui saling bersentuhan tadi. "Kalian lagi ngapain?" tanyanya lagi, mulai mencecar dengan tatapan curiga.Sheila salah tingkah. Matanya ikut berputar mencari jawaban sekaligus menghindari Andrew yang terus menuntut dirinya untuk buka suara. Sementara Arnes langsung menoleh ke arah kompor yang masih hangat."Ini!" seru pria 50 tahun itu menunjuk kompor di mana wajan masih terpasang di sana. "K-kami sedang memasak!" tambahnya seraya kembali menyalakan kompor yang sempat dimatikan sebelumnya.Andrew mengernyitkan kening, karena bingung dengan alasan dari pamannya itu. Ia mendekati keduanya, berusaha untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Kondisi dapur sudah cukup berantakan dengan kekasihnya yang merendam tangan dalam baskom."Kamu kenapa?" Pria muda itu buru-buru menghampiri sang kekasih, memastikan bahwa sesuatu yang berbahaya tak sedang terjadi. Namun alangkah terkejutnya ia mendapat
"A-apa maksudnya?" tanya Andrew mulai tak mengerti dengan jalan cerita yang tengah terjadi padanya.Ia memandangi bibi, paman dan juga kekasihnya yang kompak melakukan aksi diam. Namun satu gerakan dari Sheila membuatnya menatap ke arah wanita cantik yang kini menggeleng pelan. Manik cokelatnya menunjukkan rasa takut juga sedih."Ini salah paham," bisik Sheila berusaha untuk tak terdengar oleh Mia.Namun jarak mereka yang tak terlalu jauh membuat wanita yang masih tergolek lemah itu malah semakin membabi buta. Dengan ringannya tangan Mia terayun melemparkan bantal ke arah Sheila yang langsung dihadang oleh keponakannya sendiri. Emosinya semakin menjadi begitu tahu Andrew tak berada di pihaknya."Kau bodoh! Buka matamu! Bagaimana bisa kau percaya pada wanita ular sepertinya, hah? Lihat bagaimana dia menghancurkan keluargaku!" seru Mia menjadi-jadi.Satu kode dari Arnes membuat Andrew menganggukkan kepala. Dengan sigap, digiringnya Sheila keluar dari kamar dan menyerahkan semua pada san
"Kamu beneran mau langsung kerja? Enggak mau aku antar pulang? Muka kamu pucat banget, loh!" Lorong rumah sakit dengan bau alkohol yang khas menjadi saksi bisu bagaimana teguhnya Andrew untuk membawa sang kekasih pergi jauh dari rumah sakit. Untuk saat ini, rumah adalah tempat yang aman bagi seorang Sheila. Selain karena tak ada Mia yang mungkin bisa saja melabraknya lagi, pria muda itu juga berharap sang kekasih mulai berhenti berkarir dan menunggu lamarannya yang resmi meluncur."Kalau di rumah aku malah kepikiran," jawab Sheila yang terus menolak permintaan kekasihnya itu.Bukan tanpa sebab sang dokter UGD itu tetap bertahan di rumah sakit. Ia masih belum tenang jika tak melihat wajah pria yang tadi pergi entah ke mana. Perasaannya kacau, mengetahui bahwa Arnes sudah mendengar semua kata-kata keponakannya, termasuk untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan."Kakak praktik aja, toh sebentar lagi juga aku jaga!" katanya seraya mengambil langkah untuk pergi lebih dahulu, da
"Dokter Pras hari ini berhalangan hadir, dan Dokter Sheila diminta untuk menggantikan."Sheila yang sudah bersiap untuk pulang ke rumah hanya bisa pasrah dengan permintaan dadakan itu. Tubuhnya melemah, beringsut dari kursi dan kembali ke rungannya dengan gontai. Langkahnya tertatih, berkat penuhnya UGD sejak siang hingga selesai jam kerjanya hari itu."Loh, Dokter balik lagi?" tanya seorang perawat yang tadi berpisah dengannya di ruang UGD. Sayangnya, mereka harus kembali bertemu untuk kembali bekerja.Senyum kecut diberi Sheila sambil mengangguk pelan. "Dokter siapa lagi yang jaga malam ini?" tanyanya."Dokter Pras sendiri," jawab wanita berseragam serba putih itu dengan singkat."Hah? Sendiri?" Sheila terkejut mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka akan melakukan jaga malam seorang diri. Padahal suasana UGD sedang ramai dan tak henti pasien masuk silih berganti."Tapi kan ini jamnya Dokter Pras. Emangnya Dokter Sheila mau nemenin?" Tak ada jawaban dari dokter cantik yang kini lan
