***
"Gi, kamu baik-baik aja, kan? Daritadi Mas perhatiin kayanya kamu banyak diam. Ada masalah?"Setelah sejak tadi memperhatikan tingkah laku Gian, pertanyaan tersebut akhirnya meluncur juga dari mulut Juan. Penasaran sekaligus khawatir, hal tersebutlah yang Juan rasakan karena tak seperti biasa, malam ini sang adik terlihat pendiam bahkan menekuk wajah."Masalah apa?" Alih-alih bertanya, Gian yang sejak tadi menyantap makanan miliknya justru bertanya. "Aku enggak ada masalah tuh dan aku oke kok.""Enggak ah, kamu beda," kata Juan—membuat semua orang di meja makan, berhenti dari kegiatannya menyantap hidangan makan malam. "Mas tuh daritadi perhatiin kamu, Gi, dan enggak kaya biasa, kamu kaya lagi punya beban.""Ada apa, Gi?" Senja ikut buka suara. "Kalau ada apa-apa cerita. Kita, kan, keluarga.""Mendam masalah sendiri nanti jadinya bisul lho," celetuk Kiran persis dari samping kiri Gian. "Mau emangnya bisul sebadan-badan?"***"Dia kakak dari sahabat aku."Deg.Dengan perasaan yang cukup kaget, Nada mau pun Kartika saling menatap satu sama lain setelah jawaban tersebut dilontarkan Diandra. Tak memberikan respon apa-apa, untuk beberapa detik kedua perempuan itu diam hingga tak berselang lama Diandra kembali buka suara."Tapi kalian tenang aja, karena sekali pun ini Mas Juan, aku tetap terima kerjasama sama kalian.""Tapi kan kamu kenal sama dia, Di?" tanya Kartika."Ya terus masalahnya apa?" tanya Diandra. "Bukannya kalau kenal, semua lebih baik dan masuk akal?""Maksudnya?" tanya Nada—membuat atensi Diandra beralih padanya."Ya kan rencana kalian tuh pengen bikin Mas Juan seolah-olah selingkuh," kata Diandra. "Nah, kalau dia kepergok tidur sama aku, orang-orang bakalan gampang percaya karena aku sama dia kenal, bahkan dulu sering ketemu. Jadi ya lanjutin aja.""Enggak lagi jebak kita, kan, kamu?" tanya Nada waspada. "Kamu
***"Nja, kok diem? Aku nanya lho, jawab dong."Dengan perasaan yang cukup cenat-cenut, Juan bertanya demikian seraya melangkah mendekati Senja. Bukan tanpa tujuan, alasan dia mendekati sang istri adalah; untuk memastikan sesuatu, karena setelah mendengar ucapan Senja beberapa waktu lalu, jujur saja dia terkejut.Senja datang bulan.Bukan ucapan sepele, bagi Juan hal tersebut adalah masalah serius karena untuk sampai di malam ini, dia sudah menunggu cukup lama sehingga jika seandainya gagal, Juan tak tahu harus bagaimana melampiaskan hasratnya."Serius banget Mas muka kamu."Alih-alih menjawab, yang dilakukan Senja justru menggoda—membuat Juan menghela napas kasar "Nja, aku serius," kata Juan setelahnya. "Kamu beneran datang bulan enggak?""Menurut kamu?""Betari Senja.""Enggak, Mas, aku bercanda," ucap Senja—membuat perasaan lega di dalam diri Juan seketika pecah. "Jadwal datang bu
***"Mentari."Dengan perasaan berdebar pun detak jantung yang lebih cepat dari biasanya, sebuah nama Juan lontarkan—membuat Senja dilanda tanya.Pergi ke kamar mandi untuk mengambil pakaian Senja, Juan tiba-tiba teringat sesuatu. Bukan masalah sepele, yang melintas di benak pria tiga puluh tujuh tahun tersebut adalah masalah serius, yaitu; menyebut bahkan tak sengaja membandingkan Senja dengan Mentari.Tak sadar ketika menyebut nama mendiang Mentari, Juan jelas dilanda panik sehingga bertanya tentang marah atau tidaknya Senja pun lekas dia lakukan."Kak Mentari?" tanya Senja dengan kerutan di kening yang kini terbentuk. "Ada apa emangnya sama Kak Mentari, Mas? Terus kenapa aku harus marah?"Tak langsung menjawab, untuk beberapa saat Juan diam sebelum akhirnya melangkah mendekati Senja. Berada di depan sang istri yang masih duduk di tepi kasur, dia berucap,"Tadi pas kita baru aja selesai, aku enggak sengaja sebut nama M
***"Ini kita kenapa mendadak gembul gini ya, Mas? Udah makan mie berdua sekarang malah lanjut ke mangga."Bersandar di meja kompor sambil memperhatikan Juan, ucapan tersebut Senja lontarkan pada sang suami yang kini fokus mengupas mangga.Selesai menyantap mie instan di mangkuk yang sama, Senja dan Juan tak langsung kembali ke kamar setelah satu buah mangga di kulkas menarik perhatian.Mengambil keputusan untuk menyantap mangga tersebut, Juan menawarkan diri untuk menjadi sang pengupas, sehingga Senja pun tak perlu melakukan apa-apa."Ya enggak apa-apa namanya juga habis olahraga, kan? Jadi ya pasti capek dan lapar.""Olahraga apa?" tanya Senja—tak cukup peka pada ucapan Juan."Ya olahraga ranjang," kata Juan. "Yang tadi kan cukup menguras tenaga. Jadi wajar aja lapar.""Kamu tuh.""Duduk gih, aku mau cuci mangganya dulu sebelum dipotong.""Oke."Seperti anak kecil yang patuh pada san
***"Gi."Memanggil sang adik seraya membuka pintu, itulah yang Juan lakukan ketika pagi ini dia menghampiri Gian di kamar. Tak sedang tidur, kegiatan Gian di minggu pagi adalah fokus dengan laptop. Entah apa yang sedang dikerjakan, Juan sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia yakin apa yang digarap sang adik berhubungan dengan skripsi di tempatnya berkuliah."Mas Juan.""Sibuk enggak?" tanya Juan sambil melangkah menuju sang adik yang duduk di kursi belajar. "Mas mau nanyain sesuatu.""Nanyain apa?""Soal nomor hp sih," kata Juan. "Semalam ada yang chat Mas terus nanyain kabar. Enggak tahu siapa, nomornya baru, tapi Senja bilang kayanya orang dekat karena kalau jauh, dia enggak mungkin nanyain kabar.""Mas mau nanyain nomornya nomor siapa gitu?""Iya," kata Juan. "Siapa tahu nomor yang chat Mas semalam ada di kamu gitu.""Oh.""Bisa kan cek dulu?""Bisa," kata Gian. "Sebenta
***"Gue kangen Mas Juan."Mendengar jawaban tersebut dilontarkan Diandra, raut wajah Gian tentu saja berubah. Terlihat serius, itulah adik kandung Juan sebelum akhirnya buka suara."Kangen gimana maksud lo?""Ya kangen," kata Diandra. "Enggak tahu emangnya lo arti kangen?""Bukan gitu maksud gue, Di, tapi gue nanyanya kenapa lo harus kangen sama Mas Juan?" tanya Gian. "Lo perasaan enggak sedekat itu deh sama abang gue, kenapa mendadak kangen? Enggak ada sesuatu, kan?""Sesuatu apa sih lo?" tanya Diandra. "Lagian kangen gue pun cuman sebatas kangen ke abang dari sahabat gue kali. Semalam pas lagi kerja, gue cek-cek kontak terus enggak sengaja nemu kontak Mas Juan. Jadi iseng aja gue chat buat pastiin aktif apa enggaknya.""Terus?""Ya ternyata aktif. Jadi gue iseng lagi telepon," kata Diandra. "Lagian takut banget kayanya lo, gue goda Mas Juan. Possesif.""Ya gimana enggak takut, orang sekarang lo bande
***"Nad, lo masih waras, kan? Sejak beberapa menit lalu gue perhatiin kayanya lo senyam-senyum terus deh. Kenapa sih?"Puas memperhatikan sang sahabat yang nampak fokus dengan layar ponsel, pertanyaan tersebut lantas Kartika lontarkan. Bukan tanpa alasan, dia bertanya demikian setelah sejak tadi Nada yang duduk tak jauh darinya terus mengukir senyum.Entah karena apa, Kartika sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dirinya dilanda penasaran karena sebelum mengecek ponsel, Nada tak secerah sekarang."Baru dapat kabar bagus gue, Tik, dari anak buah lo.""Siapa?""Diandralah, siapa lagi?" tanya Nada. "Setelah sempat ragu karena statusnya sahabat Gian, gue mulai percaya sama dia karena sekarang dia kirim sesuatu.""Apa emang?""Nih," kata Nada sambil menunjukan layar ponsel yang kini menampilkan sebuah foto. Bukan foto orang asing, di layar kini terpampang foto Senja bersama seorang laki-laki muda—membuat Kartika jelas
***"Tante Senja!"Mendengar panggilan dari Kiran, Senja yang baru tiba di lantai atas seketika mengangkat pandangan. Tak sekadar melangkah, sejak menutup telepon dengan Juan beberapa waaktu lalu, Senja berjalan sambil memandangi layar ponsel.Tak mati, layar ponselnya tersebut menyala dan bukan kolom chat bersama Juan, yang ditampilkan dan dipandangi Senja adalah foto dirinya bersama pria muda yang mengajak berkenalan di kedai seblak tadi.Entah darimana Juan mendapat foto tersebut, Senja tak tahu. Namun, yang jelas karena foto dirinya dan pemuda tadi, sang suami merajuk dan alih-alih menggemaskan seperti biasa, ngambeknya Juan kali ini terasa berbeda.Tak langsung membicarakan semua di telepon, Juan hanya mengirim foto Senja dan pemuda asing tadi sebagai bukti. Untuk obrolan, katanya pria itu ingin mengobrol di rumah karena tak hanya Senja, Juan pun masih di luar dengan kegiatan; menemani klien."Eh, Kiran," panggil Senja denga