***
"Mau ... cek kontak, Pa. Iya mau cek kontak biar tahu nomornya masih aktif apa enggak, karena kan udah lama nomor Kak Davion aku save. Jadi takutnya enggak aktif. Enggak cuman nomor Kak Davi, aku telepon nomor lain kok."Setelah dilanda heran kemudian kaget, penjelasan bohong nan panjang lebar tersebut lantas Kiran lontarkan pada sang papa yang beberapa detik lalu menjawab panggilannya.Entah bagaimana bisa ponsel Davion ada pada Juan, Kiran sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia sedikit panik karena seperti ucapannya pada Senja beberapa waktu lalu, Juan sangat possesif dalam masalah laki-laki yang berinteraksi dengannya."Beneran?""Ya beneranlah, masa enggak?" tanya Kiran—berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun rasa panik dan gugup melanda. "Lagian Papa kenapa pegang hp Kak Davi? Enggak sopan banget.""Papa enggak pegang hp Davion, Papa cuman jawab panggilan yang masuk ke hpnya karena dia kebetulan ke kamar mandi," ka***"Bisa, Pak."Selesai mencerna ucapan Juan, jawaban tersebut lantas dikatakan Davion—membuat Juan seketika tersenyum tipis. Dilarang jatuh cinta atau menerima cinta Kiran, Davion pikir hal tersebut bukan sesuatu yang sulit sehingga setelah sedikit kaget, dia memutuskan untuk setuju karena sejauh ini di hatinya tak ada perasaan apa-apa pada putri sulung Juan tersebut."Oke, saya pegang ucapan kamu ya," kata Juan. "Awas kalau ingkar.""Siap," kata Davion. "Bapak boleh omelin atau maki saya kalau ingkar janji. Lagipula sejauh ini saya anggap Kiran seperti adik sendiri. Jadi enggak akan ada itu cinta diantara saya dan dia.""Bagus," kata Juan. "Saya mau Kiran fokus belajar biar punya nilai memuaskan, dan bisa masuk universitas impian. Masa depan dia masih panjang.""Iya, Pak."Tak memperpanjang obrolan tentang Kiran, selanjutnya Juan dan Davion membahas pekerjaan hingga setelah menunggu cukup lama, klien pun dat
***"Bapak-bapak possesif."Barusaja menurunkan ponselnya dari samping telinga, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan. Bukan untuk orang lain, julukan itu tentunya dia persembahkan untuk Juan karena setelah obrolan mereka beberapa menit ke belakang, Senja pikir Juan pantas diberi Julukan possesif.Memintanya untuk bertanya atau mengecek ponsel Kiran, itulah yang Juan katakan di telepon dan meskipun ragu bahkan tak enak pada sang keponakan, Senja mau tak mau manut sehingga setelah ini tugasnya adalah; menemui Kiran untuk bertanya."Kalau seandainya Kiran emang habis teleponan sama Davion, apa aku bohong aja kali ya?" tanya Senja. "Kasihan juga dia kalau terlalu dikekang gini. Lagian Kiran sama Davi juga cuman temenan doang."Berpikir selama beberapa detik, selanjutnya itulah yang Senja lakukan sebelum akhirnya beranjak dari kasur. Pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, selanjutnya dia bergegas menuju kamar Kiran dan begitu sampai, yang
***"Duh, pasangan pengantin baru udah siap nih mau jalan-jalan."Baru sampai di pertengahan tangga, Senja seketika tersenyum setelah ucapan tersebut dilontarkan Gian dari sofa ruang tengah.Tak turun sendiri, Senja berjalan bersama Juan karena memang tak akan diam di rumah, sabtu siang ini dia dan sang suami berniat untuk menghabiskan waktu di luar.Tak pernah pergi berdua, Juan merencanakan semua ini sejak beberapa hari ke belakang, dan karena Senja pun cukup lama tak berkeliling Bandung, tawaran Juan untuk pergi bersama diterimanya dengan senang hati.Tak sekadar berjalan-jalan, Senja dan Juan memiliki tugas lain yaitu; berbelanja bulanan, sehingga tak hanya mengunjungi mall atau tempat wisata, pasangan suami istri tersebut harus mampir ke supermarket untuk membeli kebutuhan rumah yang listnya sudah tersimpan rapi di note kecil milik Senja."Iyalah," kata Juan bangga. "Sabtu tuh keluar, bukan malah males-malesan di sofa. Kaya
***"Udah ada yang cocok belum?"Berjalan santai di belakang Senja yang sejak tadi sibuk melihat-lihat, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Juan pada sang istri.Tak lagi di depan toko underwear, saat ini Senja dan Juan sudah berada di dalam untuk membeli apa yang Senja butuhkan. Namun, karena cukup banyak model yang dipajang bahkan digantung, Senja dilema karena sejauh ini semua lingerie yang dia lihat memiliki model menantang."Belum, Mas, aku