“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat.
"Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.
Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.
Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.
Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat.
"Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya.
"Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha mengabaikan rasa gugup yang menyelimuti dan menikmati momen ini.
Suasana di tepi kolam renang menjadi hening, hanya desahan napas Ariana dan Diego yang terdengar samar. Wajah keduanya merona, menahan malu yang tak bisa mereka sembunyikan.
Diego terus memijat punggung Ariana dengan lembut, tangannya meraba dengan hati-hati, memberikan tekanan yang pas. Namun, napasnya perlahan memburu, begitu nalurinya sebagai pria mulai bangkit.
“Si... sialan, ini bahaya,” batinnya, lalu dengan cepat menutup kedua matanya, berusaha mengendalikan diri.
Tangannya bergerak lembut dari pinggang Ariana, naik perlahan menuju pundak sang majikan. Kedua telapak tangan besar itu, yang tadinya bergerak bersamaan, kini bergerak saling berjauhan, menjelajahi lengan sang majikan.
Otot-otot Ariana semakin rileks, ia sangat menikmati hingga tanpa sadar ia mengeluarkan desahan tipis, “Ah...”
Diego terkejut, desahan Ariana terdengar begitu sensual di telinganya.
Deg! Deg! Deg! Jantungnya berdebar cepat, pikirannya berkecamuk, dan naluri yang sejak tadi ia tahan akhirnya semakin tak terkontrol. Tiba-tiba, ia merasakan celananya menyempit di dalam sana.
“Arg! Sialan! Ini gawat! Gawat!” pekik Diego dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Ariana, bisa merasakan getaran samar dari tangan Diego, hal itu membuat ia penasaran dan akhirnya melirik melalui ujung matanya. Ia sedikit terkejut mendapati Diego menutup erat matanya, ekspresi pria itu terlihat lucu. Ketegangan yang ia rasakan mendadak sirna, berganti menjadi tawa kecil di dalam hati.
Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Saat matanya perlahan turun menyusuri tubuh Diego, ia sontak membelalak, mendapati sesuatu yang mengembung di balik celana kain panjang berwarna hitam yang Diego kenakan.
Dengan cepat, Ariana mengalihkan pandangannya, wajahnya kembali merona. Kali ini bukan hanya wajahnya, situasi di sekitarnya juga mendadak terasa panas.
“I-itu kan?” batinnya, menggigit bibir bawahnya sendiri.
Tanpa disadari oleh Ariana dan Diego, empat pasang mata tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Sergio dan Andrew mengintip melalui celah kecil di tirai jendela rumah, menyaksikan momen intim yang terjadi di tepi kolam renang.
“Andrew, lihat itu, mereka berdua malu-malu kucing, hehehe,” ujar Sergio terkekeh pelan.
“Tuan... aku sudah tahu rencana Anda, tapi biar bagaimana pun, Ariana itu istri Anda. Tidak seharusnya Anda terlihat senang saat istri Anda disentuh pria lain,” jawab Andrew disertai helaan napas pelan. Namun, Sergio hanya kembali terkekeh, menikmati momen canggung antara Ariana dan Diego, seolah tak peduli dengan ucapan Andrew barusan.
Selama lima belas menit, Diego memijat punggung Ariana dengan lembut, suasana di sekitar mereka terasa hangat dan intim. Ketika akhirnya selesai, Diego meraih handuk berwarna putih yang terletak di meja, menutupi punggung Ariana dengan lembut. Ia kemudian memutar tubuhnya membelakangi Ariana, berusaha memberi ruang bagi wanita itu untuk bangkit.
Ariana perlahan bangkit, membungkus tubuhnya dengan handuk, menutupi bagian dadanya yang terbuka.
“Terima kasih, Diego, itu sangat nyaman,” ujar Ariana, senyum manis menghiasi wajahnya.“I-Iya, Nyonya. Kalau begitu, aku mohon pamit,” balas Diego dengan suara gugup, yang tetap membelakangi Ariana. Tanpa menunggu jawaban dari Ariana, ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat.
Ariana tersenyum, langsung bisa menebak apa yang membuat Diego buru-buru pergi, dan ia tidak bisa menahan tawa kecil dalam hati. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, dan melangkah masuk ke dalam rumah, dengan pikiran yang masih terombang-ambing oleh momen intim yang baru saja terjadi.
Jam menunjukkan pukul 7:30 malam, setelah makan malam, Diego diminta menghadap Sergio di kamar tidur sang majikan. Ariana seperti biasanya menunggu di depan pintu, ia dan Ariana kompak mengalihkan pandangan begitu mata mereka bertemu.
Rasa canggung menyelimuti dirinya. Dalam benak Diego, bayangan punggung indah Ariana yang sore tadi ia sentuh kembali menghantui. Wajahnya memerah, dan ia berusaha mengalihkan pikirannya.
Di sisi lain, Ariana juga merasakan ketegangan yang sama. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan saat menatap bagian celana Diego tadi, dan wajahnya pun memerah, menciptakan suasana yang kaku di antara mereka.
“Ayo masuk, Diego,” ucap Ariana pada akhirnya, ia mengajak Diego masuk ke dalam kamarnya.
“Iya, Nyonya,” jawab Diego, ia melangkah mengikuti Ariana. Begitu berada di dalam kamar, matanya bertemu dengan mata Sergio yang tengah duduk di tempat tidur, senyum muncul di wajah Diego.
“Diego! Ayo kemari! Aku juga mau dipijat!” seru Sergio bersemangat.
Diego melangkah dengan tenang menuju samping tempat tidur, tangannya meraih botol minyak urut herbal. Botol yang sama yang ia gunakan saat memijat Ariana tadi.
Sergio, di sisi lain, melepas jubah tidur sutra berwarna hitam yang ia kenakan hingga hanya mengenakan celana pendek. Ia lalu berbaring di tempat tidur dengan posisi membelakangi Diego. Ariana sendiri duduk di sofa, memainkan ponselnya, namun matanya tak bisa lepas dari tempat tidur.
Diego mulai memijat punggung Sergio dengan lembut. Tangan Diego bergerak dengan terampil, mengoleskan minyak ke punggung Sergio. Gerakan tangannya lembut namun tegas, mengikuti lekuk tubuh Sergio.
Sergio menghela napas lega, merasakan kenyamanan yang menyebar dari punggungnya.
“Burp…,” ia bersendawa, lalu berkata, “Maaf, Diego. Pantas saja istriku memuji kemampuan memijatmu, karena memang sangat nikmat!”
“Terima kasih, Tuan,” jawabnya, ia tersenyum bangga mendengar pujian itu.
“Siapa yang mengajari kamu memijat?” tanya Sergio, matanya perlahan terpejam.
“Setelah kedua orang tuaku meninggal, sahabat ayahku, Henry Sulistyo, mengadopsiku. Dia merawatku dari kecil hingga tamat sekolah,” terang Diego.
“Pamanku, usianya sama dengan Anda, dan dia suka di pijat di bagian punggung dan betis ketika ia sedang tidak enak badan, dan dialah yang mengajarku cara memijat.”
Sergio mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Sulistyo? Nama itu terdengar asing,” ucapnya, sedikit penasaran.
“Ya, mendiang pamanku berasal dari Indonesia, dari kota Surabaya, dan tinggal di Madrid,” jawab Diego. “Entah mengapa, sosok Anda mengingatkanku kepada mendiang pamanku.”
Sergio tersenyum, dalam hati ia mulai memahami alasan mengapa Diego begitu sopan dan tulus.
“Ah, Surabaya! Aku beberapa kali mengunjungi tempat itu karena urusan bisnis. Orang-orang di sana sangat baik dan ramah,” Sergio bercerita, matanya berbinar.
“Apa Anda bisa bercerita lebih banyak tentang hal itu?” pinta Diego.
Sergio lalu menyebut beberapa tempat di Surabaya, dan Diego langsung menimpali, “Aku pernah melihat tempat-tempat itu di album foto pamanku!” Keduanya terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan, tawa mereka mengisi ruangan.
Sementara itu, dari sofa, mata Ariana tidak lagi fokus menatap ponselnya. Sejak tadi, ia memperhatikan interaksi suaminya dan Diego yang benar-benar lepas. Matanya berkaca-kaca, merasakan begitu banyak sisi lain yang ia temukan dari sang suami saat bersama Diego. Rasa syukur dan haru menyelimuti hatinya, menyadari betapa berartinya hubungan ini bagi keduanya.
“Mungkin aku bisa mengajakmu saat ada kunjungan ke Surabaya,” ucap Sergio, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Benar, Tuan?” Diego bertanya penuh harap, gerakan tangannya berhenti sejenak.
