***"Urusan cewek dan Papa enggak perlu tahu karena pembahasan aku sama Tante Senja agak sensitif."Guna menjawab pertanyaan Juan yang beberapa detik lalu ingin tahu tentang obrolannya dengan Senja, jawaban tersebut lantas dilontarkan Kirania pada sang papa dan apa yang dia katakan membuat Juan memasang raut wajah masam."Udah tapi, kan, ngobrolnya?" tanya Juan. "Kalau udah, Tante Senjanya Papa bawa karena ada kerjaan yang harus dia urus. Kamu sana tidur biar besok pagi enggak susah bangun.""Kalau aku jawab aku enggak mau, Papa mau apa?""Maksud kamu apa?" tanya Juan sambil menaikkan sebelah alis."Ada dua opsi yang mau aku kasih dan harus Papa pilih," kata Kirania semakin berani. "Satu, aku tidur alias pergi ke kamar, tapi sama Tante Senja. Dua, Tante Senja bantuin kerjaan Papa tapi ditemenin sama aku. Mau pilih yang mana?""Dalam rangka apa kamu kasih Papa pilihan kaya gini?" tanya Juan. Beralih pada Senja yang kini b
***"Bisa biarin Tante sendiri dulu enggak, Ki? Tante lagi enggak pengen ngomong apa pun dan sama siapa pun. Tante pengen menenangkan dulu pikiran karena dengar ucapan kamu tadi, jujur aja Tante sakit hati."Hampir keluar dari pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan area kolam renang di belakang rumah, Senja berucap tanpa menoleh pada Kirania yang terus mengikutinya dari belakang.Pergi dari Juan setelah mengetahui sebuah fakta, Senja memang ingin menenangkan diri dan jika Kirania terus mengikutinya, dia pikir niat untuk merealisasikan hal tersebut akan sulit."Tante enggak akan kabur dari rumah cuman karena masalah ini, kan?" tanya Kirania dari belakang Senja dengan jarak yang terpaut beberapa meter."Kabur ke mana? Tante enggak punya tempat pulang karena kembali ke rumah Ayah sama Bunda terlalu jauh. Selain rumah ini, tempat Tante pulang di Bandung cuman makam Mama kamu, dan untuk sekarang Tante enggak akan bisa ke sana karena Tant
***"Ck."Berdecak sambil menutup berkas yang sejak beberapa menit ke belakang dia periksa, itulah yang Juan lakukan setelah ingatan tentang Senja melintas tanpa permisi.Tak mengejar setelah Senja pergi begitu saja, Juan memang memutuskan untuk kembali ke ruang kerja. Membawa makanan yang sudah sang istri siapkan, Juan menjawab bohong ketika Nada bertanya tentang Senja dan tak ada protes, kegiatan mengerjakaan pekerjaan pun berlanjut.Lima menit awal pasca membuka kembali berkas yang harus dia periksa, pikiran Juan awalnya baik-baik saja hingga tak berselang lama bayangan kejadian tadi datang dan membuatnya tak tenang.Penasaran ke mana Senja pergi setelah meninggalkannya, itulah yang ada di pikiran Juan—membuat dia sedikit kesulitan fokus sampai akhirnya setelah terus berusaha, dia jengkel."Kenapa, Pak? Apa ada sesuatu yang enggak Bapak suka dari berkasnya?" tanya Nada penasaran."Enggak, berkasnya baik-baik aja cuman
***"Bisa-bisanya suhu tubuh Senja naik lagi."Sambil meletakkan lipatan handuk basah di kening Senja, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan. Duduk di pinggir kasur, saat ini kegiatannya adalah; mengompres kening Senja setelah panas yang beberapa waktu lalu turun, kembali naik.Mengkhawatirkan Senja, Juan terkejut setelah mendapati istrinya itu tak sadarkan diri di gudang. Entah apa saja yang Senja lakukan di sana, dia sendiri tak tahu. Namun, yang jelas tanpa banyak ba bi bu Juan lekas membawa istrinya itu menuju kamar.Membaringkan Senja dengan sangat hati-hati, Juan lagi-lagi mendengar gadis itu mengigau memanggil Nama Mentari dan sama sepert semalam, Senja demam—membuatnya dengan segera menyiapkan. air hangat beserta handuk."Daya tahan tubuh kamu selemah ini ternyata," ucap Juan lagi. Tak tahu harus berkomentar apalagi, setelahnya Juan beranjak. Keluar dari kamar, tujuannya sekarang adalah kamar Caca. Membuka pintu dengan sangat hati-hati, dia kembali mendapati Kirania terjaga
***"Berisik, Mas, aku lagi cari angin."Spontan mengarahkan atensi ke pintu penghubung balkon dan kamar, itulah yang Juan lakukan setelah suara Senja terdengar dari balkon.Tak diam saja, setelah itu Juan melangkah menuju pintu yang ternyata tak terkunci rapat dan begitu pintu terbuka, sosok Senja dia dapati berdiri di dekat pagar pembatas.Membelakangi dirinya yang kini berdiri di ambang pintu, Senja sama sekali tak menoleh—membuat Juan diam selama beberapa saat sebelum akhirnya buka suara."Masuk, angin malam enggak bagus buat orang sakit.""Peduli apa kamu sama aku?" tanya Senja dengan suara yang terdengar begitu dingin. Tak menoleh, ketika berucap demikian gadis itu tetap di posisinya—membuat Juan menghela napas sebelum kemudian buka suara."Saya minta maaf," kata Juan—lumayan peka alasan Senja berucap demikian. "Meskipun bercerita tentang masalah rumah tangga saya pada siapa pun itu hak saya, tapi dengan rendah hat
***"Hai."Berhenti di teras rumah setelah sebelumnya membuka pintu, sapaan tersebut lantas Senja lontarkan pada pria yang kini barusaja memberhentikan mobil.Tak di depan gerbang, mobil berhenti di depan pintu garasi karena memang bukan orang lain, yang Senja sapa sekarang adalah; Gian.Dihubungi pria itu beberapa menit setelah sadar dari pingsan, Senja mendapat tawaran dibelikan makanan oleh Gian yang katanya sudah di jalan.Merasa lapar setelah menangis bahkan tak sadarkan diri, Senja memesan mie ayam dan tak ada bantahan, Gian mengiakan permintaannya itu sehingga ketika melihat mobil adik iparnya tersebut sampai di depan gerbang, dia antusias.Mengabaikan Juan, Senja tak tahu suaminya itu mengikutinya bahkan sekarang ketika dia menyambut Gian, Juan mengintip dari dalam rumah."Wah, disambut Kakak ipar," kata Gian dari dalam mobil.Selang beberapa detik, pria itu membuka pintu dan sambil menenteng kresek, Gia
***"Harus banget sambelnya sebanyak itu? Sakit perut nanti kamu, Senja. Enggak usah aneh-aneh."Duduk berhadapan dengan Senja di meja makan, ucapan bernada omelan tersebut lantas Juan lontarkan setelah sang istri tanpa ragu membubuhkan dua sendok sambal ke dalam mie ayam yang akan disantap.Tak diterima dengan baik, larangannya justru membuat Senja mengangkat pandangan bahkan mendelik dan tentunya tak diam, Senja buka suara."Mas Juan bisa diem enggak?" tanya Senja. "Aku sekarang lagi sakit kepala dan buat ngobatinnya aku perlu makanan yang pedas-pedas. Jadi Mas jangan banyak komplen, karena sepedas apa pun mienya, yang makan aku bukan kamu.""Ya saya tahu, tapi kan-"Tak selesai Juan bicara, sebutir bakso berukuran kecil tiba-tiba saja masuk ke dalam mulutnya dan tak terbang sendiri, bakso tersebut adalah suapan dari Gian yang selanjutnya bicara."Enggak usah banyak komplen, Mas, biarin aja," kata Gian sambil tersenyum
***"Lho, kok ada Papa sih?"Mendadak bangun setelah mencoba terlelap setengah jam lalu, pertanyaan tersebut keluar dari mulut Kirania setelah sosok Juan ditemukannya meringkuk di kasur bagian bawah.Bermodel sorong, kasur milik Caca memang terdiri dari dua tingkat dan Juan kini berada di kasur yang tak dia dan sang adik pakai.Heran, itulah yang Kirania rasakan sehingga untuk beberapa saat yang dia lakukan adalah memandangi sang papa sebelum akhirnya beralih atensi ke ponsel di atas meja.Mencondongkan badan kemudian mengambil benda pipih tersebut, Kirania mencari nomor Senja untuk kemudian dia hubungi dan tanpa perlu menunggu lama, panggilannya dijawab."Halo, Kiran, ada apa?" tanya Senja. "Kamu tinggal serumah aja sampe telepon gini.""Aku males ke mana-mana, Tan," kata Kirania. "Ini juga sebenarnya lagi tidur cuman mendadak bangun.""Oh," ucap Senja. "Ada apa?""Tante usir Papa dari kamar?" tanya Ki