"Paman!" seru Sheila seraya beranjak dari sofa.Napasnya terengah-engah, bak baru saja mengikuti lomba maraton. Matanya terbuka, berkeliling mencari sosok yang terasa begitu nyata di ruangannya. Namun beberapa detik kemudian ia mulai bisa mencerna semua kejadian yang hanya terjadi di mimpinya.Keringat dingin bercucuran, sementara tangannya tepat berada di dada yang kembang-kempis tak karuan. Matanya terpejam sembari menjambak rambut panjangnya. Sheila masih tak percaya bahwa semua itu hanya bunga tidurnya."Cuma mimpi, itu cuma mimpi," bisiknya meyakinkan diri sendiri.Setelah memastikan bahwa kondisinya sudah kebali normal, barulah Sheila berdiri. Dikenakannya kembali jas putih yang membuatnya begitu berbeda. Tangannya merengkuh stetoskop pribadi yang ada di atas meja kerja. Namun manik cokelatnya menangkap sesuatu yang mencolok."Paman?" bisiknya tak percaya.Sebuah stiker note berisi undangan agar ia menemui Arnes di ruangannya tertulis di sana. Ia tak yakin betul itu adalah tulis
"Hah? Ketemu aku? Mau apa?" tanya Sheila yang masih memegangi setangkup roti isi di tangannya.Kegiatan sarapan yang biasa ia lakukan mendadak berubah begitu ada telepon masuk dari sang kekasih. Andrew, yang cukup jarang menghubunginya mendadak begitu rajin. Hal yang cukup membingungkan sekaligus merepotkan, karena hati Sheila sudah jatuh kepada pria yang lain. Sehingga wanita itu mau tak mau harus berpura-pura manis padanya."Iya, aku juga enggak tahu mau apa, tapi saran aku sih temuin aja!" Jawaban dari Andrew membuat perasaan Sheila mendadak tak enak. Untuk pertama kalinya, seorang Mia mau menemuinya dan mengungkapkannya via sang kekasih, bukan langsung padanya. Jantungnya mendadak gugup, walau ia sudah tahu ada banyak risiko yang dihadapi ketika melawan sosok wanita cantik yang sampai sudah diijinkan untuk pulang ke rumah."Temuin gimana?" tanya Sheila yang mulai tak nyaman dengan perintah Andrew. "Enggak, ah! Aku enggak mau ketemu kalau cuma sendiri aja!" tolaknya."Astaga Sheil
"Aku sedikit tak menyangka bahwa kau akan menerima undanganku," kata Mia sambil tersenyum dengan wajah pucatnya.Sheila tak tahu harus memberikan respon seperti apa. Sejak masuk ke dalam rumah, perasaannya terus saja menolak. Kembali ke sana seperti membawanya pada masa lalu, di mana ia harus meninggalkan Arnes dan membuat kehidupannya semakin berat selama nyaris sepuluh tahun terakhir.Tangannya bergetar menyentuh cangkir teh yang baru saja disajikan oleh seorang pelayan. Rumah yang dulu sepi nampak semakin ramai dengan beberapa asisten rumah tangga yang mulai hilir mudik mengerjakan sebagian tugasnya. Sebuah perubahan yang terjadi setelah keputusan Mia untuk membesarkan janin dalam perutnya terjadi dan menetapkan diri untuk tetap berada di Indonesia hingga melahirkan nanti."Apa kau mengatakan pada Arnes akan ke sini?" tanyanya hati-hati.Gadis itu menggeleng pelan, memberi jawaban tanpa suara. Wajah cantiknya sejak tadi tertunduk, bingung harus memulai semua pernyataan yang sudah d
"Paman!" Sheila masuk ke dalam ruang istirahat dokter sambil berlari. Wajahnya sumringah, begitu melihat pria tampan yang mulai nampak keriput di bagian kening dan ujung matanya. Namun penilaiannya masih tetap sama seperti sepuluh tahun yang lalu tentang bagaimana Arnes masih menjadi pria idamannya walau apapun yang terjadi pada mereka selama ini.Gadis itu melirik ke sekeliling. Ruangan besar dengan tempat tidur dan sofa yang tertata rapi yang digunakan sebagai tempat beristirahat setelah operasi itu ternyata hanya berisi Arnes seorang. Tanpa pikir panjang, Sheila berhambur, berlari menubruk tubuh besar sang paman dokter yang nampak tak siap menerima serangan mendadak dari gadisnya."Wait, wait, wait, what's wrong? Anything happen?" tanyanya kebingungan.Arnes mengernyit melihat wajah Sheila yang berseri tak seperti biasa. Tangannya mendorong tubuh mungil itu untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja. Apalagi setelah beberapa hari terakhir keduanya lebih banyak bersitegang dan ju