***
"Berisik, Mas, aku lagi cari angin."Spontan mengarahkan atensi ke pintu penghubung balkon dan kamar, itulah yang Juan lakukan setelah suara Senja terdengar dari balkon.Tak diam saja, setelah itu Juan melangkah menuju pintu yang ternyata tak terkunci rapat dan begitu pintu terbuka, sosok Senja dia dapati berdiri di dekat pagar pembatas.Membelakangi dirinya yang kini berdiri di ambang pintu, Senja sama sekali tak menoleh—membuat Juan diam selama beberapa saat sebelum akhirnya buka suara."Masuk, angin malam enggak bagus buat orang sakit.""Peduli apa kamu sama aku?" tanya Senja dengan suara yang terdengar begitu dingin. Tak menoleh, ketika berucap demikian gadis itu tetap di posisinya—membuat Juan menghela napas sebelum kemudian buka suara."Saya minta maaf," kata Juan—lumayan peka alasan Senja berucap demikian. "Meskipun bercerita tentang masalah rumah tangga saya pada siapa pun itu hak saya, tapi dengan rendah hat***"Hai."Berhenti di teras rumah setelah sebelumnya membuka pintu, sapaan tersebut lantas Senja lontarkan pada pria yang kini barusaja memberhentikan mobil.Tak di depan gerbang, mobil berhenti di depan pintu garasi karena memang bukan orang lain, yang Senja sapa sekarang adalah; Gian.Dihubungi pria itu beberapa menit setelah sadar dari pingsan, Senja mendapat tawaran dibelikan makanan oleh Gian yang katanya sudah di jalan.Merasa lapar setelah menangis bahkan tak sadarkan diri, Senja memesan mie ayam dan tak ada bantahan, Gian mengiakan permintaannya itu sehingga ketika melihat mobil adik iparnya tersebut sampai di depan gerbang, dia antusias.Mengabaikan Juan, Senja tak tahu suaminya itu mengikutinya bahkan sekarang ketika dia menyambut Gian, Juan mengintip dari dalam rumah."Wah, disambut Kakak ipar," kata Gian dari dalam mobil.Selang beberapa detik, pria itu membuka pintu dan sambil menenteng kresek, Gia
***"Harus banget sambelnya sebanyak itu? Sakit perut nanti kamu, Senja. Enggak usah aneh-aneh."Duduk berhadapan dengan Senja di meja makan, ucapan bernada omelan tersebut lantas Juan lontarkan setelah sang istri tanpa ragu membubuhkan dua sendok sambal ke dalam mie ayam yang akan disantap.Tak diterima dengan baik, larangannya justru membuat Senja mengangkat pandangan bahkan mendelik dan tentunya tak diam, Senja buka suara."Mas Juan bisa diem enggak?" tanya Senja. "Aku sekarang lagi sakit kepala dan buat ngobatinnya aku perlu makanan yang pedas-pedas. Jadi Mas jangan banyak komplen, karena sepedas apa pun mienya, yang makan aku bukan kamu.""Ya saya tahu, tapi kan-"Tak selesai Juan bicara, sebutir bakso berukuran kecil tiba-tiba saja masuk ke dalam mulutnya dan tak terbang sendiri, bakso tersebut adalah suapan dari Gian yang selanjutnya bicara."Enggak usah banyak komplen, Mas, biarin aja," kata Gian sambil tersenyum
***"Lho, kok ada Papa sih?"Mendadak bangun setelah mencoba terlelap setengah jam lalu, pertanyaan tersebut keluar dari mulut Kirania setelah sosok Juan ditemukannya meringkuk di kasur bagian bawah.Bermodel sorong, kasur milik Caca memang terdiri dari dua tingkat dan Juan kini berada di kasur yang tak dia dan sang adik pakai.Heran, itulah yang Kirania rasakan sehingga untuk beberapa saat yang dia lakukan adalah memandangi sang papa sebelum akhirnya beralih atensi ke ponsel di atas meja.Mencondongkan badan kemudian mengambil benda pipih tersebut, Kirania mencari nomor Senja untuk kemudian dia hubungi dan tanpa perlu menunggu lama, panggilannya dijawab."Halo, Kiran, ada apa?" tanya Senja. "Kamu tinggal serumah aja sampe telepon gini.""Aku males ke mana-mana, Tan," kata Kirania. "Ini juga sebenarnya lagi tidur cuman mendadak bangun.""Oh," ucap Senja. "Ada apa?""Tante usir Papa dari kamar?" tanya Ki
***"Perlu saya panggil dokter enggak?"Sambil memandang Senja yang sejak beberapa menit lalu mendongak, pertanyaan tersebut lantas Juan lontarkan dengan perasaan sedikit khawatir.Mendapati Senja yang tiba-tiba sibuk mengusap darah di bawah hidung, Juan yang beberapa menit lalu sudah berbaring memang memutuskan untuk beringsut.Mengambil sekotak tisu kemudian meminta Senja duduk, selanjutnya hal tersebutlah yang dia lakukan dan dengan sedikit ilmu yang dia miliki, Juan meminta Senja menengadahkan pandangan setelah darah yang keluar, berhasil dihentikan."Enggak usah," kata Senja. "Mimisan pas demam bukan hal aneh buat aku.""Sering?" tanya Juan—mendadak penasaran."Enggak terlalu, cuman pas zaman kuliah apalagi masa-masa skripsi, aku beberapa kali mimisan pas demam. Jadi enggak aneh lagi karena ini bukan pertama kali.""Enggak periksa ke rumah sakit?" tanya Juan. "Seharusnya cek karena mimisan yang kamu alamin
***"Bisa sakit juga ternyata kamu, Mas. Aku pikir badan kamu kaya robot."Sambil merapikan lipatan handuk yang barusaja didaratkan di kening Juan, ucapan tersebut lantas Senja katakan pada suaminya yang kini tidur dengan posisi terlentang.Entah tertular demam yang kemarin dialami Senja atau mungkin faktor lain, pagi ini Juan memang dilanda penyakit yang sama dengan sang istri dan tak hanya demam, pria itu sepertinya mengalami meriang.Jika dua malam lalu Juan sigap memanggil dokter ketika Senja demam, maka Senja lebih tenang karena tak panik, perempuan itu memilih untuk mengompres dulu suaminya itu menggunakan handuk kecil yang tersedia.Juan tak tahu? Jawabannya adalah tahu, karena ketika hendak mengompres, Senja membangunkan pria itu agar mengubah posisi tidur dari menyamping jadi terlentang."Saya manusia biasa, Nja, bukan setan," gumam Juan dengan kedua mata terpejam."Aku pikir kamu enggak dengar apa yang aku omon
***"Gimana Mbak aja, cuman kalau Mas Juan enggak bisa nemuin jangan marah, karena kondisinya sekarang lagi kurang baik."Dengan perasaan sebal, jawaban tersebut lantas Senja berikan setelah beberapa detik lalu Nada meminta izin untuk datang dan menjenguk Juan.Jika boleh jujur, Senja sebenarnya ingin melarang perempuan itu datang. Namun, karena Nada menurutnya adalah kesayangan Juan, dia khawatir larangannya berimbas tak baik.Tak akan diam saja, Nada pasti akan mengadu pada suaminya jika Senja melarang dan karena malas menghadapi masalah baru, mencari aman dilakukaan Senja meskipun jujur dia tak suka pada sekretaris suaminya itu."Oh oke kalau gitu aku pesenin buburnya sekarang deh, nanti mungkin setengah tujuh pagi aku sampe di sana," ucap Nada—membuat Senja memutar bola matanya malas."Gimana Mbak aja.""Oke."Tak ada obrolan panjang, selanjutnya Senja memutuskan sambungan telepon. Menurunkan ponsel dari sam
***"Ya aku mau-mau aja. Lucu juga dipanggil Mama sama Caca."Ditanya perihal keberatan atau tidaknya dipanggil Mama oleh Caca, jawaban tersebut dilontarkan Senja pada Juan dan secara tak sadar, apa yang dia katakan membuat suaminya itu tersenyum meskipun tipis."Ya udah kalau gitu.""Kamu ngizinin?" tanya Senja."Terserah kalian berdua," kata Juan. "Kalau emang Caca pengen panggil kamu Mama dan kamu sendiri enggak keberatan dipanggil gitu, ya udah, saya enggak akan larang.""Oke, habis ini aku bilang ke Caca," kata Senja. "Dia pasti senang.""Berasa spesial banget kamu ya Caca pengen panggil kamu Mama?""Kenapa nanya kaya gitu?""Kenapa emangnya, salah?""Tahu deh," kata Senja sambil beranjak. "Udahlah, daripada kepancing emosi karena ngobrol sama kamu mendingan aku bikin sarapan.""Supnya jangan lupa.""Aku bikinin kamu sup sendal jepit nanti," celetuk Senja sambil melangkah
***"Kiran, kamu salah paham. Tante enggak maksud ngomong gitu dan-""Basi, Tan. Aku bukan anak kecil yang gampang dikibulin ya, aku udah gede dan aku udah cukup paham sama apa yang Tante omongin barusan. Jadi enggak usah sok baik, Jijik aku lihatnya."Kirania.Bukan Juan, Gian, apalagi Caca, yang datang menghampiri Senja dan Nada adalah gadis itu. Turun ke ruang tengah, Kirania memang tak sengaja mendengar obrolan dari pintu depan.Penasaran, gadis itu memutuskan untuk mengecek dan persis ketika sampai, Nada terlihat sedang mengintimidasi Senja sehingga tak diam, dia yang sangat tidak suka pada Nada, turun tangan."Kiran, kamu enggak usah terlalu kasar ngomongnya," ucap Senja mengingatkan. "Gimana pun juga Mbak Nada lebih tua dari kamu.""Kamu lagi pura-pura baik ya?" tanya Nada sinis. "Sok belain aku di depan Kiran. Padahal, aslinya senang. Iya, kan?""Susah sih kalau hatinya udah busuk," ucap Kirania berkomen