"Kapan kau akan kembali ke Singapura?" tanya Arnes dengan dingin.Tatapannya sama sekali tak mengarah pada wanita cantik yang tengah menyantap sarapannya pagi itu. Jarang-jarang keduanya duduk berdua dengan tenang, tanpa adanya pertikaian. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Arnes muncul di meja makan untuk menemani sang istri.Sebuah senyum tersungging di bibir Mia. Wanita yang tengah mengandung beberapa minggu itu sama sekali tak bahagia dengan pertanyaan dari suaminya. Ia sudah tahu ke arah mana pikiran Arnes melangkah. Kepergiannya kembali ke Singapura, hanya akan membuat rumahnya menjadi sarang empuk bagi sang suami dan simpanannya bersama."Aku tak akan kembali ke sana," jawabnya dengan santai. Satu suapan roti gandum tanpa isi masuk ke dalam mulutnya dengan sangat anggun. Dilihat dari sisi mana pun, Mia sama sekali tak nampak seperti wanita biasa. Gaya bicara hingga gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia lahir dari keluarga yang beradab. Semua itu juga ditunjang dengan tubuh ind
"Tadi Ibu Mia kehilangan cukup banyak darah. Namun setelah diberikan pertolongan, kondisinya berangsur stabil."Arnes bernapas lega setelah mendengar penjelasan salah seorang dokter UGD yang baru saja melakukan pengobatan pada istrinya. Tubuhnya sedikit mengendur, sesekali teringat bayang wajah Mia yang tersungkur lemas setelah darah berceceran dari pergelangan tangan yang dilukainya menggunakan pecahan kaca.Tangannya mengisir halus rambutnya ke belakang, berusaha untuk mengatasi kegundahan yang sejak tadi terasa. Jantungnya masih saja berdegup dengan kencang, belum tenang sampai akhirnya bisa melihat wajah istrinya lagi. Namun wanita itu tenga tertidur dan tak diperbolehkan untuk dijenguk, sampai nanti di ruang rawat inap. Dan sebagai seorang dokter yang mengerti dengan semua aturan itu, ia menurut saja.Sayangnya, semua penjelasan dari salah satu juniornya itu tak membuatnya tenang. Tubuh tinggi besar Arnes bergerak mondar-mandir di depan pintu UGD. Pria itu tak peduli walau banyak
"Ada apa?" tanya Arnes yang buru-buru berlari ke ruangan Sheila begitu ada pesan masuk dari gadisnya itu.Sheila hanya menggeleng pelan. Ekspresinya sendu, mirip seperti gadis yang baru saja patah hati. Arnes sendiri langsung bisa membaca raut muka dokter cantik yang masih memilih untuk diam."Apa sesuatu terjadi di ruangan Mia?" tanya Arnes lagi.Instingnya mengatakan, ada yang Sheila sembunyikan ketika gadis itu masih di ruangan Mia. Arnes yang baru saja datang setelah mendengar konfirmasi dari dokter terkait kondisi istrinya, tak lagi melihat wajah gadisnya saat kembali ke ruangan. Hanya ada Mia yang masih dalam posisi terlelap."Tidak ada!" jawab Sheila cepat.Wanita itu menarik tangannya ke depan dada, melipat dalam-dalam untuk menutupi semua ketegangan yang mulai terasa. Bibirnya terasa begitu kelu. Semua ucapan Mia yang tadi didengar, berulang kali mengalun dalam kepala. Setiap kalimatnya membuat keputusan Sheila semakin mantap."Aku hanya ingin bicara dengan Paman," katanya di
PLAK!Sheila menampar wajah tampan yang selama ini menjadi candunya. Bau alkohol yang menyengat dari mulut Arnes membuatnya mual. Habis sudah kesabarannya menghadapi pria yang selama ini terus-menerus menggodanya untuk kembali ke masa lalu."Apa yang kau lakukan?" tanyanya penuh amarah. "Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi sikapmu yang kekanakan itu! Tapi kau malah seenaknya!" serunya menjadi.Namun pria yang masih terus memegangi pipinya yang kemerahan itu hanya bisa diam memandang wajah cantik yang kini bak singa betina yang siap menerkam siapapun yang mengganggunya. Tatapan manik cokelatnya penuh binar kemarahan, hingga Arnes memilih untuk menunduk dalam.Sheila menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan gemas. Ia tak bisa terus memukuli Arnes dan mengusirnya bak anak kecil. Usianya sudah setengah abad. Seharusnya sikap pria itu lebih dewasa darinya yang baru saja menginjak kepala tiga. Bukan malah sebaliknya seperti saat ini."Pulangnya, istrimu tengah hamil dan dia leb
"Maaf aku sudah merusak masa remajamu." Arnes menggenggam tangan gadisnya erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Aku benar-benar tak bermaksud begitu," katanya lagi.Sheila mengangguk setuju dengan ucapan paman dokternya. Baginya, kematian sang ayah adalah sebuah pembelajaran bagi Arnes yang kini lebih hati-hati dalam melakukan tindakan apapun. Selain itu, kepergian cinta pertamanya seolah memberi jalan agar ia bertemu dengan pria yang kini berada di hadapannya, memandang penuh sendu."Selain itu aku juga sudah berdosa karena merusak masa depanmu," tambah Arnes.Namun kali ini jawaban Sheila adalah sebuah gelengan mantap yang ia turut yakini dalam hati. Karena begitulah kenyataannya, gadis itu tak pernah sekalipun merasa bahwa Arnes adalah dalang dari masa-masa kelam yang ia lewati. Melainkan sebuah takdir yang menempanya hingga bisa terus berdiri dalam kondisi apapun, termasuk saat ini."Aku percaya semua terjadi karena Tuhan punya maksud di dalamnya," katanya begitu bijaksana.
Sheila tersentak begitu sadar bahwa dirinya telah tidur bersama dengan Arnes. Matanya terbelalak kaget menyaksikan pria itu masih berada di sisinya, dalam keadaan terlelap. Entah berapa kali permainan sudah keduanya lakukan hingga lelah yang tersisa."Astaga!" bisiknya. Wanita itu menutup mulut, berusaha untuk tak mengeluarkan suara walau rasa ingin menjerit. Tangannya baru saja menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh mereka yang tanpa busana. Sheila memejamkan mata, merutuki kebodohannya karena telah terjerat cinta paman dokternya itu. Dengan sekuat tenaga, ia menjulurkan tangan, berusaha untuk mengambil kemeja milik Arnes. Bukan tanpa alasan ia memilih pakaian itu. Karena semua bajunya sama sekali tak terlihat ada di kamar. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa menutupi tubuh polosnya."Nah!" serunya senang, setelah mendapatkan kemeja itu.Buru-buru dikenakannya pakaian itu, lalu berjingkat turun dari ranjang. Perlahan tapi pasti, Sheila pergi menjauh dari Arnes yang masih ter
"Sejak kapan?" tanya Andrew kebingungan, matanya melirik ke arah dua orang yang ia ketahui saling bersentuhan tadi. "Kalian lagi ngapain?" tanyanya lagi, mulai mencecar dengan tatapan curiga.Sheila salah tingkah. Matanya ikut berputar mencari jawaban sekaligus menghindari Andrew yang terus menuntut dirinya untuk buka suara. Sementara Arnes langsung menoleh ke arah kompor yang masih hangat."Ini!" seru pria 50 tahun itu menunjuk kompor di mana wajan masih terpasang di sana. "K-kami sedang memasak!" tambahnya seraya kembali menyalakan kompor yang sempat dimatikan sebelumnya.Andrew mengernyitkan kening, karena bingung dengan alasan dari pamannya itu. Ia mendekati keduanya, berusaha untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Kondisi dapur sudah cukup berantakan dengan kekasihnya yang merendam tangan dalam baskom."Kamu kenapa?" Pria muda itu buru-buru menghampiri sang kekasih, memastikan bahwa sesuatu yang berbahaya tak sedang terjadi. Namun alangkah terkejutnya ia mendapat
"A-apa maksudnya?" tanya Andrew mulai tak mengerti dengan jalan cerita yang tengah terjadi padanya.Ia memandangi bibi, paman dan juga kekasihnya yang kompak melakukan aksi diam. Namun satu gerakan dari Sheila membuatnya menatap ke arah wanita cantik yang kini menggeleng pelan. Manik cokelatnya menunjukkan rasa takut juga sedih."Ini salah paham," bisik Sheila berusaha untuk tak terdengar oleh Mia.Namun jarak mereka yang tak terlalu jauh membuat wanita yang masih tergolek lemah itu malah semakin membabi buta. Dengan ringannya tangan Mia terayun melemparkan bantal ke arah Sheila yang langsung dihadang oleh keponakannya sendiri. Emosinya semakin menjadi begitu tahu Andrew tak berada di pihaknya."Kau bodoh! Buka matamu! Bagaimana bisa kau percaya pada wanita ular sepertinya, hah? Lihat bagaimana dia menghancurkan keluargaku!" seru Mia menjadi-jadi.Satu kode dari Arnes membuat Andrew menganggukkan kepala. Dengan sigap, digiringnya Sheila keluar dari kamar dan menyerahkan semua pada san
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I