“Diego! Bagaimana dengan lamaran—”
Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kala tersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini, Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajah Diego.
Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karena terkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara.
“Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu, langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge. Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia tak perlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik.
Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, berganti pakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakan semuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya.
Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnya menjadi pengikat hubungannya dengan Valentina, dalam keheningan kamar, air matanya akhirnya tumpah, mengalir tanpa henti. Suara isak tangis tertahan memenuhi ruangan, dia menutup matanya, berharap bisa menghapus semua kenangan indah yang kini terasa menyakitkan. Namun, semakin dia berusaha, semakin jelas wajah Valentina muncul dalam pikirannya.
**
Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi, Diego dan Jorge sudah berdiri di lobi apartemen mereka, siap berangkat dengan penampilan yang rapi dan santai. Jorge melirik Diego sejenak, mengamati wajah sahabatnya yang terlihat lebih lesu dari biasanya, lalu tersenyum kecil sambil meraih kacamata hitam dari saku kemejanya.
"Gunakan ini, matamu terlalu menarik perhatian," ujarnya, sambil memasangkan kacamata itu ke wajah Diego.
Diego tersenyum tipis, sekadar membalas kebaikan Jorge. Bukan hanya karena kurang tidur, matanya memang terlihat sedikit bengkak karena menangis semalaman.
Tak lama kemudian, mereka memesan taksi dengan tujuan Stasiun Madrid Atocha. Jorge, yang sudah bekerja selama lebih dari dua tahun di kediaman mewah Sergio Ortiz, tampak penuh semangat. Ia sengaja mengajak Diego untuk bergabung, apalagi setelah posisi kosong di kediaman itu tersedia.
Setelah perjalanan singkat selama dua puluh menit, taksi akhirnya berhenti di depan rumah milik Sergio Ortiz, salah satu pengusaha terkaya di Spanyol, dengan tampilan yang megah, kokoh, dan arsitektur khas Spanyol yang elegan.
Diego melangkah turun dari mobil, matanya langsung tertuju pada rumah megah yang berdiri di depan mereka. Mulutnya terbuka lebar, tak bisa menahan rasa terkejut yang melandanya. Rumah itu jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan, bahkan melebihi deskripsi yang pernah Jorge sampaikan.
Jorge, yang sedang menurunkan kopernya dari bagasi, melihat ekspresi Diego dan langsung tertawa. "Jo... Jorge," gumam Diego tergagap, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ini... rumah Tuan Sergio?"
"Hahaha, iya Bro, ayo kita masuk," ujar Jorge sambil mengisyaratkan Diego untuk mengikutinya menuju pos keamanan di dekat gerbang. Di sana, dua orang penjaga keamanan berjaga dengan seragam rapi. Jorge yang sudah lama bekerja, mengenalkan Diego dengan ramah kepada mereka.
Setelah itu, mereka menyusuri halaman luas yang dipenuhi hamparan rumput hijau dan deretan pohon palem. Diego mulai merasakan keringat perlahan membasahi dahinya saat mereka terus berjalan. Rumah megah di depannya tampak lebih jauh dari pada yang dia bayangkan dari gerbang depan.
"Ini besar sekali," gumam Diego, tak bisa menahan kekagumannya yang langsung di balas tawa pelan oleh Jorge. “Itu garasi mobil, yang itu bangunan utama, Tuan Sergio dan istrinya, tinggal di sana. Dan yang itu, tempat tinggal semua karyawan,” terang Jorge sambil menunjuk ke arah beberapa bangunan yang terpisah di halaman luas rumah mewah itu.
Diego menatap bangunan-bangunan yang ditunjuk oleh Jorge. Bangunan utama terlihat megah, dengan dinding putih bersih dan pilar-pilar besar yang menambah kesan elegan. Di sampingnya, ada bangunan lebih kecil yang tampak tetap mewah di mata Diego, itu adalah tempat mes karyawan yang akan menjadi rumah barunya.
Saat Diego dan Jorge melangkah melewati bangunan utama, Diego tak sengaja melirik ke lantai dua bangunan utama. Pandangannya terhenti sejenak. Di sana, di teras atas yang dihiasi pagar pembatas besi berukir, berdiri sosok wanita cantik. Wanita itu bersandar santai di pagar, memandang ke arah halaman dengan tatapan lembut.
Deg!
Wanita itu begitu mencuri perhatian Diego. Rambutnya panjang berwarna coklat gelap, bergelombang jatuh melewati bahunya. Tubuhnya terlihat indah terawat, dan kimono tidur merah yang dikenakannya menambah pesona yang memikat. Diego juga menyadari bahwa bagian kaki kanan wanita itu terekspos dari belahan kimononya, memperlihatkan kulitnya yang halus hingga ke paha.
Sosok itu terlihat begitu sempurna di matanya. Dia terus berjalan mengikuti Jorge, dan Ia tak lagi mendengar Jorge yang tengah berbicara tentang peraturan di tempat ini. Semua kata-kata Jorge hilang begitu saja, teredam oleh fokus Diego yang sepenuhnya terkunci pada wanita di lantai dua itu.
Pupil birunya mengikuti setiap gerakan wanita itu dengan saksama, hingga akhirnya pandangan mereka bertemu. Wanita itu secara tidak sengaja melirik ke arahnya, dan... tersenyum. Sebuah senyuman ramah, namun begitu memikat hati.
Jantung Diego sontak berdegup kencang. Ia segera memalingkan wajahnya dengan menunduk, ia merasa malu karena ketahuan menatap terlalu lama. Langkah kakinya ia percepat, dan… Brak! Tanpa sadar, Diego menabrak Jorge yang berjalan di depannya. Benturan itu membuat keduanya jatuh tersungkur di lantai. Diego terkejut, belum sepenuhnya sadar dari lamunan singkatnya.
“Duh, bro, kamu kenapa?” keluh Jorge sambil mengusap lengannya yang terasa sakit karena tubrukan tiba-tiba itu.
“Ma... maaf, Bro. Aku tidak sengaja... itu…” Diego tak menyelesaikan ucapannya. Pandangannya perlahan mengarah ke wanita di lantai dua. Dari tempatnya ia bisa melihat wanita itu menutup mulutnya dengan tangan, tertawa kecil melihat kekonyolan yang baru saja terjadi di depan matanya.
Jorge, yang menyadari arah pandangan Diego, ikut menoleh. Ia tersenyum tipis, lalu bergegas bangkit. Dengan sopan, Jorge membungkukkan badannya sedikit, menyapa wanita itu dari jauh. Wanita tersebut membalas sapaan Jorge dengan senyuman. Diego yang sangat penasaran, menatap Jorge setelah mereka berdua berdiri.
“Siapa wanita itu, Jorge?” Jorge melirik Diego.
“Dia adalah Nyonya Ariana. Majikan kita, istri dari Tuan Sergio.”
“Istri Tuan Sergio?” Diego tercekat kaget, matanya melebar sesaat sebelum buru-buru menundukkan kepala, mengikuti gestur Jorge.
Setelah menyapa sang majikan, mereka langsung menuju mes karyawan dan menemui rekan-rekannya. Setelah perkenalan singkat, Jorge mengantar Diego ke kamar yang akan dia tempati, yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur Jorge sendiri.
“Di dalam lemari seharusnya ada seragam kerjamu. Lebih baik kamu bergegas berganti pakaian, setelah ini kamu akan bertemu Tuan Andrew, atasan langsung kita, yang juga orang kepercayaan Tuan Sergio,” ucap Jorge dengan nada yang menenangkan. Diego mengangguk pelan, merasakan ketegangan di dadanya.
Dia lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, yang terlihat cukup mewah untuk pekerjaannya yang hanya sebagai tukang kebun di tempat ini. Lima menit kemudian, dia telah berganti pakaian, mengenakan seragam kerjanya yang baru. Begitu keluar dari kamar, langkahnya terhenti sejenak saat melihat seorang pria paruh baya berdiri di dekat pintunya.
“Aku Andrew, kepala pengurus di tempat ini. Sekarang, ayo ikut aku,” ucap pria itu.
Diego mengikuti Andrew, melangkah keluar dari mes karyawan menuju taman kecil di bagian belakang rumah mewah yang menjulang megah di depan mereka. Rasa gugup membuat dia terus menunduk, berusaha menenangkan diri, hingga langkah kakinya terhenti ketika Andrew di depannya berhenti melangkah.
“Nyonya, ini karyawan baru kita,” ucap Andrew dengan nada sopan. Diego yang mendengar kata "nyonya" langsung mengangkat wajahnya dengan cepat. Pipinya sontak merona ketika matanya bertemu dengan sosok Ariana, sang majikan cantik yang tengah duduk dengan anggun di kursi taman.
Akhirnya, Diego bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang telah membuat jantungnya berdebar. Sang majikan memiliki wajah yang begitu menawan, dengan mata berpupil biru yang cerah seolah menyimpan lautan dalam. Lesung pipi yang manis menghiasi senyumannya, sementara bentuk bibirnya yang tipis dan sensual dilapisi lipstik merah yang mencolok, membuatnya tampak begitu memikat. Setiap detail wajahnya membuat Diego terhipnotis.
Ariana, perlahan berdiri dari duduknya, melangkah mendekati Diego. Tawanya hampir saja lepas ketika mengingat momen lucu tadi, saat Diego menabrak Jorge.
“Jadi... siapa namamu?” tanya Ariana.
“Cantik,” Diego bergumam tanpa sadar, membuat Ariana sedikit terkejut.
“Cantik?” ulang Ariana dengan kedua alis terangkat.
“Iya, cantik... Anda sangat cantik,” balas Diego yang masih terhipnotis wajah cantik sang majikan.
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat."Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat."Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya."Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya den
Diego duduk tegak di kursi tamu di ruang kerja Andrew, matanya terpaku pada peta struktur organisasi Grup Ortiz yang terpasang di dinding. Andrew, yang berdiri di sampingnya, menjelaskan dengan detail setiap bagian dari bisnis keluarga Ortiz, dari industri manufaktur hingga jaringan hotel mewah di seluruh dunia.Diego mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami kompleksitas kekaisaran bisnis yang ditinggalkan oleh Sergio Ortiz."...dan di sisi keluarga, ada Miguel Ortiz, adik Sergio, yang dikenal cukup ambisius dalam mengembangkan sayap bisnisnya sendiri," Andrew menjelaskan, menunjuk foto Miguel di peta organisasi. "Lalu, ada Juan Ortiz, putra Sergio yang belum banyak terlibat dalam urusan bisnis keluarga... setidaknya, belum."Diego merasa matanya melebar ketika mendengar tentang Juan. Ia tidak menyangka bahwa Sergio memiliki seorang putra. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya adalah, untuk apa Andrew menjelaskan semua ini kepadanya? Diego hanyala
Dalam kesunyian kamar, Diego dengan hati-hati meletakkan mangkuk yang telah kosong di atas meja, menandai akhir dari sesi makan Ariana. Ia lalu mengambil gelas berisi air putih dan mendekati majikannya dengan langkah pelan, membantu Ariana minum dengan penuh perhatian.Setelah selesai, gelas itu diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kembali duduk di kursi, menemani sang majikan yang masih terisak dalam kesedihan."Nyonya, aku baru mengenal Tuan Sergio, masih banyak hal yang ingin aku tahu tentang beliau," ucap Diego, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu, membuka pintu bagi Ariana untuk berbagi kenangan."Apa Nyonya bisa bercerita tentang itu?"Ariana, setelah menyeka air matanya dengan tisu yang disodorkan Diego, memulai ceritanya tentang sosok Sergio, mendiang suaminya yang begitu ramah dan baik kepadanya.Suaranya terkadang terputus oleh isak tangis, namun semangat untuk menceritakan kenangan indah bersama Sergio membuat wanita itu terus berbicara, membuka jendela
Setelah melewati tes kecerdasan yang di ruang kerja Andrew, Diego menuju kamar Ariana. Ketika tiba di depan kamar, ia menemukan Adel duduk di sofa yang berada tepat di samping pintu, sibuk memainkan ponselnya dalam cahaya lembut yang memancar dari layar."Adel, Nyonya Ariana sudah bangun?" Diego bertanya dengan suara pelan, tidak ingin mengagetkan rekan kerjanya. Adel menoleh, memandang Diego sejenak sebelum menjawab, "Aku baru saja mengecek, Diego. Belum, Nyonya masih tidur," jawab Adel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.Diego mengangguk, "Terima kasih, Adel. Aku akan masuk sebentar untuk mengecek kondisi Nyonya."Dengan itu, ia perlahan membuka pintu kamar, membiarkan sedikit cahaya dari luar masuk sebelum menutup pintu di belakangnya.Kamar sang majikan terlihat gelap, hanya sedikit matahari senja dari celah jendela yang berhasil masuk. Diego menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, menyetel cahayanya agar tidak terlalu terang, hanya cukup untuk m
Ariana mengamati sampul buku di tangan Diego dengan rasa penasaran. "The Art of Leadership?" bisiknya lembut, "Suamiku juga menyukai buku seperti ini. Kamu suka membaca buku bertema kepemimpinan?"Diego mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Ah... tidak, Nyonya. Saya baru pertama kali membaca buku ini," jawabnya, jemarinya mengusap sampul buku itu."Kata Tuan Andrew, buku ini akan bermanfaat untuk membantu Nyonya," lanjut Diego.Alis Ariana terangkat, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan keheranan. "Membantuku? Maksudmu bagaimana?""Mulai hari ini, saya ditugaskan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Tuan Andrew sedang mengajariku segala hal yang perlu saya ketahui untuk meningkatkan kemampuan saya melayani Nyonya," balas Diego, menjelaskan posisi barunya ke Ariana.Ariana terdiam, ekspresinya berubah dari keterkejutan menjadi sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia sama sekali tidak menduga akan ada perubahan ini. Namun, dalam hatinya tersimpan rasa syukur
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani