"Istirahatlah, kita ketemu besok pagi!" kata Arnes yang diakhiri dengan kecupan ringan di kening Sheila.Sang gadis masuk ke kamar dan membersihkan diri seperti biasa. Pikirannya melayang jauh, menghadapi hari-hari yang akan berbeda, tapi tetap dengan Arnes di sisi. Senyum mengembang, dengan manik ke arah meja, di mana tanda terima beasiswa penuhnya sudah selesai.Langkah menggapai cita-cita semakin dekat di depan mata. Semangatnya kembali timbul, sambil memandangi cincin di jari manisnya. Kepercayaannya pada Arnes pun semakin mantap, karena janji manis sang dokter. Namun semua bayangan itu pecah karena suara teriakan Mia dari bawah. "Arnes!"Sheila melirik ke arah pintu kamarnya. Ada keengganan untuk turun ke bawah dan menghampiri wanita yang sedang meracau tak jelas. Tapi rasa penasaran membuat tubuhnya bergerak. Perlahan tapi pasti, ia mulai memutar kenop pintu hingga sedikit terbuka. Lantai dua masih terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda Mia apalagi Arnes yang tadi datang bersamanya
"Mau ke mana?" tanya Arnes yang pagi ini mendapati gadisnya sudah rapi.Manik cokelat yang biasanya menyapa hangat, nampak melirik tak suka. Raut wajah kesal nyata terlihat, menutupi kecantikan Sheila. Ditambah lagi sikap dingin yang sengaja diberikan untuk Arnes."It's not your bussiness!" jawabnya ketus.Sadar bahwa gadis itu tengah merajuk, Arnes langsung mengejarnya. Beruntung ia bangun pagi dan sudah siap untuk berangkat. Ditinggalkannya Mia yang masih terlelap dengan sisa pakaian semalam dan juga bau alkohol yang menyengat."Shei, tunggu!" serunya berusaha untuk menahan sang gadis.Tapi lanngkah kecil Sheila semakin mantap menuju keluar rumah. Tas jinjingnya dipegang erat, dengan tangan lain yang merapatkan jaket jeansnya. Tak dihiraukan Arnes yang terus memanggil namanya."Sheila!" Akhirnya, Arnes berhasil menangkap tangan kecil yang beberapa hari terakhir selalu memberikan kenyamanan. Wajahnya memelas, berharap sang gadis mau mendengarkan semua penjelasan tentang kejadian sem
"Iya, aku cuma sebentar di rumah. Setelah berkasnya ketemu, aku akan segera pulang!" Sheila menutup sambungan telepon yang menghubungkannya dengan Arnes. Sang dokter tak bisa mengantarkannya karena ada operasi mendadak. Sementara ia harus mencari beberapa berkas yang tertinggal kemarin.Dengan kunci yang sudah dibawa, Sheila masuk ke dalam rumah. Rasa khawatir yang biasa hinggap, tak lagi pernah muncul. Karena sepertinya Nina dan Reno sudah kapok dan tak akan lagi datang mengganggunya."Di mana, ya?" tanya Sheila pada dirinya sendiri.Ia harus mencari berkas pembayaran listrik dan air dari rumah, untuk kepentingan berkas daftar ulang. Walau pemegang beasiswa penuh, gadis itu tetap harus memenuhi segala persyaratan yang sama dengan teman-teman lainnya.Namun, belum sempat ia menemukan berkas yang dimaksud, suara pintu terbuka mengejutkan gadis itu. Sontak dihentikan semua kegiatannya kala itu. Tatapannya tertuju pada sepasang suami istri yang disangka tak akan pernah lagi muncul di hi
"Kirimkan uang sepuluh juta!"Sheila membanting ponselnya dengan kesal. Baru dua hari lalu ia mengirimkan uang pada bibinya itu, namun kini wanita itu sudah meminta jatahnya lagi. Entah untuk apa, gadis itupun tak tahu. Yang membuatnya bingung adalah, ke mana lagi harus mencari uang.Uang di rekeningnya sudah hampir habis. Uang saku dari Arnes memang banyak, tapi biasanya berupa uang tunai dan jarang sekali dalam sekali pemberian. Dan kali ini jumlah yang diminta terus bertambah seperti Sheila memiliki gudang uang."Ada apa?" tanya Arnes memandangi wajah masam gadisnya.Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya di atas meja, tak ingin Arnes menyaksikan semua rahasia yang disembunyikan. Ya, sampai detik itu, sang kekasih belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sheila memilih unutk menyembunyikan semuanya daripada membuat beban di pundak sang dokter semakin berat.Beberapa hari tak bisa bersama saja sudah membuat Arnes kalang kabut. Apalagi semenjak Mia mulai ribut dengan urusan p
"Kenapa kau baru bilang sekarang?" tanya Arnes penuh emosi.Rambut klimisnya langsung berantakan karena pikirannya kusut. Cerita dari Sheila bak petir di siang bolong baginya. Rusak sudah semua acara yang sudah terjadwal seharian ini. Kakinya ingin segera bergerak kembali pulang."A-aku takut," jawabnya terbata.Sheila menundukkan kepala, takut. Air matanya sudah tumpah, menangisi nasib yang kini di ujung tanduk. Ponsel yang ada di atas meja terus bergetar, menunjukkan kontak Nina yang meneleponnya sejak tadi."Astaga!" seru Arnes yang menahan semua makian di ujung lidah.Matanya tajam, memandangi kontak Nina yang terus merong-rong gadisnya untuk mengirimkan uang. Tangannya menggenggam erat, ingin memukuli wajah Reno yang muncul dalam kepala. Giginya ikut bergemeretak penuh amarah.Tapi semua itu terpecah begitu melihat wajah kusut Sheila yang semakin pekat. Arnes sudah bisa membacanya sejak tadi, walau diingkari oleh sang gadis. Tangannya mengelus lembut lengan gadisnya, berusaha unt
"Masih ada pesan dari Bibi kamu, enggak?" tanya Arnes melirik ke arah ponsel yang Sheila letakkan di pangkuannya.Gadis itu menggeleng dengan cepat. Sudah nyaris seminggu terakhir tak ada satupun pesan dari bibi atau pamannya yang bernada ancaman. Semua hilang setelah keduanya bertemu dengan pasangan suami istri itu. Sepertinya ultimatum sang dokter berhasil menghentikan semua permainan licik keluarga Sheila."Bagus, kabari aku jika mereka masih macam-macam!" katanya menegaskan.Belajar dari pengalaman, Arnes tak ingin lagi kecolongan. Selain karena ini menyusahkan, tentu ia sendiri tak mau gadisnya terlihat muram juga sedih. Walau bagaimanapun, janjinya untuk melindungin dan menjaga Sheila harus tetap diutamakan."Kalian lagi apa?" tanya Mia yang sudah cantik, pertanda akan segera berangkat kerja."Oh, ini sarapan!" jawab Arnes berusaha untuk meluapkan semua rasa gugup.Hubungan gelapnya dengan Sheila sampai detik itu belum sedikitpun tercium ke permukaan. Selain karena kesibukan san
"Jelaskan pada kami, kenapa kalian berdua bisa ada di rumah itu!"Sheila menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena malu dan takut yang menjadi satu. Sesekali diliriknya puluhan mata yang mengintip dari jendela di ruang Ketua RT-nya. Semua orang menghakimi, tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Walau tentu saja, semua perkiraan mereka benar adanya."Sheila ini anak angkat saya. Dia kembali ke rumah untuk mengambil berkas untuk kuliah. Dan saya menemani dia, sekalian nanti kita pulang." Arnes menjelaskan dengan detail, seolah tak ingin ada kecurigaan di antara mereka.Namun Ketua RT yang sejak tadi menyimak dengan tatapan tajam, tak begitu saja percaya. Ia terus mencecar Arnes dengan pertanyaan terkait pengangkatan Sheila. Tapi sang dokter menjawab semuanya dengan sabar. Wajahnya terkesan tak bersalah.Padahal dalam hati, jantung Arnes sendiri sudah hampir copot dibuatnya. Namun usia yang matang membuktikan bahwa semua bisa dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tenan
"Di sini!" Nina melambaikan tangan pada seorang wanita cantik nan modis yang baru saja masuk ke dalam restoran. Senyumnya mengembang, seolah baru saja dihujani beribu keping emas di kepala. Melihat tamu itu, membuatnya semakin yakin bahwa semua kesakitan yang diderita beberapa bulan terakhir akan musnah, tanpa jejak."Jadi ini dari kamu?" tanya Mia menunjukkan sebuah amplop cokelat yang beberapa hari lalu sampai ke tangannya.Ya, tanpa sepengetahuan Arnes dan Sheila, pasangan suami istri licik itu telah mengirimkan sepucuk surat untuk Mia. Tahu bahwa tak akan semudah itu bertemu sang nyonya besar, Nina memilih menitipkan suratnya pada satpam. Hingga sampailah amplop cokelat itu pada tujuan utama.Isinya? Tentu segala rahasia tentang hubungan ayah dan anak angkat yang harusnya tak pernah terjadi. Namun tak segamblang itu, Nina hanya menuliskan bahwa ia memiliki bukti yang akan membuat Mia terkejut, beserta nomor ponselnya.Tanpa pikir panjang, Mia yang langsung percaya menghubungi Nin
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I