***
"Yes, akhirnya beres!"Berucap lega, itulah yang Senja lakukan setelah beberapa kresek belanjaan selesai disimpan di bagian belakang mobil.Bukan pakaian, kresek belanjaan tersebut mencangkup kebutuhan rumah, karena memang setelah puas berbelanja kebutuhan pribadi, Senja dan Juan melanjutkan kegiatan mereka berbelanja di supermarket.Memakan waktu satu jam lebih, Juan dan Senja selesai berbelanja pukul setengah satu siang dan tak akan menjelajahi mall lagi, sekarang keduanya bersiap untuk pulang."Selesai juga semuanya," ucap Juan."Iya dan kaya ibu rumah tangga beneran aku belanja kaya gini," kata Senja. "Seru.""Suka?" tanya Juan sambil memandang Senja. Bukan tanpa alasan, dia bertanya demikian karena memang ketika belanja di supermarket tadi, Senja terlihat antusias."Banget," kata Senja. "Dulu kalaupun ikut belanja bulanan sama Bunda, aku tahunya jajan doang. Sekarang pas ngalamin belanja sendiri ternyat***"Yey, ke sini lagi."Tersenyum sambil memeluk buket bunga di tangan, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan setelah mobil yang dikendarai Juan berhenti di parkiran pemakaman.Makan siang selesai, keduanya memang bergegas menuju makam Mentari untuk merealisasikan niat. Tak dengan tangan kosong, seperti biasa Senja membeli bunga kesukaan Mentari untuk disimpan di dekat nisan nantinya."Senang banget kaya dibawa ke tempat wisata.""Ya senanglah orang mau ketemu Kakak," kata Senja. "Kamu emang enggak senang?""Senang sih," kata Juan. "Ayo turun.""Ayo."Tak banyak menunda, selanjutnya Juan dan Senja turun dari mobil. Berjalan menuju pusara, keduanya merendahkan posisi begitu sampai dan yang dilakukan setelahnya adalah; memanjatkan doa.Dipimpin Juan, doa berlangsung selama beberapa menit hingga setelah selesai, Senja menyapa."Kak Mentari, aku sama Mas Juan datang lagi nih buat nengok Kakak," ucap S
***"Tante Senja, aku boleh nanya enggak?"Berhenti sejenak dari kegiatannya merapikan belanjaan, Senja menoleh setelah pertanyaan tersebut dilontarkan Kiran dari depan kulkas.Sampai di rumah hampir setengah jam lalu, Senja memang langsung membereskan semua belanjaan yang dia beli. Tak sendiri, dia dibantu Kiran, sementara Juan sendiri pergi ke kamar untuk beristirahat."Nanya apa?""Sebulanan nikah sama Papa, Tante serius belum pernah ngapa-ngapain?"Mendengar pertanyaan Kiran, kening Senja mengernyit. Tak langsung menjawab, untuk beberapa detik dia diam sebelum akhirnya balik bertanya,"Kenapa mendadak nanyain itu?""Ya karena penasaran aja," kata Kiran. "Om Gian bilang Tante sama Papa tadi pergi buat beli perlengkapan malam pertama. Padahal, kan kalian nikah udah lama. Jadi ya aku pikir Tante sama Papa belum ngapa-ngapain gitu. Makanya aku tanya.""Oh," kata Senja."Serius belum pernah ngap
***"Kalau punya adik, Caca pengennya tiga. Boleh enggak?"Setelah membuat Juan dan Senja cengo karena bertanya tentang apa itu pelindung, untuk yang kedua kalinya Caca berhasil membuat kedua orang tuanya melongo karena permintaannya tentang jumlah adik.Tak satu atau dua, Caca meminta tiga adik sekaligus dan hal tersebut membuat Juan mau pun Senja bingung, karena bukan hal mudah, membuat tiga anak sekaligus adalah sesuatu yang sulit."Tiga?" tanya Juan memastikan. "Apa enggak kebanyakan, Ca?""Enggak," kata Caca polos. "Caca enggak punya teman di rumah, Papa. Kak Kiran jarang main sama Caca. Jadi kalau Papa sama Mama mau bikin adik, Caca maunya tiga. Bisa, kan?"Tak bisa menjawab, Juan dan Senja kompak memasang raut wajah bingung. Tak tahu harus merespon apa ucapan sang putri, sepasang suami istri tersebut kini sibuk mencari diksi yang pas hingga tak berselang lama Caca kembali bicara."Kok pada diem?" tanya gadis tujuh tahun itu dengan raut wajah polos. "Enggak mau ya kabulin permint
***"Gi, kamu baik-baik aja, kan? Daritadi Mas perhatiin kayanya kamu banyak diam. Ada masalah?"Setelah sejak tadi memperhatikan tingkah laku Gian, pertanyaan tersebut akhirnya meluncur juga dari mulut Juan. Penasaran sekaligus khawatir, hal tersebutlah yang Juan rasakan karena tak seperti biasa, malam ini sang adik terlihat pendiam bahkan menekuk wajah."Masalah apa?" Alih-alih bertanya, Gian yang sejak tadi menyantap makanan miliknya justru bertanya. "Aku enggak ada masalah tuh dan aku oke kok.""Enggak ah, kamu beda," kata Juan—membuat semua orang di meja makan, berhenti dari kegiatannya menyantap hidangan makan malam. "Mas tuh daritadi perhatiin kamu, Gi, dan enggak kaya biasa, kamu kaya lagi punya beban.""Ada apa, Gi?" Senja ikut buka suara. "Kalau ada apa-apa cerita. Kita, kan, keluarga.""Mendam masalah sendiri nanti jadinya bisul lho," celetuk Kiran persis dari samping kiri Gian. "Mau emangnya bisul sebadan-badan?"
