Sheila tersentak begitu sadar bahwa dirinya telah tidur bersama dengan Arnes. Matanya terbelalak kaget menyaksikan pria itu masih berada di sisinya, dalam keadaan terlelap. Entah berapa kali permainan sudah keduanya lakukan hingga lelah yang tersisa."Astaga!" bisiknya. Wanita itu menutup mulut, berusaha untuk tak mengeluarkan suara walau rasa ingin menjerit. Tangannya baru saja menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh mereka yang tanpa busana. Sheila memejamkan mata, merutuki kebodohannya karena telah terjerat cinta paman dokternya itu. Dengan sekuat tenaga, ia menjulurkan tangan, berusaha untuk mengambil kemeja milik Arnes. Bukan tanpa alasan ia memilih pakaian itu. Karena semua bajunya sama sekali tak terlihat ada di kamar. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa menutupi tubuh polosnya."Nah!" serunya senang, setelah mendapatkan kemeja itu.Buru-buru dikenakannya pakaian itu, lalu berjingkat turun dari ranjang. Perlahan tapi pasti, Sheila pergi menjauh dari Arnes yang masih ter
"Sejak kapan?" tanya Andrew kebingungan, matanya melirik ke arah dua orang yang ia ketahui saling bersentuhan tadi. "Kalian lagi ngapain?" tanyanya lagi, mulai mencecar dengan tatapan curiga.Sheila salah tingkah. Matanya ikut berputar mencari jawaban sekaligus menghindari Andrew yang terus menuntut dirinya untuk buka suara. Sementara Arnes langsung menoleh ke arah kompor yang masih hangat."Ini!" seru pria 50 tahun itu menunjuk kompor di mana wajan masih terpasang di sana. "K-kami sedang memasak!" tambahnya seraya kembali menyalakan kompor yang sempat dimatikan sebelumnya.Andrew mengernyitkan kening, karena bingung dengan alasan dari pamannya itu. Ia mendekati keduanya, berusaha untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Kondisi dapur sudah cukup berantakan dengan kekasihnya yang merendam tangan dalam baskom."Kamu kenapa?" Pria muda itu buru-buru menghampiri sang kekasih, memastikan bahwa sesuatu yang berbahaya tak sedang terjadi. Namun alangkah terkejutnya ia mendapat
"A-apa maksudnya?" tanya Andrew mulai tak mengerti dengan jalan cerita yang tengah terjadi padanya.Ia memandangi bibi, paman dan juga kekasihnya yang kompak melakukan aksi diam. Namun satu gerakan dari Sheila membuatnya menatap ke arah wanita cantik yang kini menggeleng pelan. Manik cokelatnya menunjukkan rasa takut juga sedih."Ini salah paham," bisik Sheila berusaha untuk tak terdengar oleh Mia.Namun jarak mereka yang tak terlalu jauh membuat wanita yang masih tergolek lemah itu malah semakin membabi buta. Dengan ringannya tangan Mia terayun melemparkan bantal ke arah Sheila yang langsung dihadang oleh keponakannya sendiri. Emosinya semakin menjadi begitu tahu Andrew tak berada di pihaknya."Kau bodoh! Buka matamu! Bagaimana bisa kau percaya pada wanita ular sepertinya, hah? Lihat bagaimana dia menghancurkan keluargaku!" seru Mia menjadi-jadi.Satu kode dari Arnes membuat Andrew menganggukkan kepala. Dengan sigap, digiringnya Sheila keluar dari kamar dan menyerahkan semua pada san
"Kamu beneran mau langsung kerja? Enggak mau aku antar pulang? Muka kamu pucat banget, loh!" Lorong rumah sakit dengan bau alkohol yang khas menjadi saksi bisu bagaimana teguhnya Andrew untuk membawa sang kekasih pergi jauh dari rumah sakit. Untuk saat ini, rumah adalah tempat yang aman bagi seorang Sheila. Selain karena tak ada Mia yang mungkin bisa saja melabraknya lagi, pria muda itu juga berharap sang kekasih mulai berhenti berkarir dan menunggu lamarannya yang resmi meluncur."Kalau di rumah aku malah kepikiran," jawab Sheila yang terus menolak permintaan kekasihnya itu.Bukan tanpa sebab sang dokter UGD itu tetap bertahan di rumah sakit. Ia masih belum tenang jika tak melihat wajah pria yang tadi pergi entah ke mana. Perasaannya kacau, mengetahui bahwa Arnes sudah mendengar semua kata-kata keponakannya, termasuk untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan."Kakak praktik aja, toh sebentar lagi juga aku jaga!" katanya seraya mengambil langkah untuk pergi lebih dahulu, da
