"Bagaimana kondisinya?" tanya Sheila yang menunggu Arnes di depan ruang pemeriksaan. Tak lama dari itu, sebuah bangkar pasien didorong keluar dari ruangan untuk dibawa ke tempat lain. Wajah Sheila nampak kebingungan, ia tak tahu apa yang sedang terjadi dan tindakan apa yang tengah Arnes rencanakan untuk pasiennya itu."Kita bicara di kantin!" ajak Arnes yang tahu betul bagaimana perasaan Sheila.Seperti tak punya tenaga untuk menolak, gadis itu mengikuti saja ke mana Arnes membawa. Tubuhnya yang lemah, dituntun oleh sang paman dokter ke dalam lift. Keduanya lebih banyak diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing."Duduklah, aku belikan kopi sebentar!" perintah Arnes yang menunjuk bangku kosong di sepanjang mata memandang.Semakin larut, semakin sepi pengunjung kantin. Semua pasien tengah beristirahat, bersama para penjaganya. Beberapa karyawan juga malas mengunjungi kantin yang berada di puncak gedung. Mereka lebih memilih keluar rumah sakit, sambil menghirup udara segar."Ini untuk
"Kapan kau akan kembali ke Singapura?" tanya Arnes dengan dingin.Tatapannya sama sekali tak mengarah pada wanita cantik yang tengah menyantap sarapannya pagi itu. Jarang-jarang keduanya duduk berdua dengan tenang, tanpa adanya pertikaian. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Arnes muncul di meja makan untuk menemani sang istri.Sebuah senyum tersungging di bibir Mia. Wanita yang tengah mengandung beberapa minggu itu sama sekali tak bahagia dengan pertanyaan dari suaminya. Ia sudah tahu ke arah mana pikiran Arnes melangkah. Kepergiannya kembali ke Singapura, hanya akan membuat rumahnya menjadi sarang empuk bagi sang suami dan simpanannya bersama."Aku tak akan kembali ke sana," jawabnya dengan santai. Satu suapan roti gandum tanpa isi masuk ke dalam mulutnya dengan sangat anggun. Dilihat dari sisi mana pun, Mia sama sekali tak nampak seperti wanita biasa. Gaya bicara hingga gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia lahir dari keluarga yang beradab. Semua itu juga ditunjang dengan tubuh ind
"Tadi Ibu Mia kehilangan cukup banyak darah. Namun setelah diberikan pertolongan, kondisinya berangsur stabil."Arnes bernapas lega setelah mendengar penjelasan salah seorang dokter UGD yang baru saja melakukan pengobatan pada istrinya. Tubuhnya sedikit mengendur, sesekali teringat bayang wajah Mia yang tersungkur lemas setelah darah berceceran dari pergelangan tangan yang dilukainya menggunakan pecahan kaca.Tangannya mengisir halus rambutnya ke belakang, berusaha untuk mengatasi kegundahan yang sejak tadi terasa. Jantungnya masih saja berdegup dengan kencang, belum tenang sampai akhirnya bisa melihat wajah istrinya lagi. Namun wanita itu tenga tertidur dan tak diperbolehkan untuk dijenguk, sampai nanti di ruang rawat inap. Dan sebagai seorang dokter yang mengerti dengan semua aturan itu, ia menurut saja.Sayangnya, semua penjelasan dari salah satu juniornya itu tak membuatnya tenang. Tubuh tinggi besar Arnes bergerak mondar-mandir di depan pintu UGD. Pria itu tak peduli walau banyak
"Ada apa?" tanya Arnes yang buru-buru berlari ke ruangan Sheila begitu ada pesan masuk dari gadisnya itu.Sheila hanya menggeleng pelan. Ekspresinya sendu, mirip seperti gadis yang baru saja patah hati. Arnes sendiri langsung bisa membaca raut muka dokter cantik yang masih memilih untuk diam."Apa sesuatu terjadi di ruangan Mia?" tanya Arnes lagi.Instingnya mengatakan, ada yang Sheila sembunyikan ketika gadis itu masih di ruangan Mia. Arnes yang baru saja datang setelah mendengar konfirmasi dari dokter terkait kondisi istrinya, tak lagi melihat wajah gadisnya saat kembali ke ruangan. Hanya ada Mia yang masih dalam posisi terlelap."Tidak ada!" jawab Sheila cepat.Wanita itu menarik tangannya ke depan dada, melipat dalam-dalam untuk menutupi semua ketegangan yang mulai terasa. Bibirnya terasa begitu kelu. Semua ucapan Mia yang tadi didengar, berulang kali mengalun dalam kepala. Setiap kalimatnya membuat keputusan Sheila semakin mantap."Aku hanya ingin bicara dengan Paman," katanya di
PLAK!Sheila menampar wajah tampan yang selama ini menjadi candunya. Bau alkohol yang menyengat dari mulut Arnes membuatnya mual. Habis sudah kesabarannya menghadapi pria yang selama ini terus-menerus menggodanya untuk kembali ke masa lalu."Apa yang kau lakukan?" tanyanya penuh amarah. "Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi sikapmu yang kekanakan itu! Tapi kau malah seenaknya!" serunya menjadi.Namun pria yang masih terus memegangi pipinya yang kemerahan itu hanya bisa diam memandang wajah cantik yang kini bak singa betina yang siap menerkam siapapun yang mengganggunya. Tatapan manik cokelatnya penuh binar kemarahan, hingga Arnes memilih untuk menunduk dalam.Sheila menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan gemas. Ia tak bisa terus memukuli Arnes dan mengusirnya bak anak kecil. Usianya sudah setengah abad. Seharusnya sikap pria itu lebih dewasa darinya yang baru saja menginjak kepala tiga. Bukan malah sebaliknya seperti saat ini."Pulangnya, istrimu tengah hamil dan dia leb
"Maaf aku sudah merusak masa remajamu." Arnes menggenggam tangan gadisnya erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Aku benar-benar tak bermaksud begitu," katanya lagi.Sheila mengangguk setuju dengan ucapan paman dokternya. Baginya, kematian sang ayah adalah sebuah pembelajaran bagi Arnes yang kini lebih hati-hati dalam melakukan tindakan apapun. Selain itu, kepergian cinta pertamanya seolah memberi jalan agar ia bertemu dengan pria yang kini berada di hadapannya, memandang penuh sendu."Selain itu aku juga sudah berdosa karena merusak masa depanmu," tambah Arnes.Namun kali ini jawaban Sheila adalah sebuah gelengan mantap yang ia turut yakini dalam hati. Karena begitulah kenyataannya, gadis itu tak pernah sekalipun merasa bahwa Arnes adalah dalang dari masa-masa kelam yang ia lewati. Melainkan sebuah takdir yang menempanya hingga bisa terus berdiri dalam kondisi apapun, termasuk saat ini."Aku percaya semua terjadi karena Tuhan punya maksud di dalamnya," katanya begitu bijaksana.
Sheila tersentak begitu sadar bahwa dirinya telah tidur bersama dengan Arnes. Matanya terbelalak kaget menyaksikan pria itu masih berada di sisinya, dalam keadaan terlelap. Entah berapa kali permainan sudah keduanya lakukan hingga lelah yang tersisa."Astaga!" bisiknya. Wanita itu menutup mulut, berusaha untuk tak mengeluarkan suara walau rasa ingin menjerit. Tangannya baru saja menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh mereka yang tanpa busana. Sheila memejamkan mata, merutuki kebodohannya karena telah terjerat cinta paman dokternya itu. Dengan sekuat tenaga, ia menjulurkan tangan, berusaha untuk mengambil kemeja milik Arnes. Bukan tanpa alasan ia memilih pakaian itu. Karena semua bajunya sama sekali tak terlihat ada di kamar. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa menutupi tubuh polosnya."Nah!" serunya senang, setelah mendapatkan kemeja itu.Buru-buru dikenakannya pakaian itu, lalu berjingkat turun dari ranjang. Perlahan tapi pasti, Sheila pergi menjauh dari Arnes yang masih ter
"Sejak kapan?" tanya Andrew kebingungan, matanya melirik ke arah dua orang yang ia ketahui saling bersentuhan tadi. "Kalian lagi ngapain?" tanyanya lagi, mulai mencecar dengan tatapan curiga.Sheila salah tingkah. Matanya ikut berputar mencari jawaban sekaligus menghindari Andrew yang terus menuntut dirinya untuk buka suara. Sementara Arnes langsung menoleh ke arah kompor yang masih hangat."Ini!" seru pria 50 tahun itu menunjuk kompor di mana wajan masih terpasang di sana. "K-kami sedang memasak!" tambahnya seraya kembali menyalakan kompor yang sempat dimatikan sebelumnya.Andrew mengernyitkan kening, karena bingung dengan alasan dari pamannya itu. Ia mendekati keduanya, berusaha untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Kondisi dapur sudah cukup berantakan dengan kekasihnya yang merendam tangan dalam baskom."Kamu kenapa?" Pria muda itu buru-buru menghampiri sang kekasih, memastikan bahwa sesuatu yang berbahaya tak sedang terjadi. Namun alangkah terkejutnya ia mendapat