Sesuai rencana yang sempat aku usulkan kepada papa, tentang pernikahan Yasa dan Didi agar dilakukan secepat mungkin. Kedua belah pihak keluarga sudah setuju akan itu, tepatnya hari ini akan dilangsungkan acara pernikahan mereka. Hanya butuh waktu tidak kurang dari satu bulan untuk mempersiapkan ini semua. Tentunya dengan diiringi drama dari Diandra yang kekeh membatalkan acara pernikahannya.
Bahkan sampai saat akan melakukan akad nikah, keduanya pun masih melakukan perlawanan yang sama sekali tidak kami hiraukan. Sepasang calon pengantin itu sama-sama melakukan penawaran yang cukup membuat kami para keluarga merasa geli mendengarnya. Dan usaha mereka tentu saja sia-sia pada akhirnya, sebab penghulu juga para saksi yang ditunjuk sudah siap akan memulai acara ijab kabul yang dilakukan di kediaman sang mepelai wanita."Senyum, Di. Masa pengantinya cemberut gitu, nanti enggak ada yang berani kasih selamat, lhoh.""Masa bodo! Didi juga enggak peduli dengan itu."<"Kalian sudah kelas dua belas, fokus kalian bukan untuk main-main dan bikin masalah lagi. Sudah cukup waktu dua tahun kalian habiskan dengan menjadi pengunjung tetap ruangan BK, apa belum puas juga?""Bu kita hanya ingin menolong teman kami yang sedang dibully sama mereka, apa itu tindakan yang salah?""Salah karena kamu bertindak sendiri, bukankah sering kali ibu pesankan jika ada kejadian seperti itu sebaiknya kalian lapor kepada kami, kalau seperti ini kalian juga akan kena imbasnya.""Maaf, Bu. Kita memang salah, tapi saya pribadi akan merasa sangat bersalah jika sampai tidak secepatnya menghentikan aksi mereka yang susah diluar batas. Membully satu siswa yang tak sebanding dengan jumlah mereka apa menurut ibu satu siswa itu akan bisa selamat? Kalau pun selamat apa Ibu bisa pastikan jika siswa itu akan baik-baik saja, terutama kondisi psikisnya?"Satria, dengan begitu santai mengutarakan pendapatnya. Dan setiap ucapan yang keluar dari
"Kalau kamu masih ragu, kita bisa datang lain waktu." Ujarnya disertai dengan remasan di jemariku, sebagai bentuk usahanya untuk memberiku dukungan.Menundanya lagi aku rasa bukan pilihan yang tepat, karena jika menuruti kesiapanku selamanya aku tidak akan pernah siap. Rasa bersalah semakin menghantuiku jika aku tidak lekas datang dan memohon ampun kepada keluarga yang ditinggalkannya. Seorang ibu yang kehilangan anaknya, dan seorang adik yang kehilangan kakaknya. Mereka adalah keluarga Alvin, mantan tunanganku yang terpisah oleh maut."Nisya sudah siap, Mas. Semoga mereka sudi memaafkan kesalahan Nisya.""Apapun hasil akhirnya nanti, jangan kamu pikirkan. Yang penting niat kamu sudah baik ingin meminta maaf, atas kesalahan yang tidak sepenuhnya kamu lakukan."Sepulang dari villa waktu itu Mas Ryan sudah memenuhi janjinya untuk mengantarku ke makam Alvin, hanya sebatas itu karena untuk menemui keluarganya aku belum memiliki keberanian penu
Setelah aksi pembelaan yang dilakukan Mas Ryan, dia langsung menggandengku untuk keluar setelah lebih dulu aku pamit dengan ibu. Dan kini kami sudah berada di dalam mobil dengan Mas Ryan yang belum ingin menjalankan kendaraanya."Sudah lebih tenang?" tanyanya."Terima kasih, Mas sudah membela Nisya tadi.""Bukan membela Mas hanya mencoba memberi pengertian terhadap dia, jiwa mudanya masih menggebu-nggebu sehingga belum bisa berpikir jernih dan cenderung labil.""Karena saat kejadian itu Reno bahkan masih remaja, jadi belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi.""Mas paham makanya sebisa mungkin mas tidak melibatkan amarah, sebenarnya dia hanya belum bisa terima akan nasibnya yang sekarang. Terlebih keadaan memaksa dia untuk dewasa sebelum waktunya.""Mas, boleh Nisya datang lagi lain waktu?""Tidak dalam waktu dekat, Sayang! Suasana masih belum
"Bunda, Al pulang dulu, ya. Nanti kalau mama bolehin Al nginap lagi kita pergi liburan yuk, Bun. Al pengen kayak teman-teman kalau hari libur diajak pergi jauh.""Pastinya, besok kalau sekolah Al liburnya banyak bunda ajak Al pergi ke villanya ayah yang ada di Malang. Kita berlibur di sana.""Janji ya, Bun."Aku jawab dengan anggukan kepala, lantas membawanya masuk ke dalam dekapanku. Didi, sudah siap untuk mengantar Alshad pulang kembali kepada Mbak Sarah. Tentunya bersama Yasa yang ikut serta, mereka sempat menawarkan diri agar kami yang mengantar tapi tentu saja aku tolak dengan tegas. Bertemu Mbak Sarah tidak ada dalam daftar rencanaku, jangankan bertemu mendengar namanya saja sudah buat aku kesal duluan."Kalian enggak nginap di sini saja?" tanya ibu yang melihat kami juga bersiap untuk pulang."Lain kali saja, Bu. Kita sedang ada proyek penting yang tidak bisa ditunda lagi."
"Kok kamu yang jemput, Nu. Yasa ke mana?""Bang Yasa lagi ada urusan penting, Bu. Tadi sudah berpesan untuk suruh saya yang jemput Ibu."Tadi siang aku menyuruhnya untuk menjemputku sepulang mengajar, bukan untuk pulang melainkan ke kantor karena aku sudah memulai proyek limpahan dari mendiang sahabat Mas Ryan. Dan aku sudah siapkan desain yang telah selesai kubuat, rencananya hari ini aku akan minta Janu untuk merampungkan proyek ini yang kebetulan juga dia lah yang menjemputku."Oh iya, Nu. Yasa sudah bilang apa belum kalau saya ada proyek khusus buat kamu?""Sudah, Bu. Tapi Bang Yasa belum menjelaskan itu secara detail, katanya suruh tanya langsung ke Ibu.""Iya memang dia belum tahu proyek yang akan aku kerjakan, karena ini memang private."Setibanya kami di kantor aku langsung meminta Janu untuk datang ke ruanganku setelah dia selesai dengan urusan parkir mob
Waktu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga, berikut janjiku kepada Alshad yang ingin mengajaknya berkunjung ke villa ayahnya hari ini terlaksana. Bahkan aku memboyong seluruh keluarga besarku untuk ikut serta, papa, mama dan keluarga Mas Ryan termasuk Didi dan suaminya, Yasa. Kami semua sepakat untuk ambil cuti sejenak dari rutinitas pekerjaan yang tiada habisnya.Satu bulan sejak rampungnya proyek yang dikerjakan Janu, aku baru bisa meluangkan waktu untuk datang melihatnya. Kesibukan Mas Ryan lah yang menyulitkanku mencari waktu yang pas untuk berlibur. Aku sudah tidak sabar untuk memberi kejutan istimewa ini untuk Mas Ryan, dan sekarang adalah momen yang paling tepat karena hanya ada aku dan Mas Ryan di ruangan ini."Sudah siap, Mas?""Sudah tiga kali kamu tanya begitu terus, Sayang! Dan ini mau nunggu berapa lama lagi mas harus tutup mata? Kenapa enggak langsung saja sih, lagian Mas juga sudah tahu kejutan apa yang akan kamu perlihatkan.""Mas n
Bukannya tidak sadar akan perubahan yang dilakukan oleh putranya, Ryan dan juga Nisya mencoba untuk bersikap biasa saja. Mereka ingin mencoba memberi sedikit waktu untuk Alshad agar anaknya itu dapat berpikir dan melihat jika apa yang ditakutkannya itu tidak akan pernah terjadi. Ketakutan akan kehilangan kasih sayang juga perhatian dari seluruh keluarga yang semula hanya berpusat kepadanya. Namun satu perubahan dari diri Alshad yang sedikit membuat Ryan terganggu, demi untuk bisa memperoleh perhatian putranya itu menjadi cengeng pada akhirnya. Terlebih jika berhadapan dengan Nisya, Alshad seolah semakin meminta perhatian lebih kepada bundanya. Pun dengan rayuan Didi yang sebelum ini selalu manjur dan membuat Alshad menurut ketika sang tante menawarkan sebuah permainan, nyatanya kini bocah 6 tahun itu sudah tidak berminat lagi. Ini sedikit menyulitkan Nisya sebab kemana pun Nisya beranjak anak itu akan selalu mengikutinya, mengabaikan semua orang yang ingi
"Sen, kenapa? Ada masalah?" "Enggak, gimana kabar baby sehat, kan?" jawab Sena sengaja mengalihkan pertanyaan sahabatnya. "Kamu tidak akan bisa menutupi apa pun dariku, Arsena! Katakan dan jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan." Tekan Nisya tepat sasaran. Melihat sahabatnya yang nampak murung tidak seperti biasanya membuat Nisya paham jika telah terjadi sesuatu yang tak diketahuinya. Suasana ruang guru yang lenggang membuat kedua sahabat itu bisa dengan leluasa untuk mengobrol. Jadwal mengajar mereka baru akan dimulai lagi satu jam ke depan selepas istirahat, sedangkan guru lainnya masih berada di kelas masing-masing. Tanpa kata Sena menghambur ke dalam pelukan Nisya dengan air mata mengiringi isakan tangis yang terdengar begitu menyesakkan. Seolah paham akan situasi Nisya tidak lantas mencecar sahabatnya itu dengan pertanyaan, melainkan membiarkan sang sahabat selesai meluapkan perasanya dengan ses
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan