"Okay, sesuai kesepakatan, kita akan bergerak ke lokasi terparah dibantu dengan Bapak-bapak tentara di sana!" kata Arnes menunjuk pada sebuah mobil bak tertutup yang warnanya khas sekali dengan corak pria berseragam yang kini memandang ke arah barisan para tenaga medis. Semua bersorak menyerukan yel-yel penyemangat untuk berangkat, lalu dipandu oleh ketua panitia, satu per satu mulai naik ke mobil tersebut. Tak ada yang berseru kelelahan, walau kondisi mereka tak baik-baik saja. Tenda dijaga oleh empat orang yang memang diminta untuk menangani korban di sekitar penampungan. Sheila dan Arnes masuk ke dalam mobil bak bersama rekan mereka lainnya. Kedua orang itu masih tetap melakukan mogok bicara setelah kejadian tadi. Tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Kecuali ada orang yang mengajak keduanya berbicara bersama.Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai pada sebuah desa kecil yang harusnya cantik nan indah. Tapi semua yang dilihat jauh dari kata baik-baik saja. Tak ada bang
"Harusnya dari awal kau percaya padaku!" kata Arnes seraya membalikkan tubuhnya ke arah pasiennya kini.Satu sindiran itu telak, membuat bibir Sheila terkatup rapat. Ingatan masa lalu terus berputar ulang, seiring terpanggil dengan semua sindiran paman dokternya. Fokusnya melemah, tapi kembali tersadar begitu melihat gadis kecil yang kini panik melihat Arnes mengeluarkan benda-benda tajam."Kau mau apa? Kau mau melukai Ibuku?" tanyanya sambil berteriak.Sheila buru-buru menarik tubuh mungil itu dan menggendongnya sedikit menjauh. Dengan sekuat tenaga ia melawan dorongan kecil itu hingga keduanya berhasil menjauh dari ranjang. Dilihatnya Arnes yang mulai bersiap melakukan pemasangan selang ke arah rongga dada untuk membuang cairan atau udara yang mungkin terperangkap di sana dan membuat sesak di dada.Wanita itu menurunkan sang gadis, membuat tubuh keduanya saling berhadapan dengan posisi membelakangi Arnes yang kini memulai aksinya. Tatapannya tajam, meminta perhatian sedikit saja. Ka
"Bagaimana? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Arnes dengan mimik wajah khawatir.Sudah dua jam ia lalui dengan mondar-mandir di tenda sempit tempatnya bekerja. Satu pasiennya sudah stabil dan tengah beristirahat di ruang terpisah. Sementara pasiennya yang lain masih nampak pucat dengan tangan diinfus.Ya, Arnes akhirnya berhasil membujuk Sheila untuk memasukkan obat lewat cairan itu, karena efeknya juga akan lebih drastis. Namun entah mengapa tak ada perubahan yang terjadi. Tubuh gadis itu masih panas, walau sedikit lebih rendah dari sebelumnya. Badan kecil itu menggigil kedinginan, walau selimut sudah dikenakannya.Tak ada jawaban dari Sheila. Ia masih diam, dengan mata terbuka. Kepalanya menggeleng, tanda tak ada apapun yang diinginkan. Satu-satunya permintaan yang terucap hanya ditemani oleh sang paman dokter, tak ada lagi. Tapi tetap saja tak ada perubahan yang berarti."Aku coba tambahkan beberapa...""Tak bisakah kau diam sebentar?" potongnya lemah. "Diam di sini. Paman past
"K-kamu? K-kok bisa?" tanya Sheila terbata.Seperti baru saja disiram oleh air dingin, gadis itu terjaga dari tidurnya. Rasa sakit dan lemah yang dirasakan sejak semalam langsung terangkat. Hanya ada rasa kaget dengan degup jantung yang kini tak lagi beraturan. Manik cokelat itu berkeliling, mencari sosok yang sejak semalam menemani. Tapi suasana pagi itu masih sepi, nyaris tak ada orang selain mereka berdua. Sheila pun mencubit lengannya pelan, berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu hanya mimpi. Sayangnya, rasa sakit itu menjalar dan membuatnya sadar bahwa keduanya ada di kehidupan nyata."Tapi kenapa bisa?" tanyanya lagi.Andrew tersenyum senang, menyaksikan kondisi wanita yang ia cintai itu tak seburuk bayangan. Sejak beredar berita bahwa rombongan rumah sakit menjadi korban bencana, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Sheila. Namun saat itu ia tak bisa segera bertolak ke Indonesia, karena menunggu bibinya yang tak lain adalah Mia."Maaf aku datang terlambat," kata Andrew
"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Mia dengan suara melengking tinggi. "Apa yang kau lakukan di si....""Hentikan!"Arnes berbisik penuh penekanan tepat di hadapan sang istri. Tubuh besarnya kini menghalangi wanita cantik itu untuk memojokkan Sheila yang masih berada di ranjang. Sementara Andrew menoleh ke arah paman dan bibinya yang kini saling memandang satu sama lain dengan tatapan dingin.Pria muda itu cukup terkejut mendengar suara Mia yang jarang sekali marah, bila ada di sekitarnya. Namun kali ini, sesuatu pasti sudah membuatnya terkejut bukan main. Dan itu ada hubungannya dengan sang kekasih yang kini ikut tegang dengan situasi saat ini."Ikut aku!" ajak Arnes yang langsung menarik lengan istrinya keluar dari tenda, menuju ke tempat mobil mereka terparkir. Mau tak mau, Mia mengikuti ke mana suaminya membawa. Ia sempat ingin memberontak, tapi itu tak mungkin dilakukan dengan mata-mata yang terus memandang ke arah keduanya. Penilaian semua orang teramat penting baginya, selak
"Kau mengenal Bibiku?" tanya Andrew setengah terkejut dengan ekspresi yang Mia lontarkan begitu meihat sosok kekasihnya itu.Sheila terdiam, bingung harus menjawab apa. Tapi kepalanya menggeleng pelan, berusaha mengelak sekuat tenaga. Wanita itu tak ingin Andrew tahu dan membuat semua rencananya semakin kacau.Ingatannya mundur ke belakang, pada saat Mia menghancurkan semua mimpinya. Tak hanya kekasihnya yang diambil kembali, tapi juga beasiswanya dicabut. Mimpinya mengenyam pendidikan dan mendapat kehidupan yang layak akhirnya kandas. Dan semua harus dibayarnya mahal dengan semua usahanya selama sepuluh tahun terakhir. "Tapi kenapa dia begitu, ya? Aneh!" kata Andrew coba menerka apa yang sedang terjadi pada bibinya.Keduanya diam sejenak, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Begitu juga Sheila yang kini mendadak tegang setelah pertemuan pertamanya dengan Mia. Otaknya tak bisa berpikir jernih, antara takut dan juga tak sabar melalui semua ini. Karena ia yakin, dirinya bukan lagi ga
"Andrew, bawa sisanya ke tenda, aku ingin bicara sebentar dengan Pamanmu!" perintah Mia yang kini menahan suaminya untuk lebih lama bersama.Pria muda itu mengangguk dengan cepat. Tangannya membawa dua kardus terakhir yang berisikan bantuan makanan untuk para korban bencana. Walau sedikit keberatan, tapi ia memaksakan tubuhnya untuk menuruti semua permintaan bibinya. Entah mengapa, sejak dulu Andrew tak pernah sekalipun menolak keinginan sang bibi. Hal itu sudah menjadi keharusan, seperti bagaimana ayahnya yang selalu mengingatkannya akan semua budi baik yang Mia tinggalkan pada keluarga mereka.Sementara dengan setengah terpaksa, Arnes mendekati istrinya yang sudah masuk ke dalam mobil. Perlahan ia ikut membuka pintu dan duduk tenang di samping Mia. Tatapannya ke arah depan, enggan menatap wanita yang sejak kedatangannya saja sudah membuat kejutan bertubi."Pulanglah bersama kami!" pinta Mia dengan penuh penekanan yang kini melemahkan suaranya. Kekuatannya pergi, bersama segala kes
"Maaf untuk sikapku yang tadi, ya!" kata Mia coba mencairkan suasana yang sunyi senyap. Wanita itu coba memberikan senyuman terbaiknya ke arah Sheila, melalui spion tengah. "Kau mirip seseorang," katanya lagi.Sheila hanya tersenyum kecut, berusaha untuk menunjukkan sikap baik-baik saja. Walau kini wajahnya terasa begitu kaku, karena harus terus bersandiwara di depan Andrew. Tak hanya muka, tapi juga tangannya yang sejak tadi berada dalam genggaman sang kekasih. Sesekali maniknya melirik ke arah Arnes yang kini duduk di baris kedua, bersama istrinya. Sementara Andrew yang mengemudi, di temani olehnya di baris paling depan."Siapa, tuh?" tanya Andrew memancing dengan nada setengah mengejek."Anak kecil, mau tahu... aja!" balas Mia yang tak segan untuk bercanda dengan keponakannya sendiri.Keduanya terkekeh bersama, bersikap seperti biasa. Karena begitulah Mia di mata Andrew yang tak pernah sekalipun tahu apa yang terjadi pada rumah tangga paman dan bibinya itu. Ia bahkan tak pernah men