"Dokter Pras hari ini berhalangan hadir, dan Dokter Sheila diminta untuk menggantikan."Sheila yang sudah bersiap untuk pulang ke rumah hanya bisa pasrah dengan permintaan dadakan itu. Tubuhnya melemah, beringsut dari kursi dan kembali ke rungannya dengan gontai. Langkahnya tertatih, berkat penuhnya UGD sejak siang hingga selesai jam kerjanya hari itu."Loh, Dokter balik lagi?" tanya seorang perawat yang tadi berpisah dengannya di ruang UGD. Sayangnya, mereka harus kembali bertemu untuk kembali bekerja.Senyum kecut diberi Sheila sambil mengangguk pelan. "Dokter siapa lagi yang jaga malam ini?" tanyanya."Dokter Pras sendiri," jawab wanita berseragam serba putih itu dengan singkat."Hah? Sendiri?" Sheila terkejut mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka akan melakukan jaga malam seorang diri. Padahal suasana UGD sedang ramai dan tak henti pasien masuk silih berganti."Tapi kan ini jamnya Dokter Pras. Emangnya Dokter Sheila mau nemenin?" Tak ada jawaban dari dokter cantik yang kini lan
"Paman!" seru Sheila seraya beranjak dari sofa.Napasnya terengah-engah, bak baru saja mengikuti lomba maraton. Matanya terbuka, berkeliling mencari sosok yang terasa begitu nyata di ruangannya. Namun beberapa detik kemudian ia mulai bisa mencerna semua kejadian yang hanya terjadi di mimpinya.Keringat dingin bercucuran, sementara tangannya tepat berada di dada yang kembang-kempis tak karuan. Matanya terpejam sembari menjambak rambut panjangnya. Sheila masih tak percaya bahwa semua itu hanya bunga tidurnya."Cuma mimpi, itu cuma mimpi," bisiknya meyakinkan diri sendiri.Setelah memastikan bahwa kondisinya sudah kebali normal, barulah Sheila berdiri. Dikenakannya kembali jas putih yang membuatnya begitu berbeda. Tangannya merengkuh stetoskop pribadi yang ada di atas meja kerja. Namun manik cokelatnya menangkap sesuatu yang mencolok."Paman?" bisiknya tak percaya.Sebuah stiker note berisi undangan agar ia menemui Arnes di ruangannya tertulis di sana. Ia tak yakin betul itu adalah tulis
"Hah? Ketemu aku? Mau apa?" tanya Sheila yang masih memegangi setangkup roti isi di tangannya.Kegiatan sarapan yang biasa ia lakukan mendadak berubah begitu ada telepon masuk dari sang kekasih. Andrew, yang cukup jarang menghubunginya mendadak begitu rajin. Hal yang cukup membingungkan sekaligus merepotkan, karena hati Sheila sudah jatuh kepada pria yang lain. Sehingga wanita itu mau tak mau harus berpura-pura manis padanya."Iya, aku juga enggak tahu mau apa, tapi saran aku sih temuin aja!" Jawaban dari Andrew membuat perasaan Sheila mendadak tak enak. Untuk pertama kalinya, seorang Mia mau menemuinya dan mengungkapkannya via sang kekasih, bukan langsung padanya. Jantungnya mendadak gugup, walau ia sudah tahu ada banyak risiko yang dihadapi ketika melawan sosok wanita cantik yang sampai sudah diijinkan untuk pulang ke rumah."Temuin gimana?" tanya Sheila yang mulai tak nyaman dengan perintah Andrew. "Enggak, ah! Aku enggak mau ketemu kalau cuma sendiri aja!" tolaknya."Astaga Sheil
"Aku sedikit tak menyangka bahwa kau akan menerima undanganku," kata Mia sambil tersenyum dengan wajah pucatnya.Sheila tak tahu harus memberikan respon seperti apa. Sejak masuk ke dalam rumah, perasaannya terus saja menolak. Kembali ke sana seperti membawanya pada masa lalu, di mana ia harus meninggalkan Arnes dan membuat kehidupannya semakin berat selama nyaris sepuluh tahun terakhir.Tangannya bergetar menyentuh cangkir teh yang baru saja disajikan oleh seorang pelayan. Rumah yang dulu sepi nampak semakin ramai dengan beberapa asisten rumah tangga yang mulai hilir mudik mengerjakan sebagian tugasnya. Sebuah perubahan yang terjadi setelah keputusan Mia untuk membesarkan janin dalam perutnya terjadi dan menetapkan diri untuk tetap berada di Indonesia hingga melahirkan nanti."Apa kau mengatakan pada Arnes akan ke sini?" tanyanya hati-hati.Gadis itu menggeleng pelan, memberi jawaban tanpa suara. Wajah cantiknya sejak tadi tertunduk, bingung harus memulai semua pernyataan yang sudah d
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I