“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat.
"Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.
Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.
Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.
Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat.
"Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya.
"Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha mengabaikan rasa gugup yang menyelimuti dan menikmati momen ini.
Suasana di tepi kolam renang menjadi hening, hanya desahan napas Ariana dan Diego yang terdengar samar. Wajah keduanya merona, menahan malu yang tak bisa mereka sembunyikan.
Diego terus memijat punggung Ariana dengan lembut, tangannya meraba dengan hati-hati, memberikan tekanan yang pas. Namun, napasnya perlahan memburu, begitu nalurinya sebagai pria mulai bangkit.
“Si... sialan, ini bahaya,” batinnya, lalu dengan cepat menutup kedua matanya, berusaha mengendalikan diri.
Tangannya bergerak lembut dari pinggang Ariana, naik perlahan menuju pundak sang majikan. Kedua telapak tangan besar itu, yang tadinya bergerak bersamaan, kini bergerak saling berjauhan, menjelajahi lengan sang majikan.
Otot-otot Ariana semakin rileks, ia sangat menikmati hingga tanpa sadar ia mengeluarkan desahan tipis, “Ah...”
Diego terkejut, desahan Ariana terdengar begitu sensual di telinganya.
Deg! Deg! Deg! Jantungnya berdebar cepat, pikirannya berkecamuk, dan naluri yang sejak tadi ia tahan akhirnya semakin tak terkontrol. Tiba-tiba, ia merasakan celananya menyempit di dalam sana.
“Arg! Sialan! Ini gawat! Gawat!” pekik Diego dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Ariana, bisa merasakan getaran samar dari tangan Diego, hal itu membuat ia penasaran dan akhirnya melirik melalui ujung matanya. Ia sedikit terkejut mendapati Diego menutup erat matanya, ekspresi pria itu terlihat lucu. Ketegangan yang ia rasakan mendadak sirna, berganti menjadi tawa kecil di dalam hati.
Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Saat matanya perlahan turun menyusuri tubuh Diego, ia sontak membelalak, mendapati sesuatu yang mengembung di balik celana kain panjang berwarna hitam yang Diego kenakan.
Dengan cepat, Ariana mengalihkan pandangannya, wajahnya kembali merona. Kali ini bukan hanya wajahnya, situasi di sekitarnya juga mendadak terasa panas.
“I-itu kan?” batinnya, menggigit bibir bawahnya sendiri.
Tanpa disadari oleh Ariana dan Diego, empat pasang mata tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Sergio dan Andrew mengintip melalui celah kecil di tirai jendela rumah, menyaksikan momen intim yang terjadi di tepi kolam renang.
“Andrew, lihat itu, mereka berdua malu-malu kucing, hehehe,” ujar Sergio terkekeh pelan.
“Tuan... aku sudah tahu rencana Anda, tapi biar bagaimana pun, Ariana itu istri Anda. Tidak seharusnya Anda terlihat senang saat istri Anda disentuh pria lain,” jawab Andrew disertai helaan napas pelan. Namun, Sergio hanya kembali terkekeh, menikmati momen canggung antara Ariana dan Diego, seolah tak peduli dengan ucapan Andrew barusan.
Selama lima belas menit, Diego memijat punggung Ariana dengan lembut, suasana di sekitar mereka terasa hangat dan intim. Ketika akhirnya selesai, Diego meraih handuk berwarna putih yang terletak di meja, menutupi punggung Ariana dengan lembut. Ia kemudian memutar tubuhnya membelakangi Ariana, berusaha memberi ruang bagi wanita itu untuk bangkit.
Ariana perlahan bangkit, membungkus tubuhnya dengan handuk, menutupi bagian dadanya yang terbuka.
“Terima kasih, Diego, itu sangat nyaman,” ujar Ariana, senyum manis menghiasi wajahnya.“I-Iya, Nyonya. Kalau begitu, aku mohon pamit,” balas Diego dengan suara gugup, yang tetap membelakangi Ariana. Tanpa menunggu jawaban dari Ariana, ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat.
Ariana tersenyum, langsung bisa menebak apa yang membuat Diego buru-buru pergi, dan ia tidak bisa menahan tawa kecil dalam hati. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, dan melangkah masuk ke dalam rumah, dengan pikiran yang masih terombang-ambing oleh momen intim yang baru saja terjadi.
Jam menunjukkan pukul 7:30 malam, setelah makan malam, Diego diminta menghadap Sergio di kamar tidur sang majikan. Ariana seperti biasanya menunggu di depan pintu, ia dan Ariana kompak mengalihkan pandangan begitu mata mereka bertemu.
Rasa canggung menyelimuti dirinya. Dalam benak Diego, bayangan punggung indah Ariana yang sore tadi ia sentuh kembali menghantui. Wajahnya memerah, dan ia berusaha mengalihkan pikirannya.
Di sisi lain, Ariana juga merasakan ketegangan yang sama. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan saat menatap bagian celana Diego tadi, dan wajahnya pun memerah, menciptakan suasana yang kaku di antara mereka.
“Ayo masuk, Diego,” ucap Ariana pada akhirnya, ia mengajak Diego masuk ke dalam kamarnya.
“Iya, Nyonya,” jawab Diego, ia melangkah mengikuti Ariana. Begitu berada di dalam kamar, matanya bertemu dengan mata Sergio yang tengah duduk di tempat tidur, senyum muncul di wajah Diego.
“Diego! Ayo kemari! Aku juga mau dipijat!” seru Sergio bersemangat.
Diego melangkah dengan tenang menuju samping tempat tidur, tangannya meraih botol minyak urut herbal. Botol yang sama yang ia gunakan saat memijat Ariana tadi.
Sergio, di sisi lain, melepas jubah tidur sutra berwarna hitam yang ia kenakan hingga hanya mengenakan celana pendek. Ia lalu berbaring di tempat tidur dengan posisi membelakangi Diego. Ariana sendiri duduk di sofa, memainkan ponselnya, namun matanya tak bisa lepas dari tempat tidur.
Diego mulai memijat punggung Sergio dengan lembut. Tangan Diego bergerak dengan terampil, mengoleskan minyak ke punggung Sergio. Gerakan tangannya lembut namun tegas, mengikuti lekuk tubuh Sergio.
Sergio menghela napas lega, merasakan kenyamanan yang menyebar dari punggungnya.
“Burp…,” ia bersendawa, lalu berkata, “Maaf, Diego. Pantas saja istriku memuji kemampuan memijatmu, karena memang sangat nikmat!”
“Terima kasih, Tuan,” jawabnya, ia tersenyum bangga mendengar pujian itu.
“Siapa yang mengajari kamu memijat?” tanya Sergio, matanya perlahan terpejam.
“Setelah kedua orang tuaku meninggal, sahabat ayahku, Henry Sulistyo, mengadopsiku. Dia merawatku dari kecil hingga tamat sekolah,” terang Diego.
“Pamanku, usianya sama dengan Anda, dan dia suka di pijat di bagian punggung dan betis ketika ia sedang tidak enak badan, dan dialah yang mengajarku cara memijat.”
Sergio mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Sulistyo? Nama itu terdengar asing,” ucapnya, sedikit penasaran.
“Ya, mendiang pamanku berasal dari Indonesia, dari kota Surabaya, dan tinggal di Madrid,” jawab Diego. “Entah mengapa, sosok Anda mengingatkanku kepada mendiang pamanku.”
Sergio tersenyum, dalam hati ia mulai memahami alasan mengapa Diego begitu sopan dan tulus.
“Ah, Surabaya! Aku beberapa kali mengunjungi tempat itu karena urusan bisnis. Orang-orang di sana sangat baik dan ramah,” Sergio bercerita, matanya berbinar.
“Apa Anda bisa bercerita lebih banyak tentang hal itu?” pinta Diego.
Sergio lalu menyebut beberapa tempat di Surabaya, dan Diego langsung menimpali, “Aku pernah melihat tempat-tempat itu di album foto pamanku!” Keduanya terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan, tawa mereka mengisi ruangan.
Sementara itu, dari sofa, mata Ariana tidak lagi fokus menatap ponselnya. Sejak tadi, ia memperhatikan interaksi suaminya dan Diego yang benar-benar lepas. Matanya berkaca-kaca, merasakan begitu banyak sisi lain yang ia temukan dari sang suami saat bersama Diego. Rasa syukur dan haru menyelimuti hatinya, menyadari betapa berartinya hubungan ini bagi keduanya.
“Mungkin aku bisa mengajakmu saat ada kunjungan ke Surabaya,” ucap Sergio, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Benar, Tuan?” Diego bertanya penuh harap, gerakan tangannya berhenti sejenak.
“Hahaha, iya,” jawab Sergio, tawa ceria itu mengisi ruangan, menambah kehangatan di antara mereka.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sejenak. Keesokan paginya, Diego dipanggil oleh Andrew, dan ia kembali berdiri di depan tempat tidur sang majikan.
Diego menatap dengan wajah tak percaya, melihat sosok Tuan besar yang begitu ia hormati, terbaring kaku di tempat tidur.
“Tu-Tuan Andrew... apa maksudnya ini? Tadi malam Tuan Sergio baik-baik saja, kami tertawa bersama dan-” Diego tak bisa melanjutkan kata-katanya, air matanya tumpah mengalir deras, ia jatuh berlutut di depan tempat tidur sang majikan, menangis terisak.
“Subuh tadi, Tuan Sergio sudah berpulang akibat serangan jantung, Diego...,” ucap Andrew yang berdiri di belakang Diego. “Terima kasih, selama beberapa hari terakhir ini, aku tidak pernah melihat sahabatku tertawa begitu lepas.”
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya den
Diego duduk tegak di kursi tamu di ruang kerja Andrew, matanya terpaku pada peta struktur organisasi Grup Ortiz yang terpasang di dinding. Andrew, yang berdiri di sampingnya, menjelaskan dengan detail setiap bagian dari bisnis keluarga Ortiz, dari industri manufaktur hingga jaringan hotel mewah di seluruh dunia.Diego mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami kompleksitas kekaisaran bisnis yang ditinggalkan oleh Sergio Ortiz."...dan di sisi keluarga, ada Miguel Ortiz, adik Sergio, yang dikenal cukup ambisius dalam mengembangkan sayap bisnisnya sendiri," Andrew menjelaskan, menunjuk foto Miguel di peta organisasi. "Lalu, ada Juan Ortiz, putra Sergio yang belum banyak terlibat dalam urusan bisnis keluarga... setidaknya, belum."Diego merasa matanya melebar ketika mendengar tentang Juan. Ia tidak menyangka bahwa Sergio memiliki seorang putra. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya adalah, untuk apa Andrew menjelaskan semua ini kepadanya? Diego hanyala
Dalam kesunyian kamar, Diego dengan hati-hati meletakkan mangkuk yang telah kosong di atas meja, menandai akhir dari sesi makan Ariana. Ia lalu mengambil gelas berisi air putih dan mendekati majikannya dengan langkah pelan, membantu Ariana minum dengan penuh perhatian.Setelah selesai, gelas itu diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kembali duduk di kursi, menemani sang majikan yang masih terisak dalam kesedihan."Nyonya, aku baru mengenal Tuan Sergio, masih banyak hal yang ingin aku tahu tentang beliau," ucap Diego, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu, membuka pintu bagi Ariana untuk berbagi kenangan."Apa Nyonya bisa bercerita tentang itu?"Ariana, setelah menyeka air matanya dengan tisu yang disodorkan Diego, memulai ceritanya tentang sosok Sergio, mendiang suaminya yang begitu ramah dan baik kepadanya.Suaranya terkadang terputus oleh isak tangis, namun semangat untuk menceritakan kenangan indah bersama Sergio membuat wanita itu terus berbicara, membuka jendela
Setelah melewati tes kecerdasan yang di ruang kerja Andrew, Diego menuju kamar Ariana. Ketika tiba di depan kamar, ia menemukan Adel duduk di sofa yang berada tepat di samping pintu, sibuk memainkan ponselnya dalam cahaya lembut yang memancar dari layar."Adel, Nyonya Ariana sudah bangun?" Diego bertanya dengan suara pelan, tidak ingin mengagetkan rekan kerjanya. Adel menoleh, memandang Diego sejenak sebelum menjawab, "Aku baru saja mengecek, Diego. Belum, Nyonya masih tidur," jawab Adel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.Diego mengangguk, "Terima kasih, Adel. Aku akan masuk sebentar untuk mengecek kondisi Nyonya."Dengan itu, ia perlahan membuka pintu kamar, membiarkan sedikit cahaya dari luar masuk sebelum menutup pintu di belakangnya.Kamar sang majikan terlihat gelap, hanya sedikit matahari senja dari celah jendela yang berhasil masuk. Diego menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, menyetel cahayanya agar tidak terlalu terang, hanya cukup untuk m
Ariana mengamati sampul buku di tangan Diego dengan rasa penasaran. "The Art of Leadership?" bisiknya lembut, "Suamiku juga menyukai buku seperti ini. Kamu suka membaca buku bertema kepemimpinan?"Diego mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Ah... tidak, Nyonya. Saya baru pertama kali membaca buku ini," jawabnya, jemarinya mengusap sampul buku itu."Kata Tuan Andrew, buku ini akan bermanfaat untuk membantu Nyonya," lanjut Diego.Alis Ariana terangkat, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan keheranan. "Membantuku? Maksudmu bagaimana?""Mulai hari ini, saya ditugaskan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Tuan Andrew sedang mengajariku segala hal yang perlu saya ketahui untuk meningkatkan kemampuan saya melayani Nyonya," balas Diego, menjelaskan posisi barunya ke Ariana.Ariana terdiam, ekspresinya berubah dari keterkejutan menjadi sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia sama sekali tidak menduga akan ada perubahan ini. Namun, dalam hatinya tersimpan rasa syukur
Embun pagi masih membasahi rerumputan halaman depan kediaman mewah Ariana. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus dedaunan, menciptakan bayangan panjang di halaman luas berlapis marmer putih. Andrew berdiri tegap di depan Diego dan teman-temannya yang sudah berkumpul di halaman itu.Diego terlihat gelisah dan kegelisahan yang ia rasakan bukan sekadar kecemasan biasa, melainkan pergolakan batin yang mendalam. Semalam, Andrew secara pribadi memberitahu dirinya, jika pagi ini dia akan mengumumkan posisi baru Diego asisten pribadi Ariana.Bagi Diego, ini adalah momen yang sulit dipercaya. Dia baru bekerja kurang dari sebulan di mansion megah ini, dan kini akan dipercaya mendampingi nyonya rumah. Bayangan tentang reaksi teman-temannya memenuhi pikirannya. Akankah mereka marah karena Diego yang baru bergabung mendapat kenaikan jabatan? Atau menganggap Diego hanya karyawan beruntung?Jorge, sahabat Diego yang merekomendasikan bekerja di tempat ini, menatap Diego dengan tajam. Sepersekian
Sinar matahari pagi yang lembut menyinari kediaman mewah Ariana, membawa kehangatan yang tidak hanya terasa pada kulit, melainkan juga pada hati para karyawan yang bekerja di sana. Hari ini, kebahagiaan terpancar jelas dari wajah semua orang, karena hari ini adalah hari mereka terima gaji.Di lobi mes karyawan, suara tawa dan bisikan-bisikan riang terdengar saat beberapa karyawan sibuk mengatur jadwal mereka malam ini. Di teras yang sedikit lebih tenang, Diego duduk santai bersebelahan dengan Jorge, sahabatnya.Diego memegang secarik kertas terlipat di tangannya, yang berisi rincian gajinya bulan ini. Mata mereka berdua tertuju pada kertas itu, perlahan, Diego membuka lipatan kertas, dan apa yang terungkap membuat mata mereka melebar."What The?" seru Jorge, matanya terbuka semakin lebar.Tangan Diego yang memegang kertas mulai bergetar, nominal yang fantastis tercetak di atas kertas, $11.000 USD. Jumlah yang bahkan membuat Diego sendiri tercengang, tidak percaya."Wow, Diego... seper
Mobil mereka tiba di pusat perbelanjaan fashion tereksklusif di Sevilla, tempat yang selama ini hanya menjadi mimpi bagi kalangan menengah. Diego turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi lain mobil untuk membuka pintu Ariana.Sang majikan masih duduk di dalam, menggeser kedua kakinya hingga menjuntai keluar, tanpa high heels. Tatapan memohonnya bertemu dengan Diego—sebuah tatapan yang sudah ia kenal benar, penuh dengan maksud tersembunyi."Tolong, Diego," pintanya dengan nada lembut yang selalu berhasil meluluhkan pertahanan sang asisten.Diego mengangguk paham. Dia meraih high heels merah dari kursi belakang, kemudian berjongkok di depan Ariana. Jemarinya yang kokoh namun lembut memasang sepatu hak tinggi itu dengan teliti, seakan-akan ia sedang menangani barang yang paling berharga."Terima kasih, Diego," ucap Ariana perlahan sembari turun dari mobil.Keduanya melangkah beriringan memasuki gedung mewah itu. Diego tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, ini pertama kalinya dia memasuki
“Nyo... Nyonya...” ucap Diego, yang begitu terkejut dengan tindakan majikannya. Ariana, dengan tatapan penuh hasrat, kembali menarik wajah Diego mendekat. Namun kali ini, Diego berpaling, berusaha keras menahan diri agar tidak melewati batas.“Nyonya... Anda sedang mabuk,” ucapnya, ia menganggap tindakan sang majikan sebagai pengaruh dari minuman yang ia konsumsi.“Tidak, aku tidak akan mabuk hanya karena itu. Aku sadar dengan permintaanku,” balas Ariana.Matanya menatap dalam mata Diego yang terus menghindar. Ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka, dan itu membuat Diego semakin gugup.“Anda sedang mabuk. Lebih... lebih baik Anda beristirahat,” Diego berusaha meyakinkan dengan suara yang bergetar. Ia dapat merasakan tarikan tangan Ariana semakin kuat, menarik wajahnya semakin mendekat. Walau begitu ia tetap bertahan, hingga tarik-menarik antara keduanya tak terelakkan.“Diego...” desah Ariana.Perlahan, tarikan lengan Ariana melemah. Diego memberanikan diri menoleh.“Apa
Malam memeluk kediaman mewah Ariana dalam keheningan yang memesona. Cahaya remang lilin bergoyang lembut di sekitar kolam renang, menciptakan panorama romantis yang membelai setiap sudut taman. Rerumputan hijau dan bunga-bunga malam seakan berbisik dalam keheningan, menunggu momen istimewa yang sebentar lagi akan terjadi.Diego berdiri di pinggir kolam, jantungnya berdebar tak karuan. Di tangannya, dua botol wine koleksi pribadi Andrew—Château Margaux 2015 keluaran terbatas yang harganya mencapai ratusan juta rupiah. Kemeja navy gelapnya tersusun rapi, rambut hitam klimis tersisir ke belakang dengan teliti. Jemarinya gemetar ringan saat meletakkan botol wine di atas meja kaca.Bayangan siang tadi terlintas di benaknya. Saat Ariana melompat dan menindihnya di atas sofa, wajah mereka begitu dekat hingga Diego nyaris kehilangan kendali. Dan di sore hari dia dan Ariana menghabiskan waktu berdua mendekorasi area ini, tertawa dan bercanda dengan keintiman yang tak biasa. Setiap gerak-gerik s
“Iya Nyonya, Tuan Sergio yang merencanakan semuanya,” jawab Andrew, meletakkan tangannya di punggung Ariana dan memandunya menuju sofa.Ariana duduk di sofa, masih tertegun dan tidak bisa mempercayai apa yang baru saja Andrew sampaikan."Andrew, ceritakan semuanya kepadaku," pintanya, siap mendengar apa yang mendiang suaminya sembunyikan.Andrew mengangguk pelan. “Seperti yang Nyonya sudah ketahui, penyakit Tuan Sergio sudah menggerogoti tubuhnya. Jujur, suatu keajaiban karena ia masih bisa bertahan selama itu.”“Tuan bahkan sering bercanda, berkata akan hidup selama seratus tahun. Dia selalu berusaha terlihat tegar dan kuat, padahal aku tahu tubuhnya menjerit kesakitan. Alasan dari sikapnya yang seperti itu adalah karena dia mengkhawatirkan Anda,” lanjut Andrew.Wajah Ariana semakin sedih, mengusap air matanya yang kembali mengalir di pipi.“Dan semua berubah ketika Diego hadir. Ia begitu nyaman, begitu rileks bersama Diego. Saat berinteraksi dengan Diego, tawa Tuan Sergio benar-bena
Di ruang tamu kediaman mewah Ariana, Diego tampak gelisah. Langkahnya mondar-mandir tak beraturan. Sesekali, ia melirik ke arah pintu ruang kerja Andrew, berharap segera mendengar kabar tentang Ariana.Wajahnya terlihat cemas, "Tuan Andrew pasti sangat marah. Aku mengkhianati kepercayaannya dan juga mengkhianati amanah Tuan Sergio."Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Jemarinya gemetar ringan, setiap langkah yang ia ambil terlihat gelisah, ia sangat mengkhawatirkan kondisi Ariana yang saat ini sedang di interogasi oleh Andrew terkait insiden pegangan tangan tadi.Tak berselang lama, pintu ruang kerja terbuka. Andrew muncul dengan wajah dingin dengan tatapan mata tajam yang mampu membuat siapa pun gemetar."Diego, sekarang giliranmu," ucapnya dengan nada datar namun menusuk."Iya, Tuan," jawab Diego patuh. Ia bergegas melangkah mengikuti Andrew.Memasuki ruangan kerja yang megah, Diego mengedarkan pandangannya. Ruangan itu kosong, tidak ada sosok Ariana di sana."Apa Nyonya baik-b
Ariana dan Diego meninggalkan salon, Diego mendorong troli berisi barang belanjaan mereka. Keduanya berjalan beriringan, langkah mereka sejajar namun penuh ketegangan tersembunyi.Ariana tak bisa mengalihkan pandangannya dari Diego. Sesekali ia melirik, mengamati transformasi pria di sampingnya. Setiap kali tatapan mereka nyaris bertemu, Diego langsung salah tingkah."Nyonya, apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Diego cepat, menoleh dengan gerakan mendadak.Ariana tersentak, "Tidak... tidak ada masalah," jawabnya tergagap, mengalihkan pandangannya, sedikit malu karena aksinya ketahuan.Diego mengangguk paham, matanya kembali fokus ke depan. Namun Ariana tak berhenti, dia kembali melirik sembari menahan senyumnya."Apa Diego selalu setampan ini?" batinnya, membandingkan penampilannya sekarang dengan sebelumnya.Sesampainya di parkiran, mata Ariana menangkap sosok Valentina dan Javier yang juga menuju area parkir. Dalam sekejap, ia refleks melingkarkan lengannya di lengan Diego."Nyonya?"
Setelah momen menegangkan tadi, Diego dan Ariana singgah di salah satu kafe mewah yang masih terletak di pusat perbelanjaan itu. Interior kafe bernuansa modern minimalis dengan sentuhan kayu gelap.Pelayan berbaju hitam dengan celemek putih datang membawa pesanan mereka. Dua cangkir espresso doppio disajikan di atas piring keramik putih dengan aksen emas. Di samping kopi, tersedia sepiring kecil macaron berbagai warna dan sepotong dark chocolate praline yang tersusun rapi.Ariana tersenyum ramah, "Terima kasih," ucapnya pada pelayan.Aroma kopi espresso yang kuat menguar, mengusir sedikit ketegangan tersisa dari insiden sebelumnya. Mata Ariana lalu menatap Diego, yang duduk di depannya dengan wajah murung. Ekspresi Diego terlihat lelah, seakan membawa beban berat di pundaknya."Siapa wanita tadi?" Ariana membuka percakapan. "Mantan kekasihmu?"Diego mengangkat kepalanya, tatapannya kosong. "Entahlah, bisa jadi ya, bisa juga tidak," jawabnya ragu.Alis Ariana terangkat, "Maksudmu bagai
Valentina melangkah dengan emosi yang mendidih, matanya mengunci sosok Diego yang berjalan cepat di depannya. Setiap langkahnya penuh amarah. Sepatu hak tingginya mengetuk keras lantai marmer yang ia lewati.Langkah kakinya semakin cepat, mengejar Diego yang tampak ingin segera menghilang dari pandangannya. Tak pernah terlintas dalam bayangan Valentina jika Diego, pria yang dulu begitu manis, penurut, dan selalu mengikuti kemauannya, kini bersikap sedemikian dingin kepadanya.Dengan langkah tergesa, Valentina mengejar Diego. "Diego! Berhenti!" teriaknya.Begitu jarak mereka sudah sangat dekat, tangannya terulur, meraih jaket lusuh Diego dan menariknya dengan kasar.Srakk!Jaket yang Diego kenakan sobek. Pria itu pun terpaksa berhenti, kemudian berbalik.Matanya tajam, menahan emosi yang siap meledak. "Sebenarnya apa maumu?"Air mata nyaris membasahi pelupuk mata Valentina, "Aku minta waktumu, aku ingin bicara!" raungnya dengan suara gemetar menahan tangis.Diego mendengus sinis. "Bic
Seminggu setelah berpisah dengan Diego, Valentina dinikahi Javier Torres, seorang pengusaha kaya di Madrid. Perbedaan antara Javier dan Diego begitu nyata, baik dari segi fisik maupun perlakuan. Jika Diego pernah memanjakan Valentina dengan sentuhan dan perhatian, Javier sama sekali berbeda.Malam-malam mereka terasa hampa. Javier hanya memperlakukan Valentina sebagai objek pelepas hasrat, tanpa peduli akan kepuasan istrinya. Seusai mendapatkan apa yang diinginkannya, pria itu langsung terlelap, meninggalkan Valentina dalam keheningan dan kekecewaan.Valentina sendiri tahu alasan sebenarnya ia menerima lamaran Javier karena uang. Materi yang dijanjikan pria kaya itu mampu menjamin masa depannya. Bukan cinta, bukan kecocokan, melainkan sekadar transaksi kehidupan.Kemarin, mereka tiba di Sevilla. Perjalanan ini merupakan perjalanan bisnis Javier dan momen bulan madu mereka. Dan hari ini, Valentina menemani suaminya berbelanja pakaian formal di sebuah stan eksklusif.Saat itulah mata Val
Mobil mereka tiba di pusat perbelanjaan fashion tereksklusif di Sevilla, tempat yang selama ini hanya menjadi mimpi bagi kalangan menengah. Diego turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi lain mobil untuk membuka pintu Ariana.Sang majikan masih duduk di dalam, menggeser kedua kakinya hingga menjuntai keluar, tanpa high heels. Tatapan memohonnya bertemu dengan Diego—sebuah tatapan yang sudah ia kenal benar, penuh dengan maksud tersembunyi."Tolong, Diego," pintanya dengan nada lembut yang selalu berhasil meluluhkan pertahanan sang asisten.Diego mengangguk paham. Dia meraih high heels merah dari kursi belakang, kemudian berjongkok di depan Ariana. Jemarinya yang kokoh namun lembut memasang sepatu hak tinggi itu dengan teliti, seakan-akan ia sedang menangani barang yang paling berharga."Terima kasih, Diego," ucap Ariana perlahan sembari turun dari mobil.Keduanya melangkah beriringan memasuki gedung mewah itu. Diego tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, ini pertama kalinya dia memasuki