“Hahaha, iya,” jawab Sergio, tawa ceria itu mengisi ruangan, menambah kehangatan di antara mereka.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sejenak. Keesokan paginya, Diego dipanggil oleh Andrew, dan ia kembali berdiri di depan tempat tidur sang majikan.
Diego menatap dengan wajah tak percaya, melihat sosok Tuan besar yang begitu ia hormati, terbaring kaku di tempat tidur.
“Tu-Tuan Andrew... apa maksudnya ini? Tadi malam Tuan Sergio baik-baik saja, kami tertawa bersama dan-” Diego tak bisa melanjutkan kata-katanya, air matanya tumpah mengalir deras, ia jatuh berlutut di depan tempat tidur sang majikan, menangis terisak.
“Subuh tadi, Tuan Sergio sudah berpulang akibat serangan jantung, Diego...,” ucap Andrew yang berdiri di belakang Diego. “Terima kasih, selama beberapa hari terakhir ini, aku tidak pernah melihat sahabatku tertawa begitu lepas.”
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya den
Diego duduk tegak di kursi tamu di ruang kerja Andrew, matanya terpaku pada peta struktur organisasi Grup Ortiz yang terpasang di dinding. Andrew, yang berdiri di sampingnya, menjelaskan dengan detail setiap bagian dari bisnis keluarga Ortiz, dari industri manufaktur hingga jaringan hotel mewah di seluruh dunia.Diego mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami kompleksitas kekaisaran bisnis yang ditinggalkan oleh Sergio Ortiz."...dan di sisi keluarga, ada Miguel Ortiz, adik Sergio, yang dikenal cukup ambisius dalam mengembangkan sayap bisnisnya sendiri," Andrew menjelaskan, menunjuk foto Miguel di peta organisasi. "Lalu, ada Juan Ortiz, putra Sergio yang belum banyak terlibat dalam urusan bisnis keluarga... setidaknya, belum."Diego merasa matanya melebar ketika mendengar tentang Juan. Ia tidak menyangka bahwa Sergio memiliki seorang putra. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya adalah, untuk apa Andrew menjelaskan semua ini kepadanya? Diego hanyala
Dalam kesunyian kamar, Diego dengan hati-hati meletakkan mangkuk yang telah kosong di atas meja, menandai akhir dari sesi makan Ariana. Ia lalu mengambil gelas berisi air putih dan mendekati majikannya dengan langkah pelan, membantu Ariana minum dengan penuh perhatian.Setelah selesai, gelas itu diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kembali duduk di kursi, menemani sang majikan yang masih terisak dalam kesedihan."Nyonya, aku baru mengenal Tuan Sergio, masih banyak hal yang ingin aku tahu tentang beliau," ucap Diego, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu, membuka pintu bagi Ariana untuk berbagi kenangan."Apa Nyonya bisa bercerita tentang itu?"Ariana, setelah menyeka air matanya dengan tisu yang disodorkan Diego, memulai ceritanya tentang sosok Sergio, mendiang suaminya yang begitu ramah dan baik kepadanya.Suaranya terkadang terputus oleh isak tangis, namun semangat untuk menceritakan kenangan indah bersama Sergio membuat wanita itu terus berbicara, membuka jendela
Setelah melewati tes kecerdasan yang di ruang kerja Andrew, Diego menuju kamar Ariana. Ketika tiba di depan kamar, ia menemukan Adel duduk di sofa yang berada tepat di samping pintu, sibuk memainkan ponselnya dalam cahaya lembut yang memancar dari layar."Adel, Nyonya Ariana sudah bangun?" Diego bertanya dengan suara pelan, tidak ingin mengagetkan rekan kerjanya. Adel menoleh, memandang Diego sejenak sebelum menjawab, "Aku baru saja mengecek, Diego. Belum, Nyonya masih tidur," jawab Adel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.Diego mengangguk, "Terima kasih, Adel. Aku akan masuk sebentar untuk mengecek kondisi Nyonya."Dengan itu, ia perlahan membuka pintu kamar, membiarkan sedikit cahaya dari luar masuk sebelum menutup pintu di belakangnya.Kamar sang majikan terlihat gelap, hanya sedikit matahari senja dari celah jendela yang berhasil masuk. Diego menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, menyetel cahayanya agar tidak terlalu terang, hanya cukup untuk m
