Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.
Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.
Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.
Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Diego Martin duduk dengan tenang di sebuah kafe kecil diMadrid, di tangannya, diamemegang sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna emas.Senyumnya mengembang saat dia menatap kotak itu, kotak berisikan cincin yang dia beli dengan hasil jerihpayahnya selama bekerja. Cincin yangakan menjadi simbol dari cinta dan komitmennya kepada Valentina—kekasihnya. Pria berparastampan itu berniat melamar Valentina.Wanita cantik yang telahmenjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir, tanpa memedulikanstatusnya sebagai tukang bersih-bersih. Menurut Diego, Valentina adalah wanita langka—wanita cantik yang memiliki senyuman yang begituindah dan hati yang luas.Suasana di kafe itu ramai, suara tawa dan percakapan mengisiudara. Namun, pikiran Diego sepenuhnya terfokus pada momen yang akan datang.Pintu kafe terbuka, dan hatinya berdegup kencang saat melihat sosok yangdinantikannya. Valentina muncul di ambang pintu, dengan senyum ceria diwajahnya, memancarkan cahaya
“Diego! Bagaimana dengan lamaran—” Jorge, teman seapartemennya menyapa dengan semangat kalatersadar Diego telah kembali. Terlebih karena pria itu tahu bahwa hari ini,Diego akan melamar Valentina. Tetapi, kalimatnya terhenti saat melihat wajahDiego. Pria itu terdiam, mendapati Diego yang basah kuyup karenaterkena hujan, dengan wajah yang tak bisa bersandiwara. “Hah... kamu sebaiknya mandi dan ganti pakaian. Setelah itu,langsung istirahat. Biar kamu lupa, besok ada job baru untuk kamu,” ucap Jorge.Melihat sosok sang sahabat yang melangkah pelan menuju kamar mandi, dia takperlu bertanya lagi dan langsung sadar jika lamaran Diego tidak berjalan baik. Setelah mandi, Diego segera ke kamar tidurnya, bergantipakaian, dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Semua yang terjaditerasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakansemuanya, tetapi bayangan Valentina terus menghantuinya. Tangannya terus menggenggam kotak cincin yang harusnyamenjadi peng
Tawa Ariana lepas, mendengar jawaban Diego. “Yang aku tanyanamamu,” ujar Ariana.Diego tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. Sadar akantindakannya, Diego dengan cepat menundukkan pandangannya. “Na... namaku Diego, Nyonya,” jawab Diego terbata-bata,suaranya hampir tak terdengar. Ariana yang masih tertawa kembali duduk di kursitaman, suara tawa sang majikan membuat Diego semakin salah tingkah.“Ah... sialan, kenapa aku bisa bertingkah bodoh sepertiini,” gumam Diego dalam hati, merasa malu dengan dirinya sendiri.Tangan Ariana meraih selembar kertas di meja. “Ini kontrakkerjamu, kamu bisa membacanya dulu, lalu tanda tangan jika kamu setuju denganpoin-poin yang tertera di sini,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu keDiego.Diego melangkah pelan, menerima kertas itu. Begitu membacatulisan di dalamnya, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.“Maaf... Nyonya, apa gaji saya tidak salah?” tanyanya,matanya terbelalak melihat nominal angka gajinya yang empat kali lebih besardari
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani