Waktu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga, berikut janjiku kepada Alshad yang ingin mengajaknya berkunjung ke villa ayahnya hari ini terlaksana. Bahkan aku memboyong seluruh keluarga besarku untuk ikut serta, papa, mama dan keluarga Mas Ryan termasuk Didi dan suaminya, Yasa. Kami semua sepakat untuk ambil cuti sejenak dari rutinitas pekerjaan yang tiada habisnya.
Satu bulan sejak rampungnya proyek yang dikerjakan Janu, aku baru bisa meluangkan waktu untuk datang melihatnya. Kesibukan Mas Ryan lah yang menyulitkanku mencari waktu yang pas untuk berlibur. Aku sudah tidak sabar untuk memberi kejutan istimewa ini untuk Mas Ryan, dan sekarang adalah momen yang paling tepat karena hanya ada aku dan Mas Ryan di ruangan ini.
"Sudah siap, Mas?"
"Sudah tiga kali kamu tanya begitu terus, Sayang! Dan ini mau nunggu berapa lama lagi mas harus tutup mata? Kenapa enggak langsung saja sih, lagian Mas juga sudah tahu kejutan apa yang akan kamu perlihatkan."
"Mas n
Bukannya tidak sadar akan perubahan yang dilakukan oleh putranya, Ryan dan juga Nisya mencoba untuk bersikap biasa saja. Mereka ingin mencoba memberi sedikit waktu untuk Alshad agar anaknya itu dapat berpikir dan melihat jika apa yang ditakutkannya itu tidak akan pernah terjadi. Ketakutan akan kehilangan kasih sayang juga perhatian dari seluruh keluarga yang semula hanya berpusat kepadanya. Namun satu perubahan dari diri Alshad yang sedikit membuat Ryan terganggu, demi untuk bisa memperoleh perhatian putranya itu menjadi cengeng pada akhirnya. Terlebih jika berhadapan dengan Nisya, Alshad seolah semakin meminta perhatian lebih kepada bundanya. Pun dengan rayuan Didi yang sebelum ini selalu manjur dan membuat Alshad menurut ketika sang tante menawarkan sebuah permainan, nyatanya kini bocah 6 tahun itu sudah tidak berminat lagi. Ini sedikit menyulitkan Nisya sebab kemana pun Nisya beranjak anak itu akan selalu mengikutinya, mengabaikan semua orang yang ingi
"Sen, kenapa? Ada masalah?" "Enggak, gimana kabar baby sehat, kan?" jawab Sena sengaja mengalihkan pertanyaan sahabatnya. "Kamu tidak akan bisa menutupi apa pun dariku, Arsena! Katakan dan jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan." Tekan Nisya tepat sasaran. Melihat sahabatnya yang nampak murung tidak seperti biasanya membuat Nisya paham jika telah terjadi sesuatu yang tak diketahuinya. Suasana ruang guru yang lenggang membuat kedua sahabat itu bisa dengan leluasa untuk mengobrol. Jadwal mengajar mereka baru akan dimulai lagi satu jam ke depan selepas istirahat, sedangkan guru lainnya masih berada di kelas masing-masing. Tanpa kata Sena menghambur ke dalam pelukan Nisya dengan air mata mengiringi isakan tangis yang terdengar begitu menyesakkan. Seolah paham akan situasi Nisya tidak lantas mencecar sahabatnya itu dengan pertanyaan, melainkan membiarkan sang sahabat selesai meluapkan perasanya dengan ses
"Ar, gimana? Apa sudah ada kabar soal itu?""Maaf, Bu, bukannya Arka menolak perintah Ibu, tapi alangkah baiknya jika saat ini Ibu fokus saja pada kehamilan Ibu terlebih dulu. Bukan apa Arka hanya takut jika Ibu akan mengalami hal serupa seperti yang dialami Ante dulu, kehilangan calon anak karena terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.""Tapi ibu penasaran, Ar.""Sama dengan Ante dulu, sibuk berprasangka dan mengabaikan kondisinya yang sedang mengandung sehingga kejadian lah sesuatu yang membuatnya begitu menyesali tindakannya itu."Nisya menyerah, sepertinya memang benar apa yang dibilang Arka. Mungkin belum saatnya dia tahu fakta soal anak itu, terlebih Alshad pun mengatakan jika adik yang sempat membuatnya iri hati sudah tak lagi tinggal bersamanya."Ya sudah tapi jika nanti ada sesuatu yang kamu ketahui cepat beri tahu ibu ya, Ar. Dan terima kasih atas bantuan
"Ibu apa kabar? Seharusnya tidak usah jauh-jauh datang ke sini, tinggal bilang sama Nisya kalau ibu rindu pasti Nisya yang akan datang ke rumah Ibu." "Enggak papa, lagi pula ibu juga sudah lama tidak berkunjung ke rumah saudara ibu yang ada di Surabaya. Sekalian saja ibu mampir ke sini, mumpung Reno juga sedang libur kuliahnya." "Bu, airnya sudah lancar kembali. Terus yang di kamar mandi juga sudah saya ganti kerannya yang bocor." "Ah iya, tunggu sebentar biar saya ambilkan uangnya dulu." Nisya menyuruh tamunya masuk dan mempersilahkan duduk sebelum dirinya mengambil uang untuk membayar jasa tukang. Pagi tadi suaminya berpesan jika ada tukang yang akan membetulkan saluran air yang mecet. "Ren, gimana kuliahmu? Apa ada halangan?" tanya Nisya setelah bergabung di ruang tamu. "Enggak Mbak, aku malah mau bilang terima kasih sama Mbak dan Mas karena sudah bersedia membiay
"Kemungkinan besar ada indikasi keracunan makanan, atau minuman Pak, Bu.""Tapi masih bisa diselamatkan kan, Dok?""Semoga saja bisa, tetapi harus menjalani perawatan intensif setidaknya tiga hari ke depan agar kami bisa pantau kondisinya lebih lanjut.""Lakukan yang terbaik, Dok. Dan tolong sembuhkan Moly seperti sedia kala."Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membawa Moly ke klinik hewan, hampir saja kucing itu menyerah kerena terlalu lama tidak mendapatkan pertolongan. Mulutnya tidak berhenti mengeluarkan busa, juga rintih kesakitan yang kucing itu lakukan membuat Nisya khawatir."Pulang Nisya! Biarkan Moly dalam penanganan mereka.""Tapi aku enggak tega, Sa. Kamu tahu sendiri seperti apa kondisinya yang terus merintih.""Sudah ada mereka yang merawat Moly, sekarang ayo kita pulang ibu sudah menunggu di rumah."Keadaan tubuh Nisya ya
Akibat jadwal tidur yang belum kembali normal, Nisya lagi-lagi membuat kegaduhan yang kali ini dilakukan di rumah ibu mertuanya. Apa lagi kalau bukan permintaan nyelenehnya tengah malam buta saat semua orang sudah terlelap dalam mimpi. Namun hanya demi menuruti keinginan bumil mereka satu persatu penghuni rumah mulai terjaga akibat keributan yang dilakukan Nisya bersama suaminya."Sayang, makan di rumah saja ya. Angin malam sangat tidak baik bagi kamu juga baby." Bujuk Ryan terhadap sang istri."Boleh tapi Nisya mau Yasa yang beli nasi gorengnya.""Kok Yasa? Mas saja, deh, ya?""Enggak! Mas pasti nggak tahu tempatya dan juga nanti Mas lama seperti yang sudah-sudah.""Tapi Yasa sudah tidur, Sayang. Mas enggak enak mau bangunin. Kasih tahu saja tempatnya di mana biar Mas yang belikan.""Ya sudah kalau gitu Nisya enggak jadi lapar.""Ada apa, Ryan? Kenapa kal
Berusaha agar tetap terlihat normal dihadapan semua orang, Nisya seolah tengah berperan jika dirinya memang tidak tahu apa-apa. Pun dengan Ryan yang merasa lega karena istrinya tidak lagi membahas apa yang sempat didengarnya tentang pembicaraan nya dengan Yasa. Semua berjalan sebagaimana mestinya, meski dalam benak Ryan dan juga Yasa mereka merasa sedikit takut, tetapi melihat reaksi yang ditunjukkan Nisya keduanya mendesah lega. "Bisa tidur jam berapa semalam, Nak?" tanya ibu mertuanya membuka obrolan. Semua kompak mengalihkan pandanganya kepada Nisya yang semula fokus pada makanan di piring masing-masing. "Jam 3 sepertinya, Bu. Entahlah pokoknya setelah Nisya memergoki mereka sedang merokok di halaman belakang." "Dih, Mas ngerokok? Sudah siap mati emangnya?" Ujar Diandra yang ditujukan untuk Ryan. Namun bukan Ryan yang berreaksi, melainkan suaminya sendiri. Mendengar celetukan yang
Perubahan yang dilakukan Nisya nampaknya berdampak pada kehamilannya. Nisya merasa nyeri yang berpusat pada perut bagian bawahnya di mulai dari kemarin. Karena terlalu keras berpikir tentang kemungkinan yang sempat ia curi dengar dari obrolan Yasa dengan suaminya. Hal itu mengakibatkan Nisya yang menjadi murung dan melupakan asupan nutrisi yang seharusnya dia berikan untuk janin di dalam kandungannya.Dan ketika tersadar rasa nyeri itu semakin kuat dirasakan, sehingga pada akhirnya Nisya memutuskan untuk pergi memeriksakan diri. Takut jika sesuatu yang buruk akan menimpa calon anaknya. Sayang usahanya menghubungi Ryan tidak membuahkan hasil, sehingga terpaksa ia menghubungi Sena untuk menemaninya ke rumah sakit."Jam berapa dokternya, Nis?"Sena membuka obrolan ketika mulai melajukan mobilnya di jalan raya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, kedua mata Sena seolah terkunci pada jalan di depannya agar bisa selamat s
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan