"Harusnya dari awal kau percaya padaku!" kata Arnes seraya membalikkan tubuhnya ke arah pasiennya kini.Satu sindiran itu telak, membuat bibir Sheila terkatup rapat. Ingatan masa lalu terus berputar ulang, seiring terpanggil dengan semua sindiran paman dokternya. Fokusnya melemah, tapi kembali tersadar begitu melihat gadis kecil yang kini panik melihat Arnes mengeluarkan benda-benda tajam."Kau mau apa? Kau mau melukai Ibuku?" tanyanya sambil berteriak.Sheila buru-buru menarik tubuh mungil itu dan menggendongnya sedikit menjauh. Dengan sekuat tenaga ia melawan dorongan kecil itu hingga keduanya berhasil menjauh dari ranjang. Dilihatnya Arnes yang mulai bersiap melakukan pemasangan selang ke arah rongga dada untuk membuang cairan atau udara yang mungkin terperangkap di sana dan membuat sesak di dada.Wanita itu menurunkan sang gadis, membuat tubuh keduanya saling berhadapan dengan posisi membelakangi Arnes yang kini memulai aksinya. Tatapannya tajam, meminta perhatian sedikit saja. Ka
"Bagaimana? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Arnes dengan mimik wajah khawatir.Sudah dua jam ia lalui dengan mondar-mandir di tenda sempit tempatnya bekerja. Satu pasiennya sudah stabil dan tengah beristirahat di ruang terpisah. Sementara pasiennya yang lain masih nampak pucat dengan tangan diinfus.Ya, Arnes akhirnya berhasil membujuk Sheila untuk memasukkan obat lewat cairan itu, karena efeknya juga akan lebih drastis. Namun entah mengapa tak ada perubahan yang terjadi. Tubuh gadis itu masih panas, walau sedikit lebih rendah dari sebelumnya. Badan kecil itu menggigil kedinginan, walau selimut sudah dikenakannya.Tak ada jawaban dari Sheila. Ia masih diam, dengan mata terbuka. Kepalanya menggeleng, tanda tak ada apapun yang diinginkan. Satu-satunya permintaan yang terucap hanya ditemani oleh sang paman dokter, tak ada lagi. Tapi tetap saja tak ada perubahan yang berarti."Aku coba tambahkan beberapa...""Tak bisakah kau diam sebentar?" potongnya lemah. "Diam di sini. Paman past
"K-kamu? K-kok bisa?" tanya Sheila terbata.Seperti baru saja disiram oleh air dingin, gadis itu terjaga dari tidurnya. Rasa sakit dan lemah yang dirasakan sejak semalam langsung terangkat. Hanya ada rasa kaget dengan degup jantung yang kini tak lagi beraturan. Manik cokelat itu berkeliling, mencari sosok yang sejak semalam menemani. Tapi suasana pagi itu masih sepi, nyaris tak ada orang selain mereka berdua. Sheila pun mencubit lengannya pelan, berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu hanya mimpi. Sayangnya, rasa sakit itu menjalar dan membuatnya sadar bahwa keduanya ada di kehidupan nyata."Tapi kenapa bisa?" tanyanya lagi.Andrew tersenyum senang, menyaksikan kondisi wanita yang ia cintai itu tak seburuk bayangan. Sejak beredar berita bahwa rombongan rumah sakit menjadi korban bencana, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Sheila. Namun saat itu ia tak bisa segera bertolak ke Indonesia, karena menunggu bibinya yang tak lain adalah Mia."Maaf aku datang terlambat," kata Andrew
"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Mia dengan suara melengking tinggi. "Apa yang kau lakukan di si....""Hentikan!"Arnes berbisik penuh penekanan tepat di hadapan sang istri. Tubuh besarnya kini menghalangi wanita cantik itu untuk memojokkan Sheila yang masih berada di ranjang. Sementara Andrew menoleh ke arah paman dan bibinya yang kini saling memandang satu sama lain dengan tatapan dingin.Pria muda itu cukup terkejut mendengar suara Mia yang jarang sekali marah, bila ada di sekitarnya. Namun kali ini, sesuatu pasti sudah membuatnya terkejut bukan main. Dan itu ada hubungannya dengan sang kekasih yang kini ikut tegang dengan situasi saat ini."Ikut aku!" ajak Arnes yang langsung menarik lengan istrinya keluar dari tenda, menuju ke tempat mobil mereka terparkir. Mau tak mau, Mia mengikuti ke mana suaminya membawa. Ia sempat ingin memberontak, tapi itu tak mungkin dilakukan dengan mata-mata yang terus memandang ke arah keduanya. Penilaian semua orang teramat penting baginya, selak
"Kau mengenal Bibiku?" tanya Andrew setengah terkejut dengan ekspresi yang Mia lontarkan begitu meihat sosok kekasihnya itu.Sheila terdiam, bingung harus menjawab apa. Tapi kepalanya menggeleng pelan, berusaha mengelak sekuat tenaga. Wanita itu tak ingin Andrew tahu dan membuat semua rencananya semakin kacau.Ingatannya mundur ke belakang, pada saat Mia menghancurkan semua mimpinya. Tak hanya kekasihnya yang diambil kembali, tapi juga beasiswanya dicabut. Mimpinya mengenyam pendidikan dan mendapat kehidupan yang layak akhirnya kandas. Dan semua harus dibayarnya mahal dengan semua usahanya selama sepuluh tahun terakhir. "Tapi kenapa dia begitu, ya? Aneh!" kata Andrew coba menerka apa yang sedang terjadi pada bibinya.Keduanya diam sejenak, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Begitu juga Sheila yang kini mendadak tegang setelah pertemuan pertamanya dengan Mia. Otaknya tak bisa berpikir jernih, antara takut dan juga tak sabar melalui semua ini. Karena ia yakin, dirinya bukan lagi ga
"Andrew, bawa sisanya ke tenda, aku ingin bicara sebentar dengan Pamanmu!" perintah Mia yang kini menahan suaminya untuk lebih lama bersama.Pria muda itu mengangguk dengan cepat. Tangannya membawa dua kardus terakhir yang berisikan bantuan makanan untuk para korban bencana. Walau sedikit keberatan, tapi ia memaksakan tubuhnya untuk menuruti semua permintaan bibinya. Entah mengapa, sejak dulu Andrew tak pernah sekalipun menolak keinginan sang bibi. Hal itu sudah menjadi keharusan, seperti bagaimana ayahnya yang selalu mengingatkannya akan semua budi baik yang Mia tinggalkan pada keluarga mereka.Sementara dengan setengah terpaksa, Arnes mendekati istrinya yang sudah masuk ke dalam mobil. Perlahan ia ikut membuka pintu dan duduk tenang di samping Mia. Tatapannya ke arah depan, enggan menatap wanita yang sejak kedatangannya saja sudah membuat kejutan bertubi."Pulanglah bersama kami!" pinta Mia dengan penuh penekanan yang kini melemahkan suaranya. Kekuatannya pergi, bersama segala kes
"Maaf untuk sikapku yang tadi, ya!" kata Mia coba mencairkan suasana yang sunyi senyap. Wanita itu coba memberikan senyuman terbaiknya ke arah Sheila, melalui spion tengah. "Kau mirip seseorang," katanya lagi.Sheila hanya tersenyum kecut, berusaha untuk menunjukkan sikap baik-baik saja. Walau kini wajahnya terasa begitu kaku, karena harus terus bersandiwara di depan Andrew. Tak hanya muka, tapi juga tangannya yang sejak tadi berada dalam genggaman sang kekasih. Sesekali maniknya melirik ke arah Arnes yang kini duduk di baris kedua, bersama istrinya. Sementara Andrew yang mengemudi, di temani olehnya di baris paling depan."Siapa, tuh?" tanya Andrew memancing dengan nada setengah mengejek."Anak kecil, mau tahu... aja!" balas Mia yang tak segan untuk bercanda dengan keponakannya sendiri.Keduanya terkekeh bersama, bersikap seperti biasa. Karena begitulah Mia di mata Andrew yang tak pernah sekalipun tahu apa yang terjadi pada rumah tangga paman dan bibinya itu. Ia bahkan tak pernah men
"Sebenarnya aku tak ingin mengatakannya sekarang, tapi ternyata...""Tak mungkin!" potong Arnes cepat.Jika dipikir secara logika, usia Mia bukan lagi di masa subur yang dengan mudahnya akan mengandung. Keduanya berada di angka separuh abad, yang itu artinya sang istri nyaris mengalami menopause. Dan itu akan memperkecil kemungkinan untuk hamil, walau tentu saja selalu ada probabilitas selama keduanya melakukan hubungan badan secara rutin."Kenapa tidak mungkin?" tanya Andrew bingung.Sebagai seorang dokter, ia tak bisa mengatakan tak mungkin ketika masih ada kesempatan yang terbentang di depan mata. Apalagi ia melihat paman dan bibinya begitu harmonis. Mendengar berita itu membuatnya begitu senang, karena akan ada bayi kecil yang melengkapi keluarga kecil itu."Maksudku, usia Mia dan aku saat ini...""Tak ada yang tak mungkin, bukan?" potong Mia sambil tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Apalagi bayi ini begitu kau tunggu kedatangannya," tambahnya nyaris menitikkan air mata.
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I