Akibat jadwal tidur yang belum kembali normal, Nisya lagi-lagi membuat kegaduhan yang kali ini dilakukan di rumah ibu mertuanya. Apa lagi kalau bukan permintaan nyelenehnya tengah malam buta saat semua orang sudah terlelap dalam mimpi. Namun hanya demi menuruti keinginan bumil mereka satu persatu penghuni rumah mulai terjaga akibat keributan yang dilakukan Nisya bersama suaminya.
"Sayang, makan di rumah saja ya. Angin malam sangat tidak baik bagi kamu juga baby." Bujuk Ryan terhadap sang istri.
"Boleh tapi Nisya mau Yasa yang beli nasi gorengnya."
"Kok Yasa? Mas saja, deh, ya?"
"Enggak! Mas pasti nggak tahu tempatya dan juga nanti Mas lama seperti yang sudah-sudah."
"Tapi Yasa sudah tidur, Sayang. Mas enggak enak mau bangunin. Kasih tahu saja tempatnya di mana biar Mas yang belikan."
"Ya sudah kalau gitu Nisya enggak jadi lapar."
"Ada apa, Ryan? Kenapa kal
Berusaha agar tetap terlihat normal dihadapan semua orang, Nisya seolah tengah berperan jika dirinya memang tidak tahu apa-apa. Pun dengan Ryan yang merasa lega karena istrinya tidak lagi membahas apa yang sempat didengarnya tentang pembicaraan nya dengan Yasa. Semua berjalan sebagaimana mestinya, meski dalam benak Ryan dan juga Yasa mereka merasa sedikit takut, tetapi melihat reaksi yang ditunjukkan Nisya keduanya mendesah lega. "Bisa tidur jam berapa semalam, Nak?" tanya ibu mertuanya membuka obrolan. Semua kompak mengalihkan pandanganya kepada Nisya yang semula fokus pada makanan di piring masing-masing. "Jam 3 sepertinya, Bu. Entahlah pokoknya setelah Nisya memergoki mereka sedang merokok di halaman belakang." "Dih, Mas ngerokok? Sudah siap mati emangnya?" Ujar Diandra yang ditujukan untuk Ryan. Namun bukan Ryan yang berreaksi, melainkan suaminya sendiri. Mendengar celetukan yang
Perubahan yang dilakukan Nisya nampaknya berdampak pada kehamilannya. Nisya merasa nyeri yang berpusat pada perut bagian bawahnya di mulai dari kemarin. Karena terlalu keras berpikir tentang kemungkinan yang sempat ia curi dengar dari obrolan Yasa dengan suaminya. Hal itu mengakibatkan Nisya yang menjadi murung dan melupakan asupan nutrisi yang seharusnya dia berikan untuk janin di dalam kandungannya.Dan ketika tersadar rasa nyeri itu semakin kuat dirasakan, sehingga pada akhirnya Nisya memutuskan untuk pergi memeriksakan diri. Takut jika sesuatu yang buruk akan menimpa calon anaknya. Sayang usahanya menghubungi Ryan tidak membuahkan hasil, sehingga terpaksa ia menghubungi Sena untuk menemaninya ke rumah sakit."Jam berapa dokternya, Nis?"Sena membuka obrolan ketika mulai melajukan mobilnya di jalan raya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, kedua mata Sena seolah terkunci pada jalan di depannya agar bisa selamat s
Ketegangan terjadi di depan ruangan oprasi, ada tiga keluarga yang berkumpul di sana. Dari semua orang yang hadir tidak ada satu pun dari mereka yang menampilkan wajah tenangnya, semua merasa panik, takut, dan khawatir akan keadaan seseorang yang sedang berjuang di dalam ruangan oprasi. Tiga jam sudah berlalu dan lampu yang berada di atas pintu masih menyala dengan warna merah. Tanda jika oprasi masih berlangsung, dan mereka semua hanya bisa berdoa, memohon kepada sang maha kuasa akan keselamatan Ryan yang terbaring di atas meja oprasi.Akibat pendarahan hebat di kepalanya mengharuskan tim dokter mengambil keputusan untuk melakukan bedah di bagian tempurung kepala Ryan yang mengalami keretakan. Sedangkan Nisya sampai saat ini masih belum sadarkan diri, ia sempat mengalami pendarahan juga tapi beruntung masih bisa teratasi."Sen, minum dulu, ya. Kamu terlihat pucat apa mau aku antar pulang saja?""Sa, andai s
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l