bingung.""Kenapa?" tanya Juan. "Apa model di sini jelek-jelek? Kalau iya, kita keluar aja biar cari toko yang lain.""Enggak tahu sih, Mas," kata Senja dengan raut wajah ragu. "Jelek apa bagus modelnya aku kurang paham, karena aku sendiri belum pernah beli lingerie. Jadi ya gitu deh."Juan tersenyum. "Tertekan enggak sih kamu harus beli ini?" tanyanya. "Kalau enggak bisa, enggak usah dipaksa. Aku enggak bakalan marah kalau kamu enggak mau.""Ya enggak tertekan juga
***"Yes, akhirnya beres!"Berucap lega, itulah yang Senja lakukan setelah beberapa kresek belanjaan selesai disimpan di bagian belakang mobil.Bukan pakaian, kresek belanjaan tersebut mencangkup kebutuhan rumah, karena memang setelah puas berbelanja kebutuhan pribadi, Senja dan Juan melanjutkan kegiatan mereka berbelanja di supermarket.Memakan waktu satu jam lebih, Juan dan Senja selesai berbelanja pukul setengah satu siang dan tak akan menjelajahi mall lagi, sekarang keduanya bersiap untuk pulang."Selesai juga semuanya," ucap Juan."Iya dan kaya ibu rumah tangga beneran aku belanja kaya gini," kata Senja. "Seru.""Suka?" tanya Juan sambil memandang Senja. Bukan tanpa alasan, dia bertanya demikian karena memang ketika belanja di supermarket tadi, Senja terlihat antusias."Banget," kata Senja. "Dulu kalaupun ikut belanja bulanan sama Bunda, aku tahunya jajan doang. Sekarang pas ngalamin belanja sendiri ternyat
***"Yey, ke sini lagi."Tersenyum sambil memeluk buket bunga di tangan, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan setelah mobil yang dikendarai Juan berhenti di parkiran pemakaman.Makan siang selesai, keduanya memang bergegas menuju makam Mentari untuk merealisasikan niat. Tak dengan tangan kosong, seperti biasa Senja membeli bunga kesukaan Mentari untuk disimpan di dekat nisan nantinya."Senang banget kaya dibawa ke tempat wisata.""Ya senanglah orang mau ketemu Kakak," kata Senja. "Kamu emang enggak senang?""Senang sih," kata Juan. "Ayo turun.""Ayo."Tak banyak menunda, selanjutnya Juan dan Senja turun dari mobil. Berjalan menuju pusara, keduanya merendahkan posisi begitu sampai dan yang dilakukan setelahnya adalah; memanjatkan doa.Dipimpin Juan, doa berlangsung selama beberapa menit hingga setelah selesai, Senja menyapa."Kak Mentari, aku sama Mas Juan datang lagi nih buat nengok Kakak," ucap S
***"Tante Senja, aku boleh nanya enggak?"Berhenti sejenak dari kegiatannya merapikan belanjaan, Senja menoleh setelah pertanyaan tersebut dilontarkan Kiran dari depan kulkas.Sampai di rumah hampir setengah jam lalu, Senja memang langsung membereskan semua belanjaan yang dia beli. Tak sendiri, dia dibantu Kiran, sementara Juan sendiri pergi ke kamar untuk beristirahat."Nanya apa?""Sebulanan nikah sama Papa, Tante serius belum pernah ngapa-ngapain?"Mendengar pertanyaan Kiran, kening Senja mengernyit. Tak langsung menjawab, untuk beberapa detik dia diam sebelum akhirnya balik bertanya,"Kenapa mendadak nanyain itu?""Ya karena penasaran aja," kata Kiran. "Om Gian bilang Tante sama Papa tadi pergi buat beli perlengkapan malam pertama. Padahal, kan kalian nikah udah lama. Jadi ya aku pikir Tante sama Papa belum ngapa-ngapain gitu. Makanya aku tanya.""Oh," kata Senja."Serius belum pernah ngap
***"Kalau punya adik, Caca pengennya tiga. Boleh enggak?"Setelah membuat Juan dan Senja cengo karena bertanya tentang apa itu pelindung, untuk yang kedua kalinya Caca berhasil membuat kedua orang tuanya melongo karena permintaannya tentang jumlah adik.Tak satu atau dua, Caca meminta tiga adik sekaligus dan hal tersebut membuat Juan mau pun Senja bingung, karena bukan hal mudah, membuat tiga anak sekaligus adalah sesuatu yang sulit."Tiga?" tanya Juan memastikan. "Apa enggak kebanyakan, Ca?""Enggak," kata Caca polos. "Caca enggak punya teman di rumah, Papa. Kak Kiran jarang main sama Caca. Jadi kalau Papa sama Mama mau bikin adik, Caca maunya tiga. Bisa, kan?"Tak bisa menjawab, Juan dan Senja kompak memasang raut wajah bingung. Tak tahu harus merespon apa ucapan sang putri, sepasang suami istri tersebut kini sibuk mencari diksi yang pas hingga tak berselang lama Caca kembali bicara."Kok pada diem?" tanya gadis tujuh tahun itu dengan raut wajah polos. "Enggak mau ya kabulin permint
***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"