Jiwanya sudah melayang jauh meninggalkan raga ketika ucapan Troy masih terngiang-ngiang di telinga. Semakin lama suara Troy semakin melubangi hati Louisa, menorehkan luka menganga yang begitu pedih bak ditaburi garam. Sesak. Louisa memukul dada dengan kepala tangan, berharap gumpalan menyakitkan ini bisa keluar dari sana. Udara di sekitar pun tak mampu menjernihkan akal sehat Louisa, malah meneriaki kalau kisah asmara yang dijalani bertahun-tahun kandas tanpa sebab.
Kaleng-kaleng bir berserakan di balkon, tapi tidak mampu menghapus kesedihan Louisa. Semalaman dia duduk di sana seorang diri dan tidak membiarkan Cory menemani. Bergulat dengan isi kepala, mengorek-ngorek kilasan pernyataan teman-temannya tentang sikap Troy yang sama sekali tidak menunjukkan sebagai kekasih setia. Sekarang dia tenggelam dalam kubangan penderitaan akibat terlalu berpikiran positif pada Troy, padahal sudah terlihat jelas kalau lelaki itu tidak seperti dulu lagi.
Aroma cokelat hangat terendus di hidung Louisa ketika Cory mendekat membawa dua cangkir minuman hangat. Gadis itu berpaling, buru-buru menghapus jejak basah di pipi dan memaksakan diri untuk tersenyum walau otot-otot wajahnya terasa kaku.
Cory menaruh cangkir tersebut lantas mendudukkan diri di samping Louisa dan berkata, "Minumlah dulu untuk membuat perasaanmu lebih baik, Lou."
Jemari Cory memeluk cangkirnya sendiri, menerawang ke arah pantai Malibu yang tak jauh dari apartemen yang mereka tinggali lalu menoleh mengamati garis wajah Louisa. Seperti anak ayam kehilangan induknya, Louisa begitu menyedihkan. Sejujurnya, dia merasa kasihan dengan Louisa meski di sisi lain ada perasaan lega kalau Troy memutuskan hubungan. Baginya Louisa patut mendapatkan lelaki yang lebih baik dari sang mantan manalagi di sini aktor-aktor lebih menawan dan sedikit-banyak Cory hafal karakter mereka.
"Bisakah aku tidak hadir dalam jumpa fans hari ini, Cory?" tanya Louisa meraih cangkir cokelat hangat. Begitu menyentuh kulit, kehangatan langsung tersebar menyelimuti setiap aliran darah. Disesap sebentar cokelat itu melewati kerongkongan dan turun ke lambung. Coklat memang sesuatu paling baik untuk menenangkan dan rasa resah itu mulai membaik walau tak sepenuhnya. "Aku merasa belum bisa bertemu orang-orang dengan kondisi mataku bengkak seperti ini. Aku takut mereka akan menerjangku dengan banyak pertanyaan."
"Oh, sial. Terkutuklah Troy! Aku bersumpah suatu saat dia akan merasakan apa yang kau rasakan hari ini, Lou," rutuk Cory berharap semesta mendengar munajatnya. "Tapi ... kaulah yang ditunggu mereka, Sayang. Masih ada waktu empat jam lagi, Lou. Aku bisa membantumu mengompresnya agar tidak terlalu bengkak. Nanti kau pakai saja kacamata hitam. Bagaimana?"
"Aku ... sungguh tidak berminat, Cory. Tubuhku belum istirahat, mood-ku benar-benar buruk. Aku takut di depan mereka malah menangis."
Tak berapa lama ponsel Cory berdering nyaring sebelum lelaki itu menimpali permintaan Louisa untuk tidak datang ke acara fans meeting. Cory mendecak kesal karena seseorang mengganggunya di saat genting seperti ini. Buru-buru dia berlari menghampiri gawai yang tergeletak di kamar Louisa sejak semalam. Alis tebal Cory mengerut mendapati asisten pimpinan agensi menghubunginya secara tiba-tiba. Dia mendadak gugup setengah mati, nyaris saja jatuh ke lantai kalau bukan kesadarannya yang memerintah untuk menjawab panggilan mendesak itu. Cory mendaratkan pantat ke pinggiran kasur, meremas dada dan bertanya,
"Ada apa, Mr. Reese?"
"Aku mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepadamu agar mengatur jadwal pertemuan Ms. Bahr dengan Mr. Cross malam nanti," jawab Mr. Reese.
"Ma-malam nanti?" Cory berdiri, berjalan cepat menuju balkon di mana Louisa masih duduk memeluk kedua lututnya dengan tatapan kosong. "Apakah bisa hari lain, Tuan? Karena kemungkinan kami akan--"
"Mr. Cross menginginkan jadwal itu hari ini, Mr. Conley," potong Mr. Reese seakan tidak mau menerima penolakan.
Louisa menengadah, menautkan alis penasaran siapa yang menelepon sampai membuat ekspresi Cory sepucat mayat. Cory menyiratkan Louisa diam sejenak dengan menempelkan telunjuk kiri di bibir, manakala telinganya masih mendengar penjelasan asisten Mr. Cross. Begitu Cory menyetujui dan memutuskan sambungan telepon, dia mengembuskan napas seraya memutar bola mata merasakan kepalanya akan meledak saat ini juga. Undangan langka dari Dean Cross tentu saja tidak boleh dilewatkan, pikir Cory. Tapi, dia juga dilema karena psikis Louisa tidak memungkinkan untuk menyambut pimpinan tertinggi agensi dengan ramah.
Pernah sekali waktu, mungkin tahun lalu seminggu sebelum perayaan natal ketika Louisa bertengkar dengan Troy saat syuting di salah satu film. Walau sebatas figuran, terkadang Louisa mementingkan suasana hati sehingga proses pengambilan gambar jadi lebih lama. Dia tidak segan memarahi balik kalau ada yang mengusik emosinya. Oleh karena itu, bolak-balik Troy mengingatkan Louisa agar pintar-pintar mengatur amarah dan tidak mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Sekecil apa pun masalah yang datang, seharusnya sebagai artis yang terlanjur menyelam di dunia perfilman harus bersikap profesional, bukannya berdiam diri dan menangisi lelaki bajingan seperti Troy.
"Kau diundang Mr. Cross malam ini," tandas Cory, "setelah acaramu di San Diego."
"Mr. Cross? Untuk apa?" tanya Louisa tak mengerti.
Cory berlutut di depan Louisa, memegang kedua tangan kurus nan lentik artisnya sambil menatap penuh harap. "Dengar Lou. Selama aku bekerja di bawah agensi Mr. Cross, belum pernah aku mendengarnya mengundang artis untuk bertemu secara pribadi. Kita lihat sisi positifnya sekarang, bisa jadi kan kalau Mr. Cross memberimu peluang lebih? Teman kencan? Uang? Atau merekomendasikanmu ke beberapa produsen film?"
"Cory ..." Louisa nyaris menolak ketika Corcy mengeratkan genggamannya.
"Aku sayang padamu, Lou. Dan sungguh menyakitkan melihatmu dicampakkan Troy. Sekarang tunjukkan pada bajingan itu bahwa tanpa dia, kau masih bersinar, Sayang," ujar Cory menggebu-gebu seperti ada nyala api di kedua bola matanya. "Kalau aku jadi kau, akan kulakukan apa pun agar bisa berduaan dengan Mr. Cross. Tapi ingat, berhati-hatilah padanya."
"Kau bilang menerima ajakannya, sekarang berhati-hati. Kau tidak konsisten sekali," cibir Louisa kesal. "Jikalau seperti itu, lebih baik aku menolaknya secara tegas kan?"
"Ck! Bukan seperti itu, My Lady," tandas Cory gemas. "Maksudku, jika dia menawarimu untuk tidur dengannya jangan mau. Karena banyak wanita yang akhirnya terbawa perasaan dan mengejar-ngejar Mr. Cross seperti orang gila. Kau boleh patah hati dan menyenangkan perasaanmu pada lelaki, tapi tetaplah gunakan logikamu, Lou. Lelaki bakal menjadi sebaik malaikat dan segarang singa ketika menemukan wanita tak berdaya."
"Jadi, aku harus menerimanya tapi juga berhati-hati dengannya?" ulang Louisa.
"Tepat sekali, Sayang. Jika dia menawarimu peluang untuk karier, maka ambillah! Kalau dia menawarimu adik kecil di balik celananya, jangan!" titah Cory mengerlingkan sebelah mata.
Riuh suara penggemar di Convention Center memekakkan telinga ketika Louisa dan sang aktor utama--Tony Bowman berjalan menuju atas panggung, melambaikan tangan bersama beberapa pemain From The End lain di belakangnya. Jepretan puluhan kamera langsung memotret gerak-gerik para bintang tanpa melewatkan satu ekspresi di sana dan menyalurkan kilat begitu menyilaukan mata. Mereka duduk di atas kursi setelah dipersilakan oleh pembawa acara seraya memuji keberhasilan film roman yang mengharu biru, namun membawa penonton merasa kepanasan dengan adegan intim yang disajikan.Pembawa acara menyuruh Louisa berdiri untuk memberikan ucapan terima kasih atas antusias para penggemar yang meluangkan waktunya memenuhi gedung besar ini. Dia tersenyum lebar kembali melambaikan tangan dan berkata, "Hai, semuanya. Aku sungguh minta maaf terpaksa menggunakan kacamata karena tadi pagi ada insiden kecil mengenai mataku. Tapi, jangan khawatir, aku baik-baik saja selama bisa bertemu dengan kalian. Aku sungguh be
Louisa terpaku beberapa saat menangkap lelaki berkemeja abu-abu tengah berdiri menyambutnya di salah satu meja restoran. Iris biru samudra yang terasa gelap itu berkilat, bersamaan senyum miring tersungging di bibir tipisnya.Mr. Cross.Pelayan tadi menyilakan Louisa menghampiri CEO tersebut lantas dia melengang pergi. Bola mata Louisa melirik ke sekitar sementara kakinya mengayun mendatangi Dean yang tidak memalingkan perhatian."Eng ... apakah hanya kita berdua?" tanya Louisa begitu Dean menarik kursi untuknya dan mereka duduk berhadapan."Ya," jawab Dean. "Karena aku tidak mau ada wartawan sialan yang menyerangmu dengan pertanyaan bodoh itu. Bikin pusing saja."Sialan! umpat Louisa begitu mendengar Dean telah mengetahui gosip yang menerpa dirinya dan Troy.Dia tak langsung menanggapi, malah memerhatikan penampilan Dean dari dekat. Kemeja putih yang dibungkus setelan jas abu-abu gelap begitu pas di badan kekar pria itu, menonjolkan lekuk otot biseps yang begitu terlatih. Apalagi kan
"Damn! Are you serious?" Cory nyaris menggelindingkan bola mata setelah mengetahui detail cerita Louisa. "Ah, pantas saja ada seorang petugas hotel yang menanyakan nama kita dan langsung mengantarkanku ke kamar yang dipesan olehnya, Lou. Sudah kubilang kan, tidak ada yang gratis di dunia ini kalau kau berhadapan dengan Mr. Cross. Uang dan wanita adalah hal yang bisa dia gapai dengan satu jentikan."Cory mengabaikan siaran Netflix yang sedang menunjukkan adegan di mana sepasang kekasih tengah bercumbu di pinggir pantai hingga menanggalkan satu-persatu pakaian mereka. Sementara Louisa makin terlihat lesu sekaligus bingung sampai-sampai dia merangkul bantal dan kembali menangis. Sebagai manajer sekaligus seorang teman baik, Cory menepuk bahu Louisa dengan memberi beberapa opsi seraya menerka-nerka apa maksud Dean menawari hubungan itu.Dia sendiri tidak menduga kalau Dean akan meminta Louisa menjadi teman kencan di saat ada banyak perempuan yang lebih pantas. Bukannya Cory merendahkan fi
Menjelang musim semi, cuaca tidak sedingin sebelumnya apalagi pendar matahari tak lagi malu-malu untuk menyalurkan kehangatan. Barangkali mentari memang tidak mengenal rasa lelah ketika Los Angeles tempat yang cocok untuk disinari sepanjang tahun walau musim dingin tiba. Berbekal kaus tipis dengan celana selutut, Dean berlari di pinggir pantai Del seraya mendengarkan musik melaluiearphonelantas mengedarkan pandangan ke arah butiran pasir putih nan berkilau. Peluh keringat membanjiri dahi juga turun ke riak-riak ototnya tak lantas membuat lelaki itu berhenti. Dean lebih suka menghabiskan paginya dengan berolahraga, menikmati yang disuguhkan alam sebelum tercemar oleh polusi dan disibukkan kegiatan di pusat kota San Diego.Selepas ini, dia harus kembali untuk berdiskusi bersama beberapa petinggi perusahaan terkait kerja sama Cross Agency dengan salah satu agensi
Sebenarnya menyetujui untuk berhubungan dengan Dean, si pria aneh yang suka menyuruh-nyuruh itu kadang membuat Louisa waswas. Bolak-baik dia mengecekheadline newsdi beberapa media sosial, takut kalau ada seseorang mengunggah foto di Coronado sewaktu Dean menarik lengan dan memagut bibirnya. Dia khawatir kalau orang-orang beranggapan Louisa mengencani Dean karena mencari pelampiasan setelah kisah asmaranya bersama Troy terkuak dan berakhir menyedihkan.Selain itu, semalam ibunya--Karoline--menelepon melalui sambunganvideo calldan berkata kalau Louisa tidak perlu menangisi pria brengsek macam Troy. Mengingat Louisa sempat meninggalkan panggung SDCC saat mendapat pertanyaan dari salah satu penggemar. Karoline berpendapat bahwa itu bukan karakter seorang publik figur yang mesti ditunjukkan sang anak apalagi kepada penggemar yang susah payah me
Sebagai seorang profesional, tidak mungkin Louisa membatalkan perjanjian dengan fotografer hanya karena gosip dan pertikaiannya bersama Dean di lobi. Walau hatinya terbakar sampai ke ubun-ubun sampai ingin mematahkan setiap tulang pria tukang perintah itu, Louisa terpaksa harus menarik garis bibir di depan koleganya. Mengabaikan perhatian Dean yang mengamatinya tanpa berkedip sambil melipat tangan di dada, memancarkan keangkuhan di ruangan ini.Cih! Menyebalkan!Ratusanblitzmengabadikan ekspresi wajah Louisa tengah mengenakan gaun satin putih berpotongan cukup panjang di bagian paha kiri, menampakkan kulit putih pucat sementara bagian dada sangat rendah seakan-akan area itu nyaris tumpah ruah ditambah hiasan tali spageti tuk memamerkan punggung telanjang. Rambut cokelat madu Louisa dibiarka
Hanyut dalam dentuman musik EDM dari Zedd di Avalon Hollywood membuat pengunjung di sana berjingkrak-jingkrak menikmati kebebasan tanpa memikirkan beban kerja yang seharian ini membelenggu. Lampu-lampu laser aneka warna bergerak menyorot secara acak orang-orang di lantai dansa, mengangkat kedua tangan mengikuti irama disjoki sekaligus produser musik keturunan Rusia-Jerman tersebut.Berteriak menyanyikan bait demi bait seperti sedang mengolok percintaan Louisa yang begitu menyedihkan.Dia tidak tersinggung sama sekali karena itulah kenyataannya. Butuh satu malam untuk meredakan rasa sakit namun butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan bekasnya. Sungguh menyedihkan!Give me one night to mend the painBecause the second we touch you'll forget the day
Dering ponsel begitu nyaring terdengar tak sabar hingga membuyarkan tidur panjang Louisa setelah semalaman bercinta. Dengan mata terpejam dan kerutan alis yang dalam, tangan kanannya meraba-raba mencari di mana benda sialan itu berada. Merutuk dalam hati mengapa di saat tenaganya belum benar-benar pulih harus ada panggilan mendesak yang mungkin tidaklah penting. Dia memicingkan mata begitu berhasil meraih ponsel yang berada di bawah pantat, mengamati nama Cory lalu menjawab panggilan itu dan berseru,"Apa kau tidak punya hati,huh!"Louisa menekanloudspeakermelempar begitu saja ponsel di samping hendak melanjutkan tidur. Bahkan nyawanya saja masih melayang-layang di alam mimpi sekadar mengulang betapa hebat percintaannya bersama Dean. Andai tidak ditelepon Cory, ingin sekali Louisa terlelap sampai nanti siang atau berlama-lama di atas kasur