"I'm so sorry, Sheila, tapi ada panggilan mendadak yang membuatku harus ke butik."Gadis itu mengangguk lemah. Ada perasaan lega karena setelah ini tak akan lagi bertemu dengan Mia. Walau malah sebaliknya, Arneslah yang akan mengantarnya ke Universitas Buana untuk melakukan konfirmasi sebagai penerima beasiswa penuh."Aku jalan sekarang, bye!" pamit Mia setelah sebelumnya mengecup bibir sang suami dengan lembut.Namun apapun yang dilakukan, rasanya tak akan mampu mengubah perasaan sang suami padanya. Arnes tetap berdiri tegak, tanpa membalas sentuhan Mia. Bahkan lebih parahnya lagi, pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.Sheila yang menjadi saksi hanya diam tanpa kata. Keberadaannya membuat suasana semakin canggung. Apalagi sebagai orang baru yang belum terlalu mengenal Mia.Deru mobil sedan merah milik Mia terdengar mulai meninggalkan rumah. Tapi tak satupun dari Sheila atau Arnes yang beranjak dari meja makan. Keduanya masih diam, memandangi makanan tanpa bernafsu untuk menela
"Aku harus mengambil beberapa berkas untuk konfirmasi ke pihak kampus," kata Sheila yang sudah siap dengan gaun pendek berwarna biru langit. Sang pendengar hanya mengangguk-anggukkan kepala, tanda setuju. Pria itu sama sekali tak keberatan. Ke mana pun Sheila pergi, asal itu bersamanya, akan dilakukan. Karena dengan begitulah Arnes merasa tenang."Nanti kita mampir ke rumah dulu, baru ke kampus!" katanya lagi."Iya, bawel!" balas Arnes yang mencubit pipi gadisnya saking gemasnya.Keduanya terkekeh bersama dan buru-buru bersiap menuju ke rumah Sheila yang lokasinya cukup jauh dari rumah mewah Arnes. Sang dokter sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani kegiatan gadisnya seharian ini. Sadar bahwa urusan konfirmasi itu akan memakan banyak waktu.Berbeda dari perjalanan sebelumnya, Arnes dan Sheila lebih menikmati kesempatan berdua yang mungkin akan sulit ditemukan. Karena yang pertama, mereka tak tahu sampai kapan Mia akan berada di Indonesia. Lalu yang kedua, kesibukan baru yang se
"Istirahatlah, kita ketemu besok pagi!" kata Arnes yang diakhiri dengan kecupan ringan di kening Sheila.Sang gadis masuk ke kamar dan membersihkan diri seperti biasa. Pikirannya melayang jauh, menghadapi hari-hari yang akan berbeda, tapi tetap dengan Arnes di sisi. Senyum mengembang, dengan manik ke arah meja, di mana tanda terima beasiswa penuhnya sudah selesai.Langkah menggapai cita-cita semakin dekat di depan mata. Semangatnya kembali timbul, sambil memandangi cincin di jari manisnya. Kepercayaannya pada Arnes pun semakin mantap, karena janji manis sang dokter. Namun semua bayangan itu pecah karena suara teriakan Mia dari bawah. "Arnes!"Sheila melirik ke arah pintu kamarnya. Ada keengganan untuk turun ke bawah dan menghampiri wanita yang sedang meracau tak jelas. Tapi rasa penasaran membuat tubuhnya bergerak. Perlahan tapi pasti, ia mulai memutar kenop pintu hingga sedikit terbuka. Lantai dua masih terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda Mia apalagi Arnes yang tadi datang bersamanya
"Mau ke mana?" tanya Arnes yang pagi ini mendapati gadisnya sudah rapi.Manik cokelat yang biasanya menyapa hangat, nampak melirik tak suka. Raut wajah kesal nyata terlihat, menutupi kecantikan Sheila. Ditambah lagi sikap dingin yang sengaja diberikan untuk Arnes."It's not your bussiness!" jawabnya ketus.Sadar bahwa gadis itu tengah merajuk, Arnes langsung mengejarnya. Beruntung ia bangun pagi dan sudah siap untuk berangkat. Ditinggalkannya Mia yang masih terlelap dengan sisa pakaian semalam dan juga bau alkohol yang menyengat."Shei, tunggu!" serunya berusaha untuk menahan sang gadis.Tapi lanngkah kecil Sheila semakin mantap menuju keluar rumah. Tas jinjingnya dipegang erat, dengan tangan lain yang merapatkan jaket jeansnya. Tak dihiraukan Arnes yang terus memanggil namanya."Sheila!" Akhirnya, Arnes berhasil menangkap tangan kecil yang beberapa hari terakhir selalu memberikan kenyamanan. Wajahnya memelas, berharap sang gadis mau mendengarkan semua penjelasan tentang kejadian sem
"Iya, aku cuma sebentar di rumah. Setelah berkasnya ketemu, aku akan segera pulang!" Sheila menutup sambungan telepon yang menghubungkannya dengan Arnes. Sang dokter tak bisa mengantarkannya karena ada operasi mendadak. Sementara ia harus mencari beberapa berkas yang tertinggal kemarin.Dengan kunci yang sudah dibawa, Sheila masuk ke dalam rumah. Rasa khawatir yang biasa hinggap, tak lagi pernah muncul. Karena sepertinya Nina dan Reno sudah kapok dan tak akan lagi datang mengganggunya."Di mana, ya?" tanya Sheila pada dirinya sendiri.Ia harus mencari berkas pembayaran listrik dan air dari rumah, untuk kepentingan berkas daftar ulang. Walau pemegang beasiswa penuh, gadis itu tetap harus memenuhi segala persyaratan yang sama dengan teman-teman lainnya.Namun, belum sempat ia menemukan berkas yang dimaksud, suara pintu terbuka mengejutkan gadis itu. Sontak dihentikan semua kegiatannya kala itu. Tatapannya tertuju pada sepasang suami istri yang disangka tak akan pernah lagi muncul di hi
"Kirimkan uang sepuluh juta!"Sheila membanting ponselnya dengan kesal. Baru dua hari lalu ia mengirimkan uang pada bibinya itu, namun kini wanita itu sudah meminta jatahnya lagi. Entah untuk apa, gadis itupun tak tahu. Yang membuatnya bingung adalah, ke mana lagi harus mencari uang.Uang di rekeningnya sudah hampir habis. Uang saku dari Arnes memang banyak, tapi biasanya berupa uang tunai dan jarang sekali dalam sekali pemberian. Dan kali ini jumlah yang diminta terus bertambah seperti Sheila memiliki gudang uang."Ada apa?" tanya Arnes memandangi wajah masam gadisnya.Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya di atas meja, tak ingin Arnes menyaksikan semua rahasia yang disembunyikan. Ya, sampai detik itu, sang kekasih belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sheila memilih unutk menyembunyikan semuanya daripada membuat beban di pundak sang dokter semakin berat.Beberapa hari tak bisa bersama saja sudah membuat Arnes kalang kabut. Apalagi semenjak Mia mulai ribut dengan urusan p
"Kenapa kau baru bilang sekarang?" tanya Arnes penuh emosi.Rambut klimisnya langsung berantakan karena pikirannya kusut. Cerita dari Sheila bak petir di siang bolong baginya. Rusak sudah semua acara yang sudah terjadwal seharian ini. Kakinya ingin segera bergerak kembali pulang."A-aku takut," jawabnya terbata.Sheila menundukkan kepala, takut. Air matanya sudah tumpah, menangisi nasib yang kini di ujung tanduk. Ponsel yang ada di atas meja terus bergetar, menunjukkan kontak Nina yang meneleponnya sejak tadi."Astaga!" seru Arnes yang menahan semua makian di ujung lidah.Matanya tajam, memandangi kontak Nina yang terus merong-rong gadisnya untuk mengirimkan uang. Tangannya menggenggam erat, ingin memukuli wajah Reno yang muncul dalam kepala. Giginya ikut bergemeretak penuh amarah.Tapi semua itu terpecah begitu melihat wajah kusut Sheila yang semakin pekat. Arnes sudah bisa membacanya sejak tadi, walau diingkari oleh sang gadis. Tangannya mengelus lembut lengan gadisnya, berusaha unt
"Masih ada pesan dari Bibi kamu, enggak?" tanya Arnes melirik ke arah ponsel yang Sheila letakkan di pangkuannya.Gadis itu menggeleng dengan cepat. Sudah nyaris seminggu terakhir tak ada satupun pesan dari bibi atau pamannya yang bernada ancaman. Semua hilang setelah keduanya bertemu dengan pasangan suami istri itu. Sepertinya ultimatum sang dokter berhasil menghentikan semua permainan licik keluarga Sheila."Bagus, kabari aku jika mereka masih macam-macam!" katanya menegaskan.Belajar dari pengalaman, Arnes tak ingin lagi kecolongan. Selain karena ini menyusahkan, tentu ia sendiri tak mau gadisnya terlihat muram juga sedih. Walau bagaimanapun, janjinya untuk melindungin dan menjaga Sheila harus tetap diutamakan."Kalian lagi apa?" tanya Mia yang sudah cantik, pertanda akan segera berangkat kerja."Oh, ini sarapan!" jawab Arnes berusaha untuk meluapkan semua rasa gugup.Hubungan gelapnya dengan Sheila sampai detik itu belum sedikitpun tercium ke permukaan. Selain karena kesibukan san