"Apa yang kau lakukan di sini, Sesyl?" tanya Mark dengan nada yang hampir datar, tapi tajam seperti ujung belati yang menekan lembut kulit tanpa menusuk. "Tempat ini cukup jauh dari kantormu. Kau bolos lagi, huh?"“Jangan menuduh sembarangan, Mark,” ucap Sesyl tak terima dengan tuduhan kakaknya itu.“Lantas? Kau sedang mempromosikan parfum-mu itu di sini? Jauh sekali,” kata Mark, sepertinya pria ini belum puas membuat Sesyl sebal.Sesyl mendengus, tak mampu menyembunyikan rasa kesalnya. Tangan kecilnya dengan kasar meraih lengan Mark, menariknya dengan paksa menjauh dari Dania, wanita yang selama ini ia anggap sahabat dekatnya.“Dania. Aku pinjam kakakku … um, suamimu dulu.” Sesyl membawa Mark yang berada cukup jauh dari Dania.“Bagaimana mungkin kalian bisa menikah?” suaranya tercekat, mencerminkan keterkejutan yang belum hilang. Matanya berkilat tak percaya, berusaha memahami kenyataan di dep
Dania melangkah mendekati Mark dan Sesyl, yang masih berbincang dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya.“Mark,” ujar Dania dengan suara yang tenang, namun ada getaran halus yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. “Aku dan Sesyl menjadi sahabat setelah kecelakaan itu.”Sekilas, tampak keheningan itu semakin dalam. Kata-kata Dania seperti mengguncang sesuatu di antara mereka, membuat udara di sekitar terasa semakin berat.Sesyl, yang selalu penuh percaya diri, tertegun. Ekspresi bingungnya semakin jelas terpampang di wajahnya yang biasanya tenang.“Tunggu ... jadi selama ini kau pernah mengalami kecelakaan? Kenapa kau tidak pernah bilang?” Suara Sesyl terdengar patah, campuran dari keterkejutan dan rasa bersalah yang mendalam. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa sahabatnya pernah melalui tragedi besar tanpa ia ketahui.Dania menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena menurutku tidak penting, Sesyl. Bukan karena aku tak ingin memberitahumu.”Sesyl menghela napas p
Dania menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu kamar, kemudian perlahan berbalik. Pandangannya tajam menembus ruang di antara mereka, mata terfokus pada wajah Mark. Ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan yang tak bisa lagi ia bendung.“Kau masih mencintai cinta pertamamu itu?” suaranya datar, hampir tanpa emosi, namun jelas mengandung kesedihan yang dalam.“Kau masih memikirkan wanita itu, meskipun kini kau telah menikah denganku?” lanjutnya.Mark menghela napas panjang, matanya menyapu ruang, seolah mencari jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk ini. “Dania …,” ucapnya lirih, tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu. “Aku akan memasak untuk makan malam nanti. Kita bisa bicara setelah itu.”Dania menggeleng pelan, tak tergoyahkan oleh usaha Mark untuk mengalihkan perhatian. “Aku sedang tidak nafsu makan, Mark,” jawabnya tegas, matanya tetap menatapnya tanpa henti, seolah menuntut kejujuran penuh dari pria di hadapannya.Mark meraih tangannya den
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Matahari perlahan meninggi di langit yang cerah, namun bagi Dania, pagi itu terasa sepi dan sunyi, hanya ditemani oleh desiran lembut ombak yang berulang kali menghantam pasir di tepi pantai.Di situlah ia duduk, kakinya terbenam dalam butiran pasir yang dingin, matanya menerawang jauh ke cakrawala, tempat langit dan laut menyatu dalam gradasi biru keabu-abuan.Ucapan Mark semalam terus bergema di benaknya, seperti badai yang berputar tanpa akhir, menghantam ketenangan hati yang sempat ia bangun. "Mark tidak punya perasaan," gumamnya, mengulang keyakinan yang sudah lama terpatri sejak pertama kali mereka bertemu.Sosok pria dingin, kaku, tak tergoyahkan, seolah hatinya tersembunyi di balik lapisan baja yang tak bisa ditembus siapa pun.Namun, kenyataan yang terungkap semalam membalikkan semua asumsi yang telah ia buat. "Ternyata, sebelum aku hadir dalam hidupnya, dia sudah memiliki seseorang yang menjadi pusat dunianya," bisiknya pada dirinya
