“Diego! Bagaimana dengan lamaran—”
Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kala tersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini, Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajah Diego.
Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karena terkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara.
“Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu, langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge. Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia tak perlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik.
Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, berganti pakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakan semuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya.
Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnya menjadi pengikat hubungannya dengan Valentina, dalam keheningan kamar, air matanya akhirnya tumpah, mengalir tanpa henti. Suara isak tangis tertahan memenuhi ruangan, dia menutup matanya, berharap bisa menghapus semua kenangan indah yang kini terasa menyakitkan. Namun, semakin dia berusaha, semakin jelas wajah Valentina muncul dalam pikirannya.
**
Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi, Diego dan Jorge sudah berdiri di lobi apartemen mereka, siap berangkat dengan penampilan yang rapi dan santai. Jorge melirik Diego sejenak, mengamati wajah sahabatnya yang terlihat lebih lesu dari biasanya, lalu tersenyum kecil sambil meraih kacamata hitam dari saku kemejanya.
"Gunakan ini, matamu terlalu menarik perhatian," ujarnya, sambil memasangkan kacamata itu ke wajah Diego.
Diego tersenyum tipis, sekadar membalas kebaikan Jorge. Bukan hanya karena kurang tidur, matanya memang terlihat sedikit bengkak karena menangis semalaman.
Tak lama kemudian, mereka memesan taksi dengan tujuan Stasiun Madrid Atocha. Jorge, yang sudah bekerja selama lebih dari dua tahun di kediaman mewah Sergio Ortiz, tampak penuh semangat. Ia sengaja mengajak Diego untuk bergabung, apalagi setelah posisi kosong di kediaman itu tersedia.
Setelah perjalanan singkat selama dua puluh menit, taksi akhirnya berhenti di depan rumah milik Sergio Ortiz, salah satu pengusaha terkaya di Spanyol, dengan tampilan yang megah, kokoh, dan arsitektur khas Spanyol yang elegan.
Diego melangkah turun dari mobil, matanya langsung tertuju pada rumah megah yang berdiri di depan mereka. Mulutnya terbuka lebar, tak bisa menahan rasa terkejut yang melandanya. Rumah itu jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan, bahkan melebihi deskripsi yang pernah Jorge sampaikan.
Jorge, yang sedang menurunkan kopernya dari bagasi, melihat ekspresi Diego dan langsung tertawa. "Jo... Jorge," gumam Diego tergagap, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ini... rumah Tuan Sergio?"
"Hahaha, iya Bro, ayo kita masuk," ujar Jorge sambil mengisyaratkan Diego untuk mengikutinya menuju pos keamanan di dekat gerbang. Di sana, dua orang penjaga keamanan berjaga dengan seragam rapi. Jorge yang sudah lama bekerja, mengenalkan Diego dengan ramah kepada mereka.
Setelah itu, mereka menyusuri halaman luas yang dipenuhi hamparan rumput hijau dan deretan pohon palem. Diego mulai merasakan keringat perlahan membasahi dahinya saat mereka terus berjalan. Rumah megah di depannya tampak lebih jauh dari pada yang dia bayangkan dari gerbang depan.
"Ini besar sekali," gumam Diego, tak bisa menahan kekagumannya yang langsung di balas tawa pelan oleh Jorge. “Itu garasi mobil, yang itu bangunan utama, Tuan Sergio dan istrinya, tinggal di sana. Dan yang itu, tempat tinggal semua karyawan,” terang Jorge sambil menunjuk ke arah beberapa bangunan yang terpisah di halaman luas rumah mewah itu.
Diego menatap bangunan-bangunan yang ditunjuk oleh Jorge. Bangunan utama terlihat megah, dengan dinding putih bersih dan pilar-pilar besar yang menambah kesan elegan. Di sampingnya, ada bangunan lebih kecil yang tampak tetap mewah di mata Diego, itu adalah tempat mes karyawan yang akan menjadi rumah barunya.
Saat Diego dan Jorge melangkah melewati bangunan utama, Diego tak sengaja melirik ke lantai dua bangunan utama. Pandangannya terhenti sejenak. Di sana, di teras atas yang dihiasi pagar pembatas besi berukir, berdiri sosok wanita cantik. Wanita itu bersandar santai di pagar, memandang ke arah halaman dengan tatapan lembut.
Deg!
Wanita itu begitu mencuri perhatian Diego. Rambutnya panjang berwarna coklat gelap, bergelombang jatuh melewati bahunya. Tubuhnya terlihat indah terawat, dan kimono tidur merah yang dikenakannya menambah pesona yang memikat. Diego juga menyadari bahwa bagian kaki kanan wanita itu terekspos dari belahan kimononya, memperlihatkan kulitnya yang halus hingga ke paha.
Sosok itu terlihat begitu sempurna di matanya. Dia terus berjalan mengikuti Jorge, dan Ia tak lagi mendengar Jorge yang tengah berbicara tentang peraturan di tempat ini. Semua kata-kata Jorge hilang begitu saja, teredam oleh fokus Diego yang sepenuhnya terkunci pada wanita di lantai dua itu.
Pupil birunya mengikuti setiap gerakan wanita itu dengan saksama, hingga akhirnya pandangan mereka bertemu. Wanita itu secara tidak sengaja melirik ke arahnya, dan... tersenyum. Sebuah senyuman ramah, namun begitu memikat hati.
Jantung Diego sontak berdegup kencang. Ia segera memalingkan wajahnya dengan menunduk, ia merasa malu karena ketahuan menatap terlalu lama. Langkah kakinya ia percepat, dan… Brak! Tanpa sadar, Diego menabrak Jorge yang berjalan di depannya. Benturan itu membuat keduanya jatuh tersungkur di lantai. Diego terkejut, belum sepenuhnya sadar dari lamunan singkatnya.
“Duh, bro, kamu kenapa?” keluh Jorge sambil mengusap lengannya yang terasa sakit karena tubrukan tiba-tiba itu.
“Ma... maaf, Bro. Aku tidak sengaja... itu…” Diego tak menyelesaikan ucapannya. Pandangannya perlahan mengarah ke wanita di lantai dua. Dari tempatnya ia bisa melihat wanita itu menutup mulutnya dengan tangan, tertawa kecil melihat kekonyolan yang baru saja terjadi di depan matanya.
Jorge, yang menyadari arah pandangan Diego, ikut menoleh. Ia tersenyum tipis, lalu bergegas bangkit. Dengan sopan, Jorge membungkukkan badannya sedikit, menyapa wanita itu dari jauh. Wanita tersebut membalas sapaan Jorge dengan senyuman. Diego yang sangat penasaran, menatap Jorge setelah mereka berdua berdiri.
“Siapa wanita itu, Jorge?” Jorge melirik Diego.
“Dia adalah Nyonya Ariana. Majikan kita, istri dari Tuan Sergio.”
“Istri Tuan Sergio?” Diego tercekat kaget, matanya melebar sesaat sebelum buru-buru menundukkan kepala, mengikuti gestur Jorge.
Setelah menyapa sang majikan, mereka langsung menuju mes karyawan dan menemui rekan-rekannya. Setelah perkenalan singkat, Jorge mengantar Diego ke kamar yang akan dia tempati, yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur Jorge sendiri.
“Di dalam lemari seharusnya ada seragam kerjamu. Lebih baik kamu bergegas berganti pakaian, setelah ini kamu akan bertemu Tuan Andrew, atasan langsung kita, yang juga orang kepercayaan Tuan Sergio,” ucap Jorge dengan nada yang menenangkan. Diego mengangguk pelan, merasakan ketegangan di dadanya.
Dia lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, yang terlihat cukup mewah untuk pekerjaannya yang hanya sebagai tukang kebun di tempat ini. Lima menit kemudian, dia telah berganti pakaian, mengenakan seragam kerjanya yang baru. Begitu keluar dari kamar, langkahnya terhenti sejenak saat melihat seorang pria paruh baya berdiri di dekat pintunya.
“Aku Andrew, kepala pengurus di tempat ini. Sekarang, ayo ikut aku,” ucap pria itu.
Diego mengikuti Andrew, melangkah keluar dari mes karyawan menuju taman kecil di bagian belakang rumah mewah yang menjulang megah di depan mereka. Rasa gugup membuat dia terus menunduk, berusaha menenangkan diri, hingga langkah kakinya terhenti ketika Andrew di depannya berhenti melangkah.
“Nyonya, ini karyawan baru kita,” ucap Andrew dengan nada sopan. Diego yang mendengar kata "nyonya" langsung mengangkat wajahnya dengan cepat. Pipinya sontak merona ketika matanya bertemu dengan sosok Ariana, sang majikan cantik yang tengah duduk dengan anggun di kursi taman.
Akhirnya, Diego bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang telah membuat jantungnya berdebar. Sang majikan memiliki wajah yang begitu menawan, dengan mata berpupil biru yang cerah seolah menyimpan lautan dalam. Lesung pipi yang manis menghiasi senyumannya, sementara bentuk bibirnya yang tipis dan sensual dilapisi lipstik merah yang mencolok, membuatnya tampak begitu memikat. Setiap detail wajahnya membuat Diego terhipnotis.
Ariana, perlahan berdiri dari duduknya, melangkah mendekati Diego. Tawanya hampir saja lepas ketika mengingat momen lucu tadi, saat Diego menabrak Jorge.
“Jadi... siapa namamu?” tanya Ariana.
“Cantik,” Diego bergumam tanpa sadar, membuat Ariana sedikit terkejut.
“Cantik?” ulang Ariana dengan kedua alis terangkat.
“Iya, cantik... Anda sangat cantik,” balas Diego yang masih terhipnotis wajah cantik sang majikan.
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat."Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat."Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya."Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya den
Diego duduk tegak di kursi tamu di ruang kerja Andrew, matanya terpaku pada peta struktur organisasi Grup Ortiz yang terpasang di dinding. Andrew, yang berdiri di sampingnya, menjelaskan dengan detail setiap bagian dari bisnis keluarga Ortiz, dari industri manufaktur hingga jaringan hotel mewah di seluruh dunia.Diego mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami kompleksitas kekaisaran bisnis yang ditinggalkan oleh Sergio Ortiz."...dan di sisi keluarga, ada Miguel Ortiz, adik Sergio, yang dikenal cukup ambisius dalam mengembangkan sayap bisnisnya sendiri," Andrew menjelaskan, menunjuk foto Miguel di peta organisasi. "Lalu, ada Juan Ortiz, putra Sergio yang belum banyak terlibat dalam urusan bisnis keluarga... setidaknya, belum."Diego merasa matanya melebar ketika mendengar tentang Juan. Ia tidak menyangka bahwa Sergio memiliki seorang putra. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya adalah, untuk apa Andrew menjelaskan semua ini kepadanya? Diego hanyala
Dalam kesunyian kamar, Diego dengan hati-hati meletakkan mangkuk yang telah kosong di atas meja, menandai akhir dari sesi makan Ariana. Ia lalu mengambil gelas berisi air putih dan mendekati majikannya dengan langkah pelan, membantu Ariana minum dengan penuh perhatian.Setelah selesai, gelas itu diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kembali duduk di kursi, menemani sang majikan yang masih terisak dalam kesedihan."Nyonya, aku baru mengenal Tuan Sergio, masih banyak hal yang ingin aku tahu tentang beliau," ucap Diego, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu, membuka pintu bagi Ariana untuk berbagi kenangan."Apa Nyonya bisa bercerita tentang itu?"Ariana, setelah menyeka air matanya dengan tisu yang disodorkan Diego, memulai ceritanya tentang sosok Sergio, mendiang suaminya yang begitu ramah dan baik kepadanya.Suaranya terkadang terputus oleh isak tangis, namun semangat untuk menceritakan kenangan indah bersama Sergio membuat wanita itu terus berbicara, membuka jendela
Setelah melewati tes kecerdasan yang di ruang kerja Andrew, Diego menuju kamar Ariana. Ketika tiba di depan kamar, ia menemukan Adel duduk di sofa yang berada tepat di samping pintu, sibuk memainkan ponselnya dalam cahaya lembut yang memancar dari layar."Adel, Nyonya Ariana sudah bangun?" Diego bertanya dengan suara pelan, tidak ingin mengagetkan rekan kerjanya. Adel menoleh, memandang Diego sejenak sebelum menjawab, "Aku baru saja mengecek, Diego. Belum, Nyonya masih tidur," jawab Adel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.Diego mengangguk, "Terima kasih, Adel. Aku akan masuk sebentar untuk mengecek kondisi Nyonya."Dengan itu, ia perlahan membuka pintu kamar, membiarkan sedikit cahaya dari luar masuk sebelum menutup pintu di belakangnya.Kamar sang majikan terlihat gelap, hanya sedikit matahari senja dari celah jendela yang berhasil masuk. Diego menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, menyetel cahayanya agar tidak terlalu terang, hanya cukup untuk m
Ariana mengamati sampul buku di tangan Diego dengan rasa penasaran. "The Art of Leadership?" bisiknya lembut, "Suamiku juga menyukai buku seperti ini. Kamu suka membaca buku bertema kepemimpinan?"Diego mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Ah... tidak, Nyonya. Saya baru pertama kali membaca buku ini," jawabnya, jemarinya mengusap sampul buku itu."Kata Tuan Andrew, buku ini akan bermanfaat untuk membantu Nyonya," lanjut Diego.Alis Ariana terangkat, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan keheranan. "Membantuku? Maksudmu bagaimana?""Mulai hari ini, saya ditugaskan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Tuan Andrew sedang mengajariku segala hal yang perlu saya ketahui untuk meningkatkan kemampuan saya melayani Nyonya," balas Diego, menjelaskan posisi barunya ke Ariana.Ariana terdiam, ekspresinya berubah dari keterkejutan menjadi sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia sama sekali tidak menduga akan ada perubahan ini. Namun, dalam hatinya tersimpan rasa syukur
“Nyo... Nyonya...” ucap Diego, yang begitu terkejut dengan tindakan majikannya. Ariana, dengan tatapan penuh hasrat, kembali menarik wajah Diego mendekat. Namun kali ini, Diego berpaling, berusaha keras menahan diri agar tidak melewati batas.“Nyonya... Anda sedang mabuk,” ucapnya, ia menganggap tindakan sang majikan sebagai pengaruh dari minuman yang ia konsumsi.“Tidak, aku tidak akan mabuk hanya karena itu. Aku sadar dengan permintaanku,” balas Ariana.Matanya menatap dalam mata Diego yang terus menghindar. Ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka, dan itu membuat Diego semakin gugup.“Anda sedang mabuk. Lebih... lebih baik Anda beristirahat,” Diego berusaha meyakinkan dengan suara yang bergetar. Ia dapat merasakan tarikan tangan Ariana semakin kuat, menarik wajahnya semakin mendekat. Walau begitu ia tetap bertahan, hingga tarik-menarik antara keduanya tak terelakkan.“Diego...” desah Ariana.Perlahan, tarikan lengan Ariana melemah. Diego memberanikan diri menoleh.“Apa
Malam memeluk kediaman mewah Ariana dalam keheningan yang memesona. Cahaya remang lilin bergoyang lembut di sekitar kolam renang, menciptakan panorama romantis yang membelai setiap sudut taman. Rerumputan hijau dan bunga-bunga malam seakan berbisik dalam keheningan, menunggu momen istimewa yang sebentar lagi akan terjadi.Diego berdiri di pinggir kolam, jantungnya berdebar tak karuan. Di tangannya, dua botol wine koleksi pribadi Andrew—Château Margaux 2015 keluaran terbatas yang harganya mencapai ratusan juta rupiah. Kemeja navy gelapnya tersusun rapi, rambut hitam klimis tersisir ke belakang dengan teliti. Jemarinya gemetar ringan saat meletakkan botol wine di atas meja kaca.Bayangan siang tadi terlintas di benaknya. Saat Ariana melompat dan menindihnya di atas sofa, wajah mereka begitu dekat hingga Diego nyaris kehilangan kendali. Dan di sore hari dia dan Ariana menghabiskan waktu berdua mendekorasi area ini, tertawa dan bercanda dengan keintiman yang tak biasa. Setiap gerak-gerik s
“Iya Nyonya, Tuan Sergio yang merencanakan semuanya,” jawab Andrew, meletakkan tangannya di punggung Ariana dan memandunya menuju sofa.Ariana duduk di sofa, masih tertegun dan tidak bisa mempercayai apa yang baru saja Andrew sampaikan."Andrew, ceritakan semuanya kepadaku," pintanya, siap mendengar apa yang mendiang suaminya sembunyikan.Andrew mengangguk pelan. “Seperti yang Nyonya sudah ketahui, penyakit Tuan Sergio sudah menggerogoti tubuhnya. Jujur, suatu keajaiban karena ia masih bisa bertahan selama itu.”“Tuan bahkan sering bercanda, berkata akan hidup selama seratus tahun. Dia selalu berusaha terlihat tegar dan kuat, padahal aku tahu tubuhnya menjerit kesakitan. Alasan dari sikapnya yang seperti itu adalah karena dia mengkhawatirkan Anda,” lanjut Andrew.Wajah Ariana semakin sedih, mengusap air matanya yang kembali mengalir di pipi.“Dan semua berubah ketika Diego hadir. Ia begitu nyaman, begitu rileks bersama Diego. Saat berinteraksi dengan Diego, tawa Tuan Sergio benar-bena
Di ruang tamu kediaman mewah Ariana, Diego tampak gelisah. Langkahnya mondar-mandir tak beraturan. Sesekali, ia melirik ke arah pintu ruang kerja Andrew, berharap segera mendengar kabar tentang Ariana.Wajahnya terlihat cemas, "Tuan Andrew pasti sangat marah. Aku mengkhianati kepercayaannya dan juga mengkhianati amanah Tuan Sergio."Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Jemarinya gemetar ringan, setiap langkah yang ia ambil terlihat gelisah, ia sangat mengkhawatirkan kondisi Ariana yang saat ini sedang di interogasi oleh Andrew terkait insiden pegangan tangan tadi.Tak berselang lama, pintu ruang kerja terbuka. Andrew muncul dengan wajah dingin dengan tatapan mata tajam yang mampu membuat siapa pun gemetar."Diego, sekarang giliranmu," ucapnya dengan nada datar namun menusuk."Iya, Tuan," jawab Diego patuh. Ia bergegas melangkah mengikuti Andrew.Memasuki ruangan kerja yang megah, Diego mengedarkan pandangannya. Ruangan itu kosong, tidak ada sosok Ariana di sana."Apa Nyonya baik-b
Ariana dan Diego meninggalkan salon, Diego mendorong troli berisi barang belanjaan mereka. Keduanya berjalan beriringan, langkah mereka sejajar namun penuh ketegangan tersembunyi.Ariana tak bisa mengalihkan pandangannya dari Diego. Sesekali ia melirik, mengamati transformasi pria di sampingnya. Setiap kali tatapan mereka nyaris bertemu, Diego langsung salah tingkah."Nyonya, apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Diego cepat, menoleh dengan gerakan mendadak.Ariana tersentak, "Tidak... tidak ada masalah," jawabnya tergagap, mengalihkan pandangannya, sedikit malu karena aksinya ketahuan.Diego mengangguk paham, matanya kembali fokus ke depan. Namun Ariana tak berhenti, dia kembali melirik sembari menahan senyumnya."Apa Diego selalu setampan ini?" batinnya, membandingkan penampilannya sekarang dengan sebelumnya.Sesampainya di parkiran, mata Ariana menangkap sosok Valentina dan Javier yang juga menuju area parkir. Dalam sekejap, ia refleks melingkarkan lengannya di lengan Diego."Nyonya?"
Setelah momen menegangkan tadi, Diego dan Ariana singgah di salah satu kafe mewah yang masih terletak di pusat perbelanjaan itu. Interior kafe bernuansa modern minimalis dengan sentuhan kayu gelap.Pelayan berbaju hitam dengan celemek putih datang membawa pesanan mereka. Dua cangkir espresso doppio disajikan di atas piring keramik putih dengan aksen emas. Di samping kopi, tersedia sepiring kecil macaron berbagai warna dan sepotong dark chocolate praline yang tersusun rapi.Ariana tersenyum ramah, "Terima kasih," ucapnya pada pelayan.Aroma kopi espresso yang kuat menguar, mengusir sedikit ketegangan tersisa dari insiden sebelumnya. Mata Ariana lalu menatap Diego, yang duduk di depannya dengan wajah murung. Ekspresi Diego terlihat lelah, seakan membawa beban berat di pundaknya."Siapa wanita tadi?" Ariana membuka percakapan. "Mantan kekasihmu?"Diego mengangkat kepalanya, tatapannya kosong. "Entahlah, bisa jadi ya, bisa juga tidak," jawabnya ragu.Alis Ariana terangkat, "Maksudmu bagai
Valentina melangkah dengan emosi yang mendidih, matanya mengunci sosok Diego yang berjalan cepat di depannya. Setiap langkahnya penuh amarah. Sepatu hak tingginya mengetuk keras lantai marmer yang ia lewati.Langkah kakinya semakin cepat, mengejar Diego yang tampak ingin segera menghilang dari pandangannya. Tak pernah terlintas dalam bayangan Valentina jika Diego, pria yang dulu begitu manis, penurut, dan selalu mengikuti kemauannya, kini bersikap sedemikian dingin kepadanya.Dengan langkah tergesa, Valentina mengejar Diego. "Diego! Berhenti!" teriaknya.Begitu jarak mereka sudah sangat dekat, tangannya terulur, meraih jaket lusuh Diego dan menariknya dengan kasar.Srakk!Jaket yang Diego kenakan sobek. Pria itu pun terpaksa berhenti, kemudian berbalik.Matanya tajam, menahan emosi yang siap meledak. "Sebenarnya apa maumu?"Air mata nyaris membasahi pelupuk mata Valentina, "Aku minta waktumu, aku ingin bicara!" raungnya dengan suara gemetar menahan tangis.Diego mendengus sinis. "Bic
Seminggu setelah berpisah dengan Diego, Valentina dinikahi Javier Torres, seorang pengusaha kaya di Madrid. Perbedaan antara Javier dan Diego begitu nyata, baik dari segi fisik maupun perlakuan. Jika Diego pernah memanjakan Valentina dengan sentuhan dan perhatian, Javier sama sekali berbeda.Malam-malam mereka terasa hampa. Javier hanya memperlakukan Valentina sebagai objek pelepas hasrat, tanpa peduli akan kepuasan istrinya. Seusai mendapatkan apa yang diinginkannya, pria itu langsung terlelap, meninggalkan Valentina dalam keheningan dan kekecewaan.Valentina sendiri tahu alasan sebenarnya ia menerima lamaran Javier karena uang. Materi yang dijanjikan pria kaya itu mampu menjamin masa depannya. Bukan cinta, bukan kecocokan, melainkan sekadar transaksi kehidupan.Kemarin, mereka tiba di Sevilla. Perjalanan ini merupakan perjalanan bisnis Javier dan momen bulan madu mereka. Dan hari ini, Valentina menemani suaminya berbelanja pakaian formal di sebuah stan eksklusif.Saat itulah mata Val
Mobil mereka tiba di pusat perbelanjaan fashion tereksklusif di Sevilla, tempat yang selama ini hanya menjadi mimpi bagi kalangan menengah. Diego turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi lain mobil untuk membuka pintu Ariana.Sang majikan masih duduk di dalam, menggeser kedua kakinya hingga menjuntai keluar, tanpa high heels. Tatapan memohonnya bertemu dengan Diego—sebuah tatapan yang sudah ia kenal benar, penuh dengan maksud tersembunyi."Tolong, Diego," pintanya dengan nada lembut yang selalu berhasil meluluhkan pertahanan sang asisten.Diego mengangguk paham. Dia meraih high heels merah dari kursi belakang, kemudian berjongkok di depan Ariana. Jemarinya yang kokoh namun lembut memasang sepatu hak tinggi itu dengan teliti, seakan-akan ia sedang menangani barang yang paling berharga."Terima kasih, Diego," ucap Ariana perlahan sembari turun dari mobil.Keduanya melangkah beriringan memasuki gedung mewah itu. Diego tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, ini pertama kalinya dia memasuki