Diego duduk tegak di kursi tamu di ruang kerja Andrew, matanya terpaku pada peta struktur organisasi Grup Ortiz yang terpasang di dinding. Andrew, yang berdiri di sampingnya, menjelaskan dengan detail setiap bagian dari bisnis keluarga Ortiz, dari industri manufaktur hingga jaringan hotel mewah di seluruh dunia.
Diego mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami kompleksitas kekaisaran bisnis yang ditinggalkan oleh Sergio Ortiz.
"...dan di sisi keluarga, ada Miguel Ortiz, adik Sergio, yang dikenal cukup ambisius dalam mengembangkan sayap bisnisnya sendiri," Andrew menjelaskan, menunjuk foto Miguel di peta organisasi. "Lalu, ada Juan Ortiz, putra Sergio yang belum banyak terlibat dalam urusan bisnis keluarga... setidaknya, belum."
Diego merasa matanya melebar ketika mendengar tentang Juan. Ia tidak menyangka bahwa Sergio memiliki seorang putra. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya adalah, untuk apa Andrew menjelaskan semua ini kepadanya? Diego hanyalah seorang tukang kebun, bukan bagian dari tim manajemen Grup Ortiz.
“Diego... Diego!” Suara Andrew membuyarkan Diego dari lamunannya, membuatnya sedikit terlonjak.
“I-iya Tuan”, jawab Diego, terbata-bata seraya memperbaiki posisi duduknya.
Andrew berjalan mendekati Diego dengan ekspresinya serius. “Ingat, Diego, selalu berhati-hati kepada anggota keluarga Tuan Sergio, khususnya Miguel dan Juan. Tidak ada hal baik yang akan terjadi jika berhubungan dengan mereka”.
Diego mengangguk paham, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan keraguan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak dikatakan oleh Andrew, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar peringatan.
“Tapi tuan, apa gunanya aku mengetahui semua ini?” Diego akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Aku hanya tukang kebun,” tambahnya, matanya mencari jawaban di wajah Andrew.
"Aku menjelaskan semua ini, karena mulai hari ini kamu akan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana," ucap Andrew dengan nada tegas.
Diego tersentak, ia refleks berdiri dari duduknya. "Jadi asisten pribadi Nyonya Ariana?" ulangnya, tidak percaya.
Dengan sikap rendah hati, Diego menggelengkan kepalanya. "Maaf Tuan, aku sadar diri dengan kemampuanku, jika boleh aku ingin menolak posisi itu."
Andrew tertawa mendengar jawaban jujur Diego. "Sepertinya apa yang Tuan Sergio katakan benar," lanjutnya tertawa, membuat Diego semakin bingung.
"Ma-maksud Tuan?" tanya Diego.
"Ini permintaan langsung dari Tuan Sergio. Apa kamu yakin ingin menolaknya? Jujur, aku akan tetap menghargai keputusanmu.”
"Tuan Sergio?" Diego tercengang.
Andrew mengangguk pelan. "Iya Diego. Sebelum meninggal, Tuan Sergio memberi perintah agar kamu diangkat menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Jadi... apa kamu mau menolak permintaan ini?"
Diego tertunduk, bertanya-tanya dalam hati mengapa Tuan besar mereka begitu percaya padanya. Perlahan, ia kembali duduk di kursi dengan pikiran berkecamuk.
Andrew tentu memahami kegelisahan Diego. Dengan lembut, ia meletakkan tangannya di pundak Diego.
"Aku akan membantumu, mengajari apa saja yang kamu perlukan. Sekarang yang ingin aku dengar, apa kamu bersedia atau tidak?"
Mendengar itu, Diego menghela napas lega. Ia mengangkat wajahnya, menatap Andrew dengan tekad yang mulai terbentuk. "Jika kondisinya memang begitu, aku siap menjalankan perintah terakhir Tuan besar."
Andrew tersenyum puas. Dia memberi tepukan pelan sekali lagi di pundak Diego, lalu kembali duduk di kursi kerjanya.
"Bagus. Sekarang, mari kita bahas detail tugasmu, dan apa saja yang perlu kamu ketahui tentang posisi Nyonya Ariana di keluarga Ortiz."
Dalam beberapa menit saja, Andrew berhasil membuka mata Diego tentang kompleksitas hubungan keluarga Ortiz. Setiap kata yang diucapkan Andrew membuat Diego semakin terkejut, emosinya mulai memuncak.
"Nyonya Ariana dianggap benalu?" tanya Diego dengan nada suara meninggi, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Andrew menghela napas pelan, ia menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. "Iya, Diego. Seperti itulah kenyataannya. Tak ada satu pun dari keluarga besar Tuan Sergio yang menyukai Nyonya Ariana,” terangnya.
“Mereka menganggap Nyonya Ariana hanya mengincar harta Tuan Sergio, dan itu terjadi sejak Nyonya besar resmi menjadi istri Tuan Sergio," sambung Andrew.
"Nyonya sangat mencintai Tuan Sergio. Begitu pun sebaliknya. Aku yang orang bodoh pun tahu dan bisa melihat itu. Bagaimana mereka bisa berpikir seperti itu?" sergahnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahannya.
Andrew tersenyum tipis, seolah menguji reaksi Diego. "Mendengar ini, aku harap kamu sudah mengerti tugas utamamu nanti sebagai asisten Nyonya besar."
Diego mengangguk tegas. Tatapannya berubah tajam, penuh tekad. "Iya Tuan," jawabnya singkat dengan penuh keyakinan.
**
Kamar tidur mewah Ariana, kini terasa kosong dan sunyi. Wanita itu duduk di tepi tempat tidur, memeluk erat bingkai foto mendiang suaminya.
Kesedihan yang mendalam masih terukir jelas di wajahnya, namun tak ada lagi air mata yang tumpah dari pelupuk matanya, seolah air mata itu sudah kering setelah dua minggu penuh menangisi kepergian sang suami.
Di benak Ariana, kembali terbayang momen ketika dia baru pulang dari pemakaman sang suami. Keluarga besar suaminya langsung sibuk mengurus pembagian harta, di selingi tawa yang terdengar sinis.
Dua minggu itu seakan menjadi neraka bagi Ariana. Ia tidak bisa langsung pulang karena sibuk mendampingi pengacara sang suami, mengurus terkait pembagian harta dan juga bisnis sang suami.
Selama dua minggu itu, Ariana menerima semua cacian kebencian dari keluarga besar sang suami. Saat Sergio masih ada, mereka selalu memuji, dan berusaha bersikap ramah kepadanya. Dan sekarang, mereka menunjukkan sifat asli mereka.
Adele, salah satu pelayan wanita di tempat itu, yang diminta Andrew untuk mengawasi Ariana, tidak bisa menahan air matanya. Kondisi sang majikan, yang biasanya sangat ceria, kini terlihat sangat menyedihkan.
Nampan berisi makanan yang ia letakkan di meja tak disentuh oleh Ariana, ia semakin mengkhawatirkan kondisi sang majikan. Apalagi tadi Andrew sempat berkata, jika Ariana selama dua minggu ini hanya makan sedikit saja.
Tiba-tiba, terdengar suara berbicara. "Apa Nyonya sudah mau makan?"
Adele menoleh sekilas ke arah Diego, lalu kembali menatap Ariana, "Tidak Diego, Nyonya belum menyentuh makanannya sama sekali," balasnya dengan suara pelan.
"Baiklah, kalau begitu biar aku saja yang urus," ucap Diego sembari tersenyum.
Sebelum Adele sempat membalas atau bereaksi, Diego telah melangkah masuk ke dalam ruangan. Tangan kanannya bergerak meraih mangkuk berisi “Gachas” (bubur khas spanyol) dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menarik kursi.
Diego berjalan menghampiri Ariana, ia menempatkan kursi itu tepat di depan Ariana.
“Diego?” tanya Ariana, sedikit terkejut dengan tindakan Diego.
Diego tidak langsung menjawab pertanyaan Ariana, tangannya yang lincah meraih sendok.Dengan hati-hati ia menyendok bubur di mangkuk, lalu mengarahkan sendok itu ke mulut Ariana.
“Tu-tunggu Diego.” Kepala Ariana bergerak mundur, menjauh dari sendok yang Diego sodorkan.
Senyum Diego mengembang, begitu hangat dan penuh empati.
"Nyonya, makan dulu ya, Tuan besar pasti sedih melihat Nyonya seperti ini. Setelah makan aku akan menemani Nyonya sepanjang waktu, nyonya bebas bercerita apapun. Aku berjanji akan tetap berada di samping Nyonya, mendengar semua keluh kesah Nyonya, seperti yang biasa Tuan Sergio lakukan.”
Kalimatnya terdengar sederhana, namun mengandung makna yang mendalam, membawa kenangan indah tentang Sergio.
Ariana tercengang mendengar itu, kepalanya mengangguk pelan, tanpa sadar air mata yang ia kira telah kering kembali menggenang di pelupuk matanya.
Wanita itu membuka mulutnya, menyambut sendok yang Diego sodorkan dengan bibir bergetar.
“Diego... Sergio... Sergio telah...” Suaranya terputus, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Air matanya tumpah, mengalir dengan deras membasahi pipinya yang pucat.
Di depannya, Diego tetap tenang, menyuap dirinya dengan sabar, yang terus menangisi kehilangan suaminya.
Di dekat pintu masuk, di belakang Adele, Andrew yang baru tiba mengamati mereka. Pria paruh baya itu, yang telah menjadi saksi bisu atas semua peristiwa di rumah ini, tersenyum lembut sembari mengingat ucapan sang majikan, sebelum pergi untuk selamanya.“Tuan besar, Anda benar... Diego adalah orang yang tepat untuk menjaga Nyonya Ariana,” gumam Andrew dalam hati.
Ia mengingat bagaimana Sergio begitu tertarik dengan sosok Diego, bahkan ketika menjelang akhir hayatnya, Sergio masih menyebut nama Diego sebagai salah satu orang yang bisa diandalkan.
Jangan lupa masukkan ke daftar baca kalian ya~
Dalam kesunyian kamar, Diego dengan hati-hati meletakkan mangkuk yang telah kosong di atas meja, menandai akhir dari sesi makan Ariana. Ia lalu mengambil gelas berisi air putih dan mendekati majikannya dengan langkah pelan, membantu Ariana minum dengan penuh perhatian.Setelah selesai, gelas itu diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kembali duduk di kursi, menemani sang majikan yang masih terisak dalam kesedihan."Nyonya, aku baru mengenal Tuan Sergio, masih banyak hal yang ingin aku tahu tentang beliau," ucap Diego, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu, membuka pintu bagi Ariana untuk berbagi kenangan."Apa Nyonya bisa bercerita tentang itu?"Ariana, setelah menyeka air matanya dengan tisu yang disodorkan Diego, memulai ceritanya tentang sosok Sergio, mendiang suaminya yang begitu ramah dan baik kepadanya.Suaranya terkadang terputus oleh isak tangis, namun semangat untuk menceritakan kenangan indah bersama Sergio membuat wanita itu terus berbicara, membuka jendela
Setelah melewati tes kecerdasan yang di ruang kerja Andrew, Diego menuju kamar Ariana. Ketika tiba di depan kamar, ia menemukan Adel duduk di sofa yang berada tepat di samping pintu, sibuk memainkan ponselnya dalam cahaya lembut yang memancar dari layar."Adel, Nyonya Ariana sudah bangun?" Diego bertanya dengan suara pelan, tidak ingin mengagetkan rekan kerjanya. Adel menoleh, memandang Diego sejenak sebelum menjawab, "Aku baru saja mengecek, Diego. Belum, Nyonya masih tidur," jawab Adel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.Diego mengangguk, "Terima kasih, Adel. Aku akan masuk sebentar untuk mengecek kondisi Nyonya."Dengan itu, ia perlahan membuka pintu kamar, membiarkan sedikit cahaya dari luar masuk sebelum menutup pintu di belakangnya.Kamar sang majikan terlihat gelap, hanya sedikit matahari senja dari celah jendela yang berhasil masuk. Diego menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, menyetel cahayanya agar tidak terlalu terang, hanya cukup untuk m
Ariana mengamati sampul buku di tangan Diego dengan rasa penasaran. "The Art of Leadership?" bisiknya lembut, "Suamiku juga menyukai buku seperti ini. Kamu suka membaca buku bertema kepemimpinan?"Diego mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Ah... tidak, Nyonya. Saya baru pertama kali membaca buku ini," jawabnya, jemarinya mengusap sampul buku itu."Kata Tuan Andrew, buku ini akan bermanfaat untuk membantu Nyonya," lanjut Diego.Alis Ariana terangkat, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan keheranan. "Membantuku? Maksudmu bagaimana?""Mulai hari ini, saya ditugaskan menjadi asisten pribadi Nyonya Ariana. Tuan Andrew sedang mengajariku segala hal yang perlu saya ketahui untuk meningkatkan kemampuan saya melayani Nyonya," balas Diego, menjelaskan posisi barunya ke Ariana.Ariana terdiam, ekspresinya berubah dari keterkejutan menjadi sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia sama sekali tidak menduga akan ada perubahan ini. Namun, dalam hatinya tersimpan rasa syukur
Embun pagi masih membasahi rerumputan halaman depan kediaman mewah Ariana. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus dedaunan, menciptakan bayangan panjang di halaman luas berlapis marmer putih. Andrew berdiri tegap di depan Diego dan teman-temannya yang sudah berkumpul di halaman itu.Diego terlihat gelisah dan kegelisahan yang ia rasakan bukan sekadar kecemasan biasa, melainkan pergolakan batin yang mendalam. Semalam, Andrew secara pribadi memberitahu dirinya, jika pagi ini dia akan mengumumkan posisi baru Diego asisten pribadi Ariana.Bagi Diego, ini adalah momen yang sulit dipercaya. Dia baru bekerja kurang dari sebulan di mansion megah ini, dan kini akan dipercaya mendampingi nyonya rumah. Bayangan tentang reaksi teman-temannya memenuhi pikirannya. Akankah mereka marah karena Diego yang baru bergabung mendapat kenaikan jabatan? Atau menganggap Diego hanya karyawan beruntung?Jorge, sahabat Diego yang merekomendasikan bekerja di tempat ini, menatap Diego dengan tajam. Sepersekian
Sinar matahari pagi yang lembut menyinari kediaman mewah Ariana, membawa kehangatan yang tidak hanya terasa pada kulit, melainkan juga pada hati para karyawan yang bekerja di sana. Hari ini, kebahagiaan terpancar jelas dari wajah semua orang, karena hari ini adalah hari mereka terima gaji.Di lobi mes karyawan, suara tawa dan bisikan-bisikan riang terdengar saat beberapa karyawan sibuk mengatur jadwal mereka malam ini. Di teras yang sedikit lebih tenang, Diego duduk santai bersebelahan dengan Jorge, sahabatnya.Diego memegang secarik kertas terlipat di tangannya, yang berisi rincian gajinya bulan ini. Mata mereka berdua tertuju pada kertas itu, perlahan, Diego membuka lipatan kertas, dan apa yang terungkap membuat mata mereka melebar."What The?" seru Jorge, matanya terbuka semakin lebar.Tangan Diego yang memegang kertas mulai bergetar, nominal yang fantastis tercetak di atas kertas, $11.000 USD. Jumlah yang bahkan membuat Diego sendiri tercengang, tidak percaya."Wow, Diego... seper
Mobil mereka tiba di pusat perbelanjaan fashion tereksklusif di Sevilla, tempat yang selama ini hanya menjadi mimpi bagi kalangan menengah. Diego turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi lain mobil untuk membuka pintu Ariana.Sang majikan masih duduk di dalam, menggeser kedua kakinya hingga menjuntai keluar, tanpa high heels. Tatapan memohonnya bertemu dengan Diego—sebuah tatapan yang sudah ia kenal benar, penuh dengan maksud tersembunyi."Tolong, Diego," pintanya dengan nada lembut yang selalu berhasil meluluhkan pertahanan sang asisten.Diego mengangguk paham. Dia meraih high heels merah dari kursi belakang, kemudian berjongkok di depan Ariana. Jemarinya yang kokoh namun lembut memasang sepatu hak tinggi itu dengan teliti, seakan-akan ia sedang menangani barang yang paling berharga."Terima kasih, Diego," ucap Ariana perlahan sembari turun dari mobil.Keduanya melangkah beriringan memasuki gedung mewah itu. Diego tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, ini pertama kalinya dia memasuki
Seminggu setelah berpisah dengan Diego, Valentina dinikahi Javier Torres, seorang pengusaha kaya di Madrid. Perbedaan antara Javier dan Diego begitu nyata, baik dari segi fisik maupun perlakuan. Jika Diego pernah memanjakan Valentina dengan sentuhan dan perhatian, Javier sama sekali berbeda.Malam-malam mereka terasa hampa. Javier hanya memperlakukan Valentina sebagai objek pelepas hasrat, tanpa peduli akan kepuasan istrinya. Seusai mendapatkan apa yang diinginkannya, pria itu langsung terlelap, meninggalkan Valentina dalam keheningan dan kekecewaan.Valentina sendiri tahu alasan sebenarnya ia menerima lamaran Javier karena uang. Materi yang dijanjikan pria kaya itu mampu menjamin masa depannya. Bukan cinta, bukan kecocokan, melainkan sekadar transaksi kehidupan.Kemarin, mereka tiba di Sevilla. Perjalanan ini merupakan perjalanan bisnis Javier dan momen bulan madu mereka. Dan hari ini, Valentina menemani suaminya berbelanja pakaian formal di sebuah stan eksklusif.Saat itulah mata Val
Valentina melangkah dengan emosi yang mendidih, matanya mengunci sosok Diego yang berjalan cepat di depannya. Setiap langkahnya penuh amarah. Sepatu hak tingginya mengetuk keras lantai marmer yang ia lewati.Langkah kakinya semakin cepat, mengejar Diego yang tampak ingin segera menghilang dari pandangannya. Tak pernah terlintas dalam bayangan Valentina jika Diego, pria yang dulu begitu manis, penurut, dan selalu mengikuti kemauannya, kini bersikap sedemikian dingin kepadanya.Dengan langkah tergesa, Valentina mengejar Diego. "Diego! Berhenti!" teriaknya.Begitu jarak mereka sudah sangat dekat, tangannya terulur, meraih jaket lusuh Diego dan menariknya dengan kasar.Srakk!Jaket yang Diego kenakan sobek. Pria itu pun terpaksa berhenti, kemudian berbalik.Matanya tajam, menahan emosi yang siap meledak. "Sebenarnya apa maumu?"Air mata nyaris membasahi pelupuk mata Valentina, "Aku minta waktumu, aku ingin bicara!" raungnya dengan suara gemetar menahan tangis.Diego mendengus sinis. "Bic
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani