"Dokter Pras hari ini berhalangan hadir, dan Dokter Sheila diminta untuk menggantikan."Sheila yang sudah bersiap untuk pulang ke rumah hanya bisa pasrah dengan permintaan dadakan itu. Tubuhnya melemah, beringsut dari kursi dan kembali ke rungannya dengan gontai. Langkahnya tertatih, berkat penuhnya UGD sejak siang hingga selesai jam kerjanya hari itu."Loh, Dokter balik lagi?" tanya seorang perawat yang tadi berpisah dengannya di ruang UGD. Sayangnya, mereka harus kembali bertemu untuk kembali bekerja.Senyum kecut diberi Sheila sambil mengangguk pelan. "Dokter siapa lagi yang jaga malam ini?" tanyanya."Dokter Pras sendiri," jawab wanita berseragam serba putih itu dengan singkat."Hah? Sendiri?" Sheila terkejut mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka akan melakukan jaga malam seorang diri. Padahal suasana UGD sedang ramai dan tak henti pasien masuk silih berganti."Tapi kan ini jamnya Dokter Pras. Emangnya Dokter Sheila mau nemenin?" Tak ada jawaban dari dokter cantik yang kini lan
"Paman!" seru Sheila seraya beranjak dari sofa.Napasnya terengah-engah, bak baru saja mengikuti lomba maraton. Matanya terbuka, berkeliling mencari sosok yang terasa begitu nyata di ruangannya. Namun beberapa detik kemudian ia mulai bisa mencerna semua kejadian yang hanya terjadi di mimpinya.Keringat dingin bercucuran, sementara tangannya tepat berada di dada yang kembang-kempis tak karuan. Matanya terpejam sembari menjambak rambut panjangnya. Sheila masih tak percaya bahwa semua itu hanya bunga tidurnya."Cuma mimpi, itu cuma mimpi," bisiknya meyakinkan diri sendiri.Setelah memastikan bahwa kondisinya sudah kebali normal, barulah Sheila berdiri. Dikenakannya kembali jas putih yang membuatnya begitu berbeda. Tangannya merengkuh stetoskop pribadi yang ada di atas meja kerja. Namun manik cokelatnya menangkap sesuatu yang mencolok."Paman?" bisiknya tak percaya.Sebuah stiker note berisi undangan agar ia menemui Arnes di ruangannya tertulis di sana. Ia tak yakin betul itu adalah tulis
"Hah? Ketemu aku? Mau apa?" tanya Sheila yang masih memegangi setangkup roti isi di tangannya.Kegiatan sarapan yang biasa ia lakukan mendadak berubah begitu ada telepon masuk dari sang kekasih. Andrew, yang cukup jarang menghubunginya mendadak begitu rajin. Hal yang cukup membingungkan sekaligus merepotkan, karena hati Sheila sudah jatuh kepada pria yang lain. Sehingga wanita itu mau tak mau harus berpura-pura manis padanya."Iya, aku juga enggak tahu mau apa, tapi saran aku sih temuin aja!" Jawaban dari Andrew membuat perasaan Sheila mendadak tak enak. Untuk pertama kalinya, seorang Mia mau menemuinya dan mengungkapkannya via sang kekasih, bukan langsung padanya. Jantungnya mendadak gugup, walau ia sudah tahu ada banyak risiko yang dihadapi ketika melawan sosok wanita cantik yang sampai sudah diijinkan untuk pulang ke rumah."Temuin gimana?" tanya Sheila yang mulai tak nyaman dengan perintah Andrew. "Enggak, ah! Aku enggak mau ketemu kalau cuma sendiri aja!" tolaknya."Astaga Sheil
"Aku sedikit tak menyangka bahwa kau akan menerima undanganku," kata Mia sambil tersenyum dengan wajah pucatnya.Sheila tak tahu harus memberikan respon seperti apa. Sejak masuk ke dalam rumah, perasaannya terus saja menolak. Kembali ke sana seperti membawanya pada masa lalu, di mana ia harus meninggalkan Arnes dan membuat kehidupannya semakin berat selama nyaris sepuluh tahun terakhir.Tangannya bergetar menyentuh cangkir teh yang baru saja disajikan oleh seorang pelayan. Rumah yang dulu sepi nampak semakin ramai dengan beberapa asisten rumah tangga yang mulai hilir mudik mengerjakan sebagian tugasnya. Sebuah perubahan yang terjadi setelah keputusan Mia untuk membesarkan janin dalam perutnya terjadi dan menetapkan diri untuk tetap berada di Indonesia hingga melahirkan nanti."Apa kau mengatakan pada Arnes akan ke sini?" tanyanya hati-hati.Gadis itu menggeleng pelan, memberi jawaban tanpa suara. Wajah cantiknya sejak tadi tertunduk, bingung harus memulai semua pernyataan yang sudah d
"Paman!" Sheila masuk ke dalam ruang istirahat dokter sambil berlari. Wajahnya sumringah, begitu melihat pria tampan yang mulai nampak keriput di bagian kening dan ujung matanya. Namun penilaiannya masih tetap sama seperti sepuluh tahun yang lalu tentang bagaimana Arnes masih menjadi pria idamannya walau apapun yang terjadi pada mereka selama ini.Gadis itu melirik ke sekeliling. Ruangan besar dengan tempat tidur dan sofa yang tertata rapi yang digunakan sebagai tempat beristirahat setelah operasi itu ternyata hanya berisi Arnes seorang. Tanpa pikir panjang, Sheila berhambur, berlari menubruk tubuh besar sang paman dokter yang nampak tak siap menerima serangan mendadak dari gadisnya."Wait, wait, wait, what's wrong? Anything happen?" tanyanya kebingungan.Arnes mengernyit melihat wajah Sheila yang berseri tak seperti biasa. Tangannya mendorong tubuh mungil itu untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja. Apalagi setelah beberapa hari terakhir keduanya lebih banyak bersitegang dan ju
"Kalian memang brengsek!" seru Andrew seraya maju menyerang ke arah Arnes dan Sheila.Dalam hitungan detik, jarak Andrew tiba-tiba saja menjadi begitu dekat dengan dua sejoli itu. Tubuhnya yang memang tak sekekar Arnes berusaha untuk merengkuh tubuh kekasihnya. Namun gerak sang paman dokter lebih cepat. Pria paruh baya itu mendorong gadisnya untuk pergi menjauh sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.Dan benar saja, target awal yang harusnya mengarah pada Sheila mendadak berubah pada Arnes. Satu tinju yang mantap, Andrew arahkan pada pipi kiri pamannya. Tak ada perlawanan, bahkan ketika pukulan itu terjadi beberapa kali. Sheila menutup mulutnya tak percaya. Teriakannya tertahan, melihat wajah Arnes yang hanya bisa menerima tanpa berkeinginan untuk melawan. Entah rasa bersalah atau memang kekuatannya sudah habis di meja operasi, gadis itu pun tak tahu alasan pasti yang membuat pria itu memilih untuk diam dan menerima semua siksaan dari keponakannya."Urgh! Kemari kau! Paman ta
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa