***
"Bisa, Pak."Selesai mencerna ucapan Juan, jawaban tersebut lantas dikatakan Davion—membuat Juan seketika tersenyum tipis.Dilarang jatuh cinta atau menerima cinta Kiran, Davion pikir hal tersebut bukan sesuatu yang sulit sehingga setelah sedikit kaget, dia memutuskan untuk setuju karena sejauh ini di hatinya tak ada perasaan apa-apa pada putri sulung Juan tersebut."Oke, saya pegang ucapan kamu ya," kata Juan. "Awas kalau ingkar.""Siap," kata Davion. "Bapak boleh omelin atau maki saya kalau ingkar janji. Lagipula sejauh ini saya anggap Kiran seperti adik sendiri. Jadi enggak akan ada itu cinta diantara saya dan dia.""Bagus," kata Juan. "Saya mau Kiran fokus belajar biar punya nilai memuaskan, dan bisa masuk universitas impian. Masa depan dia masih panjang.""Iya, Pak."Tak memperpanjang obrolan tentang Kiran, selanjutnya Juan dan Davion membahas pekerjaan hingga setelah menunggu cukup lama, klien pun dat***"Bapak-bapak possesif."Barusaja menurunkan ponselnya dari samping telinga, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan. Bukan untuk orang lain, julukan itu tentunya dia persembahkan untuk Juan karena setelah obrolan mereka beberapa menit ke belakang, Senja pikir Juan pantas diberi Julukan possesif.Memintanya untuk bertanya atau mengecek ponsel Kiran, itulah yang Juan katakan di telepon dan meskipun ragu bahkan tak enak pada sang keponakan, Senja mau tak mau manut sehingga setelah ini tugasnya adalah; menemui Kiran untuk bertanya."Kalau seandainya Kiran emang habis teleponan sama Davion, apa aku bohong aja kali ya?" tanya Senja. "Kasihan juga dia kalau terlalu dikekang gini. Lagian Kiran sama Davi juga cuman temenan doang."Berpikir selama beberapa detik, selanjutnya itulah yang Senja lakukan sebelum akhirnya beranjak dari kasur. Pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, selanjutnya dia bergegas menuju kamar Kiran dan begitu sampai, yang
***"Duh, pasangan pengantin baru udah siap nih mau jalan-jalan."Baru sampai di pertengahan tangga, Senja seketika tersenyum setelah ucapan tersebut dilontarkan Gian dari sofa ruang tengah.Tak turun sendiri, Senja berjalan bersama Juan karena memang tak akan diam di rumah, sabtu siang ini dia dan sang suami berniat untuk menghabiskan waktu di luar.Tak pernah pergi berdua, Juan merencanakan semua ini sejak beberapa hari ke belakang, dan karena Senja pun cukup lama tak berkeliling Bandung, tawaran Juan untuk pergi bersama diterimanya dengan senang hati.Tak sekadar berjalan-jalan, Senja dan Juan memiliki tugas lain yaitu; berbelanja bulanan, sehingga tak hanya mengunjungi mall atau tempat wisata, pasangan suami istri tersebut harus mampir ke supermarket untuk membeli kebutuhan rumah yang listnya sudah tersimpan rapi di note kecil milik Senja."Iyalah," kata Juan bangga. "Sabtu tuh keluar, bukan malah males-malesan di sofa. Kaya
***"Udah ada yang cocok belum?"Berjalan santai di belakang Senja yang sejak tadi sibuk melihat-lihat, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Juan pada sang istri.Tak lagi di depan toko underwear, saat ini Senja dan Juan sudah berada di dalam untuk membeli apa yang Senja butuhkan. Namun, karena cukup banyak model yang dipajang bahkan digantung, Senja dilema karena sejauh ini semua lingerie yang dia lihat memiliki model menantang."Belum, Mas, aku bingung.""Kenapa?" tanya Juan. "Apa model di sini jelek-jelek? Kalau iya, kita keluar aja biar cari toko yang lain.""Enggak tahu sih, Mas," kata Senja dengan raut wajah ragu. "Jelek apa bagus modelnya aku kurang paham, karena aku sendiri belum pernah beli lingerie. Jadi ya gitu deh."Juan tersenyum. "Tertekan enggak sih kamu harus beli ini?" tanyanya. "Kalau enggak bisa, enggak usah dipaksa. Aku enggak bakalan marah kalau kamu enggak mau.""Ya enggak tertekan juga
***"Yes, akhirnya beres!"Berucap lega, itulah yang Senja lakukan setelah beberapa kresek belanjaan selesai disimpan di bagian belakang mobil.Bukan pakaian, kresek belanjaan tersebut mencangkup kebutuhan rumah, karena memang setelah puas berbelanja kebutuhan pribadi, Senja dan Juan melanjutkan kegiatan mereka berbelanja di supermarket.Memakan waktu satu jam lebih, Juan dan Senja selesai berbelanja pukul setengah satu siang dan tak akan menjelajahi mall lagi, sekarang keduanya bersiap untuk pulang."Selesai juga semuanya," ucap Juan."Iya dan kaya ibu rumah tangga beneran aku belanja kaya gini," kata Senja. "Seru.""Suka?" tanya Juan sambil memandang Senja. Bukan tanpa alasan, dia bertanya demikian karena memang ketika belanja di supermarket tadi, Senja terlihat antusias."Banget," kata Senja. "Dulu kalaupun ikut belanja bulanan sama Bunda, aku tahunya jajan doang. Sekarang pas ngalamin belanja sendiri ternyat
***"Yey, ke sini lagi."Tersenyum sambil memeluk buket bunga di tangan, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan setelah mobil yang dikendarai Juan berhenti di parkiran pemakaman.Makan siang selesai, keduanya memang bergegas menuju makam Mentari untuk merealisasikan niat. Tak dengan tangan kosong, seperti biasa Senja membeli bunga kesukaan Mentari untuk disimpan di dekat nisan nantinya."Senang banget kaya dibawa ke tempat wisata.""Ya senanglah orang mau ketemu Kakak," kata Senja. "Kamu emang enggak senang?""Senang sih," kata Juan. "Ayo turun.""Ayo."Tak banyak menunda, selanjutnya Juan dan Senja turun dari mobil. Berjalan menuju pusara, keduanya merendahkan posisi begitu sampai dan yang dilakukan setelahnya adalah; memanjatkan doa.Dipimpin Juan, doa berlangsung selama beberapa menit hingga setelah selesai, Senja menyapa."Kak Mentari, aku sama Mas Juan datang lagi nih buat nengok Kakak," ucap S
***"Tante Senja, aku boleh nanya enggak?"Berhenti sejenak dari kegiatannya merapikan belanjaan, Senja menoleh setelah pertanyaan tersebut dilontarkan Kiran dari depan kulkas.Sampai di rumah hampir setengah jam lalu, Senja memang langsung membereskan semua belanjaan yang dia beli. Tak sendiri, dia dibantu Kiran, sementara Juan sendiri pergi ke kamar untuk beristirahat."Nanya apa?""Sebulanan nikah sama Papa, Tante serius belum pernah ngapa-ngapain?"Mendengar pertanyaan Kiran, kening Senja mengernyit. Tak langsung menjawab, untuk beberapa detik dia diam sebelum akhirnya balik bertanya,"Kenapa mendadak nanyain itu?""Ya karena penasaran aja," kata Kiran. "Om Gian bilang Tante sama Papa tadi pergi buat beli perlengkapan malam pertama. Padahal, kan kalian nikah udah lama. Jadi ya aku pikir Tante sama Papa belum ngapa-ngapain gitu. Makanya aku tanya.""Oh," kata Senja."Serius belum pernah ngap
***"Kalau punya adik, Caca pengennya tiga. Boleh enggak?"Setelah membuat Juan dan Senja cengo karena bertanya tentang apa itu pelindung, untuk yang kedua kalinya Caca berhasil membuat kedua orang tuanya melongo karena permintaannya tentang jumlah adik.Tak satu atau dua, Caca meminta tiga adik sekaligus dan hal tersebut membuat Juan mau pun Senja bingung, karena bukan hal mudah, membuat tiga anak sekaligus adalah sesuatu yang sulit."Tiga?" tanya Juan memastikan. "Apa enggak kebanyakan, Ca?""Enggak," kata Caca polos. "Caca enggak punya teman di rumah, Papa. Kak Kiran jarang main sama Caca. Jadi kalau Papa sama Mama mau bikin adik, Caca maunya tiga. Bisa, kan?"Tak bisa menjawab, Juan dan Senja kompak memasang raut wajah bingung. Tak tahu harus merespon apa ucapan sang putri, sepasang suami istri tersebut kini sibuk mencari diksi yang pas hingga tak berselang lama Caca kembali bicara."Kok pada diem?" tanya gadis tujuh tahun itu dengan raut wajah polos. "Enggak mau ya kabulin permint
***"Gi, kamu baik-baik aja, kan? Daritadi Mas perhatiin kayanya kamu banyak diam. Ada masalah?"Setelah sejak tadi memperhatikan tingkah laku Gian, pertanyaan tersebut akhirnya meluncur juga dari mulut Juan. Penasaran sekaligus khawatir, hal tersebutlah yang Juan rasakan karena tak seperti biasa, malam ini sang adik terlihat pendiam bahkan menekuk wajah."Masalah apa?" Alih-alih bertanya, Gian yang sejak tadi menyantap makanan miliknya justru bertanya. "Aku enggak ada masalah tuh dan aku oke kok.""Enggak ah, kamu beda," kata Juan—membuat semua orang di meja makan, berhenti dari kegiatannya menyantap hidangan makan malam. "Mas tuh daritadi perhatiin kamu, Gi, dan enggak kaya biasa, kamu kaya lagi punya beban.""Ada apa, Gi?" Senja ikut buka suara. "Kalau ada apa-apa cerita. Kita, kan, keluarga.""Mendam masalah sendiri nanti jadinya bisul lho," celetuk Kiran persis dari samping kiri Gian. "Mau emangnya bisul sebadan-badan?"