PLAK!Sheila menampar wajah tampan yang selama ini menjadi candunya. Bau alkohol yang menyengat dari mulut Arnes membuatnya mual. Habis sudah kesabarannya menghadapi pria yang selama ini terus-menerus menggodanya untuk kembali ke masa lalu."Apa yang kau lakukan?" tanyanya penuh amarah. "Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi sikapmu yang kekanakan itu! Tapi kau malah seenaknya!" serunya menjadi.Namun pria yang masih terus memegangi pipinya yang kemerahan itu hanya bisa diam memandang wajah cantik yang kini bak singa betina yang siap menerkam siapapun yang mengganggunya. Tatapan manik cokelatnya penuh binar kemarahan, hingga Arnes memilih untuk menunduk dalam.Sheila menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan gemas. Ia tak bisa terus memukuli Arnes dan mengusirnya bak anak kecil. Usianya sudah setengah abad. Seharusnya sikap pria itu lebih dewasa darinya yang baru saja menginjak kepala tiga. Bukan malah sebaliknya seperti saat ini."Pulangnya, istrimu tengah hamil dan dia leb
"Maaf aku sudah merusak masa remajamu." Arnes menggenggam tangan gadisnya erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Aku benar-benar tak bermaksud begitu," katanya lagi.Sheila mengangguk setuju dengan ucapan paman dokternya. Baginya, kematian sang ayah adalah sebuah pembelajaran bagi Arnes yang kini lebih hati-hati dalam melakukan tindakan apapun. Selain itu, kepergian cinta pertamanya seolah memberi jalan agar ia bertemu dengan pria yang kini berada di hadapannya, memandang penuh sendu."Selain itu aku juga sudah berdosa karena merusak masa depanmu," tambah Arnes.Namun kali ini jawaban Sheila adalah sebuah gelengan mantap yang ia turut yakini dalam hati. Karena begitulah kenyataannya, gadis itu tak pernah sekalipun merasa bahwa Arnes adalah dalang dari masa-masa kelam yang ia lewati. Melainkan sebuah takdir yang menempanya hingga bisa terus berdiri dalam kondisi apapun, termasuk saat ini."Aku percaya semua terjadi karena Tuhan punya maksud di dalamnya," katanya begitu bijaksana.
Sheila tersentak begitu sadar bahwa dirinya telah tidur bersama dengan Arnes. Matanya terbelalak kaget menyaksikan pria itu masih berada di sisinya, dalam keadaan terlelap. Entah berapa kali permainan sudah keduanya lakukan hingga lelah yang tersisa."Astaga!" bisiknya. Wanita itu menutup mulut, berusaha untuk tak mengeluarkan suara walau rasa ingin menjerit. Tangannya baru saja menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh mereka yang tanpa busana. Sheila memejamkan mata, merutuki kebodohannya karena telah terjerat cinta paman dokternya itu. Dengan sekuat tenaga, ia menjulurkan tangan, berusaha untuk mengambil kemeja milik Arnes. Bukan tanpa alasan ia memilih pakaian itu. Karena semua bajunya sama sekali tak terlihat ada di kamar. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa menutupi tubuh polosnya."Nah!" serunya senang, setelah mendapatkan kemeja itu.Buru-buru dikenakannya pakaian itu, lalu berjingkat turun dari ranjang. Perlahan tapi pasti, Sheila pergi menjauh dari Arnes yang masih ter
"Sejak kapan?" tanya Andrew kebingungan, matanya melirik ke arah dua orang yang ia ketahui saling bersentuhan tadi. "Kalian lagi ngapain?" tanyanya lagi, mulai mencecar dengan tatapan curiga.Sheila salah tingkah. Matanya ikut berputar mencari jawaban sekaligus menghindari Andrew yang terus menuntut dirinya untuk buka suara. Sementara Arnes langsung menoleh ke arah kompor yang masih hangat."Ini!" seru pria 50 tahun itu menunjuk kompor di mana wajan masih terpasang di sana. "K-kami sedang memasak!" tambahnya seraya kembali menyalakan kompor yang sempat dimatikan sebelumnya.Andrew mengernyitkan kening, karena bingung dengan alasan dari pamannya itu. Ia mendekati keduanya, berusaha untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Kondisi dapur sudah cukup berantakan dengan kekasihnya yang merendam tangan dalam baskom."Kamu kenapa?" Pria muda itu buru-buru menghampiri sang kekasih, memastikan bahwa sesuatu yang berbahaya tak sedang terjadi. Namun alangkah terkejutnya ia mendapat
"A-apa maksudnya?" tanya Andrew mulai tak mengerti dengan jalan cerita yang tengah terjadi padanya.Ia memandangi bibi, paman dan juga kekasihnya yang kompak melakukan aksi diam. Namun satu gerakan dari Sheila membuatnya menatap ke arah wanita cantik yang kini menggeleng pelan. Manik cokelatnya menunjukkan rasa takut juga sedih."Ini salah paham," bisik Sheila berusaha untuk tak terdengar oleh Mia.Namun jarak mereka yang tak terlalu jauh membuat wanita yang masih tergolek lemah itu malah semakin membabi buta. Dengan ringannya tangan Mia terayun melemparkan bantal ke arah Sheila yang langsung dihadang oleh keponakannya sendiri. Emosinya semakin menjadi begitu tahu Andrew tak berada di pihaknya."Kau bodoh! Buka matamu! Bagaimana bisa kau percaya pada wanita ular sepertinya, hah? Lihat bagaimana dia menghancurkan keluargaku!" seru Mia menjadi-jadi.Satu kode dari Arnes membuat Andrew menganggukkan kepala. Dengan sigap, digiringnya Sheila keluar dari kamar dan menyerahkan semua pada san
"Kamu beneran mau langsung kerja? Enggak mau aku antar pulang? Muka kamu pucat banget, loh!" Lorong rumah sakit dengan bau alkohol yang khas menjadi saksi bisu bagaimana teguhnya Andrew untuk membawa sang kekasih pergi jauh dari rumah sakit. Untuk saat ini, rumah adalah tempat yang aman bagi seorang Sheila. Selain karena tak ada Mia yang mungkin bisa saja melabraknya lagi, pria muda itu juga berharap sang kekasih mulai berhenti berkarir dan menunggu lamarannya yang resmi meluncur."Kalau di rumah aku malah kepikiran," jawab Sheila yang terus menolak permintaan kekasihnya itu.Bukan tanpa sebab sang dokter UGD itu tetap bertahan di rumah sakit. Ia masih belum tenang jika tak melihat wajah pria yang tadi pergi entah ke mana. Perasaannya kacau, mengetahui bahwa Arnes sudah mendengar semua kata-kata keponakannya, termasuk untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan."Kakak praktik aja, toh sebentar lagi juga aku jaga!" katanya seraya mengambil langkah untuk pergi lebih dahulu, da
"Dokter Pras hari ini berhalangan hadir, dan Dokter Sheila diminta untuk menggantikan."Sheila yang sudah bersiap untuk pulang ke rumah hanya bisa pasrah dengan permintaan dadakan itu. Tubuhnya melemah, beringsut dari kursi dan kembali ke rungannya dengan gontai. Langkahnya tertatih, berkat penuhnya UGD sejak siang hingga selesai jam kerjanya hari itu."Loh, Dokter balik lagi?" tanya seorang perawat yang tadi berpisah dengannya di ruang UGD. Sayangnya, mereka harus kembali bertemu untuk kembali bekerja.Senyum kecut diberi Sheila sambil mengangguk pelan. "Dokter siapa lagi yang jaga malam ini?" tanyanya."Dokter Pras sendiri," jawab wanita berseragam serba putih itu dengan singkat."Hah? Sendiri?" Sheila terkejut mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka akan melakukan jaga malam seorang diri. Padahal suasana UGD sedang ramai dan tak henti pasien masuk silih berganti."Tapi kan ini jamnya Dokter Pras. Emangnya Dokter Sheila mau nemenin?" Tak ada jawaban dari dokter cantik yang kini lan
"Paman!" seru Sheila seraya beranjak dari sofa.Napasnya terengah-engah, bak baru saja mengikuti lomba maraton. Matanya terbuka, berkeliling mencari sosok yang terasa begitu nyata di ruangannya. Namun beberapa detik kemudian ia mulai bisa mencerna semua kejadian yang hanya terjadi di mimpinya.Keringat dingin bercucuran, sementara tangannya tepat berada di dada yang kembang-kempis tak karuan. Matanya terpejam sembari menjambak rambut panjangnya. Sheila masih tak percaya bahwa semua itu hanya bunga tidurnya."Cuma mimpi, itu cuma mimpi," bisiknya meyakinkan diri sendiri.Setelah memastikan bahwa kondisinya sudah kebali normal, barulah Sheila berdiri. Dikenakannya kembali jas putih yang membuatnya begitu berbeda. Tangannya merengkuh stetoskop pribadi yang ada di atas meja kerja. Namun manik cokelatnya menangkap sesuatu yang mencolok."Paman?" bisiknya tak percaya.Sebuah stiker note berisi undangan agar ia menemui Arnes di ruangannya tertulis di sana. Ia tak yakin betul itu adalah tulis