“Diego! Bagaimana dengan lamaran—”
Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kala tersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini, Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajah Diego.
Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karena terkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara.
“Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu, langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge. Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia tak perlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik.
Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, berganti pakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakan semuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya.
Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnya menjadi pengikat hubungannya dengan Valentina, dalam keheningan kamar, air matanya akhirnya tumpah, mengalir tanpa henti. Suara isak tangis tertahan memenuhi ruangan, dia menutup matanya, berharap bisa menghapus semua kenangan indah yang kini terasa menyakitkan. Namun, semakin dia berusaha, semakin jelas wajah Valentina muncul dalam pikirannya.
**
Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi, Diego dan Jorge sudah berdiri di lobi apartemen mereka, siap berangkat dengan penampilan yang rapi dan santai. Jorge melirik Diego sejenak, mengamati wajah sahabatnya yang terlihat lebih lesu dari biasanya, lalu tersenyum kecil sambil meraih kacamata hitam dari saku kemejanya.
"Gunakan ini, matamu terlalu menarik perhatian," ujarnya, sambil memasangkan kacamata itu ke wajah Diego.
Diego tersenyum tipis, sekadar membalas kebaikan Jorge. Bukan hanya karena kurang tidur, matanya memang terlihat sedikit bengkak karena menangis semalaman.
Tak lama kemudian, mereka memesan taksi dengan tujuan Stasiun Madrid Atocha. Jorge, yang sudah bekerja selama lebih dari dua tahun di kediaman mewah Sergio Ortiz, tampak penuh semangat. Ia sengaja mengajak Diego untuk bergabung, apalagi setelah posisi kosong di kediaman itu tersedia.
Setelah perjalanan singkat selama dua puluh menit, taksi akhirnya berhenti di depan rumah milik Sergio Ortiz, salah satu pengusaha terkaya di Spanyol, dengan tampilan yang megah, kokoh, dan arsitektur khas Spanyol yang elegan.
Diego melangkah turun dari mobil, matanya langsung tertuju pada rumah megah yang berdiri di depan mereka. Mulutnya terbuka lebar, tak bisa menahan rasa terkejut yang melandanya. Rumah itu jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan, bahkan melebihi deskripsi yang pernah Jorge sampaikan.
Jorge, yang sedang menurunkan kopernya dari bagasi, melihat ekspresi Diego dan langsung tertawa. "Jo... Jorge," gumam Diego tergagap, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ini... rumah Tuan Sergio?"
"Hahaha, iya Bro, ayo kita masuk," ujar Jorge sambil mengisyaratkan Diego untuk mengikutinya menuju pos keamanan di dekat gerbang. Di sana, dua orang penjaga keamanan berjaga dengan seragam rapi. Jorge yang sudah lama bekerja, mengenalkan Diego dengan ramah kepada mereka.
Setelah itu, mereka menyusuri halaman luas yang dipenuhi hamparan rumput hijau dan deretan pohon palem. Diego mulai merasakan keringat perlahan membasahi dahinya saat mereka terus berjalan. Rumah megah di depannya tampak lebih jauh dari pada yang dia bayangkan dari gerbang depan.
"Ini besar sekali," gumam Diego, tak bisa menahan kekagumannya yang langsung di balas tawa pelan oleh Jorge. “Itu garasi mobil, yang itu bangunan utama, Tuan Sergio dan istrinya, tinggal di sana. Dan yang itu, tempat tinggal semua karyawan,” terang Jorge sambil menunjuk ke arah beberapa bangunan yang terpisah di halaman luas rumah mewah itu.
Diego menatap bangunan-bangunan yang ditunjuk oleh Jorge. Bangunan utama terlihat megah, dengan dinding putih bersih dan pilar-pilar besar yang menambah kesan elegan. Di sampingnya, ada bangunan lebih kecil yang tampak tetap mewah di mata Diego, itu adalah tempat mes karyawan yang akan menjadi rumah barunya.
Saat Diego dan Jorge melangkah melewati bangunan utama, Diego tak sengaja melirik ke lantai dua bangunan utama. Pandangannya terhenti sejenak. Di sana, di teras atas yang dihiasi pagar pembatas besi berukir, berdiri sosok wanita cantik. Wanita itu bersandar santai di pagar, memandang ke arah halaman dengan tatapan lembut.
Deg!
Wanita itu begitu mencuri perhatian Diego. Rambutnya panjang berwarna coklat gelap, bergelombang jatuh melewati bahunya. Tubuhnya terlihat indah terawat, dan kimono tidur merah yang dikenakannya menambah pesona yang memikat. Diego juga menyadari bahwa bagian kaki kanan wanita itu terekspos dari belahan kimononya, memperlihatkan kulitnya yang halus hingga ke paha.
Sosok itu terlihat begitu sempurna di matanya. Dia terus berjalan mengikuti Jorge, dan Ia tak lagi mendengar Jorge yang tengah berbicara tentang peraturan di tempat ini. Semua kata-kata Jorge hilang begitu saja, teredam oleh fokus Diego yang sepenuhnya terkunci pada wanita di lantai dua itu.
Pupil birunya mengikuti setiap gerakan wanita itu dengan saksama, hingga akhirnya pandangan mereka bertemu. Wanita itu secara tidak sengaja melirik ke arahnya, dan... tersenyum. Sebuah senyuman ramah, namun begitu memikat hati.
Jantung Diego sontak berdegup kencang. Ia segera memalingkan wajahnya dengan menunduk, ia merasa malu karena ketahuan menatap terlalu lama. Langkah kakinya ia percepat, dan… Brak! Tanpa sadar, Diego menabrak Jorge yang berjalan di depannya. Benturan itu membuat keduanya jatuh tersungkur di lantai. Diego terkejut, belum sepenuhnya sadar dari lamunan singkatnya.
“Duh, bro, kamu kenapa?” keluh Jorge sambil mengusap lengannya yang terasa sakit karena tubrukan tiba-tiba itu.
“Ma... maaf, Bro. Aku tidak sengaja... itu…” Diego tak menyelesaikan ucapannya. Pandangannya perlahan mengarah ke wanita di lantai dua. Dari tempatnya ia bisa melihat wanita itu menutup mulutnya dengan tangan, tertawa kecil melihat kekonyolan yang baru saja terjadi di depan matanya.
Jorge, yang menyadari arah pandangan Diego, ikut menoleh. Ia tersenyum tipis, lalu bergegas bangkit. Dengan sopan, Jorge membungkukkan badannya sedikit, menyapa wanita itu dari jauh. Wanita tersebut membalas sapaan Jorge dengan senyuman. Diego yang sangat penasaran, menatap Jorge setelah mereka berdua berdiri.
“Siapa wanita itu, Jorge?” Jorge melirik Diego.
“Dia adalah Nyonya Ariana. Majikan kita, istri dari Tuan Sergio.”
“Istri Tuan Sergio?” Diego tercekat kaget, matanya melebar sesaat sebelum buru-buru menundukkan kepala, mengikuti gestur Jorge.
Setelah menyapa sang majikan, mereka langsung menuju mes karyawan dan menemui rekan-rekannya. Setelah perkenalan singkat, Jorge mengantar Diego ke kamar yang akan dia tempati, yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur Jorge sendiri.
“Di dalam lemari seharusnya ada seragam kerjamu. Lebih baik kamu bergegas berganti pakaian, setelah ini kamu akan bertemu Tuan Andrew, atasan langsung kita, yang juga orang kepercayaan Tuan Sergio,” ucap Jorge dengan nada yang menenangkan. Diego mengangguk pelan, merasakan ketegangan di dadanya.
Dia lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, yang terlihat cukup mewah untuk pekerjaannya yang hanya sebagai tukang kebun di tempat ini. Lima menit kemudian, dia telah berganti pakaian, mengenakan seragam kerjanya yang baru. Begitu keluar dari kamar, langkahnya terhenti sejenak saat melihat seorang pria paruh baya berdiri di dekat pintunya.
“Aku Andrew, kepala pengurus di tempat ini. Sekarang, ayo ikut aku,” ucap pria itu.
Diego mengikuti Andrew, melangkah keluar dari mes karyawan menuju taman kecil di bagian belakang rumah mewah yang menjulang megah di depan mereka. Rasa gugup membuat dia terus menunduk, berusaha menenangkan diri, hingga langkah kakinya terhenti ketika Andrew di depannya berhenti melangkah.
“Nyonya, ini karyawan baru kita,” ucap Andrew dengan nada sopan. Diego yang mendengar kata "nyonya" langsung mengangkat wajahnya dengan cepat. Pipinya sontak merona ketika matanya bertemu dengan sosok Ariana, sang majikan cantik yang tengah duduk dengan anggun di kursi taman.
Akhirnya, Diego bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang telah membuat jantungnya berdebar. Sang majikan memiliki wajah yang begitu menawan, dengan mata berpupil biru yang cerah seolah menyimpan lautan dalam. Lesung pipi yang manis menghiasi senyumannya, sementara bentuk bibirnya yang tipis dan sensual dilapisi lipstik merah yang mencolok, membuatnya tampak begitu memikat. Setiap detail wajahnya membuat Diego terhipnotis.
Ariana, perlahan berdiri dari duduknya, melangkah mendekati Diego. Tawanya hampir saja lepas ketika mengingat momen lucu tadi, saat Diego menabrak Jorge.
“Jadi... siapa namamu?” tanya Ariana.
“Cantik,” Diego bergumam tanpa sadar, membuat Ariana sedikit terkejut.
“Cantik?” ulang Ariana dengan kedua alis terangkat.
“Iya, cantik... Anda sangat cantik,” balas Diego yang masih terhipnotis wajah cantik sang majikan.
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat."Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat."Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya."Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya de
Diego Martin duduk dengan tenang di sebuah kafe kecil diMadrid, di tangannya, diamemegang sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna emas.Senyumnya mengembang saat dia menatap kotak itu, kotak berisikan cincin yang dia beli dengan hasil jerihpayahnya selama bekerja. Cincin yangakan menjadi simbol dari cinta dan komitmennya kepada Valentina—kekasihnya. Pria berparastampan itu berniat melamar Valentina.Wanita cantik yang telahmenjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir, tanpa memedulikanstatusnya sebagai tukang bersih-bersih. Menurut Diego, Valentina adalah wanita langka—wanita cantik yang memiliki senyuman yang begituindah dan hati yang luas.Suasana di kafe itu ramai, suara tawa dan percakapan mengisiudara. Namun, pikiran Diego sepenuhnya terfokus pada momen yang akan datang.Pintu kafe terbuka, dan hatinya berdegup kencang saat melihat sosok yangdinantikannya. Valentina muncul di ambang pintu, dengan senyum ceria diwajahnya, memancarkan cahaya
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya de
“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat."Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat."Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya."Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
“Diego! Bagaimana dengan lamaran—” Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kalatersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini,Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajahDiego. Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karenaterkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara. “Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu,langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge.Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia takperlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik. Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, bergantipakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjaditerasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakansemuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya. Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnyamenjadi peng
Diego Martin duduk dengan tenang di sebuah kafe kecil diMadrid, di tangannya, diamemegang sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna emas.Senyumnya mengembang saat dia menatap kotak itu, kotak berisikan cincin yang dia beli dengan hasil jerihpayahnya selama bekerja. Cincin yangakan menjadi simbol dari cinta dan komitmennya kepada Valentina—kekasihnya. Pria berparastampan itu berniat melamar Valentina.Wanita cantik yang telahmenjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir, tanpa memedulikanstatusnya sebagai tukang bersih-bersih. Menurut Diego, Valentina adalah wanita langka—wanita cantik yang memiliki senyuman yang begituindah dan hati yang luas.Suasana di kafe itu ramai, suara tawa dan percakapan mengisiudara. Namun, pikiran Diego sepenuhnya terfokus pada momen yang akan datang.Pintu kafe terbuka, dan hatinya berdegup kencang saat melihat sosok yangdinantikannya. Valentina muncul di ambang pintu, dengan senyum ceria diwajahnya, memancarkan cahaya