"Maaf untuk sikapku yang tadi, ya!" kata Mia coba mencairkan suasana yang sunyi senyap. Wanita itu coba memberikan senyuman terbaiknya ke arah Sheila, melalui spion tengah. "Kau mirip seseorang," katanya lagi.Sheila hanya tersenyum kecut, berusaha untuk menunjukkan sikap baik-baik saja. Walau kini wajahnya terasa begitu kaku, karena harus terus bersandiwara di depan Andrew. Tak hanya muka, tapi juga tangannya yang sejak tadi berada dalam genggaman sang kekasih. Sesekali maniknya melirik ke arah Arnes yang kini duduk di baris kedua, bersama istrinya. Sementara Andrew yang mengemudi, di temani olehnya di baris paling depan."Siapa, tuh?" tanya Andrew memancing dengan nada setengah mengejek."Anak kecil, mau tahu... aja!" balas Mia yang tak segan untuk bercanda dengan keponakannya sendiri.Keduanya terkekeh bersama, bersikap seperti biasa. Karena begitulah Mia di mata Andrew yang tak pernah sekalipun tahu apa yang terjadi pada rumah tangga paman dan bibinya itu. Ia bahkan tak pernah men
"Sebenarnya aku tak ingin mengatakannya sekarang, tapi ternyata...""Tak mungkin!" potong Arnes cepat.Jika dipikir secara logika, usia Mia bukan lagi di masa subur yang dengan mudahnya akan mengandung. Keduanya berada di angka separuh abad, yang itu artinya sang istri nyaris mengalami menopause. Dan itu akan memperkecil kemungkinan untuk hamil, walau tentu saja selalu ada probabilitas selama keduanya melakukan hubungan badan secara rutin."Kenapa tidak mungkin?" tanya Andrew bingung.Sebagai seorang dokter, ia tak bisa mengatakan tak mungkin ketika masih ada kesempatan yang terbentang di depan mata. Apalagi ia melihat paman dan bibinya begitu harmonis. Mendengar berita itu membuatnya begitu senang, karena akan ada bayi kecil yang melengkapi keluarga kecil itu."Maksudku, usia Mia dan aku saat ini...""Tak ada yang tak mungkin, bukan?" potong Mia sambil tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Apalagi bayi ini begitu kau tunggu kedatangannya," tambahnya nyaris menitikkan air mata.
"Cuma kelelahan, setelah diberi obat dan juga vitamin, kondisinya akan membaik."Seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa Sheila keluar dari bilik dan mempersilakan Andrew juga Arnes ke dalam. Kedua pria itu menyaksikan sendiri bagaimana wajah cantik yang kini pucat itu nampak tak bertenaga, tergelak di lantai toilet restoran. Dan dengan tergopoh-gopoh, Arnes bergegas membawanya kembali ke rumah sakitnya, di mana fasilitas dan tenaga medisnya lebih mumpuni.Kondisi Sheila memang sudah cukup membaik. Tekanan darah kembali normal, dan wajah pucatnya berangsur merona. Napas yang tadinya tersengal-sengal, seperti kekurangan oksigen, kembali normal, walau masih dengan mata yang tertutup.Arnes baru saja ingin maju, mengelus lembut anak-anak rambut yang jatuh menghalangi kecantikan gadisnya. Tapi ia sadar ada sosok Andrew yang kini lebih dekat dan juga punya hak yang lebih darinya. Pria muda itu pun lebih dulu melakukannya, bebas tanpa ada halangan."Kita pindahkan ke ruangan, nanti
Sheila membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sakit luar biasa. Dalam suasana remang, ia berusaha untuk mengingat apa yang sudah terjadi dan di mana tepatnya ia berada saat ini. Namun mencium aroma alkohol yang kentara sekali di hidungnya membuat gadis itu yakin di mana posisinya kini."Urgh!" serunya memegangi kepala yang masih berputar.Tubuhnya berusaha untuk bangkit, walau terasa begitu lemah. Kondisinya saat ini mungkin terjadi karena benturan atau lamanya ia tertidur. Karena dari tempatnya terbaring kini, Sheila bisa menyaksikan suasana malam di balik jendela yang setengah terbuka. Itu artinya ia sudah cukup lama tak sadarkan diri. Sementara saat ini, otaknya masih berusaha mengingat posisi terakhirnya sebelum tak sadar."Sheila!"Seorang pria yang baru masuk ke dalam ruangan nampak terkejut menyaksikan posisi gadis itu yang sudah setengah duduk. Sebagai seorang dokter, ia langsung bergerak memeriksa tanda-tanda vital dan memastikan semuanya baik-baik saja."Apa yang kau ras
"Welcome back, Doc!" seru sebuah suara merdu yang menyambut kedatangan Sheila ke ruang UGD.Setelah beristirahat setidaknya nyaris seminggu, wanita itu akhirnya bisa kembali mengenakan jas putih kebanggaannya. Bau alkohol khas UGD dan juga riuh ramai dengan pasien adalah hal yang paling ia rindukan. Teriakan panik memanggil namanya dan juga gerak cepat para perawat membuatnya tersenyum senang."Thank you!" serunya berseri.Kondisinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi setelah semingguan tak bertemu dengan Arnes. Pria itu menghilang seperti ditelan bumi. Digantikan oleh Andrew yang berkunjung ke rumahnya sehari tiga kali, bak minum obat. Celetukan yang ditujukan untuk menyakiti Arnes kala itu, nyatanya membuat dirinya kalang kabut. Hampir setiap hari, sang kekasih mempertanyakan kesiapannya. Dan tak bosan-bosan ia mengajak Sheila untuk menemui keluarganya. Namun berulang kali pula ditolaknya, dengan dalih kondisinya yang masih lemah."Ada yang bisa dibantu?" tanyanya dengan seum
"Bagaimana kondisinya?" tanya Sheila yang menunggu Arnes di depan ruang pemeriksaan. Tak lama dari itu, sebuah bangkar pasien didorong keluar dari ruangan untuk dibawa ke tempat lain. Wajah Sheila nampak kebingungan, ia tak tahu apa yang sedang terjadi dan tindakan apa yang tengah Arnes rencanakan untuk pasiennya itu."Kita bicara di kantin!" ajak Arnes yang tahu betul bagaimana perasaan Sheila.Seperti tak punya tenaga untuk menolak, gadis itu mengikuti saja ke mana Arnes membawa. Tubuhnya yang lemah, dituntun oleh sang paman dokter ke dalam lift. Keduanya lebih banyak diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing."Duduklah, aku belikan kopi sebentar!" perintah Arnes yang menunjuk bangku kosong di sepanjang mata memandang.Semakin larut, semakin sepi pengunjung kantin. Semua pasien tengah beristirahat, bersama para penjaganya. Beberapa karyawan juga malas mengunjungi kantin yang berada di puncak gedung. Mereka lebih memilih keluar rumah sakit, sambil menghirup udara segar."Ini untuk
"Kapan kau akan kembali ke Singapura?" tanya Arnes dengan dingin.Tatapannya sama sekali tak mengarah pada wanita cantik yang tengah menyantap sarapannya pagi itu. Jarang-jarang keduanya duduk berdua dengan tenang, tanpa adanya pertikaian. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Arnes muncul di meja makan untuk menemani sang istri.Sebuah senyum tersungging di bibir Mia. Wanita yang tengah mengandung beberapa minggu itu sama sekali tak bahagia dengan pertanyaan dari suaminya. Ia sudah tahu ke arah mana pikiran Arnes melangkah. Kepergiannya kembali ke Singapura, hanya akan membuat rumahnya menjadi sarang empuk bagi sang suami dan simpanannya bersama."Aku tak akan kembali ke sana," jawabnya dengan santai. Satu suapan roti gandum tanpa isi masuk ke dalam mulutnya dengan sangat anggun. Dilihat dari sisi mana pun, Mia sama sekali tak nampak seperti wanita biasa. Gaya bicara hingga gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia lahir dari keluarga yang beradab. Semua itu juga ditunjang dengan tubuh ind
"Tadi Ibu Mia kehilangan cukup banyak darah. Namun setelah diberikan pertolongan, kondisinya berangsur stabil."Arnes bernapas lega setelah mendengar penjelasan salah seorang dokter UGD yang baru saja melakukan pengobatan pada istrinya. Tubuhnya sedikit mengendur, sesekali teringat bayang wajah Mia yang tersungkur lemas setelah darah berceceran dari pergelangan tangan yang dilukainya menggunakan pecahan kaca.Tangannya mengisir halus rambutnya ke belakang, berusaha untuk mengatasi kegundahan yang sejak tadi terasa. Jantungnya masih saja berdegup dengan kencang, belum tenang sampai akhirnya bisa melihat wajah istrinya lagi. Namun wanita itu tenga tertidur dan tak diperbolehkan untuk dijenguk, sampai nanti di ruang rawat inap. Dan sebagai seorang dokter yang mengerti dengan semua aturan itu, ia menurut saja.Sayangnya, semua penjelasan dari salah satu juniornya itu tak membuatnya tenang. Tubuh tinggi besar Arnes bergerak mondar-mandir di depan pintu UGD. Pria itu tak peduli walau banyak