"K-kamu? K-kok bisa?" tanya Sheila terbata.Seperti baru saja disiram oleh air dingin, gadis itu terjaga dari tidurnya. Rasa sakit dan lemah yang dirasakan sejak semalam langsung terangkat. Hanya ada rasa kaget dengan degup jantung yang kini tak lagi beraturan. Manik cokelat itu berkeliling, mencari sosok yang sejak semalam menemani. Tapi suasana pagi itu masih sepi, nyaris tak ada orang selain mereka berdua. Sheila pun mencubit lengannya pelan, berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu hanya mimpi. Sayangnya, rasa sakit itu menjalar dan membuatnya sadar bahwa keduanya ada di kehidupan nyata."Tapi kenapa bisa?" tanyanya lagi.Andrew tersenyum senang, menyaksikan kondisi wanita yang ia cintai itu tak seburuk bayangan. Sejak beredar berita bahwa rombongan rumah sakit menjadi korban bencana, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Sheila. Namun saat itu ia tak bisa segera bertolak ke Indonesia, karena menunggu bibinya yang tak lain adalah Mia."Maaf aku datang terlambat," kata Andrew
"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Mia dengan suara melengking tinggi. "Apa yang kau lakukan di si....""Hentikan!"Arnes berbisik penuh penekanan tepat di hadapan sang istri. Tubuh besarnya kini menghalangi wanita cantik itu untuk memojokkan Sheila yang masih berada di ranjang. Sementara Andrew menoleh ke arah paman dan bibinya yang kini saling memandang satu sama lain dengan tatapan dingin.Pria muda itu cukup terkejut mendengar suara Mia yang jarang sekali marah, bila ada di sekitarnya. Namun kali ini, sesuatu pasti sudah membuatnya terkejut bukan main. Dan itu ada hubungannya dengan sang kekasih yang kini ikut tegang dengan situasi saat ini."Ikut aku!" ajak Arnes yang langsung menarik lengan istrinya keluar dari tenda, menuju ke tempat mobil mereka terparkir. Mau tak mau, Mia mengikuti ke mana suaminya membawa. Ia sempat ingin memberontak, tapi itu tak mungkin dilakukan dengan mata-mata yang terus memandang ke arah keduanya. Penilaian semua orang teramat penting baginya, selak
"Kau mengenal Bibiku?" tanya Andrew setengah terkejut dengan ekspresi yang Mia lontarkan begitu meihat sosok kekasihnya itu.Sheila terdiam, bingung harus menjawab apa. Tapi kepalanya menggeleng pelan, berusaha mengelak sekuat tenaga. Wanita itu tak ingin Andrew tahu dan membuat semua rencananya semakin kacau.Ingatannya mundur ke belakang, pada saat Mia menghancurkan semua mimpinya. Tak hanya kekasihnya yang diambil kembali, tapi juga beasiswanya dicabut. Mimpinya mengenyam pendidikan dan mendapat kehidupan yang layak akhirnya kandas. Dan semua harus dibayarnya mahal dengan semua usahanya selama sepuluh tahun terakhir. "Tapi kenapa dia begitu, ya? Aneh!" kata Andrew coba menerka apa yang sedang terjadi pada bibinya.Keduanya diam sejenak, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Begitu juga Sheila yang kini mendadak tegang setelah pertemuan pertamanya dengan Mia. Otaknya tak bisa berpikir jernih, antara takut dan juga tak sabar melalui semua ini. Karena ia yakin, dirinya bukan lagi ga
"Andrew, bawa sisanya ke tenda, aku ingin bicara sebentar dengan Pamanmu!" perintah Mia yang kini menahan suaminya untuk lebih lama bersama.Pria muda itu mengangguk dengan cepat. Tangannya membawa dua kardus terakhir yang berisikan bantuan makanan untuk para korban bencana. Walau sedikit keberatan, tapi ia memaksakan tubuhnya untuk menuruti semua permintaan bibinya. Entah mengapa, sejak dulu Andrew tak pernah sekalipun menolak keinginan sang bibi. Hal itu sudah menjadi keharusan, seperti bagaimana ayahnya yang selalu mengingatkannya akan semua budi baik yang Mia tinggalkan pada keluarga mereka.Sementara dengan setengah terpaksa, Arnes mendekati istrinya yang sudah masuk ke dalam mobil. Perlahan ia ikut membuka pintu dan duduk tenang di samping Mia. Tatapannya ke arah depan, enggan menatap wanita yang sejak kedatangannya saja sudah membuat kejutan bertubi."Pulanglah bersama kami!" pinta Mia dengan penuh penekanan yang kini melemahkan suaranya. Kekuatannya pergi, bersama segala kes
"Maaf untuk sikapku yang tadi, ya!" kata Mia coba mencairkan suasana yang sunyi senyap. Wanita itu coba memberikan senyuman terbaiknya ke arah Sheila, melalui spion tengah. "Kau mirip seseorang," katanya lagi.Sheila hanya tersenyum kecut, berusaha untuk menunjukkan sikap baik-baik saja. Walau kini wajahnya terasa begitu kaku, karena harus terus bersandiwara di depan Andrew. Tak hanya muka, tapi juga tangannya yang sejak tadi berada dalam genggaman sang kekasih. Sesekali maniknya melirik ke arah Arnes yang kini duduk di baris kedua, bersama istrinya. Sementara Andrew yang mengemudi, di temani olehnya di baris paling depan."Siapa, tuh?" tanya Andrew memancing dengan nada setengah mengejek."Anak kecil, mau tahu... aja!" balas Mia yang tak segan untuk bercanda dengan keponakannya sendiri.Keduanya terkekeh bersama, bersikap seperti biasa. Karena begitulah Mia di mata Andrew yang tak pernah sekalipun tahu apa yang terjadi pada rumah tangga paman dan bibinya itu. Ia bahkan tak pernah men
"Sebenarnya aku tak ingin mengatakannya sekarang, tapi ternyata...""Tak mungkin!" potong Arnes cepat.Jika dipikir secara logika, usia Mia bukan lagi di masa subur yang dengan mudahnya akan mengandung. Keduanya berada di angka separuh abad, yang itu artinya sang istri nyaris mengalami menopause. Dan itu akan memperkecil kemungkinan untuk hamil, walau tentu saja selalu ada probabilitas selama keduanya melakukan hubungan badan secara rutin."Kenapa tidak mungkin?" tanya Andrew bingung.Sebagai seorang dokter, ia tak bisa mengatakan tak mungkin ketika masih ada kesempatan yang terbentang di depan mata. Apalagi ia melihat paman dan bibinya begitu harmonis. Mendengar berita itu membuatnya begitu senang, karena akan ada bayi kecil yang melengkapi keluarga kecil itu."Maksudku, usia Mia dan aku saat ini...""Tak ada yang tak mungkin, bukan?" potong Mia sambil tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Apalagi bayi ini begitu kau tunggu kedatangannya," tambahnya nyaris menitikkan air mata.
"Cuma kelelahan, setelah diberi obat dan juga vitamin, kondisinya akan membaik."Seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa Sheila keluar dari bilik dan mempersilakan Andrew juga Arnes ke dalam. Kedua pria itu menyaksikan sendiri bagaimana wajah cantik yang kini pucat itu nampak tak bertenaga, tergelak di lantai toilet restoran. Dan dengan tergopoh-gopoh, Arnes bergegas membawanya kembali ke rumah sakitnya, di mana fasilitas dan tenaga medisnya lebih mumpuni.Kondisi Sheila memang sudah cukup membaik. Tekanan darah kembali normal, dan wajah pucatnya berangsur merona. Napas yang tadinya tersengal-sengal, seperti kekurangan oksigen, kembali normal, walau masih dengan mata yang tertutup.Arnes baru saja ingin maju, mengelus lembut anak-anak rambut yang jatuh menghalangi kecantikan gadisnya. Tapi ia sadar ada sosok Andrew yang kini lebih dekat dan juga punya hak yang lebih darinya. Pria muda itu pun lebih dulu melakukannya, bebas tanpa ada halangan."Kita pindahkan ke ruangan, nanti
Sheila membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sakit luar biasa. Dalam suasana remang, ia berusaha untuk mengingat apa yang sudah terjadi dan di mana tepatnya ia berada saat ini. Namun mencium aroma alkohol yang kentara sekali di hidungnya membuat gadis itu yakin di mana posisinya kini."Urgh!" serunya memegangi kepala yang masih berputar.Tubuhnya berusaha untuk bangkit, walau terasa begitu lemah. Kondisinya saat ini mungkin terjadi karena benturan atau lamanya ia tertidur. Karena dari tempatnya terbaring kini, Sheila bisa menyaksikan suasana malam di balik jendela yang setengah terbuka. Itu artinya ia sudah cukup lama tak sadarkan diri. Sementara saat ini, otaknya masih berusaha mengingat posisi terakhirnya sebelum tak sadar."Sheila!"Seorang pria yang baru masuk ke dalam ruangan nampak terkejut menyaksikan posisi gadis itu yang sudah setengah duduk. Sebagai seorang dokter, ia langsung bergerak memeriksa tanda-tanda vital dan memastikan semuanya baik-baik saja."Apa yang kau ras