"Mas!" teriaku dari arah dapur.
"Ada apa sih, Sayang! teriak-teriak?" sahutnya."Itu ponsel Mas, dari tadi berbunyi apa tidak dengar?""Tolong kamu aja yang jawab ya, mas lagi seru ini!" sahutnya kembali tanpa beranjak dari posisinya.Menghentikan kegiatan memasakku dengan terpaksa demi melihat siapa gerangan yang sudah tak henti-hentinya menghubungi Mas Ryan. Satu nama yang paling kuhindari muncul di layar utama sedang melakukan panggilan telepon, dan aku tidak berminat sama sekali untuk menerima panggilannya itu.Kuambil ponsel tersebut yang berada di atas meja makan untuk kuberikan kepada sang empunya. "Mas jawab sendiri saja," sambil kuulurkan ponsel itu dan diterimanya.Setelah melihatnya Mas Ryan tidak langsung menjawab panggilan itu, aku yang sadar jika dia pasti butuh ruang untuk berbicara dengan mantan istrinya, lekas kembali untuk melanjutkan acara memasakku yang sempat tertunda. Namun Mas Ryan mencegahku dan menariku duduk diBertambah lagi kebiasaanku mulai sekarang, aku jadi lebih berani untuk menjelajahi ponsel Mas Ryan, dengan atau tidaknya izin dari sang pemilik. Semenjak insiden keributanku dengan mantan istrinya kemarin, bahkan aku tidak pernah melewatkan kegiatan ini saat melihat ponsel Mas Ryan tergeletak di atas nakas. Sementara pemiliknya memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaannya, selalu seperti itu setiap harinya. Lagian Mas Ryan sepertinya tidak pernah mempermasalahkan hal ini, dia lebih memilih sibuk dengan pekerjaan dari pada menatap layar ponselnya berlama-lama.Saturoompercakapan yangmembuatku cukup tercengang dengan semua isi di dalamnya. Bagaimana tidak di sini aku menemukan bukan hanya satu, melainkan banyak sekali foto-fotoku yang memperlihatkan kegiatanku selama di luar rumah.Mungkinkah Mas Ryan menyuruh seseorang untuk memata-mataiku? Lalu apa tujuan Mas Ryan melakukan ini semua? Apa dia mulai curiga tentangku. Ini tidak bisa dibia
"Ada urusan apa kamu sama Arka? Dia ada buat masalah?""Tidak, kamu seperti tidak tahu kebiasaanku Sen, sama seperti apa yang kulakukan pada Kakaknya dulu, paham maksudku kan?""Berburu siswa pintar, hemm." Sambil menganggukkan kepalanya, "apa dia sepintar itu?" tanyanya dengan raut wajah ragu."Jika kubilang lebih, apa kamu percaya?""Memang ada kata yang lebih tinggi dari pintar?""Tentu saja, masih ada kata 'jenius' Arsena!""Jelaskan secara detail sejenius apa Arka ini, karena jika kulihat seperti ada sesuatu yang lain yang akan kamu lakukan bareng Arka."Mengalirlah cerita tentang kejadian yang lalu, aku juga meminta Sena, untuk tutup mulut atas tindakan Arka, yang sempat mencuri data sekolah untuk keperluan pribadinya. Bukan bermaksud untuk menutupi kejahatannya, namun lebih ke janjinya kepadaku yang berkata untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya. Dan memang terbukti jika Arka benar-benar menu
"Pokoknya aku gak mau tau ya, Nisya! bisa nggak bisa, mau nggak mau, kamu harus datang saat ini juga. Jika tidak jangan harap aku akan sudi menghubungimu lagi, baik itu menyangkut pekerjaan ataupun dalam konteks pertemanan!"Setelah meluapkan kekesalannya padaku, Yasa memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Mungkin dia sudah benar-benar pada batas kesabarannya, dari tiga hari yang lalu, Yasa, sudah memintaku untuk mengambil salah satu proyek yang sedang ditanganinya. Namun aku sengaja mengabaikan permintaannya karena aku masih ingin fokus dengan masalahku sendiri.Untukpertama kali aku mendapat ancaman darinya, dan tidak tanggung-tanggung pula ancaman yang Yasa berikan. Dia benar-benar ingin membuatku tambah pusing, belum selesai masalah yang aku hadapi, kini ditambah lagi dengan urusan pekerjaan yang nantinya akan sangat menyita waktu, tenaga, juga isi kepalaku.Menjadi seorang arsitek, tidaklah semudah yang kalian bayangkan. Aku bahkan hamp
"Gimana perasaanmu, Al, sehabis melihat adegan live show mereka?" goda Yasa melihat Alina yang sedari tadi hanya diam dan terus menunduk.Alina mendongak dan meringis sambil menggelengkan kepalanya, "Live show gundulmu!" balasku tak terima.Yasa, dia belum juga puas menggodaku, juga Alina."Tuh buktinya, Alina, sampai malu sendiri pasti kalian sudah buat Alina melihat apa yang seharusnya belum boleh dia lihat, kan?" tudingnya."Pancen angel ngomong ro awakmu, Sa, piktor melulu yang ada di kepalamu.""Coba jelaskan Al, apa yang kamu lihat tadi?"Lagi! Yasa masih terus mendesak Alina, sementara sang empunya nama wajahnya sudah merah padam. Bukan karena malu melihat adegan yang dituduhkan oleh Yasa, melainkan karena digoda terus-menerus oleh Yasa, yang mulutnya tidak bisa berhenti mengoceh.Dan Mas Ryan hanya senyum-senyum sendiri melihat perdebatanku dengan Yasa. Setelah insiden Alina yang menerobos masuk ke ruanganku juga disusul oleh Yasa tidak lama kemudian seketika ruangan 5x6 yang s
Pikiranku seakan dipenuhi tentang kehamilan setelah perbincanganku dengan Mbak Anggita, juga Sena. Bagaimana mungkin aku sama sekali tidak pernah terpikirkan sampai sana? Satu tahun delapan bulan, itu bukanlah waktu yang sebentar, lantas kenapa aku sama sekali tidak pernah berpikir akan hamil dan mempunyai anak dengan Mas Ryan.Awal pernikahan aku memang sengaja untuk menunda kehamilan terlebih dahulu, bukan tanpa alasan aku melakukannya. Aku hanya berjaga-jaga sebab hubunganku dengan Mas Ryan dulunya tanpa tujuan yang jelas. Bahkan aku cenderung tidak yakin akan bisa mempertahankan pernikahan kami, sehingga mencegah kehamilan adalah solusi yang paling tepat waktu itu. Agar tidak akan ada anak yang bernasib sama dengan Alshad, kedepannya. Bagaimanapun juga anak lah yang akan menjadi korban dan paling terluka dengan adanya perceraian dari kedua orang tuanya. Dan aku tidak ingin memberi luka itu terhadap anakku sendiri."Sayang!"Panggilan Mas Ryan diikuti remasan
"Kamu sudah bangun?"Suara Mas Ryan terdengar tepat di depan wajahku, tapi entah kenapa ketika aku akan membuka lebar mataku seperti ada yang menahannya. Pening yang kurasakan di kepalaku semakin kuat, sehingga aku tetap bertahan pada posisi berbaringku."Jangan dipaksakan jika masih ngantuk tidurlah, mas akan tetap di sini menjagamu," ujar Mas Ryan yang melihatku sudah bisa membuka mata dan ingin segera bangkit."Mas, kepala Nisya terasa sakit?" keluhku sambil memegangnya."Kamu demam tinggi semalam, apa sakit banget? Kita ke rumah sakit, ya," ajak Mas Ryan yang langsung kutolak dengan gelengan pelan."Apa yang sudah terjadi? Dan ini kita di mana, Mas?" Aku melihat sekeliling ruangan ini yang nampak asing bagiku."Kamu tidak ingat?"Sekali lagi aku menggeleng sambil mengingat-ingat apa yang sudah terlewatkan karena terakhir yang kuingat hanya saat aku berbincang dengan Sena, juga menanggapi ocehan Wira sel
"Mas, Nisya boleh ya, ke kantor.""Jangan dulu, Sayang! Kamu belum benar-benar pulih, lagian mas sekarang lagi sibuk dan nggak bisa keluar.""Nisya bosan, Mas, sudah tiga hari nggak keluar rumah, seenggaknya kalau di kantor, Nisya bisa bantuin Yasa, proyek yang kemarin juga belum rampung sepenuhnya dari pada Nisya nggak ngapa-ngapain di rumah.""Kamu bisa nonton sepuasnya, juga baca koleksi buku-buku yang sudah jarang kamu buka, dan masih banyak kegiatan lainya yang bisa dikerjakan di rumah."Begitu sulit bagiku melawan omongan Mas Ryan, aku diamkan saja biar dia menunggu jawabanku di seberang sana. Aku sudah jenuh berdiam diri di rumah, oke lah kalau untuk mengajar aku masih terima Mas Ryan, tidak mengijinkanku pergi. Tapi kenapa untuk ke kantor yang merupakan zona amanku bahkan aku yakin tidak akan ada orang luar yang akan berniat jahat terhadapku di sana Mas Ryan juga melarangnya."Sayang!"
"Kaki sebelah kirinya patah, jadi untuk sementara waktu biarkan dia lebih banyak beristirahat. Tapi bila bosan boleh ajak jalan-jalan agar ototnya tidak kaku, asal tetap diperhatikan untuk kaki yang patah jangan dulu terlalu banyak melakukan pergerakan supaya proses penyambungan tulangnya berjalan dengan cepat.""Tapi bisa langsung dibawa pulang kan, Dok?""Bisa, sesuai yang sudah saya jelaskan barusan.""Baik Dok, kalau begitu saya permisi dan terima kasih."Setelah dari ruangan Dokter, aku menuju bagian administrasi guna membayar tagihan lalu baru menghampiri Yasa, yang masih setia menungguiku di ruangan perawatan."Gimana?" tanyanya."Bisa langsung pulang, kata Dokternya tidak boleh terlalu banyak bergerak terutama kaki yang patah.""Ya sudah, ayo! tunggu apalagi?""Sa, itu di bawa dong, masa mau kamu tinggal begitu saja.""Kamu serius Nis, mau bawa dia pulang?""Ak