“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat.
"Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.
Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.
Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.
Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat.
"Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya.
"Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha mengabaikan rasa gugup yang menyelimuti dan menikmati momen ini.
Suasana di tepi kolam renang menjadi hening, hanya desahan napas Ariana dan Diego yang terdengar samar. Wajah keduanya merona, menahan malu yang tak bisa mereka sembunyikan.
Diego terus memijat punggung Ariana dengan lembut, tangannya meraba dengan hati-hati, memberikan tekanan yang pas. Namun, napasnya perlahan memburu, begitu nalurinya sebagai pria mulai bangkit.
“Si... sialan, ini bahaya,” batinnya, lalu dengan cepat menutup kedua matanya, berusaha mengendalikan diri.
Tangannya bergerak lembut dari pinggang Ariana, naik perlahan menuju pundak sang majikan. Kedua telapak tangan besar itu, yang tadinya bergerak bersamaan, kini bergerak saling berjauhan, menjelajahi lengan sang majikan.
Otot-otot Ariana semakin rileks, ia sangat menikmati hingga tanpa sadar ia mengeluarkan desahan tipis, “Ah...”
Diego terkejut, desahan Ariana terdengar begitu sensual di telinganya.
Deg! Deg! Deg! Jantungnya berdebar cepat, pikirannya berkecamuk, dan naluri yang sejak tadi ia tahan akhirnya semakin tak terkontrol. Tiba-tiba, ia merasakan celananya menyempit di dalam sana.
“Arg! Sialan! Ini gawat! Gawat!” pekik Diego dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Ariana, bisa merasakan getaran samar dari tangan Diego, hal itu membuat ia penasaran dan akhirnya melirik melalui ujung matanya. Ia sedikit terkejut mendapati Diego menutup erat matanya, ekspresi pria itu terlihat lucu. Ketegangan yang ia rasakan mendadak sirna, berganti menjadi tawa kecil di dalam hati.
Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Saat matanya perlahan turun menyusuri tubuh Diego, ia sontak membelalak, mendapati sesuatu yang mengembung di balik celana kain panjang berwarna hitam yang Diego kenakan.
Dengan cepat, Ariana mengalihkan pandangannya, wajahnya kembali merona. Kali ini bukan hanya wajahnya, situasi di sekitarnya juga mendadak terasa panas.
“I-itu kan?” batinnya, menggigit bibir bawahnya sendiri.
Tanpa disadari oleh Ariana dan Diego, empat pasang mata tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Sergio dan Andrew mengintip melalui celah kecil di tirai jendela rumah, menyaksikan momen intim yang terjadi di tepi kolam renang.
“Andrew, lihat itu, mereka berdua malu-malu kucing, hehehe,” ujar Sergio terkekeh pelan.
“Tuan... aku sudah tahu rencana Anda, tapi biar bagaimana pun, Ariana itu istri Anda. Tidak seharusnya Anda terlihat senang saat istri Anda disentuh pria lain,” jawab Andrew disertai helaan napas pelan. Namun, Sergio hanya kembali terkekeh, menikmati momen canggung antara Ariana dan Diego, seolah tak peduli dengan ucapan Andrew barusan.
Selama lima belas menit, Diego memijat punggung Ariana dengan lembut, suasana di sekitar mereka terasa hangat dan intim. Ketika akhirnya selesai, Diego meraih handuk berwarna putih yang terletak di meja, menutupi punggung Ariana dengan lembut. Ia kemudian memutar tubuhnya membelakangi Ariana, berusaha memberi ruang bagi wanita itu untuk bangkit.
Ariana perlahan bangkit, membungkus tubuhnya dengan handuk, menutupi bagian dadanya yang terbuka.
“Terima kasih, Diego, itu sangat nyaman,” ujar Ariana, senyum manis menghiasi wajahnya.“I-Iya, Nyonya. Kalau begitu, aku mohon pamit,” balas Diego dengan suara gugup, yang tetap membelakangi Ariana. Tanpa menunggu jawaban dari Ariana, ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat.
Ariana tersenyum, langsung bisa menebak apa yang membuat Diego buru-buru pergi, dan ia tidak bisa menahan tawa kecil dalam hati. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, dan melangkah masuk ke dalam rumah, dengan pikiran yang masih terombang-ambing oleh momen intim yang baru saja terjadi.
Jam menunjukkan pukul 7:30 malam, setelah makan malam, Diego diminta menghadap Sergio di kamar tidur sang majikan. Ariana seperti biasanya menunggu di depan pintu, ia dan Ariana kompak mengalihkan pandangan begitu mata mereka bertemu.
Rasa canggung menyelimuti dirinya. Dalam benak Diego, bayangan punggung indah Ariana yang sore tadi ia sentuh kembali menghantui. Wajahnya memerah, dan ia berusaha mengalihkan pikirannya.
Di sisi lain, Ariana juga merasakan ketegangan yang sama. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan saat menatap bagian celana Diego tadi, dan wajahnya pun memerah, menciptakan suasana yang kaku di antara mereka.
“Ayo masuk, Diego,” ucap Ariana pada akhirnya, ia mengajak Diego masuk ke dalam kamarnya.
“Iya, Nyonya,” jawab Diego, ia melangkah mengikuti Ariana. Begitu berada di dalam kamar, matanya bertemu dengan mata Sergio yang tengah duduk di tempat tidur, senyum muncul di wajah Diego.
“Diego! Ayo kemari! Aku juga mau dipijat!” seru Sergio bersemangat.
Diego melangkah dengan tenang menuju samping tempat tidur, tangannya meraih botol minyak urut herbal. Botol yang sama yang ia gunakan saat memijat Ariana tadi.
Sergio, di sisi lain, melepas jubah tidur sutra berwarna hitam yang ia kenakan hingga hanya mengenakan celana pendek. Ia lalu berbaring di tempat tidur dengan posisi membelakangi Diego. Ariana sendiri duduk di sofa, memainkan ponselnya, namun matanya tak bisa lepas dari tempat tidur.
Diego mulai memijat punggung Sergio dengan lembut. Tangan Diego bergerak dengan terampil, mengoleskan minyak ke punggung Sergio. Gerakan tangannya lembut namun tegas, mengikuti lekuk tubuh Sergio.
Sergio menghela napas lega, merasakan kenyamanan yang menyebar dari punggungnya.
“Burp…,” ia bersendawa, lalu berkata, “Maaf, Diego. Pantas saja istriku memuji kemampuan memijatmu, karena memang sangat nikmat!”
“Terima kasih, Tuan,” jawabnya, ia tersenyum bangga mendengar pujian itu.
“Siapa yang mengajari kamu memijat?” tanya Sergio, matanya perlahan terpejam.
“Setelah kedua orang tuaku meninggal, sahabat ayahku, Henry Sulistyo, mengadopsiku. Dia merawatku dari kecil hingga tamat sekolah,” terang Diego.
“Pamanku, usianya sama dengan Anda, dan dia suka di pijat di bagian punggung dan betis ketika ia sedang tidak enak badan, dan dialah yang mengajarku cara memijat.”
Sergio mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Sulistyo? Nama itu terdengar asing,” ucapnya, sedikit penasaran.
“Ya, mendiang pamanku berasal dari Indonesia, dari kota Surabaya, dan tinggal di Madrid,” jawab Diego. “Entah mengapa, sosok Anda mengingatkanku kepada mendiang pamanku.”
Sergio tersenyum, dalam hati ia mulai memahami alasan mengapa Diego begitu sopan dan tulus.
“Ah, Surabaya! Aku beberapa kali mengunjungi tempat itu karena urusan bisnis. Orang-orang di sana sangat baik dan ramah,” Sergio bercerita, matanya berbinar.
“Apa Anda bisa bercerita lebih banyak tentang hal itu?” pinta Diego.
Sergio lalu menyebut beberapa tempat di Surabaya, dan Diego langsung menimpali, “Aku pernah melihat tempat-tempat itu di album foto pamanku!” Keduanya terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan, tawa mereka mengisi ruangan.
Sementara itu, dari sofa, mata Ariana tidak lagi fokus menatap ponselnya. Sejak tadi, ia memperhatikan interaksi suaminya dan Diego yang benar-benar lepas. Matanya berkaca-kaca, merasakan begitu banyak sisi lain yang ia temukan dari sang suami saat bersama Diego. Rasa syukur dan haru menyelimuti hatinya, menyadari betapa berartinya hubungan ini bagi keduanya.
“Mungkin aku bisa mengajakmu saat ada kunjungan ke Surabaya,” ucap Sergio, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Benar, Tuan?” Diego bertanya penuh harap, gerakan tangannya berhenti sejenak.
“Hahaha, iya,” jawab Sergio, tawa ceria itu mengisi ruangan, menambah kehangatan di antara mereka.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sejenak. Keesokan paginya, Diego dipanggil oleh Andrew, dan ia kembali berdiri di depan tempat tidur sang majikan.
Diego menatap dengan wajah tak percaya, melihat sosok Tuan besar yang begitu ia hormati, terbaring kaku di tempat tidur.
“Tu-Tuan Andrew... apa maksudnya ini? Tadi malam Tuan Sergio baik-baik saja, kami tertawa bersama dan-” Diego tak bisa melanjutkan kata-katanya, air matanya tumpah mengalir deras, ia jatuh berlutut di depan tempat tidur sang majikan, menangis terisak.
“Subuh tadi, Tuan Sergio sudah berpulang akibat serangan jantung, Diego...,” ucap Andrew yang berdiri di belakang Diego. “Terima kasih, selama beberapa hari terakhir ini, aku tidak pernah melihat sahabatku tertawa begitu lepas.”
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya de
Diego Martin duduk dengan tenang di sebuah kafe kecil diMadrid, di tangannya, diamemegang sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna emas.Senyumnya mengembang saat dia menatap kotak itu, kotak berisikan cincin yang dia beli dengan hasil jerihpayahnya selama bekerja. Cincin yangakan menjadi simbol dari cinta dan komitmennya kepada Valentina—kekasihnya. Pria berparastampan itu berniat melamar Valentina.Wanita cantik yang telahmenjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir, tanpa memedulikanstatusnya sebagai tukang bersih-bersih. Menurut Diego, Valentina adalah wanita langka—wanita cantik yang memiliki senyuman yang begituindah dan hati yang luas.Suasana di kafe itu ramai, suara tawa dan percakapan mengisiudara. Namun, pikiran Diego sepenuhnya terfokus pada momen yang akan datang.Pintu kafe terbuka, dan hatinya berdegup kencang saat melihat sosok yangdinantikannya. Valentina muncul di ambang pintu, dengan senyum ceria diwajahnya, memancarkan cahaya
“Diego! Bagaimana dengan lamaran—” Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kalatersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini,Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajahDiego. Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karenaterkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara. “Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu,langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge.Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia takperlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik. Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, bergantipakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjaditerasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakansemuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya. Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnyamenjadi peng
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa. Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya de
“Mulus sekali,” batin Diego, instingnya sebagai lelaki normal terbangun dengan jantungnya berdetak cepat."Kalau begitu aku mulai, Nyonya," ucapnya pelan, suaranya terdengar ragu dan sedikit tercekat.Ariana mengangguk pelan. "Iya, silakan," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.Pipi wanita itu memanas. Ia tersipu malu, berusaha menjaga ketenangannya. “Kenapa aku bisa gugup begini? Ini hanya pijatan. Tapi, jantungku... ya ampun, kenapa berdebar seperti ini?” Ucapnya Dalam hati.Dalam pikirannya terbayang kembali bentuk tubuh Diego yang atletis dan berotot, yang ia lihat tadi. Dan pria itu sekarang sedang menyentuh punggungnya secara langsung.Diego pun mulai menggerakkan tangannya dengan hati-hati, berusaha menemukan kekuatan yang tepat."Apa segini cukup, Nyonya?" tanya Diego, khawatir pijatannya justru menyakiti majikannya."Iya, cukup nyaman," jawab Ariana, berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya berdetak semakin cepat, merasakan sentuhan tangan Diego. Ia menutup mata, berusaha
Suasana sore itu terasa santai dan penuh tawa di sekitarkolam renang. Di tepi kolam, Ariana duduk bersandar nyaman di kursinya bersamaDiego dan Andrew, menikmati suasana tenang sambil menyaksikan aksi Jorge danDiego yang sedang sibuk mengurus taman.Jorge terlihat mendekati Diego, dan tanpa aba-aba, iamengarahkan selang air langsung ke tubuh sahabatnya.Air menyembur deras, membasahi baju Diego dalam sekejap."Hei, Jorge! Berhenti!" Diego protes, lalu tertawa lepas.Ariana dan Sergio yang melihat aksi kocak itu, ikut tertawa.Setelah beberapa hari bersama dan semakin akrab dengan Sergio dan Ariana, keduapria itu tak lagi merasa sungkan untuk bercanda seperti ini.Diego lalu meraih ujung bajunya, menariknya hingga terlepas,memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot di bawah sinar matahari.“Andrew, lihat tingkah mereka, hahaha,” ucap Sergio sambilterkekeh.Andrew, yang berdiri di samping Sergio, tersenyum kaku, lalumenghela napas dan berujar dengan sedikit ragu, “Maafkan
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
“Diego! Bagaimana dengan lamaran—” Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kalatersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini,Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajahDiego. Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karenaterkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara. “Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu,langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge.Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia takperlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik. Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, bergantipakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjaditerasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakansemuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya. Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnyamenjadi peng
Diego Martin duduk dengan tenang di sebuah kafe kecil diMadrid, di tangannya, diamemegang sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna emas.Senyumnya mengembang saat dia menatap kotak itu, kotak berisikan cincin yang dia beli dengan hasil jerihpayahnya selama bekerja. Cincin yangakan menjadi simbol dari cinta dan komitmennya kepada Valentina—kekasihnya. Pria berparastampan itu berniat melamar Valentina.Wanita cantik yang telahmenjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir, tanpa memedulikanstatusnya sebagai tukang bersih-bersih. Menurut Diego, Valentina adalah wanita langka—wanita cantik yang memiliki senyuman yang begituindah dan hati yang luas.Suasana di kafe itu ramai, suara tawa dan percakapan mengisiudara. Namun, pikiran Diego sepenuhnya terfokus pada momen yang akan datang.Pintu kafe terbuka, dan hatinya berdegup kencang saat melihat sosok yangdinantikannya. Valentina muncul di ambang pintu, dengan senyum ceria diwajahnya, memancarkan cahaya