Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanya namamu,” ujar Ariana.
Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akan tindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya.
“Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursi taman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.
“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh seperti ini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.
Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrak kerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju dengan poin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu ke Diego.
Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membaca tulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.
“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya, matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besar dari gajinya di tempat dulu.
“Iya, itu gajimu. Apa kamu merasa itu terlalu rendah?” tanya Ariana, menatapnya dengan serius.
“Tidak-tidak, Nyonya!” Diego mendadak panik, dengan cepat melangkah mendekati meja, meraih pulpen, dan langsung menandatangani kontrak kerjanya.
“Ini, Nyonya.” Dia menyerahkan kontrak kerja itu dengan kedua tangannya.
“Apa kamu tidak membaca dulu dengan teliti?” tanya Ariana, ia meletakkan kontrak kerja Diego di meja.
“Tidak perlu, Nyonya. Aku sudah sangat bersyukur dengan tawaran itu,” jawab Diego, tersenyum bahagia, namun saat matanya saling tatap dengan mata sang majikan, dia cepat-cepat kembali menunduk.
Ariana tersenyum lembut, “Kalau begitu, selamat bergabung di tempatku. Setelah ini, Andrew yang akan menunjukkan area yang menjadi tanggung jawabmu.”
Diego menundukkan kepalanya, mengucap terima kasih sekali lagi. Setelah itu dia dan Andrew mengucap pamit, meninggalkan sang majikan yang kembali bersantai di taman itu.
Saat berjalan pergi, Diego sekali lagi mencuri pandang lewat sudut matanya, kembali dibuat takjub dengan sosok majikannya.
“Dia sangat cantik dan juga ramah,” gumamnya pelan, hatinya bergetar penuh rasa kagum.
Andrew membawa Diego ke halaman depan, menunjukkan area yang akan menjadi tanggung jawabnya. “Ini area yang menjadi tanggung jawabmu,” kata Andrew, yang lalu menunjuk ke arah bagian selatan bangunan, tepat di samping kolam renang yang berkilau di bawah sinar matahari. “Dan area kolam renang di sana juga,” tambahnya.
“Siap, Tuan Andrew. Terima kasih,” balas Diego, penuh semangat. Ia langsung bekerja begitu Andrew pergi.
Dua jam kemudian, setelah menyelesaikan area depan, Diego melanjutkan pekerjaannya ke sekitar kolam renang. Jorge yang sudah selesai dengan pekerjaannya datang menghampiri dan menyapa, membantu Diego mengatur pot tanaman sambil berbincang santai.
Tiba-tiba, sebuah sedan mewah berwarna silver meluncur masuk dari gerbang dan berhenti tepat di depan gedung utama. Seorang pria berusia sekitar 60 tahun turun dari kursi penumpang bagian belakang, lalu melangkah masuk ke gedung utama.
“Tuan Sergio?” tanya Diego sembari menoleh ke Jorge.
“Iya,” balas Jorge singkat lalu melirik jam tangannya.
“Sepertinya Tuan Sergio akan berenang,” Jorge memberitahu Diego, mengingat salah satu kebiasaan majikan mereka di jam seperti ini.
“Berarti Nyonya Ariana juga?” Diego tiba-tiba bersemangat, senyumnya melebar membayangkan sang majikan mengenakan bikini.
Tangan Jorge dengan cepat mendarat di kepala Diego, membuat Diego memekik pelan karena terkejut.
“Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Nyonya Ariana hanya suka bersantai di pinggir kolam, dan sekedar informasi tambahan, Nyonya itu tidak tahu berenang,” balas Jorge dengan nada tegas.
Wajah Diego sedikit cemberut, dia mengelus kepalanya di bagian yang dijitak Jorge tadi.
Dari gedung utama, terlihat Ariana dan Sergio yang mengenakan jubah mandi berwarna putih kembali. Ariana dengan lembut membantu Sergio membuka jubah mandinya, hingga Sergio hanya mengenakan celana renang berwarna hitam.
“Iya kan?” ucap Jorge, menatap Diego yang hanya bisa mengangguk pelan.
