***
"Gi."Memanggil sang adik seraya membuka pintu, itulah yang Juan lakukan ketika pagi ini dia menghampiri Gian di kamar. Tak sedang tidur, kegiatan Gian di minggu pagi adalah fokus dengan laptop.Entah apa yang sedang dikerjakan, Juan sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia yakin apa yang digarap sang adik berhubungan dengan skripsi di tempatnya berkuliah."Mas Juan.""Sibuk enggak?" tanya Juan sambil melangkah menuju sang adik yang duduk di kursi belajar. "Mas mau nanyain sesuatu.""Nanyain apa?""Soal nomor hp sih," kata Juan. "Semalam ada yang chat Mas terus nanyain kabar. Enggak tahu siapa, nomornya baru, tapi Senja bilang kayanya orang dekat karena kalau jauh, dia enggak mungkin nanyain kabar.""Mas mau nanyain nomornya nomor siapa gitu?""Iya," kata Juan. "Siapa tahu nomor yang chat Mas semalam ada di kamu gitu.""Oh.""Bisa kan cek dulu?""Bisa," kata Gian. "Sebenta***"Gue kangen Mas Juan."Mendengar jawaban tersebut dilontarkan Diandra, raut wajah Gian tentu saja berubah. Terlihat serius, itulah adik kandung Juan sebelum akhirnya buka suara."Kangen gimana maksud lo?""Ya kangen," kata Diandra. "Enggak tahu emangnya lo arti kangen?""Bukan gitu maksud gue, Di, tapi gue nanyanya kenapa lo harus kangen sama Mas Juan?" tanya Gian. "Lo perasaan enggak sedekat itu deh sama abang gue, kenapa mendadak kangen? Enggak ada sesuatu, kan?""Sesuatu apa sih lo?" tanya Diandra. "Lagian kangen gue pun cuman sebatas kangen ke abang dari sahabat gue kali. Semalam pas lagi kerja, gue cek-cek kontak terus enggak sengaja nemu kontak Mas Juan. Jadi iseng aja gue chat buat pastiin aktif apa enggaknya.""Terus?""Ya ternyata aktif. Jadi gue iseng lagi telepon," kata Diandra. "Lagian takut banget kayanya lo, gue goda Mas Juan. Possesif.""Ya gimana enggak takut, orang sekarang lo bande
***"Nad, lo masih waras, kan? Sejak beberapa menit lalu gue perhatiin kayanya lo senyam-senyum terus deh. Kenapa sih?"Puas memperhatikan sang sahabat yang nampak fokus dengan layar ponsel, pertanyaan tersebut lantas Kartika lontarkan. Bukan tanpa alasan, dia bertanya demikian setelah sejak tadi Nada yang duduk tak jauh darinya terus mengukir senyum.Entah karena apa, Kartika sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dirinya dilanda penasaran karena sebelum mengecek ponsel, Nada tak secerah sekarang."Baru dapat kabar bagus gue, Tik, dari anak buah lo.""Siapa?""Diandralah, siapa lagi?" tanya Nada. "Setelah sempat ragu karena statusnya sahabat Gian, gue mulai percaya sama dia karena sekarang dia kirim sesuatu.""Apa emang?""Nih," kata Nada sambil menunjukan layar ponsel yang kini menampilkan sebuah foto. Bukan foto orang asing, di layar kini terpampang foto Senja bersama seorang laki-laki muda—membuat Kartika jelas
***"Tante Senja!"Mendengar panggilan dari Kiran, Senja yang baru tiba di lantai atas seketika mengangkat pandangan. Tak sekadar melangkah, sejak menutup telepon dengan Juan beberapa waaktu lalu, Senja berjalan sambil memandangi layar ponsel.Tak mati, layar ponselnya tersebut menyala dan bukan kolom chat bersama Juan, yang ditampilkan dan dipandangi Senja adalah foto dirinya bersama pria muda yang mengajak berkenalan di kedai seblak tadi.Entah darimana Juan mendapat foto tersebut, Senja tak tahu. Namun, yang jelas karena foto dirinya dan pemuda tadi, sang suami merajuk dan alih-alih menggemaskan seperti biasa, ngambeknya Juan kali ini terasa berbeda.Tak langsung membicarakan semua di telepon, Juan hanya mengirim foto Senja dan pemuda asing tadi sebagai bukti. Untuk obrolan, katanya pria itu ingin mengobrol di rumah karena tak hanya Senja, Juan pun masih di luar dengan kegiatan; menemani klien."Eh, Kiran," panggil Senja denga
***"Hei, bangun. Udah sore ini, ayo buka mata kamu."Perlahan membuka mata setelah terganggu oleh ucapan tersebut, itulah yang dilakukan Senja sekarang. Mendapati Juan berjongkok di depannya, kedua mata Senja menyipit kemudian tanpa banyak menunda, dia buka suara."Mas Juan.""Kasur kotor emangnya sampai harus tidur di sofa?" tanya Juan—membuat Senja yang kesadarannya belum terkumpul, diam.Meredakan rasa pusing pasca bangun tidur, untuk beberapa detik Senja konsisten di posisinya meringkuk hingga setelah kesadaran terkumpul, dia beringsut sementara Juan yang semula berjongkok, sudah kembali berdiri sebelum dirinya duduk.Dilanda ngantuk ketika menunggu Juan pulang, setengah jam lalu Senja merebahkan tubuhnya di sofa. Kedua mata semakin terasa berat, tidur akhirnya menjadi pilihan sehingga ketika sang suami kembali, dia tak tahu."Kamu kapan pulang, Mas?" tanya Senja sambil memandang Juan yang kini berdiri di depannya.
***"Tante Senja, hey!"Tengah berjalan menuruni tangga, Senja seketika berhenti setelah panggilan tersebut dilontarkan Kiran dari lantai dua. Menoleh, selanjutnya dia berbalik untuk kemudian buka suara."Eh, Ki.""Tante mau ke mana?" tanya Kiran sambil melangkah mendekati sang mama sambung. "Aman enggak sama Papa? Tadi kayanya aku lihat Papa udah pulang.""Mau cek buat makan malam, Ki, barangkali bibi butuh bantuan atau apa gitu," ucap Senja. "Papa kamu aman kok. Tante udah jelasin semuanya dan dia percaya.""Serius?""Serius dong, masa bohong?" tanya Senja. "Tuh Papa kamunya lagi berendem. Tanyain aja kalau enggak percaya.""Syukurlah kalau enggak jadi panjang," kata Kiran. "Jujur aja aku degdegan karena Papa tuh orangnya cemburuan. Jadi kadang masalah sepele kalau berhubungan sama cowok, jadinya gede.""Enggak kok aman," kata Senja. "Papa kamu mungkin udah belajar dari yang udah-udah, Ki, jadi tenang
***"Balik juga lo, lama banget ke warung doang."Tersenyum tipis sambil menenteng kresek berisi air minum, itulah yang dilakukan Diandra setelah ucapan tersebut dikatakan Gian.Tengah berada di rumah yang beberapa waktu terakhir ditinggalinya bersama sang papa, malam ini Diandra tak bisa masuk setelah kunci rumah tak sengaja dibawa sang papa bekerja ke luar kota.Sempat dilanda bingung, pada akhirnya sebuah ide muncul sehingga dengan segera Diandra menghunungi Gian, dan tanpa perlu memohon, pria itu menemuinya di rumah—membuat dia dengan segera mengungkap masalah yang dialami sekarang.Tak mau disewakan hotel atau penginapan, pada Gian, Diandra meminta untuk diajak menginap di rumah Juan. Tak bisa langsung mengambil keputusan, Gian katanya harus menghubungi sang kakak sehingga mau tak mau Diandra pun menunggu. "Kenapa sih? Kangen?""Takut lo diculik Om-om sih," kata Gian. "Lo kan temenannya sama Om-om.""Gue j
***"Tika! Lo masih lama enggak sih di wc? Gue ada kabar baik nih."Berdiri di depan pintu kamar mandi, pertanyaan tersebut meluncur dengan lancar dari mulut Nada. Terlihat bahagia, itulah dirinya sekarang setelah beberapa waktu lalu sebuah kabar baik didapatkannya lewat chat."Apa sih, Nad? Gue masih cuci muka!""Kabar baik, Tik, gue senang deh!" ucap Nada dengan kondisi wajah yang masih putih karena masker. "Lo harus keluar karena gue mau ngomong langsung biar enak.""Tunggu sebentar."Tak lagi berkata, Nada menunggu sambil tersenyum hingga tak berselang lama pintu kamat mandi pun terbuka—menampilkan Kartika dengan wajah basah.Ditemani sang sahabat yang rutin menginap setiap malam minggu, Nada dan Kartika memang baru menyelesaikan kegiatan mereka maskeran."Ada apa?" tanya Kartika. "Lo kaya habis menang jackpot aja.""Lebih dari itu kali.""Apa emang?" tanya Kartika penasaran."Dian
***"Hey, bangun, hey. Ayo pindah."Membuka mata secara perlahan, itulah yang Senja lakukan setelah perintah tersebut didengarnya dari belakang. Tengah memeluk Caca, selanjutnya yang dia lakukan adalah berbalik dan yang didapatinya adalah Juan."Mas.""Ayo pindah," ajak Juan dengan senyumannya. "Ada hal yang harus kita lakuin."Senja mengernyit. "Apa?"Tak menjawab dengan ucapan, Juan hanya menaik turunkan alis—membuat Senja dengan segera berkata,"Mau minta jatah?""Nah, paham," kata Juan. "Mumpung malam minggu bisa kayanya sampai subuh.""Heh, lama banget!" ucap Senja yang membuat Juan terkekeh tanpa suara. "Mau bikin aku enggak bisa jalan ya setelahnya? Ngada-ngada aja.""Enggak bisa jalan, tinggal aku gendong. Aman, kan?""Ya enggak sampai subuh juga kali, Mas," kata Senja—masih dengan suara pelan. "Lagian kaya yang kuat aja. Udah tua juga.""Tua juga belum tujuh puluh, Nj