***"Dia kakak dari sahabat aku."Deg.Dengan perasaan yang cukup kaget, Nada mau pun Kartika saling menatap satu sama lain setelah jawaban tersebut dilontarkan Diandra. Tak memberikan respon apa-apa, untuk beberapa detik kedua perempuan itu diam hingga tak berselang lama Diandra kembali buka suara."Tapi kalian tenang aja, karena sekali pun ini Mas Juan, aku tetap terima kerjasama sama kalian.""Tapi kan kamu kenal sama dia, Di?" tanya Kartika."Ya terus masalahnya apa?" tanya Diandra. "Bukannya kalau kenal, semua lebih baik dan masuk akal?""Maksudnya?" tanya Nada—membuat atensi Diandra beralih padanya."Ya kan rencana kalian tuh pengen bikin Mas Juan seolah-olah selingkuh," kata Diandra. "Nah, kalau dia kepergok tidur sama aku, orang-orang bakalan gampang percaya karena aku sama dia kenal, bahkan dulu sering ketemu. Jadi ya lanjutin aja.""Enggak lagi jebak kita, kan, kamu?" tanya Nada waspada. "Kamu
***"Nja, kok diem? Aku nanya lho, jawab dong."Dengan perasaan yang cukup cenat-cenut, Juan bertanya demikian seraya melangkah mendekati Senja. Bukan tanpa tujuan, alasan dia mendekati sang istri adalah; untuk memastikan sesuatu, karena setelah mendengar ucapan Senja beberapa waktu lalu, jujur saja dia terkejut.Senja datang bulan.Bukan ucapan sepele, bagi Juan hal tersebut adalah masalah serius karena untuk sampai di malam ini, dia sudah menunggu cukup lama sehingga jika seandainya gagal, Juan tak tahu harus bagaimana melampiaskan hasratnya."Serius banget Mas muka kamu."Alih-alih menjawab, yang dilakukan Senja justru menggoda—membuat Juan menghela napas kasar "Nja, aku serius," kata Juan setelahnya. "Kamu beneran datang bulan enggak?""Menurut kamu?""Betari Senja.""Enggak, Mas, aku bercanda," ucap Senja—membuat perasaan lega di dalam diri Juan seketika pecah. "Jadwal datang bu
***"Mentari."Dengan perasaan berdebar pun detak jantung yang lebih cepat dari biasanya, sebuah nama Juan lontarkan—membuat Senja dilanda tanya.Pergi ke kamar mandi untuk mengambil pakaian Senja, Juan tiba-tiba teringat sesuatu. Bukan masalah sepele, yang melintas di benak pria tiga puluh tujuh tahun tersebut adalah masalah serius, yaitu; menyebut bahkan tak sengaja membandingkan Senja dengan Mentari.Tak sadar ketika menyebut nama mendiang Mentari, Juan jelas dilanda panik sehingga bertanya tentang marah atau tidaknya Senja pun lekas dia lakukan."Kak Mentari?" tanya Senja dengan kerutan di kening yang kini terbentuk. "Ada apa emangnya sama Kak Mentari, Mas? Terus kenapa aku harus marah?"Tak langsung menjawab, untuk beberapa saat Juan diam sebelum akhirnya melangkah mendekati Senja. Berada di depan sang istri yang masih duduk di tepi kasur, dia berucap,"Tadi pas kita baru aja selesai, aku enggak sengaja sebut nama M
***"Ini kita kenapa mendadak gembul gini ya, Mas? Udah makan mie berdua sekarang malah lanjut ke mangga."Bersandar di meja kompor sambil memperhatikan Juan, ucapan tersebut Senja lontarkan pada sang suami yang kini fokus mengupas mangga.Selesai menyantap mie instan di mangkuk yang sama, Senja dan Juan tak langsung kembali ke kamar setelah satu buah mangga di kulkas menarik perhatian.Mengambil keputusan untuk menyantap mangga tersebut, Juan menawarkan diri untuk menjadi sang pengupas, sehingga Senja pun tak perlu melakukan apa-apa."Ya enggak apa-apa namanya juga habis olahraga, kan? Jadi ya pasti capek dan lapar.""Olahraga apa?" tanya Senja—tak cukup peka pada ucapan Juan."Ya olahraga ranjang," kata Juan. "Yang tadi kan cukup menguras tenaga. Jadi wajar aja lapar.""Kamu tuh.""Duduk gih, aku mau cuci mangganya dulu sebelum dipotong.""Oke."Seperti anak kecil yang patuh pada san