Sergio perlahan turun ke kolam renang, di bagian yang kedalamannya hanya setinggi dada orang dewasa. Kolam renang itu memiliki dua tingkat kedalaman, memberikan pilihan bagi mereka yang ingin berenang atau sekadar berendam.
Diego dan Jorge melanjutkan pekerjaan mereka, mengurus area yang masih di sekitar lokasi kolam renang. Saat mereka berdua tengah sibuk mengatur pot tanaman, tiba-tiba terdengar suara jeritan Ariana.
“Sayang!”
Jorge dan Diego yang tersentak kaget kompak menoleh, mendapati Ariana berdiri di pinggir kolam dengan wajah panik. Di kolam renang, Sergio bergerak panik, kepalanya timbul tenggelam di bagian kolam renang yang dalam.
“Tuan Sergio tenggelam!” seru Jorge yang bergegas bangkit bersama Diego, Kedua pria itu berlari cepat, tanpa ragu langsung melompat ke dalam kolam.
Di dalam kolam renang, Diego segera meraih tubuh Sergio yang sudah kehilangan kesadaran, Diego memeluk tubuhnya dari belakang, berusaha menahan agar kepala Sergio tetap di atas permukaan air, sementara Jorge berenang di samping mereka, membantu mendorong mereka berdua ke arah tepi kolam.
Di bantu Ariana, mereka dengan susah payah mengangkat tubuh Sergio ke tepi kolam.
Jorge berlari cepat, meraih jubah mandi Sergio yang tergeletak di kursi dekat kolam. Dengan cekatan, ia menggulung jubah itu, lalu meletakkannya di bawah kepala Sergio sebagai penyangga. Napas Jorge terdengar berat, dan ia tak bisa menyembunyikan nada panik dalam suaranya.
“Diego! Tuan Sergio pingsan!” serunya. Di sampingnya, Ariana tak mampu menahan tangis. Air matanya mengalir deras, ia menggoyang-goyangkan lengan Sergio dengan cemas, memanggil-manggil namanya. “Sergio! Sayang, bangun…!” isaknya putus asa.
Diego menarik napas, menenangkan diri, ia lalu menatap Ariana yang masih memegangi lengan suaminya, lalu berkata dengan suara lembut.
“Nyonya Ariana… tolong beri saya sedikit ruang, biarkan saya mencoba menolong Tuan Sergio.”
Ariana mengangguk pelan, ia bergerak sedikit menjauh, memberikan ruang bagi Diego yang segera bersiap melakukan tindakan penyelamatan.
Diego menempatkan kedua tangannya di dada Sergio, memastikan posisi tangannya benar. Lalu, ia mulai melakukan kompresi dada, menekan dengan ritme yang teratur, mencoba mengembalikan napas majikannya.
Setelah beberapa kali kompresi, Diego mencondongkan tubuhnya, menutup hidung Sergio, lalu memberikan napas buatan. Setiap detik terasa sangat panjang, rasa gugup semakin mencengkeramnya, namun Diego tetap fokus, tidak ingin menyerah.
Diego terus melakukan kompresi dada dan napas buatan, tanpa berhenti, meski tubuhnya mulai lelah.
Hingga akhirnya tubuh Sergio tersentak, batuk kecil terdengar, dengan cepat Sergio memiringkan posisi tubuh Sergio, hingga air terlihat keluar dari mulut dan hidung Sergio.
Begitu Sergio tenang, Diego mengarahkan tubuh Sergio hingga kembali berbaring. Memperhatikan wajah Sergio yang mulai kembali bernafas.Diego menarik napas lega, wajahnya penuh kelegaan.
“Sayang!” seru Ariana, menunduk memeluk suaminya yang masih terbaring lemah.
Di samping mereka, Ariana yang masih terisak menatap Jorge dan Diego dengan mata penuh syukur. Rasa terima kasihnya terpancar jelas, ia menundukkan kepala sedikit, mengucapkan, “Terima kasih, kalian sudah menyelamatkan nyawa suamiku.”
Andrew lalu memberikan instruksi kepada dua orang karyawan pria yang baru saja tiba. “Bawa Tuan Sergio ke dalam rumah,” perintahnya.
Kedua karyawan itu segera mengangkat tubuh Sergio dengan hati-hati, membawanya ke dalam rumah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
**
“Diego, kamu dipanggil untuk menghadap Tuan Sergio.”
Tiba-tiba Diego merasa panik. Mengapa hanya dia yang dipanggil? Apakah dia akan dipecat di hari pertamanya?
Segala pikiran buruk memenuhi pikiran Diego. Namun, semua itu sirna ketika Diego merasakan sentuhan lembut di punggung tangannya. Ariana, menatapnya dengan memberikan senyuman cantiknya, dan menuntunnya ke ruangan Sergio.
Ruangan itu memancarkan kemewahan yang hangat, dengan dominasi warna krem dan aksen kayu di beberapa bagian dinding. Di atas sofa single seat, Sergio duduk dengan posisi santai, mengenakan pakaian tidur berwarna gelap yang kontras dengan kulitnya yang sedikit pucat.
"Tak perlu tegang begitu, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu karena telah menyelamatkan nyawaku." ujar Sergio dengan suara yang berat. Napasnya terdengar tak beraturan, ada jeda kecil di antara hembusan yang menunjukkan bahwa tubuhnya belum pulih sepenuhnya.
Detik itu juga, Diego menghela napas lega. Padahal, dirinya sudah khawatir jika Sergio akan memecatnya.
Diego segera menundukkan kepala dengan penuh hormat. "Tidak perlu berterima kasih, Tuan. Saya hanya melakukan tugas saya," balas Diego.
Pria tua itu tiba-tiba mengulurkan tangannya, menjabat tangan Diego, kembali mengucapkan terima kasih.
“Apa ada yang kamu inginkan sebagai hadiah? Aku ingin memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih,” tanya Sergio dengan raut wajah serius.
Pertanyaan dari tuan majikannya itu membuatnya terkejut, sehingga Diego hanya menatap Sergio tanpa ekspresi, sebelum menggeleng perlahan, “Tak ada, Tuan.”
Diego bisa melihat alis majikannya yang menaut di tengah tengah lipatan keriput di wajahnya. Mungkin, jawaban darinya tak sesuai dengan ekspektasinya.
“Apa kamu yakin?” tanya Sergio lagi.
Untuk sepersekian detik, pikiran Diego membayangkan sesuatu yang dia impikan sejak bekerja di rumah ini. Namun, Diego hanya tersenyum dan menjawab tuannya dengan mantap, “Tak ada, Tuan. Gaji dari bekerja di rumah ini sudah lebih cukup untuk keinginan saya.”
Diego menyaksikan Sergio yang menghela napasnya. Lagipula, jika tuan majikannya itu tahu apa yang ada di pikirannya, dia jelas akan langsung mengusirnya dari rumah itu …
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat."Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat."Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya."Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya den
Diego duduk tegak di kursi tamu di ruang kerja Andrew, matanya terpaku pada peta struktur organisasi Grup Ortiz yang terpasang di dinding. Andrew, yang berdiri di sampingnya, menjelaskan dengan detail setiap bagian dari bisnis keluarga Ortiz, dari industri manufaktur hingga jaringan hotel mewah di seluruh dunia.Diego mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami kompleksitas kekaisaran bisnis yang ditinggalkan oleh Sergio Ortiz."...dan di sisi keluarga, ada Miguel Ortiz, adik Sergio, yang dikenal cukup ambisius dalam mengembangkan sayap bisnisnya sendiri," Andrew menjelaskan, menunjuk foto Miguel di peta organisasi. "Lalu, ada Juan Ortiz, putra Sergio yang belum banyak terlibat dalam urusan bisnis keluarga... setidaknya, belum."Diego merasa matanya melebar ketika mendengar tentang Juan. Ia tidak menyangka bahwa Sergio memiliki seorang putra. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya adalah, untuk apa Andrew menjelaskan semua ini kepadanya? Diego hanyala
Dalam kesunyian kamar, Diego dengan hati-hati meletakkan mangkuk yang telah kosong di atas meja, menandai akhir dari sesi makan Ariana. Ia lalu mengambil gelas berisi air putih dan mendekati majikannya dengan langkah pelan, membantu Ariana minum dengan penuh perhatian.Setelah selesai, gelas itu diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kembali duduk di kursi, menemani sang majikan yang masih terisak dalam kesedihan."Nyonya, aku baru mengenal Tuan Sergio, masih banyak hal yang ingin aku tahu tentang beliau," ucap Diego, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu, membuka pintu bagi Ariana untuk berbagi kenangan."Apa Nyonya bisa bercerita tentang itu?"Ariana, setelah menyeka air matanya dengan tisu yang disodorkan Diego, memulai ceritanya tentang sosok Sergio, mendiang suaminya yang begitu ramah dan baik kepadanya.Suaranya terkadang terputus oleh isak tangis, namun semangat untuk menceritakan kenangan indah bersama Sergio membuat wanita itu terus berbicara, membuka jendela
Setelah melewati tes kecerdasan yang di ruang kerja Andrew, Diego menuju kamar Ariana. Ketika tiba di depan kamar, ia menemukan Adel duduk di sofa yang berada tepat di samping pintu, sibuk memainkan ponselnya dalam cahaya lembut yang memancar dari layar."Adel, Nyonya Ariana sudah bangun?" Diego bertanya dengan suara pelan, tidak ingin mengagetkan rekan kerjanya. Adel menoleh, memandang Diego sejenak sebelum menjawab, "Aku baru saja mengecek, Diego. Belum, Nyonya masih tidur," jawab Adel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.Diego mengangguk, "Terima kasih, Adel. Aku akan masuk sebentar untuk mengecek kondisi Nyonya."Dengan itu, ia perlahan membuka pintu kamar, membiarkan sedikit cahaya dari luar masuk sebelum menutup pintu di belakangnya.Kamar sang majikan terlihat gelap, hanya sedikit matahari senja dari celah jendela yang berhasil masuk. Diego menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, menyetel cahayanya agar tidak terlalu terang, hanya cukup untuk m
Ariana mengamati sampul buku di tangan Diego dengan rasa penasaran. "The Art of Leadership?" bisiknya lembut, "Suamiku juga menyukai buku seperti ini. Kamu suka membaca buku bertema kepemimpinan?"Diego mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Ah... tidak, Nyonya. Saya baru pertama kali membaca buku ini," jawabnya, jemarinya mengusap sampul buku itu."Kata Tuan Andrew, buku ini akan bermanfaat untuk membantu Nyonya," lanjut Diego.Alis Ariana terangkat, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan keheranan. "Membantuku? Maksudmu bagaimana?""Mulai hari ini, saya ditugaskan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Tuan Andrew sedang mengajariku segala hal yang perlu saya ketahui untuk meningkatkan kemampuan saya melayani Nyonya," balas Diego, menjelaskan posisi barunya ke Ariana.Ariana terdiam, ekspresinya berubah dari keterkejutan menjadi sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia sama sekali tidak menduga akan ada perubahan ini. Namun, dalam hatinya tersimpan rasa syukur
Embun pagi masih membasahi rerumputan halaman depan kediaman mewah Ariana. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus dedaunan, menciptakan bayangan panjang di halaman luas berlapis marmer putih. Andrew berdiri tegap di depan Diego dan teman-temannya yang sudah berkumpul di halaman itu.Diego terlihat gelisah dan kegelisahan yang ia rasakan bukan sekadar kecemasan biasa, melainkan pergolakan batin yang mendalam. Semalam, Andrew secara pribadi memberitahu dirinya, jika pagi ini dia akan mengumumkan posisi baru Diego asisten pribadi Ariana.Bagi Diego, ini adalah momen yang sulit dipercaya. Dia baru bekerja kurang dari sebulan di mansion megah ini, dan kini akan dipercaya mendampingi nyonya rumah. Bayangan tentang reaksi teman-temannya memenuhi pikirannya. Akankah mereka marah karena Diego yang baru bergabung mendapat kenaikan jabatan? Atau menganggap Diego hanya karyawan beruntung?Jorge, sahabat Diego yang merekomendasikan bekerja di tempat ini, menatap Diego dengan tajam. Sepersekian
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani