Denting gelas bertumbukan hingga cairan sampanye nyaris tumpah mengecup meja di kelab malam area Sunset Trip yang dipesan khusus oleh manajer Louisa, Cory. Lelaki kemayu itu berdiri menjulang tinggi di atas sepatu bot kulit, menjunjung gelas ramping dan berteriak di antara hingar bingar musik EDM yang diputar keras-keras. Di bawah lampu-lampu laser yang bergerak dramatis mengikuti irama, iris biru terang Cory yang dihias wing eyeliner makin berbinar-binar saat bibirnya ikut mengembang. Dia membusungkan dada, menarik tangan Louisa untuk menyuruhnya berdiri dan berseru,
"Congratulations untuk bintang kita! I love you, Bitches!"
Cory meneguk sampanye tak memedulikan cairan kekuningan sampanye membasahi sweater oranye miliknya. Sebagai orang yang mendampingi Louisa selama beberapa tahun terakhir, dia patut bangga atas kerja keras sang artis. Siang-malam tak peduli cuaca buruk hingga menjadi cameo sekali pun, harus diakui kalau Louisa adalah perempuan yang patut diperhitungkan dalam dunia hiburan sekarang. Tidak menyangka kalau tawaran film yang awalnya dinilai sangat tidak cocok untuk karakter wajah Louisa, justru menuai banyak pujian. Mungkin inilah hasil yang dituai gadis berbalut mini dress merah yang memberi Cory kecupan penuh kasih sayang serta membisikinya ucapan terima kasih.
"Oh, Sayang. Kau juga harus berterima kasih pada dirimu sendiri," kata Cory membalas ciuman itu di puncak kepala Louisa. "Tapi, aku melihat kau begitu bersemangat bercumbu dengan lawan mainmu," godanya seraya mengerlingkan sebelah mata.
"Astaga. Tentu saja tidak! Apa aku terlihat seperti perempuan yang 'Hei, bitch, fuck me until death' huh? Aku sudah memiliki Troy," elak Louisa geleng-geleng kepala, meneguk sedikit sampanye yang terasa manis bagai buah pir.
Cory dan beberapa orang lain yang mengitari meja bundar itu terbahak-bahak. Salah satu dari mereka mencondongkan badan dan berkata, "Ke mana Troy? Apa dia tidak mau merayakan pencapaian ini?"
"Iya benar. Saat gala premiere kemarin, keluargamu saja yang datang, Lou. Apa Troy segitu sibuknya?" timpal perempuan berpotongan bob seraya mengisap batang tembakau. "Sorry, tapi beberapa wartawan berbisik tentang hubungan kalian."
"Hei, dia tidak pernah memublikasikan dengan siapa dia berkencan," sambung Cory membela Louisa. "Jangan membuat dia tertekan atas pertanyaan kalian. Nikmati saja malam ini, girls!" Dia mengacungkan kembali gelas sampanye seraya melempar kerlingan mata kepada Louisa untuk tidak resah.
Bibir berpulas lipstik merah milik Louisa menarik senyum paksa, menghabiskan minuman dalam gelas sekali teguk. Untuk beberapa saat Louisa membisu karena sejujurnya dia sendiri belum mendapat kabar dari sang kekasih yang berada di Paris. Seharusnya sesuai perjanjian dua minggu lalu, Troy akan datang dalam peluncuran filmnya, namun tertunda dengan alasan ada sesi pemotretan mendadak untuk majalah edisi musim semi. Sementara sudah tiga hari ini, Troy tidak bisa dihubungi membuat Louisa mulai dilanda rasa khawatir.
"Hey, are you okay?" tanya Cory. "Wait, jangan bilang kau tidak tahu ke mana Troy."
"Benar," jawab Louisa lesu.
"Maka dari itu aku tidak pernah percaya dengan hubungan jarak jauh Lou. Terlalu berisiko," tukas Cory. "Ponselnya tidak aktif kah?"
"Aktif, tapi dia tidak menjawab panggilanku," tandas Louisa.
"Sudahlah, mungkin dia memang sibuk," ujar Cory mencoba menghibur Louisa.
"Maybe. Hei, kau mau berdansa di sana? Ayo kita menari sampai kaki kita kram, Cory!" ajaknya mengalihkan pembicaraan. Sungguh Louisa tidak ingin keresahannya semakin membengkak dan bakal membuat mood hancur.
"Aku suka itu!" teriak Cory kegirangan.
###
Pening!
Itu yang dirasakan Louisa ketika tubuhnya diseret Cory menuju apartemen mewah di Malibu. Kedua tungkainya sudah tidak sanggup lagi berjalan lebih jauh apalagi dalam kondisi setengah sadar seperti ini. Pemandangan di sekeliling gadis itu sepertinya sedang berputar-putar hingga beberapa kali Louisa harus mengeluarkan isi perut di sepanjang perjalanan. Beruntung tak sampai mengenai dasbor mobil Cory atau sweater yang dipakai lelaki nyentrik itu. Kalau ya, mungkin Louisa akan menjadi bahan omelan selama sepekan.
Begitu sampai di kamar bermandikan sinar bulan yang menembus dari tirai jendela kamar, Cory dan Louisa membanting diri di atas kasur empuk lalu tertawa seakan-akan apa yang terjadi malam ini bakal menjadi pembuka atas kesuksesan yang didapat. Walau badannya lemas akibat mengeluarkan seluruh isi lambung, Louisa masih mengingat pencapaian terbesar selama seperempat abad dalam kehidupannya. Benar-benar terasa mimpi menjadi kenyataan, pikir gadis itu. Dia juga tidak menyangka bahwa menerima penawaran dari salah satu rumah produksi bisa membawa namanya menjadi seperti ini. Kemudian, dia membenarkan posisi tidur, mengamati langit-langit kamar ketika Cory berkata,
"Ini malam menakjubkan selama karier kita berdua."
"Kau sudah mengatakan hal itu berulang kali, Cory," tukas Louisa mengibaskan sebelah tangan. "Ah, besok kita akan jumpa fans. Aku begitu gugup untuk pertama kali."
Sebelah tangan Louisa meraba tuk mencari clutch hitam selanjutnya merogoh ponsel berharap ada satu notifikasi saja dari sang kekasih. Layar IPhone tersebut sudah menunjukkan pukul satu malam artinya di Paris sekitar sepuluh pagi. Bibir Louisa mengatup rapat menelan kenyataan pahit saat menatap ponsel kalau masih belum ada tanda-tanda Troy mau meluangkan waktunya sekadar memberi selamat meski hanya pesan teks. Apakah Troy begitu sibuknya hingga tidak memiliki jeda? Bahkan setelah Louisa berusaha mengirim ratusan pesan pun, Troy mendadak lenyap ditelan Bumi.
Gadis itu menghela napas panjang berusaha mengeluarkan bongkahan batu yang memenuhi dada seraya meletakan kembali ponsel dengan tak minat. Banyak spekulasi kini bergentayangan dalam benak Louisa walau hati kecilnya berkata tidak. Dia selalu berupaya memahami kesibukan Troy bukan hanya sekali ini saja, lantas mengapa lelaki itu tidak berbuat hal yang sama padanya? Padahal jauh-jauh hari sebelum peluncuran film, Louisa sudah membuat daftar hal-hal yang bakal dilakukan bersama-sama jika Troy benar-benar datang. Atau jika memang dia sibuk dan tak sempat terbang ke LA pun, Louisa masih punya satu rencana cadangan yaitu makan malam dan menonton film melalui sambungan video call. Nyatanya ... dia hanya ditemani sepi di antara keramaian.
"Kau kenapa?" tanya Cory menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Louisa. Dia mengernyitkan alis seperti bisa membaca isi kepala gadis itu. "Oh, maafkan aku, Sayang. Troy sepertinya benar-benar--"
Belum sempat menyelesaikan ucapan, panggilan telepon dari orang yang dinanti-nanti akhirnya muncul menimbulkan semringah di wajah Louisa. Harapan yang tadinya suram kini muncul dan makin membesar berharap akan segera terlaksana. Gadis itu langsung memberi isyarat kepada Cory bahwa Troy pasti akan menelepon ketika sudah selesai dengan proyeknya. Sedangkan sang manajer hanya bisa memutar bola mata, masih tidak mempercayai lelaki yang digilai Louisa. Namun, dia tidak bisa memaksakan pendapat ketika Louisa tengah dimabuk asmara.
Buru-buru Louisa bangkit dari kasur, mengabaikan sensasi pening di kepala untuk mencari privasi sambil menerima panggilan tersebut. Suara berat Troy yang menggoda seketika menghilangkan rasa gundah gulana yang sempat merangkul Louisa. Kaki telanjang yang tadinya pegal akibat berjam-jam menari di lantai dansa mendadak terasa ringan bagai menapaki kapas lembut. Kehadiran Troy adalah pelipur lara atas rasa lelah yang dirasakan Louisa. Bahkan kalau lelaki itu ada di sini, Louisa akan betah berlama-lama memeluk dada bidang dambaan hati atau sekadar bercumbu sampai bibir bengkak. Baginya, seburuk apa pun dunia akan terlihat baik-baik saja selama ada Troy. Malaikatnya.
Dia berdiri di balkon dan membiarkan angin di akhir musim dingin menyapu penat di wajah. Sementara ombak yang menjadi pemandangan sehari-hari Louisa tengah bercumbu mesra dengan bibir pantai. Dia membayangkan berjemur atau bermain voli pantai bersama Troy seperti waktu-waktu liburan bersama sebelum kesibukan memisahkan mereka. Rambut panjang Louisa bergoyang-goyang mengikuti aliran udara ke arah pantai Malibu. Rasa rindu yang terpendam selama beberapa hari ini akhirnya terbayar tuntas saat suara Troy memanggil namanya.
"Schatz (Sayang)!" seru Louisa memanggil kekasihnya. "Kau ke mana saja? Sudah hampir tiga hari kau--"
"Aku rasa kita akhiri hubungan ini, Lou," sela Troy tiba-tiba, meluruhkan senyuman di wajah Louisa.
Butuh waktu cukup lama untuk Louisa mencerna ucapan tak masuk akal Troy sampai-sampai dia mengorek telinga kanan, takut ada sumbatan yang menghalangi pendengaran. Dia menengadah ke arah langit bertabur gemintang lalu menunduk melihat jari-jari kaki beralaskan sandal yang menapak balkon. Jelas kalimat itu bukanlah mimpi siang hari atau halusinasi, tapi kenapa terlalu menakutkan untuk jadi kenyataan.
"Apa maksudmu?" Louisa masih denial atas apa yang diucapkan Troy, tapi kenapa hatinya mendadak ditusuk-tusuk ratusan pisau tajam? Kenapa dadanya begitu sakit mendengar keputusan mendadak Troy? Apa yang salah?
"Aku hanya ingin kita berpisah, Lou. Kuharap kau akan baik-baik saja di sana. Selamat tinggal," pamit Troy lalu memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapan Louisa.
Tuhan ... aku sedang mimpi buruk kan?
Jiwanya sudah melayang jauh meninggalkan raga ketika ucapan Troy masih terngiang-ngiang di telinga. Semakin lama suara Troy semakin melubangi hati Louisa, menorehkan luka menganga yang begitu pedih bak ditaburi garam. Sesak. Louisa memukul dada dengan kepala tangan, berharap gumpalan menyakitkan ini bisa keluar dari sana. Udara di sekitar pun tak mampu menjernihkan akal sehat Louisa, malah meneriaki kalau kisah asmara yang dijalani bertahun-tahun kandas tanpa sebab.Kaleng-kaleng bir berserakan di balkon, tapi tidak mampu menghapus kesedihan Louisa. Semalaman dia duduk di sana seorang diri dan tidak membiarkan Cory menemani. Bergulat dengan isi kepala, mengorek-ngorek kilasan pernyataan teman-temannya tentang sikap Troy yang sama sekali tidak menunjukkan sebagai kekasih setia. Sekarang dia tenggelam dalam kubangan penderitaan akibat terlalu berpikiran positif pada Troy, padahal sudah terlihat jelas kalau lelaki itu tidak seperti dulu lagi.Aroma cokelat hangat terendus di hidung Louis
Riuh suara penggemar di Convention Center memekakkan telinga ketika Louisa dan sang aktor utama--Tony Bowman berjalan menuju atas panggung, melambaikan tangan bersama beberapa pemain From The End lain di belakangnya. Jepretan puluhan kamera langsung memotret gerak-gerik para bintang tanpa melewatkan satu ekspresi di sana dan menyalurkan kilat begitu menyilaukan mata. Mereka duduk di atas kursi setelah dipersilakan oleh pembawa acara seraya memuji keberhasilan film roman yang mengharu biru, namun membawa penonton merasa kepanasan dengan adegan intim yang disajikan.Pembawa acara menyuruh Louisa berdiri untuk memberikan ucapan terima kasih atas antusias para penggemar yang meluangkan waktunya memenuhi gedung besar ini. Dia tersenyum lebar kembali melambaikan tangan dan berkata, "Hai, semuanya. Aku sungguh minta maaf terpaksa menggunakan kacamata karena tadi pagi ada insiden kecil mengenai mataku. Tapi, jangan khawatir, aku baik-baik saja selama bisa bertemu dengan kalian. Aku sungguh be
Louisa terpaku beberapa saat menangkap lelaki berkemeja abu-abu tengah berdiri menyambutnya di salah satu meja restoran. Iris biru samudra yang terasa gelap itu berkilat, bersamaan senyum miring tersungging di bibir tipisnya.Mr. Cross.Pelayan tadi menyilakan Louisa menghampiri CEO tersebut lantas dia melengang pergi. Bola mata Louisa melirik ke sekitar sementara kakinya mengayun mendatangi Dean yang tidak memalingkan perhatian."Eng ... apakah hanya kita berdua?" tanya Louisa begitu Dean menarik kursi untuknya dan mereka duduk berhadapan."Ya," jawab Dean. "Karena aku tidak mau ada wartawan sialan yang menyerangmu dengan pertanyaan bodoh itu. Bikin pusing saja."Sialan! umpat Louisa begitu mendengar Dean telah mengetahui gosip yang menerpa dirinya dan Troy.Dia tak langsung menanggapi, malah memerhatikan penampilan Dean dari dekat. Kemeja putih yang dibungkus setelan jas abu-abu gelap begitu pas di badan kekar pria itu, menonjolkan lekuk otot biseps yang begitu terlatih. Apalagi kan
"Damn! Are you serious?" Cory nyaris menggelindingkan bola mata setelah mengetahui detail cerita Louisa. "Ah, pantas saja ada seorang petugas hotel yang menanyakan nama kita dan langsung mengantarkanku ke kamar yang dipesan olehnya, Lou. Sudah kubilang kan, tidak ada yang gratis di dunia ini kalau kau berhadapan dengan Mr. Cross. Uang dan wanita adalah hal yang bisa dia gapai dengan satu jentikan."Cory mengabaikan siaran Netflix yang sedang menunjukkan adegan di mana sepasang kekasih tengah bercumbu di pinggir pantai hingga menanggalkan satu-persatu pakaian mereka. Sementara Louisa makin terlihat lesu sekaligus bingung sampai-sampai dia merangkul bantal dan kembali menangis. Sebagai manajer sekaligus seorang teman baik, Cory menepuk bahu Louisa dengan memberi beberapa opsi seraya menerka-nerka apa maksud Dean menawari hubungan itu.Dia sendiri tidak menduga kalau Dean akan meminta Louisa menjadi teman kencan di saat ada banyak perempuan yang lebih pantas. Bukannya Cory merendahkan fi
Menjelang musim semi, cuaca tidak sedingin sebelumnya apalagi pendar matahari tak lagi malu-malu untuk menyalurkan kehangatan. Barangkali mentari memang tidak mengenal rasa lelah ketika Los Angeles tempat yang cocok untuk disinari sepanjang tahun walau musim dingin tiba. Berbekal kaus tipis dengan celana selutut, Dean berlari di pinggir pantai Del seraya mendengarkan musik melaluiearphonelantas mengedarkan pandangan ke arah butiran pasir putih nan berkilau. Peluh keringat membanjiri dahi juga turun ke riak-riak ototnya tak lantas membuat lelaki itu berhenti. Dean lebih suka menghabiskan paginya dengan berolahraga, menikmati yang disuguhkan alam sebelum tercemar oleh polusi dan disibukkan kegiatan di pusat kota San Diego.Selepas ini, dia harus kembali untuk berdiskusi bersama beberapa petinggi perusahaan terkait kerja sama Cross Agency dengan salah satu agensi
Sebenarnya menyetujui untuk berhubungan dengan Dean, si pria aneh yang suka menyuruh-nyuruh itu kadang membuat Louisa waswas. Bolak-baik dia mengecekheadline newsdi beberapa media sosial, takut kalau ada seseorang mengunggah foto di Coronado sewaktu Dean menarik lengan dan memagut bibirnya. Dia khawatir kalau orang-orang beranggapan Louisa mengencani Dean karena mencari pelampiasan setelah kisah asmaranya bersama Troy terkuak dan berakhir menyedihkan.Selain itu, semalam ibunya--Karoline--menelepon melalui sambunganvideo calldan berkata kalau Louisa tidak perlu menangisi pria brengsek macam Troy. Mengingat Louisa sempat meninggalkan panggung SDCC saat mendapat pertanyaan dari salah satu penggemar. Karoline berpendapat bahwa itu bukan karakter seorang publik figur yang mesti ditunjukkan sang anak apalagi kepada penggemar yang susah payah me
Sebagai seorang profesional, tidak mungkin Louisa membatalkan perjanjian dengan fotografer hanya karena gosip dan pertikaiannya bersama Dean di lobi. Walau hatinya terbakar sampai ke ubun-ubun sampai ingin mematahkan setiap tulang pria tukang perintah itu, Louisa terpaksa harus menarik garis bibir di depan koleganya. Mengabaikan perhatian Dean yang mengamatinya tanpa berkedip sambil melipat tangan di dada, memancarkan keangkuhan di ruangan ini.Cih! Menyebalkan!Ratusanblitzmengabadikan ekspresi wajah Louisa tengah mengenakan gaun satin putih berpotongan cukup panjang di bagian paha kiri, menampakkan kulit putih pucat sementara bagian dada sangat rendah seakan-akan area itu nyaris tumpah ruah ditambah hiasan tali spageti tuk memamerkan punggung telanjang. Rambut cokelat madu Louisa dibiarka
Hanyut dalam dentuman musik EDM dari Zedd di Avalon Hollywood membuat pengunjung di sana berjingkrak-jingkrak menikmati kebebasan tanpa memikirkan beban kerja yang seharian ini membelenggu. Lampu-lampu laser aneka warna bergerak menyorot secara acak orang-orang di lantai dansa, mengangkat kedua tangan mengikuti irama disjoki sekaligus produser musik keturunan Rusia-Jerman tersebut.Berteriak menyanyikan bait demi bait seperti sedang mengolok percintaan Louisa yang begitu menyedihkan.Dia tidak tersinggung sama sekali karena itulah kenyataannya. Butuh satu malam untuk meredakan rasa sakit namun butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan bekasnya. Sungguh menyedihkan!Give me one night to mend the painBecause the second we touch you'll forget the day