Yonas terduduk di kursi kayu antik di ruang tamunya menatap dengan wajah tegang kala mendengar berita yang baru saja ia dengar dari Cindy dan Alex membuat jantungnya berdetak lebih kencang.Mark, pria yang selama ini ia harapkan untuk bergabung dengan keluarganya, telah menikah. Lebih mengejutkan lagi, ia kalah start dari wanita yang berhasil memenangkan hati Mark."Kau bercanda, kan?" Yonas menatap putrinya, Cindy, yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Wajahnya tampak marah, seperti seringai kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.“Tidak, Ayah. Mark sudah menikah, dan Ayah bahkan tidak tahu siapa wanita itu!” balas Cindy dengan suara tinggi. "Ayah selalu gagal mendekati Mark. Apa Ayah pikir pria seperti dia akan datang sendiri ke keluarga kita?"Yonas meremas jemarinya, merasa gugup dan malu. "Jangankan aku, Alex pun yang ayahnya lebih sering menolak tawaran perusahaan besar juga tidak pernah bisa menembus dinding dingin Mark," ujarnya, berusaha membela diri. Matanya m
Waktu telah berjalan seminggu sejak Mark dan Dania memulai bulan madu mereka, namun bagi Dania, perasaan campur aduk yang ia alami belum juga mereda.Setiap harinya, Dania merasa seperti berada di ambang sesuatu yang besar namun tak terlihat, sebuah ketidakpastian yang mengendap-endap di hatinya.Pagi itu, seperti biasa, ia duduk di bangku panjang yang menghadap langsung ke pantai, menikmati hembusan angin laut yang sejuk dan menenangkan.Suara deburan ombak yang tak henti-henti menghantam pantai memberikan irama konstan yang tak pernah berubah, kontras dengan pikirannya yang terus berputar.Matanya menerawang, sementara jemarinya menggenggam erat sandaran kursi di sebelahnya.Mark, di sisi lain, sibuk di dekatnya, berdiri sambil berbicara di telepon dengan Vicky, asistennya, tentang urusan kantor yang tak bisa ditunda. Meskipun mereka sedang dalam bulan madu, Mark masih terhubung erat dengan dunia bisnisnya.“Ya, aku tahu. Mereka sedang menungguku pulang. Tapi, jangan beri aku waktu
Hari terakhir di villa yang tenang dan penuh kenangan.Mark menghampiri Dania yang sedang duduk di gazebo sembari menikmati cokelat panas miliknya.“Aku baru saja menyewa dua sepeda. Ayo, bersepeda di sana,” ajak Mark kepada sang istri.“Bersepeda? Woah! Sudah lama juga aku tidak bersepeda. Ayo!” ucap Dania penuh antusias.Mark mengulas senyum dan menggenggam tangan Dania menuju pesisir di mana dia menaruh dua buah sepeda tersebut di sana.Sinar matahari yang hangat terasa menyentuh kulit, membuat setiap detik terasa begitu sempurna. Roda sepeda mereka berderak lembut di atas pasir yang masih basah oleh deburan ombak.Dania tersenyum lebar, merasakan angin laut yang menerpa rambutnya. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari setiap langkah kaki dan putaran roda sepeda. "Ini menyenangkan sekali," gumamnya dalam hati, perasaan ringan dan bebas seperti ketika masih anak-anak.Namun, sejenak kemudian, kebahagiaan itu tiba-tiba diselimuti perasaan aneh. Deja vu. Semua ini—bersepeda di
Kata-kata itu membuat Dania terdiam. Ia menatap Mark dengan hati yang berdebar-debar, merasakan kehangatan yang memancar dari pria yang berdiri di hadapannya. Kata-kata itu sederhana, namun penuh makna.Ada sesuatu dalam tatapan Mark yang membuatnya percaya—untuk pertama kalinya, mungkin, ia merasa bahwa Mark benar-benar tulus."Aku tidak menikahimu hanya untuk melupakan seseorang," lanjut Mark dengan nada yang lebih lembut. "Aku menikahimu karena aku ingin bersamamu. Bukan karena masa lalu, tapi karena masa depan yang kita miliki bersama."Dania menatap Mark yang kini menatap ke laut seraya meneguk air mineralnya. Pun dengan Dania. Akhirnya menoleh ke arah depan.“Kau pasti paham kenapa aku berpikir seperti itu, Mark,” kata Dania pelan.Mark mengangguk. “Ya. Aku paham,” ucapnya dengan pelan.Dania menoleh kemudian menghela napasnya dengan panjang. Sebenarnya ia ingin bertanya lagi, apakah Mark telah menaruh hati untuknya. Namun, ia tahan karena terlalu dini menanyakan hal tersebut.“
Malam itu suasana rumah terasa hangat, tetapi sedikit riuh dengan suara percakapan yang mengisi ruang tengah.Clara masih berdiri di tempatnya, tangan terlipat di dada dengan ekspresi serius yang belum juga memudar.Di depannya, Mark hanya bisa menghela napas, mencoba memahami sikap putrinya yang tampaknya tak mau mundur.“Tidak! Biarkan Mommy saja yang peduli padamu,” ujar Clara dengan nada tegas, matanya menatap tajam ke arah ayahnya. “Untuk saat ini, aku sedang ingin memarahimu.”Mark mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sambil mengembungkan pipinya seperti anak kecil. Namun, di dalam hatinya, ia tidak benar-benar marah.Ia tahu Clara sedang meluapkan emosinya, dan sebagai seorang ayah, ia memilih untuk bersabar. Toh, ia pun pernah berada di posisi Clara—jatuh cinta dan begitu peduli pada seseorang.Mark pun hanya menghela napas dan mengangkat tangan seolah menyerah. “Baiklah, Tuan Putri. Daddy akan menerima semua kemarahanmu dengan lapang dada,” ujarnya dengan nada bercanda,
“Apa kau belum makan siang?” tanya Clara dengan nada lembut, tetapi ada kekhawatiran yang terselip di sana.Clara duduk berhadapan dengan Stevan, mengamati dengan penuh perhatian bagaimana pria itu begitu lahap menyantap makan siangnya.Wajah Stevan tampak sedikit lelah, tetapi matanya masih bersinar, mencerminkan semangat yang tak pernah luntur.Clara melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka dua, dan ia mengerutkan dahi kecilnya.Stevan, yang tengah sibuk dengan suapan nasi dan lauk di hadapannya, mendongak sejenak. Bibirnya membentuk senyum cengengesan khasnya.“Lebih tepatnya, belum makan sejak pagi tadi,” jawabnya santai. Ia kemudian mengusap mulutnya dengan tisu sebelum melanjutkan.“Aku lupa sarapan karena harus mengikuti meeting dengan ayahmu. Jadi, aku baru sempat mengisi perutku sekarang.”Clara mendesah pelan, matanya menatap Stevan dengan sedikit protes. “Bisa-bisanya kau bekerja dengan perut kosong. Memangnya otakmu bisa konsen?” tanyanya, me
Clara duduk di bangku taman kampus, mengerutkan kening sambil menatap layar ponselnya yang sudah redup sejak tadi. Pesannya ke Stevan tak juga mendapat balasan. Ia melirik jam di sudut layar: pukul satu siang. Waktu sudah mepet, dan dalam satu jam lagi ia harus pulang.“Ke mana Uncle Stevan?” gumam Clara sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya ke layar ponsel. Ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan lamanya saat merasa gelisah. “Tumben sekali pesanku belum dia balas.”Ia bersandar di bangku dan memandangi awan yang berarak di langit. Kecurigaan mulai merayap di benaknya.“Sepertinya Daddy mulai membuat Uncle Stevan sibuk. Bisa-bisanya sudah pukul satu dan dia belum juga online,” keluhnya, memicing curiga. Ia tahu betul bagaimana ayahnya selalu menyeret Stevan ke dalam urusan kantor, bahkan di luar jam kerja.“Clara?” Sebuah suara laki-laki yang lembut namun tegas menyapanya, memecah lamunannya.Clara mengangkat kepala, mendapati Matthew berdiri beberapa langkah darinya. Pemuda itu terseny
“Kau serius, akan menikah dengan Uncle Stevan?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.Clara menoleh, menatap Samuel dengan alis terangkat. “Kenapa?” tanyanya santai sambil meniup perlahan kukunya agar cepat kering.“Kau takut media mempermasalahkannya? Bukankah mereka sudah tahu yang sebenarnya?”Samuel menghela napas kasar, berjalan masuk dan menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat meja rias Clara.“Tidak. Aku tidak mempermasalahkan itu,” ucapnya dengan nada datar. “Justru aku bingung, kenapa Uncle Stevan bisa mencintai wanita aneh sepertimu.”Clara sontak menyunggingkan senyum sinis. Ucapan Samuel selalu punya cara untuk membuat darahnya naik, meskipun ia tahu itu hanya cara Samuel menggoda.“Kau ingin tahu jawabannya, Sam?” Clara meletakkan kuas kuteksnya, menatap Samuel dengan ekspresi penuh tantangan.“Coba menjalin hubungan, biar kau tahu bahwa cinta itu nyata!” sengalnya dengan nada yang sengaja dibuat menusuk.Samuel malah mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh sedikit pun. “
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana pesta yang digelar untuk menyambut Stevan sebagai CEO baru Kv’s Group semakin meriah.Aula megah itu dipenuhi tamu-tamu berpakaian formal, dengan gelas-gelas anggur yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Denting piano dari sudut ruangan menciptakan suasana elegan, sementara obrolan dan tawa memenuhi udara.Stevan berdiri di salah satu sisi ruangan, dikelilingi oleh beberapa eksekutif perusahaan yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Wajahnya tetap tenang, meski malam itu sebenarnya menguras banyak energi emosinya.“Congrats, Uncle. Kau berhak mendapatkan ini semua,” suara Samuel memecah pikirannya. Pemuda itu menepuk pundaknya dengan senyum percaya diri yang khas.Stevan menoleh dan mengulas senyum kecil. “Terima kasih, Sam. Fokus belajar, kau harus masuk universitas terbaik untuk menggantikan posisi ayahmu suatu hari nanti.”Samuel menyeringai kecil, matanya memancarkan keyakinan. “Mudah bagiku, Uncle. Bahkan saat ini
“Setelah delapan belas tahun lamanya Kv’s Group berada di bawah naungan Tuan Mark Louis Evander,” ujarnya, menghentikan kalimatnya sejenak untuk memberi waktu pada hadirin yang kembali bertepuk tangan.“Kita semua mengakui dan sangat mengagumi keberhasilan yang telah beliau berikan pada Kv’s Group. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi salah satu konglomerasi terbesar di dunia.”Suasana ruang rapat utama Kv’s Group dipenuhi oleh para jajaran eksekutif, investor, dan awak media yang sudah siap dengan kamera dan mikrofon.Sorotan lampu terang menerangi podium yang berdiri megah di tengah ruangan, tempat Mark Louis Evander berdiri dengan karisma khasnya, tersenyum tipis di tengah riuh tepuk tangan yang membahana.Seorang pembawa memulai pidato dengan suara yang lantang dan penuh wibawa.Mark mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih, tetapi senyumnya tidak memudar sedikit pun.Pembawa acara melanjutkan, “Karena beliau telah mendapatkan
Stevan berdiri di samping mobilnya, melipat lengan di depan dada sambil mengamati gerbang megah kampus tempat Clara menuntut ilmu.Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan suasana hatinya yang tengah diliputi beragam pikiran. Langkah cepat Clara yang mendekatinya menariknya kembali ke kenyataan.“Sudah lama, menunggu?” tanya Stevan seraya melirik ke arah wanita muda itu.Clara mendengus kecil, kedua tangannya terlipat di dada, matanya menatapnya tajam. “Ya! Setengah jam lamanya aku menunggumu, Uncle!” protes Clara dengan nada setengah manja, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk.Stevan hanya terkekeh menanggapi. Dengan lembut, ia mengusap pucuk kepala Clara, membuat rambut panjangnya sedikit berantakan.“Maafkan aku. Jalanan macet,” balasnya dengan nada menggoda.Clara mendengus lagi, tapi kali ini dengan nada menyerah. “Huh, alasanmu selalu macet.”Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil. Stevan memutar kunci, dan suara mesin ya
Gedung Kv’s Group berdiri megah dengan desain modern nan elegan, mencerminkan kesuksesan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.Di salah satu ruangan di lantai tertinggi, Stevan duduk di hadapan Mark, kakaknya, yang kini memimpin perusahaan itu.Di tangannya, sebuah dokumen tebal dengan kop surat resmi Kv’s Group tampak mencolok. Wajah Stevan dipenuhi kebingungan.“Apa ini, Kak?” tanya Stevan, keningnya mengerut saat membaca baris pertama dokumen tersebut. Ia melirik Mark yang duduk tenang di kursinya, dengan ekspresi penuh percaya diri.Mark melipat tangannya di atas meja kaca besar. “Sudah satu bulan lamanya kami berunding untuk posisi CEO di Kv’s Group yang sudah hampir tujuh belas tahun ini masih aku pegang,” katanya pelan namun tegas, menatap adiknya dengan tatapan tajam.Stevan mengangkat wajahnya dari dokumen itu, menatap Mark yang terlihat begitu serius.“Menunggu Samuel masih lama,” lanjut Mark, menyebut nama putra sulungnya. “Mungkin tujuh sampai delapan tahun baru bisa
“Wow! My Dad is amazing!” seru Clara dengan nada ceria yang begitu khasnya, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah impian.Ia menggeleng-gelengkan kepala sembari bertepuk tangan, seolah ingin menyambut kabar dari Mark dengan sorak kemenangan.Aura antusiasnya memenuhi ruang itu, melengkapi suasana penuh rencana yang menggantung di udara.“Stevan sudah tahu soal ini, Mark?” tanya Dania, suaranya lembut namun sarat perhatian, sembari menyuapkan anggur hijau ke bibirnya yang merah alami.Matanya menatap Mark penuh rasa ingin tahu, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh suaminya itu.Mark menggeleng pelan, bibirnya tersungging dengan senyuman kecil yang penuh rahasia. “Belum,” jawabnya santai, sembari melipat kedua tangannya di atas meja.“Aku akan mengumpulkan jajaran terlebih dahulu untuk memberitahu bahwa Kv’s Group akan dipimpin oleh Stevan. Ini akan menjadi kejutan untuknya.”“Well, Dad,” sela Samuel, suara beratnya memotong percakapan s