Ariana mengamati sampul buku di tangan Diego dengan rasa penasaran. "The Art of Leadership?" bisiknya lembut, "Suamiku juga menyukai buku seperti ini. Kamu suka membaca buku bertema kepemimpinan?"Diego mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Ah... tidak, Nyonya. Saya baru pertama kali membaca buku ini," jawabnya, jemarinya mengusap sampul buku itu."Kata Tuan Andrew, buku ini akan bermanfaat untuk membantu Nyonya," lanjut Diego.Alis Ariana terangkat, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan keheranan. "Membantuku? Maksudmu bagaimana?""Mulai hari ini, saya ditugaskan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Tuan Andrew sedang mengajariku segala hal yang perlu saya ketahui untuk meningkatkan kemampuan saya melayani Nyonya," balas Diego, menjelaskan posisi barunya ke Ariana.Ariana terdiam, ekspresinya berubah dari keterkejutan menjadi sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia sama sekali tidak menduga akan ada perubahan ini. Namun, dalam hatinya tersimpan rasa syukur
Embun pagi masih membasahi rerumputan halaman depan kediaman mewah Ariana. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus dedaunan, menciptakan bayangan panjang di halaman luas berlapis marmer putih. Andrew berdiri tegap di depan Diego dan teman-temannya yang sudah berkumpul di halaman itu.Diego terlihat gelisah dan kegelisahan yang ia rasakan bukan sekadar kecemasan biasa, melainkan pergolakan batin yang mendalam. Semalam, Andrew secara pribadi memberitahu dirinya, jika pagi ini dia akan mengumumkan posisi baru Diego asisten pribadi Ariana.Bagi Diego, ini adalah momen yang sulit dipercaya. Dia baru bekerja kurang dari sebulan di mansion megah ini, dan kini akan dipercaya mendampingi nyonya rumah. Bayangan tentang reaksi teman-temannya memenuhi pikirannya. Akankah mereka marah karena Diego yang baru bergabung mendapat kenaikan jabatan? Atau menganggap Diego hanya karyawan beruntung?Jorge, sahabat Diego yang merekomendasikan bekerja di tempat ini, menatap Diego dengan tajam. Sepersekian
Sinar matahari pagi yang lembut menyinari kediaman mewah Ariana, membawa kehangatan yang tidak hanya terasa pada kulit, melainkan juga pada hati para karyawan yang bekerja di sana. Hari ini, kebahagiaan terpancar jelas dari wajah semua orang, karena hari ini adalah hari mereka terima gaji.Di lobi mes karyawan, suara tawa dan bisikan-bisikan riang terdengar saat beberapa karyawan sibuk mengatur jadwal mereka malam ini. Di teras yang sedikit lebih tenang, Diego duduk santai bersebelahan dengan Jorge, sahabatnya.Diego memegang secarik kertas terlipat di tangannya, yang berisi rincian gajinya bulan ini. Mata mereka berdua tertuju pada kertas itu, perlahan, Diego membuka lipatan kertas, dan apa yang terungkap membuat mata mereka melebar."What The?" seru Jorge, matanya terbuka semakin lebar.Tangan Diego yang memegang kertas mulai bergetar, nominal yang fantastis tercetak di atas kertas, $11.000 USD. Jumlah yang bahkan membuat Diego sendiri tercengang, tidak percaya."Wow, Diego... seper
Mobil mereka tiba di pusat perbelanjaan fashion tereksklusif di Sevilla, tempat yang selama ini hanya menjadi mimpi bagi kalangan menengah. Diego turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi lain mobil untuk membuka pintu Ariana.Sang majikan masih duduk di dalam, menggeser kedua kakinya hingga menjuntai keluar, tanpa high heels. Tatapan memohonnya bertemu dengan Diego—sebuah tatapan yang sudah ia kenal benar, penuh dengan maksud tersembunyi."Tolong, Diego," pintanya dengan nada lembut yang selalu berhasil meluluhkan pertahanan sang asisten.Diego mengangguk paham. Dia meraih high heels merah dari kursi belakang, kemudian berjongkok di depan Ariana. Jemarinya yang kokoh namun lembut memasang sepatu hak tinggi itu dengan teliti, seakan-akan ia sedang menangani barang yang paling berharga."Terima kasih, Diego," ucap Ariana perlahan sembari turun dari mobil.Keduanya melangkah beriringan memasuki gedung mewah itu. Diego tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, ini pertama kalinya dia memasuki
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani